The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Benteng di Gorontalo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Benteng di Gorontalo. Tampilkan semua postingan

Benteng Maas

Benteng Maas (Ota Maas Udangan) terletak di Dusun Molu’o, Desa Molu’o, Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Lokasi benteng ini berada di sebelah barat benteng Oranye yang berada di kawasan dataran yang tidak begitu jauh dari pantai.
Awalnya, benteng Maas diperkirakan tepat berada di tepi laut namun seiring perjalanan waktu, garis pantai berkembang mundur ke arah utara akibat laut surut.
Menurut Farha Daulima dan Hapri Harun dalam bukunya, Mengenal Situs/Benda Cagar Budaya di Provinsi Gorontalo (2007), benteng Maas ini dibangun oleh bangsa Portugis sekitar abad 15 atau 16 pada masa pemerintahan Sultan Amay di Kerajaan Gorontalo. Tujuan bangsa Portugis membangun benteng ini tiada lain untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam. Dari luar adalah serangan bajak laut dari Mindanao (Philipina) maupun bangsa barat lainnya. Sedang dari dalam yaitu orang-orang pribumi, terutama raja-raja Limboto dan Gorontalo.


Dulu, di lokasi benteng ini menjadi pusat keramaian rakyat beruba kesenian tradisi seperti tari primitif maupun kegiatan lainnya. Di sekeliling benteng kala itu, terdapat kebun-kebun milik rakyat dan pemukiman penduduk.
Ketika Belanda masuk di wilayah Kwandang, maka benteng ini dikuasai dan dijadikan sebagai pusat pertahanan dan keamanan. Di daerah koloni tersebut, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonantie tentang perlindungan benda-benda purbakala di Hindia Belanda (Staatsblad Nomor 258 Tahun 1931).
Pada saat Jepang menduduki Gorontalo, benteng Maas mengalami kerusakan dan tidak diperbaiki. Baru setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 maka benteng Maas ini dipelihara oleh masyarakat sekitar, dan pada tahun 1979 diadakan studi kelayakan untuk melakukan renovasi benteng Maas. Namun karena kerusakan sudah begitu parah, bahkan sebagian besar telah menjadi tumpukan puing-puing, benteng tersebut tak terselamatkan. Pengunjung hanya bisa melihat reruntuhan benteng tersebut.
Kini situs benteng Maas dimiliki oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan pengelolaan di bawah Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo bersama Kemendikbud. *** [221113]
Share:

Benteng Oranye

Salah satu peninggalan sejarah yang cukup menarik di Gorontalo adalah benteng Oranye (Fort Orange). Benteng ini terletak di Bukit Arang yang masuk wilayah administratif Lingkungan I, Desa Dambalo, Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Lokasi ini berada sekitar 61 kilometer dari Kota Gorontalo, atau 2 kilometer dari pusat Kota Kwandang, ibukota Kabupaten Gorontalo.
Menurut sejarahnya, yang pertama kali datang mendiami pesisir pantai Kwandang, yaitu suku Buol, kemudian suku Gorontalo yang berasal dari Kerajaan Limboto. Masusknya suku Gorontalo dari Limboto ini, didorong oleh kekhawatiran mereka bahwa Tomilito (Kwandang) akan dikuasai oleh Kerajaan Buol. Pada saat itu, perairan pantai Kwandang berkecamuk perang melawan Mangindano, komplotan bajak laut yang berasal dari Philipina (Mindanawo).
Pada pertengahan abad 15-16, datang bangsa Barat ke Indonesia, terus menuju ke Timur yaitu bangsa Portugis yang menduduki Ternate, Maluku, lalu Sulawesi khususnya Gorontalo melalui Kwandang.
Didorong oleh keinginan untuk menguasai daerah Gorontalo dan mempertahankan dari serangan musuh (bajak laut) dari Philipina terutama di pesisir utara Kwandang maka timbullah usaha untuk membangun benteng pertahanan di pesisir pantai utara Kwandang. Benteng ini dibangun oleh bangsa Portugis pada 1630 Masehi.
Cara Portugis membangun benteng ini, menggunakan tenaga rakyat banyak secara gotong-royong. Untuk mengangkat batu, mereka berdiri berjejer dan menggulirkan batu-batu itu dari tangan ke tangan, sampai ke tempat tumpukan batu, tempat pembuatan benteng.
Bahan-bahan yang digunakan untuk membangun benteng ini, yaitu batu karang, batu gunung, pasir dan kapur, serta dengan bahan perekatnya ialah getah pelepah daun rumbia, sebab pada waktu itu belum ada semen. Akan tetapi, benteng ini cukup kuat.


Kedatangan bangsa Belanda di Gorontalo sekitar awal abad 17 menyebabkan bangsa Portugis mulai terdesak karena persaingan dagang dan perebutan kekuasaan di salah satu daerah sumber penghasil rempah-rempah, sehingga terpaksa Portugis meninggalkan Gorontalo.
Pada abad 18, benteng ini diperbaiki oleh bangsa Belanda, dengan menambah bangunan kecil di atas bukit sebagai tempat memantau dan pusat penembakan, dengan menempatkan sebuah meriam.
Penambahan bangunan benteng serta perubahan konstruksi bangunan benteng, mulai memakai semen. Semula, orang Gorontalo menamai benteng ini dengan sebutan benteng (ota) Lalunga. Namun, ketika Snouck Orange memerintah benteng ini maka namanya diganti dengan nama Fort Orange (Benteng Oranye).


Secara konstruksi, bangunan benteng ini terdiri atas dinding benteng, bastion I, bastion II, dan bastion III. Dinding benteng yang berbentuk segi empat memiliki ukuran panjang 40 meter, lebar 32,5 meter, dan tinggi sekitar 3 - 4 meter serta ketebalan 50-60 cm. Bastion I yang berada di sebelah barat laut, memiliki panjang 19 meter, dan lebar 3 – 5 meter. Bastion II berada di timur laut, memiliki bentuk bulat telur (elips) dengan diameter 8 meter, tinggi berkisar antara 4 hingga 5 meter, dengan ketebalan dinding antara 60-90 cm. Sedangkan, bastion III kini tinggal bekasnya saja. Diperkirakan bentuknya juga bulat telur dengan diameter 11 meter, sedangkan tingginya sama dengan benteng lainnya. Bastion III ini dulunya sebagai pos pengintai. Untuk menuju ke benteng, pengunjung harus menaiki tangga sebanyak 178 anak tangga.
Untuk melestarikan benda-benda peninggalan sejarah ini, Pemerintah berusaha memperbaiki benteng Oranye dari tahun 1983 hingga 1987 terbagi dalam lima tahap, yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan studi kelayayakan pada tahun 1979. Berdasarkan instruksi Inspektorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI maka benteng Oranye telah memiliki pos jaga dan juru pelihara.
Kin benteng Oranye menjadi obyek wisata di Bumi Gorontalo yang menjadi tujuan kunjungan bagi wisawatan mancanegara maupun wisatawan nusantara. *** [221113]

Kepustakaan:
Farha Daulima, dkk., 2007, Mengenal Situs/Benda Cagar Budaya Di Provinsi Gorontalo, Limboto: Forum Suara Perempuan LSM Mbu’i Bungale
Navita Kristi,dkk., 2012, Fakta Menakjubkan tentang Indonesia: Wisata Sejarah, Budaya dan Alam di 33 Provinsi, Jakarta: Cikal Aksara (Imprint) Agromedia Mustika
Share:

Benteng Otanaha

Benteng Otanaha adalah sejarah bangunan peninggalan monumen kuno warisan pada masa lalu dari suku Gorontalo. Benteng ini terletak di Kelurahan Dembe I, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Lokasi berada sekitar 8 kilometer dari pusat kota Gorontalo ke arah Batudaa, Kabupaten Gorontalo, dan bisa ditempuh dengan angkutan berwarna biru muda dengan trayek Kota Gorontalo – Batudaa.
Menurut sejarawan Gorontalo, Dungga A.H., mengungkapkan bahwa berdirinya benteng itu terkait dengan adanya berita akan terjadinya perang antara Portugis dan Spanyol dalam perebutan wilayah kekuasaannya di Kepulauan Maluku termasuk Tidore, Halmahera, Makian, Bacan dan Sulawesi yang merupakan penghasil rempah-rempah dan jalur utama perekonomian wilayah Indonesia Timur pada kurun waktu abad 15 – 17. Berita itu sampai kepada raja Hulontalo dan timbullah kekhawatiran raja Hulontalo yang pada waktu itu sedang menghadapi perang dengan Kerajaan Limutu. Untuk itulah raja Hulontalo mendirikan benteng Otanaha dan Otahiya pada tahun 1525.


Dengan adaya benteng Otanaha dan Otahiya yang didirikan oleh raja Hulontalo, maka raja Limutu mendirikan pula benteng Ulupahu yang letaknya tidak jauh dari kedua benteng itu.
Induk benteng, yaitu benteng Otanaha, dibuat berbentuk angka delapan, letaknya memanjang dari Timur Laut ke Barat Daya. Kedua bulatan itu berbentuk lonjong atau bulat panjang. Garis tengah ruangan dalam menurut panjang, pada bulatan besar 17 meter dan pada bulatan kecil 4,9 meter.
Bagian dalam dibuatkan teras dengan jarak dari dinding benteng 1,1 meter, tinggi 10 cm dari langit. Pintu masuk pada benteng ini terdapat pada bagian bulatan kecil, menghadap ke Barat Laut. Lebarnya 1,5 meter dan tingginya 1,8 meter. Jarak antara mulut pintu sebelah luar dan dalam 2,1 meter. Pada benteng induk ini terdapat 7 buah jendela, dengan ukuran tidak sama pada masing-masing jendela. Jendela yang terdapat pada bulatan kecil, mempunyai lebar 0,35 meter dan tingginya 1 meter. Tebal dinding rata-rata 1,6 meter, kecuali pada jendela tebal dinding hanya 1 meter. Tinggi dinding dari lantai sebelah ruangan 1,8 meter, sedangkan bagian luarnya 4,75 meter.
Bangunan benteng yang kedua, yang saat ini disebut benteng Otahiya didirikan setelah benteng induk selesai. Sebagaimana pada benteng induk, benteng ini juga mempunyai pintu yang berfungsi sebagai pintu masuk. Bentuk benteng bulat panjang atau lonjong, letaknya membujur dari Barat Laut ke Tenggara. Garis tengah ruangan dalam, mempunyai panjang 15 meter dan lebar 13 meter. Pintu gerbang atau pintu masuk dibuat menghadap ke Barat Laut. Pintu ini berbentuk terowongan yang panjangnya 6,15 meter, dengan lebar 1,7 meter, dan tinggi ruangan 2,25 meter. Tebal beton yang menutupi dinding pintu gerbang sebelah atas 0,8 meter, dan tebal dinding samping 0,65 meter.


Benteng Otahiya mempunyai tujuh buah jendela dengan lebar 0,55 meter dan tingginya 0.9 meter. Tebal dinding pada jendela ini 0,6 meter. Sebagaimana benteng induk, ukuran jendela-jendela ini tidak sama. Salah satu dari jendela-jendela yang lain, yaitu yang menghadap ke tenggara. Di bagian dinding sebelah dalam terdapat beton bertingkat dan yang difungsikan sebagai bangku. Pada tingkat pertama bangku itu tebal 0,7 meter, dan pada tingkat dua tebal dan lebar 0,5 meter. Di bawah bangku yang bertingkat dua itu terdapat saluran air yang dimanfaatkan sebagai alat pembuangan kotoran.
Benteng yang ketiga disebut Benteng Ulupahu. Benteng ini lonjong atau bulat panjang, dengan ukuran panjang 16,5 meter dan lebar 14 meter. Sebelah dalam sekeliling dinding terdapat semacam trotoar dengan lebar 1,65 meter dan tinggi 0,5 meter dari lantai. Pintu masuknya menghadap ke Barat Laut, dengan lebar 1,3 meter dan tinggi 1,9 meter. Pada benteng ini terdapat Sembilan buah jendela, dengan lebar 0,5 meter dan tinggi 0,9 meter. Tebal dinding rata-rata 1,6 meter, tinggi dinding dari atas lantai 1,65 meter sedangkan tingginya sebelah luar 4,5 meter.


Ketiga buah benteng ini merupakan bangunan raksasa yang bertengger di atas bukit di zaman itu, yang menurut penuturan masyarakat sekitar benteng, bahwa bahan bangunan itu terbuat dari batu pasir, dan kapur yang direkatkan dengan putih telur burung maleo sebagai bahan pengganti semen. Burung maleo adalah burung endemik yang keberadaannya hanya di Pulau Sulawesi. Burung maleo besarnya seperti seekor ayam namun telurnya lima kali lebih besar dari telur ayam. Sehingga, setiap bertelur, burung maleo biasanya akan mengalami pingsan terlebih dahulu.
Untuk menuju ke benteng tersebut dari pintu masuk, pengunjung harus menaiki bukit yang telah dibuatkan tangga-tangganya. Jumlah anak tangga tidak sama untuk setiap persinggahan. Dari dasar ke tempat persinggahan satu terdapat 52 anak tangga, ke persinggahan dua terdapat 83 anak tangga, ke persinggahan tiga terdapat 53 anak tangga, dan selanjutnya, ke persinggahan empat memiliki 89 anak tangga. Sementara ke area benteng terdapat 71 anak tangga, sehingga jumlah keseluruhan anak tangga yaitu 348 buah anak tangga.
Di lingkungan ketiga benteng tersebut masih rimbun dengan pepohonan besar yang seolah-olah menghilangkan benteng-benteng tersebut dari pandangan orang. Di situ, juga masih banyak dijumpai pohon serut yang besar-besar.
Ketiga benteng yang berada di atas perbukitan tersebut, yaitu benteng Otanaha, Otahiya, dan Ulupahu, menjadi kesatuan nilai jual dalam kepariwisataan di Gorontalo dengan label “Taman Purbakala Benteng Otanaha”, dan lokasi tersebut telah ditetapkan sebagai Situs Benda Cagar Budaya. Dalam upaya pelestariannya, sebuah peninggalan sejarah tidak diperkenankan dirubah atau  dimodifikasi karena akan merubah nilai estetika atau historis yang telah ada sebelumnya. *** [161113]

Kepustakaan:
Farha Daulima, 2004, Tragedi Benteng Otanaha, Limboto: Forum Suara Perempuan LSM Mbu’i Bungale
Farha Daulima & Hapri Harun, 2007, Mengenal Situs/Benda Cagar Budaya Di Provinsi Gorontalo, Limboto: Forum Suara Perempuan LSM Mbu’i Bungale
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami