The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Museum di Jakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Museum di Jakarta. Tampilkan semua postingan

Museum Sumpah Pemuda Jakarta

Seiring dengan tumbuhnya sekolah-sekolah pada awal abad ke-20, di Jakarta tumbuh pula pondokan pelajar untuk menampung mereka yang tidak tertampung di asrama sekolah atau bagi mereka yang ingin hidup lebih bebas di luar asrama yang ketat. Salah satu di antara pondokan pelajar (Commensalen Huis) di Jakarta adalah rumah milik Sie Kong Liong, yang terletak di Jalan Kramat Raya No. 106. Karena rumahnya besar dan berhalaman luas, maka rumah pondokan ini sering dikenal dengan sebutan Gedung Kramat 106.
Pada tahun 1920-an, Gedung Kramat 106 termasuk wilayah Weltevreden (bagian dari Batavia). Jalan di muka gedung saat itu sudah ramai dengan lalu lintas kendaraan mobil dan trem listrik yang menghubungkan daerah Senen dan Meester Cornelis (sekarang Jatinegara).


Selain sebagai tempat tinggal, gedung tersebut digunakan sebagai tempat latihan kesenian “Langen Siswo” dan diskusi politik. Setelah Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) didirikan pada bulan September 1926, Gedung Kramat 106 dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi majalah PPPI, Indonesia Raja. Berbagai organisasi pemuda sering menggunakan tempat ini sebagai tempat berkumpul. Karena sering dijadikan tempat pertemuan para tokoh pemuda Indonesia, sejak tahun 1928 gedung ini diberi nama Indonesische Clubgebouw (Gedung Pertemuan Indonesia). Tokoh-tokoh yang pernah tinggal di gedung tersebut antara lain adalah Mohamad Yamin, Abu Hanifah, Amir Sjarifudin, A.K. Gani Setiawan, Soerjadi, Mangaraja Pintor, dan Assaat.
Pada tahun 1928 pula Gedung Kramat 106 dijadikan salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Gedung ini dijadikan pusat pergerakan mahasiswa sampai tahun 1934.


Sejak tahun 1934-1970 Gedung Kramat 106 mengalami beberapa kali alih fungsi, antara lain sebagai rumah tinggal, toko bunga, hotel, dan perkantoran. Gedung yang sangat penting artinya bagi bangsa Indonesia ini kemudian dijadikan museum oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan nama Gedung Sumpah Pemuda pada tahun 1973, kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1974. Pada 16 Agustus 1979, pengelolaan Gedung Sumpah Pemuda diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Mendikbud No. 029/O/1983 tanggal 7 Februari 1983, Gedung Sumpah Pemuda dijadikan UPT di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan dengan nama Museum Sumpah Pemuda (Youth Declaration Museum).
Pada tahun 2013, bangunan utama Gedung Museum Sumpah Pemuda ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) Peringkat Nasional, melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 254/M/2013 tanggal 27 Desember 2013.
Museum Sumpah Pemuda ini memiliki sejumlah koleksi yang berkaitan dengan gerakan pemuda-pemudi dalam menyongsong tercetusnya Sumpah Pemuda. Seperti pada museum yang lainnya, Museum Sumpah Pemuda ini juga mempunyai ruang pamer yang berada di bangunan utama gedung tersebut. Ruang pamer tersebut menempati kamar-kamar yang terdapat di gedung tersebut. Namun pada kunjungan saya ini, hanya bisa menyaksikan empat ruangan saja karena sebagian ruangan yang lainnya sedang direnovasi untuk tata letaknya.

Ruang Tamu
Ruang ini berada di bagian depan ketika pengunjung mulai masuk pintu utama. Ruang ini dulunya merupakan ruang tamu, atau ruang untuk berdiskusi para pemuda yang mondok di rumah tersebut.
Koleksi yang dipamerkan berupa diorama suasana diskusi pemuda pada saat itu, dan sejumlah story board yang menerangkan sejarah pemondokan ini.

Ruang Perenungan
Sesuai namanya, ruangan ini diperuntukkan untuk melahirkan pemikiran yang cemerlang ke arah persatuan para pemuda Indonesia, atau semangat Indonesia.
Pada ruang ini ditampilkan diorama yang mengetengahkan seorang pemuda dengan serius yang sedang memantau berita dari radio untuk mengetahui perkembangan yang ada. Selain itu juga dipasang sejumlah story board sebagai pendukungnya.

Ruang Indonesia Raya
Ruang pamer ini berisi biola dan piringan hitam yang berisi lagu Indonesia Raya yang berhasil membangkit semangat juang para pemuda Indonesia.
Story board yang dipampang di dinding ini menjelaskan biografi Wage Rudolf Supratman, deskripsi biola, hingga sejarah lagu Indonesia Raya (History of the Song Indonesia Raya).

Ruang Indonesia Muda dan Perhimpunan Pelajar Indonesia
Pada ruangan ini terdapat diorama seorang pumuda yang bersama temannya sedang membaca koran Benih Merdeka, dan dilengkapi dengan story board mengenai Indonesia Muda dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia.
Di ruangan ini, pengunjung akan tahu bagaimana kiprah-kiprah mereka yang berdatangan dari pelbagai daerah di Indonesia dan bertemu di Jakarta.

Ruang Kepanduan
Ruang ini berada di belakang bangunan utama, menempati sebuah bangunan serambi belakang yang menghadap ke arah selatan.
Di dalam ruangan ini terdapat diorama seragam kepanduan dengan sepeda onthel, dan dilengkapi dengan story board perihal kepanduan yang cukup lengkap.

Setelah selesai di Ruang Kepanduan, pengunjung bisa menyaksikan Monumen Persatuan Pemuda 1928 di halaman belakang, berupa tangan mengepal berwarna hitam, dan di bawahnya terdapat bait-bait kata yang ada pada Sumpah Pemuda.
Mengunjungi Museum Sumpah Pemuda ini memberi kenangan tersendiri bagi para pengunjung. Selain, bisa menikmati koleksi-koleksi yang berhubungan dengan Sumpah Pemuda, pengunjung juga bisa menyaksikan bangunan kuno bergaya Indische Empire yang masih megah dan kokoh. Sehingga, bila dirangkai keduanya, pengunjung terasa diajak berjalan ke masa lampau yang penuh sejarah ini. Dan sekarang, Museum Sumpah Pemuda ini terletak di Jalan Kramat Raya No. 106 Kelurahan Kwitang, Kecamatan Senen, Kota Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi museum ini berada di depan Hotel Amaris Kramat Raya. *** [210416]
Share:

Gedung Joang 45 Jakarta

Mengikuti jalur KOPAJA P 20 dari Pasar Senen menuju Lebak Bulus, membawa kenangan tersendiri. Pasalnya, jalur ini merupakan jalur yang membelah Menteng yang kesohor di Jakarta. Menteng merupakan salah kawasan tua yang ada di Jakarta. Sebagai kawasan tua, Menteng meninggalkan jejaknya melalui beberapa bangunan kuno yang terdapat di situ.
Salah satu bangunan kuno yang ada di lintasan KOPAJA P 20 adalah Gedung Joang 45. Gedung ini terletak di Jalan Menteng No. 31 Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, Kota Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi museum ini berada di selatan gedung Tedja Buana/Universitas Mercu Buana.
Menurut documentary board yang terdapat di dalam gedung tersebut, dikisahkan bahwa pada tahun 1938 seorang pengusaha Belanda bernama L.C. Schomper mendirikan sebuah hotel yang bernama Schomper 1 di daerah Menteng Raya. Hotel ini dibangun khusus bagi pejabat tinggi Belanda, pengusaha asing dan pejabat pribumi yang singgah di Batavia.
Hotel Schomper merupakan hotel termegah pada saat itu. Bangunannya bergaya Indische Empire yang mampu menciptakan kesan kuat peninggalan kolonial. Di bagian depan terdapat pilar-pilar tinggi berwarna putih yang membatasi serambi depan dan pintu masuk dengan lantai marmer. Ruang tamunya sangat luas di bagian tengah bangunan. Ruang makan ditempatkan di belakang dekat dapur, gudang, dan 3 kamar untuk juru masak. Di samping kiri dan kana bangunan serambi utama membentuk dua sayap dengan 5 kamar di sayap kiri dan 8 kamar besar yang dilengkapi kamar mandi berada di sayap kanan.


Pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang pada 8 Maret 1942, Hotel Schomper diambil alih oleh Jepang dan diserahkan kepada Jawatan Propaganda Jepang (Ganseikanbu Sedenbu) yang dikepalai oleh seorang Jepang, Simizu. Lalu, pada bulan Juli 1942 oleh Ganseikanbu Sedenbu diserahkan kepada pemuda untuk digunakan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang dimaksudkan untuk meyokong Pemerintah Jepang di Indonesia. Di samping itu, Jepang juga membolehkan gedung ini dipergunakan untuk mendidik para pemuda dalam menyongsong kemerdekaan. Tempat ini dijadikan tempat pendidikan politik yang dibiayai oleh Ganseikanbu Sedenbu.
Jepang bermaksud mendidik para pemuda Indonesia menjadi kader-kader demi kepentingan Asia Timur Raya. Tapi maksud dan cita-cita Jepang ini kemudian berhasil dibelokkan oleh para pemimpin Indonesia yang ditugaskan menjadi guru di tempat ini dengan menanamkan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang murni. Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Adam Malik, Chaerul Saleh dan sejumlah tokoh Indonesia lainnya merupakan tokoh-tokoh yang terlibat dalam pendidikan pemuda yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pusat pendidikan ini kemudian dikenal dengan nama Asrama Angkatan Baru Indonesia, dan akhirnya gedung diganti dengan nama Gedung Menteng 31, sedangkan pemudanya yang menempati asrama tadi dikenal dengan Pemuda Menteng 31.
Pada 10 Januari 1972 Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan (SK) KDKI No. CB.11/1/12/72 jo Monumenten Ordonantie Staatblad No. 238 tahun 1931 yang menetapkan Gedung Menteng 31 sebagai bangunan bersejarah.
Sebagai tindak lanjut SK Gubernur tersebut, Gedung Menteng 31 dipugar kembali oleh Pemda DKI Jakarta pada 9 September 1973, dan selesai dipuga padar 17 Agustus 1974. Gedung Menteng 31 ini kemudian dijadikan museum dengan nama Gedung Joang 45. Peresmiannya dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto pada 19 Agustus 1974.



Koleksi Museum
Koleksi pada museum ini adalah benda-benda yang menggambarkan jejak perjuangan kemerdekaan, berupa benda-benda peninggalan para pejuang Indonesia terutama yang berhubungan dengan Menteng 31. Di antaranya foto-foto dokumentasi, lukisan yang menggambarkan perjuangan sekitar tahun 1945-1950, patung-patung tokoh pejuang, dan film dokumenter perjuangan.
Kemudian di lokasi terpisah dengan gedung utama, tepatnya di bagian belakang berbentuk bangunan joglo berkaca, terdapat 3 koleksi kebanggan museum ini berupa mobil dinas resmi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama yang dikenal dengan mobil REP-1, REP-2, dan mobil peristiwa pemboman di Cikini.
Mobil REP-1 adalah mobil sedan limosin merk BUICK (tahun 1939) buatan pabrik General Motor (GM). Mobil ini merupakan mobil kepresidenan pertama yang dimiliki Pemerintah Indonesia, dan digunakan oleh Ir. Soekarno dalam menjalankan tugasnya sebagai Presiden Republik Indonesia. Pada saat pusat pemerintahan Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, mobil REP-1 dibawa serta.
Mobil ini sebelumnya milik Kepala Departemen Perhubungan Jepang yang dicuri oleh Sudiro (pejuang RI), dengan cara membujuk sopirnya yang orang Kebumen untuk pulang ke Kebumen dan meninggalkan mobil tersebut. Sudiro kemudian menyembunyikan mobil itu, dan setelah aman mobil itu diserahkan kepada Bung Karno.
Pada tanggal 19 Mei 1979 mobil ini diserahkan oleh Kepala Rumah Tangga Presiden kepada Dewan Harian Nasional ’45 untuk dijadikan koleksi Museum Joang 45 ini.


Mobil REP-2 pada mulanya digunakan yang bernama Djohan Djohor, milik seorang pengusaha yang merupakan paman dari Mohammad Hatta. Selanjutnya mobil tersebut diserahkan kepada Bung Hatta, dengan maksud untuk membantu mobilisasi perjuangannya dan juga menghindari prampasan dari pihak militer Jepang. Mobil REP-2 itu tetap dipergunakan oleh Bung Hatta di dalam melaksanakan tugas-tugas kenegaraan sebagai Wakil Presiden.
Kemudian pada waktu pemerintahan Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, mobil tersebut juga turut serta mendampingi Bung Hatta di sana. Pada waktu pemerintahan Republik Indonesia kembali lagi ke Jakarta, tidak ketinggalan mobil REP-2 ini kembali juga ke ibu kota diangkut dengan kereta api. Akhirnya pada tanggal 20 Agustus 1975, oleh Bung Hatta mobil tersebut diserahkan kepada Dewan Harian Nasional ’45 untuk dijadikan koleksi Museum Joang 45.
Sedangkan, mobil peristiwa Cikini bermerk Imperial. Mobil ini dulu digunakan Presiden Soekarno saat terjadi peristiwa peledakan granat di Perguruan Cikini. Saat itu mobil tersebut digunakan Presiden Soekarno menghadiri acara Bazaar Sekolah Perguruan Cikini (PERCIK). Sehingga kemudian mobil itu lebih dikenal dengan sebutan Mobil Peristiwa Cikini.
Peristiwa peledakan granat tersebut merupakan usaha percobaan pembunuhan yang dilakukan terhadap Presiden Soekarno yang terjadi pada tanggal 30 November 1957, kurang lebih pada pukul 21.00 WIB. Kejadian tersebut berlangsung di halaman depan Kompleks Perguruan Cikini Jalan Cikini Raya Jakarta Pusat. Akibat ledakan granat tersebut mengakibatkan 9 orang meninggal dan 55 orang luka-luka termasuk di dalamnya pengawal Presiden Soekarno dan beberapa murid Perguruan Cikini.
Selain koleksi, museum ini juga mempunyai beberapa fasilitas lainnya, seperti auditorium, perpustakaan, ruang parkir, plaza untuk aktivas outdoor, dan free Wi-fi. *** [130416]
Share:

Museum Jenderal Besar DR. A.H. Nasution

Menyusuri Jalan Teuku Umar ini sebenarnya tidak termasuk salah satu agenda saya. Kala itu saya bingung mau mencari halte yang dilewati oleh Kopaja P 20 yang ke arah Mampang Prapatan. Dari Tugu Kunstkring Paleis, saya sebenarnya saya ingin memotong jalan jalur Kopaja yang dari arah Pasar Senen menuju ke Lebak Bulus tapi ternyata malah jauh.
Barangkali perjalanan ini tidak setimpal dengan rasa capeknya. Lutut kaki terasa nut-nut. Tapi segera sirna manakala dalam perjalanan tersebut bisa menemukan bangunan lawas yang mempunyai kisah sejarah. Hal ini terasa benar ketika itu saya melintasi bangunan lawas yang di halaman depannya terdapan sebuah patung yang diapit oleh meriam. Ternyata bangunan lawas tersebut adalah Museum Jenderal Besar DR. A.H. Nasution. Museum ini terletak di Jalan Teuku Umar No. 40 Kelurahan Gondangdia, Kecamatan Menteng, Kota Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi museum ini berada di depan kediaman duta besar Vietnam.
Dalam booklet Museum Jenderal Besar DR. A.H. Nasution yang diterbitkan oleh Dinas Sejarah Angkatan Darat di Bandung pada Maret 2015, menjelaskan bahwa museum ini semula merupakan kediaman Jenderal Besar DR. A.H. Nasution yang ditempatinya sejak menjabat sebagai KSAD tahun 1949 hingga wafatnya pada tanggal 6 September 2000. Di kediaman ini Jenderal Besar DR. A.H. Nasution telah menghasilkan sejumlah karya juang yang beliau persembahkan bagi kemajuan bangsa dan negara.


Sejarah mencatat, bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965 di tempat ini telah terjadi peristiwa dramatis yang hampir menewaskan Jenderal Besar DR. A.H. Nasution. Pada peristiwa tersebut, PKI dengan G 30 S-nya berupaya menculik dan membunuh Jenderal Besar DR. A.H. Nasution, yang saat itu menjabat Menko Hankam/KASAB. Namun beliau berhasil menyelamatkan diri dan luput dari pembunuhan, tetapi putri kedua beliau yang bernama Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya Lettu Czi Pierre Tendean gugur dalam peristiwa tersebut.
Sosok Jenderal Besar DR. A.H. Nasution merupakan tokoh militer dan negarawan yang tidak asing bagi bangsa Indonesia bahkan diakui dunia internasional, karena sepanjang hayatnya beliau telah menorehkan karya juang dan pengabdian serta pengorbanan yang tidak sedikit bagi bangsa dan negaranya. Baik pada masa perjuangan kemerdekaan maupun pada saat mengisi kemerdekaan. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penghargaan yang telah beliau terima, baik dari dalam maupun luar negeri. Sehingga beliau memiliki berbagai benda-benda koleksi bernilai sejarah tinggi yang patut untuk dipelihara dan dilestarikan, agar generasi penerus bangsa dapat memetik nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Benda-benda peninggalan Jenderal Besar DR. A.H. Nasution tergolong memiliki nilai-nilai historis yang perlu dilestarikan dan diwariskan kepada generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, untuk menyimpan, merawat dan memeliharanya diperlukan museum sebagai sarana kegiatan fungsional yang khas sebagai lembaga kultural edukatif, pusat dokumentasi dan informasi, inspiratif serta menjadi pusat studi dan rekreasi bagi kepentingan publik.
Dalam konteks pelestarian koleksi benda-benda bernilai sejarah dari Jenderal Besar DR. A.H. Nasution tersebut, maka Angkatan Darat menjadikan kediaman Jenderal Besar DR. A.H. Nasution sebagai Museum Jenderal Besar DR. A.H. Nasution. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Surat Perintah dari Kasad dengan Nomor Sprin 1459/VIII/2007 tanggal 14 Agustus 2007 tentang pembentukan Museum Jenderal Besar DR. A.H. Nasution.
Sebagai realisasi dasar surat perintah tersebut maka dimulailah renovasi dan penataan kediamann Jenderal Besar DR. A.H. Nasution sejak bulan Juli 2007 sampai dengan November 2008. Pada tanggal 3 Desember 2008 bertepatan dengan hari kelahiran beliau, yaitu pada tanggal 3 Desember 1918, Museum Jenderal Besar DR. A.H. Nasution diresmikan oleh Presiden RI DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono.

Ruang Penyajian Koleksi
Seperti pada umumnya museum yang ada di Indonesia, Museum Jenderal Besar DR. A.H. Nasution ini juga mempunyai ruangan untuk memajang koleksi-koleksi yang dimiliki oleh Jenderal Besar DR. A.H. Nasution. Namun kebanyakan penamaan ruang pamer ini masih disesuaikan dengan fungsi ruang pada saat menjadi kediaman Jenderal Besar DR. A.H. Nasution, sehingga menyerupai museum in situ.

Ruang Tamu
Ruang ini berada di gedung utama paling depan. Sesuai dengan namanya, maka ruang ini merupakan tempat Jenderal Besar DR. A.H. Nasution menerima tamu, baik dari kalangan militer, kerabat dan masyarakat. Di ruang tamu ini terdapat satu set meja kursi tamu berukuran kecil, yang merupakan meja dan kursi favorit Jenderal Besar DR. A.H. Nasution sewaktu masih muda. Jenderal Besar DR. A.H. Nasution selalu memakai kursi ini dalam menerima tamu dari berbagai kalangan.
Di ruang tamu ini juga terpampang sejumlah foto bersejarah milik Jenderal DR. A.H. Nasution, dan beberapa cindera mata dari dalam dan luar negeri serta terdapat miniatur senjata artileri berupa meriam lapangan dan miniatur tank.

Ruang Kerja
Dari ruang kerja inilah Jenderal Besar DR. A.H. Nasution menuangkan ide dan buah pikirannya , baik dalam bidang militer maupun non militer.
Di dalam ruang kerja juga telah dihasilkan beberapa karya yang beliau tulis untuk dipersembahkan kepada bangsa dan negara (sekitar 70 judul buku). Sebagian dari karya beliau disajikan dalam etalase buku yang ada di ruangan ini.

Ruang Kuning
Dinamakan ruang kuning, karena oleh Jenderal Besar DR. A.H. Nasution ruangan ini didesain dengan dominasi warna kuning, baik meja, kursi, cat tembok, karpet, maupun gorden semua memakai warna kuning. Ruangan ini digunakan Jenderal Besar DR. A.H. Nasution untuk menerima tamu (VVIP), baik dari dalam maupun luar negeri.
Koleksi yang disajikan di dalam ruangan ini adalah meja kursi tamu berwarna kuning, miniatur Monumen Siliwangi, dua buah guci tabung, miniatur panglima perang dan beberapa koleksi cinderamata lainnya yang tersaji di kanan dan kiri pintu masuk ruang kuning.

Ruang Senjata
Awalnya ruang senjata ini adalah ruang tidur putri pertama yang bernama Hendrianti Sahara Nasution. Sesuai namanya yang sekarang, ruangan ini digunakan untuk memajang beberapa jenis senjata koleksi Jenderal Besar DR. A.H. Nasution.
Berbagai senjata tradisional yang dipamerkan di ruangan ini berasal dari berbagai daerah Indonesia, seperti keris, mandau, dan lain-lain yang merupakan kenang-kenangan dari berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan berbagai senjata api merupakan kenang-kenangan dari berbagai negara sewaktu beliau memimpin misi pembelian senjata ke luar negeri.

Ruang Tidur
Ruangan ini merupakan saksi bisu dari kekejaman G 30 S/PKI yang berupaya menculik dan membunuh Menko Hankam/KASAB Jenderal Besar DR. A.H. Nasution. Pada 1 Oktober 1965 pagi, ibu Johana Sunarti Nasution (istri Jenderal Besar DR. A.H. Nasution) sudah bangun dan duduk di dipan. Sedangkan Jenderal Besar DR. A.H. Nasution mengibas-ngibas nyamuk. Tiba-tiba ibu Johana Sunarti Nasution mendengar beberapa tembakan dari luar, kemudian beliau membuka pintu dan melihat anggota Cakrabirawa, selanjutnya pintu ditutup kembali dan dikunci.
Melihat pintu kamar Jenderal Besar DR. A.H. Nasution terkunci, anggota Cakrabirawa mendobrak pintu tersebut sampai retak. Mendengar kegaduhan di dalam kamar, adik Jenderal Besar DR. A.H. Nasution yang bernama ibu Mardiah masuk ke dalam kamar. Ade Irma yang baru bangun diberikan oleh ibu Johana Sunarti Nasution pada ibu Mardiah. Karena tidak memahami situasi, ibu Mardiah membuka lagi pintu yang baru saja dikunci. Begitu pintu dibuka, berondongan peluru dilepaskan anggota Cakrabirawa mengenai Ade Irma. Ibu Mardiah membawa Ade Irma yang tertembak keluar menuju samping rumah.


Saat kejadian itu ibu Johana Sunarti Nasution belum mengetahui kalau anak kesayangannya, Ade Irma tertembak. Setelah mengunci pintu untuk yang kedua kalinya, ibu Johana Sunarti Nasution berkata kepada suaminya: “Nas, kamu mau dibunuh, cepat selamatkan diri!” Selanjutnya Jenderal Besar DR. A.H. Nasution dan istrinya keluar melalui kamar keluarga (sekarang ruang Gamad) menuju samping rumah.
Di samping rumah tersebut ibu Johana Sunarti nasution menerima Ade Irma dari ibu Mardiah yang dilihatnya Ade Irma sudah berlumuran darah. Jenderal Besar DR. A.H. Nasution menyelamatkan diri dengan cara melompat pagar tembok yang berbatasan dengan Kedutaan Irak.
Begitu melihat Ade Irma yang luka parah, Jenderal Besar DR. A.H. Nasution yang sudah di atas pagar berniat hendak turun lagi untuk memberi pertolongan dan perlawanan. Namun ibu Johana Sunarti Nasution memohon kepada suaminya, “Selamatkan diri! Selamatkan diri! Denk niet, naar ons! (jangan pikirkan kami). Di saat Jenderal Besar DR. A.H. Nasution memandang ibu Johana Sunarti Nasution dan Ade Irma yang berlumuran darah tersebut, bunyi tembakan terus menggencar ditujukan kepada Jenderal Besar DR. A.H. Nasution di atas pagar. Karena tembakan mengarah padanya maka Jenderal Besar DR. A.H. Nasution terus melompat ke halaman Kedutaan Irak.

Ruang Gamad
Ruang Gamad (Ruang Seragam Angkatan Darat) awalnya merupakan ruang tidur keluarga Jenderal Besar DR. A.H. Nasution. Dinamakan Ruang Gamad karena di dalam ruangan ini dipajang beberapa koleksi dan seragam serta perlengkapan TNI, yaitu PDU IV, sewaktu beliau menjabat Menko Hankam/KASAB dan Jenderal berbintang lima. Pedang Pati Angkatan Darat dan Pedang Pati Angkatan Laut, Baret Kopassus yang dipakai beliau pada saat upacara Penganugerahan Brivet Komando Kehormatan pada 17 Februari 1998, serta Baret Marinir dan Baret Kostrad. Di samping itu juga disajikan PDU II Putih untuk acara resmi siang hari, serta PDU II Hitam untuk acara malam hari serta PDU I Bintang lima.


Dalam ruangan ini juga dipamerkan beberapa buah pisau, tongkat komando kenang-kenangan maupun tongkat komando koleksi pribadi Jenderal Besar DR. A.H. Nasution. Selain itu, di Ruang Gamad ini juga disajikan diorama yang menggambarkan dialog antara ibu Johana Sunarti nasution dan suaminya tatkala akan berusaha menyelamatkan diri dari upaya pembunuhan oleh anggota Cakrabirawa dengan cara melompat pagar tembok Kedutaan Irak.

Ruang Ade Irma
Ruang Ade Irma merupakan kamar tidur anak kedua Jenderal Besar DR. A.H. Nasution yang bernama Ade Irma Suryani Nasution. Namun di dalam kesehariannya, Ade Irma selalu tidur bersama ayah dan ibunya di ruang tidur utama.


Di dalam ruangan ini dipamerkan barang-barang pribadi yang merupakan barang kesayangan Ade Irma, yaitu sebuah baju seragam Kowad mini, sepasang sepatu, tas kulit kecil, tempat air minum dari plastik dan boneka serta baju yang dipergunakan oleh Ade Irma pada saat tragedi. Selain itu, di ruangan ini juga dipajang baju PDH II dan tongkat atau cruk yang digunakan  Jenderal Besar DR. A.H. Nasution pada waktu upacara pelepasan jenazah para Pahlawan Revolusi di Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta pada 5 Oktober 1965.

Ruang Makan
Sesuai namanya, ruangan ini dulunya merupakan ruang makan keluarga Jenderal Besar DR. A.H. Nasution. Di sini masih terlihat koleksi satu set meja makan yang digunakan keluarga Jenderal Besar DR. A.H. Nasution untuk berkumpul dan makan bersama.
Di Ruang Makan ini disajikan diorama yang menggambarkan kejadian setelah Jenderal Besar DR. A.H. Nasution berhasil menyelamatkan diri dari upaya pembunuhan. Sesaat setelah Jenderal Besar DR. A.H. Nasution berhasil menyelamatkan diri, ibu Johana Sunarti Nasution kemudian ke ruang makan dan berusaha untuk menelpon tetapi tidak jadi karena hubungan telepon sudah diputus.
Saat bersamaan, muncul lima prajurit Cakrabirawa dengan menodongkan senapan. Salah seorang prajurit Cakrabirawa menggertak ibu Johana Sunarti Nasution dengan ucapan: “Mana Nasution?”
Jengkel mendengar gertakannya, ibu Johana Sunarti Nasution menjawab: “Jenderal Nasution di Bandung, sudah dua hari. Kamu kemari hanya membunuh anak saya!” Tidak lama kemudian terdengar peluit berbunyi dan mereka bergegas keluar.

Ruang Heraldika
Di Ruang Heraldika ini dipamerkan berbagai plakat kenang-kenangan dari berbagai satuan TNI dan 3 buah panji serta sebuah bendera Merah Putih. Selain itu, juga terdapat berbagai piagam penghargaan dan medali yang beliau terima, baik dari dalam maupun luar negeri.

Ruang Dapur
Di Ruang Dapur ini disajikan peralatan dapur yang dipergunakan keluarga Jenderal Besar DR. A.H. Nasution dalam kesehariannya.

Setelah menikmati koleksi-koleksi Jenderal Besar DR. A.H. Nasution yang ada di bangunan utama, pengunjung akan keluar halaman samping melalui pintu yang berada di dekat dapur. Lalu, pengunjung bisa menuju ke halaman belakang. Di situ ada koleksi mobil yang pernah digunakan oleh Jenderal Besar DR. A.H. Nasution, dan di tembok belakang yang berbatasan dengan bangunan sayap kanan dibuat relief sejarah perjalanan hidup Jenderal Besar DR. A.H. Nasution.
Dari samping tembok ini, pengunjung bisa menuju ke bangunan sayap kanan. Bangunan sayap kanan ini merupakan ruang diorama, seperti diorama penculikan Piere Tendean, diorama Bandung Lautan Api, diorama Hijrah Siliwangi, diorama Markas Besar Komando Djawa di Kepurun, diorama Sidang MPRS, dan di belakangnya terdapat ruang perpustakaan.
Setelah puas melihat diorama, pengunjung masih bisa menyaksikan relief prestasi Jenderal Besar DR. A.H. Nasution yang berada di tembok depan ruang diorama tersebut. Kemudian sambil mengakhiri  kunjungan ke museum ini, pengunjung masih bisa menyaksikan patung Jenderal Besar DR. A.H. Nasution yang berdiri tegak di halaman muka museum ini dengan diapit dua meriam.
Selain memajang koleksi-koleksi peninggalan Jenderal Besar DR. A.H. Nasution, museum ini juga dilengkapi dengan aula yang bisa dipakai untuk pertemuan rapat dengan kapasitas 150 orang, mushola, toilet/kamar mandi serta sarana parkir yang luas bagi pengunjung.
Waktu berkunjung, untuk umum dibuka setiap hari Senin sampai dengan Jumat pukul 08.00 sampai dengan 15.00 WIB. Hari Sabtu dan Minggu dibuka atas koordinasi terlebih dahulu. Bagi pengunjung, baik perorangan maupun rombongan disediakan pemandu (pramuwidya).
Setiap pengunjung wajib menjaga keamanan, ketertiban dan kebersihan di area Museum Jenderal Besar DR. A.H. Nasution. *** [060416]
Share:

Museum Satriamandala

Museum Satriamandala terletak di Jalan Gatot Subroto 14 Jakarta Selatan, atau kurang lebih 100 m sebelah timur Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Lokasi museum ini sangat strategis karena berada di tepi jalan besar yang membelah Jakarta dari Cawang hingga Grogol.
Museum Satriamandala merupakan museum militer yang dikelola oleh Pusat Sejarah (Pusjarah) Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun demikian, museum ini terbuka untuk umum. Artinya, siapa saja boleh mengunjungi museum ini dengan karcis masuk museum sebesar Rp 2.500,-. Awalnya, museum ini memang dicitrakan sebagai propaganda dari Pemerintah Orde Baru (ORBA), namun bila mempertimbangkan informasi sejarah yang dimiliki oleh museum ini, selayaknya informasi tersebut bisa digunakan. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka merebut dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memerlukan waktu yang cukup panjang. Rakyat Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) berjuang bersama demi menegakkan kemerdekaan dengan pengorbanan jiwa dan raga maupun harta benda yang tak ternilai harganya. Dengan mempelajari sejarah, kita harapkan mampu bersikap serta bertindak arif dan bijaksana dalam menghadapi masa depan.
Ide berdirinya museum ini berasal dari Brigadir Jenderal Prof. DR. Nugroho Notosusanto. Gedung ini dulunya merupakan kediaman Soekarno dengan Ratna Sari Dewi yang dikenal dengan nama Wisma Yaso. Ketika mantan Presiden Soekarno wafat, jenazahnya sempat disemayamkan di gedung ini, dan selanjutnya dimakamkan di Blitar, Jawa Timur.
Museum ini diresmikan oleh Soeharto, Presiden RI ke-2, pada tanggal 5 Oktober 1972. Satriamadala berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti lingkungan keramat para ksatria.


Museum Satriamandala merupakan salah satu sarana pewarisan nilai-nilai juang 1945 dalam pembinaan serta pelestarian jiwa dan semangat keprajuritan di lingkungan TNI. Di samping itu juga merupakan sarana efektif untuk menanamkan kesadaran sejarah dan semangat nasionalisme di kalangan generasi muda.
Koleksi yang terdapat di Museum Satriamandala adalah benda-benda bersejarah peninggalan para pejuang TNI dari tahun 1945 hingga kini.
Salah satu koleksi menarik yang menjadi ikon museum ini adalah tandu Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dipakai beiau pada saat memimpin perang gerilnya tahun 1948-1949.
Di dalam kompleks Museum Satriamandala yang memiliki areal seluas 56.670 m² ini, terdapat pula pesawat Curen buatan Jepang tahun 1933 yang pertama kali diterbangkan di Lapangan Udara Maguwo, Yogyakarta, oleh penerbang Agustinus Adisucipto yang dikenal sebagai salah satu pelopor dunia kedirgantaraan Indonesia.
Di museum ini terdapat 74 diorama yang menggambarkan peranan TNI bersama rakyat dalam membela kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dari berbagai ancaman baik dari dalam maupun luar negeri.
Koleksi senjata yang dipamerkan di Museum Satriamandala mulai dari senjata tradisional seperti bambu runcing dan bom Molotov, hingga senjata modern seperti revolver atau handgun, rocket launcher, berbagai macam senapan mesin ringan, sedang maupun berat.
Masih dalam kompleks Museum Satriamandala terdapat Museum Waspada Purbawisesa yang diresmikan oleh Soeharto pada tanggal 10 November 1987.
Museum Waspada Purbawisesa menyajikan diorama yang menggambarkan perjuangan TNI bersama rakyat dalam menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan pada awal tahun 1950-an.
Selain memiliki ruang pameran yang representatif, kompleks Museum Satriamandala memiliki sejumlah fasilitas lainnya, seperti tempat parkir yang sangat luas, kantin dan toko souvenir, ruang serbaguna yang berkapasitas 600 kursi, perpustakaan maupun tempat penginapan. *** [260913]
Share:

Museum Purna Bhakti Pertiwi

Museum Purna Bhakti Pertiwi (MPBP) didirikan atas prakarsa Ibu Tien Soeharto sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan penghargaan yang tinggi atas dukungan masyarakat Indonesia dan mancanegara kepada Bapak Soeharto, Presiden RI ke-2.
Museum yang terletak di Jalan Taman Mini I Jakarta Timur ini, dibangun oleh Yayasan Purna Bhakti Pertiwi selama 5 tahun (1987 hingga 1992) di atas areal seluas 19,73 hektar dan diresmikan pembukaannya pada tanggal 23 Agustus 1993 oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto.
Secara garis besar MPBP terdiri dari bangunan utama, bangunan penunjang, dan tata ruang luar. Bangunan utama seluas 25.000 m² terdiri dari ruang perjuangan, ruang utama, ruang khusus, ruang asthabrata dan perpustakaan.



Ruang perjuangan menampilkan pernak-pernik sejarah perjuangan Soeharto dalam masa kemerdekaan, kebanyakan berujud foto-foto.
Ruang utama terdiri atas 3 lantai. Umumnya, koleksi yang dipamerkan di ruang utama ini adalah koleksi yang dimiliki oleh Keluarga Presiden Soeharto yang berasal dari pemberian masyarakat Indonesia maupun mancanegara. Ruang utama lantai 1 berisi koleksi keramik, ukiran kayu, kristal, batu mulia, laquer, perunggu, kulit kerang, gading, perak, patung kepengan, gamelan, marmer, furniture, proselin hingga batu giok. Ruang utama lantai 2 menyajikan koleksi lukisan, anekan ragam kain, keramik, rumah toraja, laquer, tempat tidur Cina dan perangkat barong. Sedangkan, ruang utama lantai 3 memamerkan koleksi jam, prajurit dari timah, marmer, kulit kerang, kapal, keramik, lukisan, minyak wangi, porselin, kalung batu mulia, ukiran tulang dan boneka dengan pakaian adat.
Ruang khusus yang terletak di lantai 1 berisi medali-medali milik mantan Presiden Soeharto dari berbagai negara, di mana di tengahnya diletakkan patung Soeharto.
Ruang asthabrata yang terletak di lantai 1 menyajikan delapan asas kepemimpinan yang divisualisasikan dalam adegan wayang kulit sesuai urutan cerita Wahyu Makhuta Rama juga berbagai koleksi bahan pustaka dari pelbagai disiplin ilmu.
Ruang perpustakaan yang terletak di lantai 1 berisi koleksi buku-buku perihal Soeharto dan buku umum lainnya. Pengunjung bisa mengenal lebih dekat dengan Soeharto lewat perpustakaan ini.
Sedangkan bangunan penunjang terdiri dari gerbang penerima, cafeteria, kantor pengelola, mushalla, shelter, gedung serba guna dan area bermain anak.
Tata ruang luar berfungsi sebagai rekreasi dan penghijauan terdiri atas berbagai tanaman dan area tanaman langka khas Indonesia. Di halaman MPBP terdapat sebuah kapal perang KRI Harimau (bukti sejarah perjuangan pembebasan Irian Barat tahun 1962, kemudian Irian Jaya dan sekarang menjadi Papua), kendaraan bersejarah, griya Mahabharata dan griya Makhuta Rama.
Konsep arsitektur MPBP tercermin pada rancangan tata ruang dalam yang merupakan inti penyajian, dan diperkuat secara integral oleh pola rancangan tata ruang luar.
Penerapan makna simbolis pada bentuk maupun unsur-unsur bangunan museum ini antara lain tercermin pada bentuk kerucut, pola pohon hayat, kantor pengelola, lidah api, pola jayakusuma, pola cakramanggilingan, dian, air mancur, warna pada unsur bangunan. *** [140712]






Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami