The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Probolinggo Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Probolinggo Heritage. Tampilkan semua postingan

Museum Probolinggo

Dalam perjalanan menuju ke Hotel Tampiarto Plasa untuk berkemas (check out) usai melihat Gereja Merah, kami mampir untuk mengunjungi sebuah museum yang bernama Museum Probolinggo, yang terletak di Jalan Suroyo No. 17 Kelurahan Tisnonegaran, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi museum ini berada di sebelah selatan Gedung Kesenian, atau sebelah utara Hotel Tampiarto Plasa, dan tak jauh dari Alun-Alun Probolinggo.
Museum Probolinggo merupakan salah satu museum yang berada di Probolinggo. Ide pendiriannya muncul dari kalangan yang peduli akan kelestarian sejarah untuk memajukan Kota Probolinggo yang kemudian diakomodir oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata (Dispobpar), British Indonesia Artists Society (BIAS) dan beberapa personal yang ikut menggawangi proses berdirinya museum dalam bentuk project proposal pendirian museum kepada Wali Kota Probolinggo H.M. Buchori, S.H., M.Si.


Setelah proposal disetujui maka didirikanlah museum ini pada 26 Agustus 2009. Dari sekian tempat yang diproyeksi untuk digunakan untuk museum, terpilih gedung Graha Bina Harja. Gedung Graha Bina Harja sendiri merupakan bangunan peninggalan kolonial Belanda yang bernama De Societeit Harmonie te Probolinggo, yang diperkirakan dibangun setelah Kota Probolinggo kembali menjadi daerah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda usai menjadi tanah partikelir yang dikuasai oleh seorang Kapitan China bernama Han Kek Koo.
Gedung Societeit Harmonie di Probolinggo itu dulunya merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat berkumpulnya orang-orang elit pada masa kolonial Belanda untuk mencari hiburan usai menjalani rutinitas pekerjaan dalam kesehariannya. Banyak acara yang digelar di Societeit Harmonie, seperti pertunjukkan musik, opera, dansa, main bilyar hingga makan malam. Dalam acara makan malam, menu yang biasanya tersaji di atas meja makan besar adalah menu makanan Barat yang didominasi oleh daging, roti, dan lainnya. Tidak ketinggalan pula tersaji berbagai macam minuman keras atau minuman beralkohol yang sudah menjadi sebuah tradisi atau budaya masyarakat Eropa. Sehingga, tidak sembarang orang dapat masuk ke dalam gedung tersebut. Hanya mereka yang telah terdaftar menjadi anggota tetap maupun sementara yang memiliki akses masuk ke dalam Societeit Harmonie.


Kawasan Graha Bina Harja merupakan tanah eigendom yang terdiri atas tiga bidang, yaitu tanah eigendom no. 447 dengan luas 7.193 m², tanah eigendom no. 49 luasnya 4.95 m², dan tanah eigendom no. 721 yang luasnya 1.300 m².
Setelah tempat sudah ada, kemudian dikumpulkanlah sejumlah koleksi untuk ditempatkan ke dalam museum itu, dan ditata menurut denah yang ada di gedung tersebut. Setelah dirasa siap, kemudian pada 15 Mei 2011 museum ini diresmikan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, Dr. H. Jarianto, M.Si, untuk mewakili Gubernur Jawa Timur yang pada saat itu sedang ke luar negeri.
Masuk ke dalam museum ini, pengunjung tidak disuruh membeli tiket alias gratis namun disuruh mengisi buku tamu dulu oleh petugas yang ada di situ. Sebelum melewati pintu untuk masuk ke dalam museum, pengunjung akan melihat denah alur kunjungan Museum Probolinggo yang menjelaskan sejumlah ruangan yang terdapat di dalam museum. Ada 8 ruang untuk memajang koleksi yang dimiliki oleh Museum Probolinggo (sekitar 550 koleksi) yang telah diatur sesuai urutannya memutar dari pintu sebelah kanan dan berakhir di pintu utama dari gedung ini yang berada disebelah selatan, jika pengunjung hendak memasukinya, yaitu:

Ruang 1: Koleksi Arkeologi
Di dalam ruang ini terdapat benda budaya hasil temuan berupa peninggalan masa pra sejarah dan sejarah, seperti arca Nandiswara, arca Dewa Surya, arca Dwarapala, serpihan relief Arjunawiwaha, dan yang tak kalah menariknya di dalam ruang ini juga ada Prasasti Rameswarapura yang berupa lempengan tembaga dipajang di dalam outlet berkaca.


Ruang 2: Koleksi Keramologi & Koleksi Filologi
Di dalam ruang ini dijumpai benda yang terbuat dari tanah liat, bahan batuan dan porselin yang dibakar dengan suhu tinggi maupun rendah, seperti Guci Kuno, Guci Peregi Lonjong, Piring Masa Dinasti Ming, dan lain-lain.
Selain itu, di bagian ruang ini juga bisa disaksikan deretan koleksi keris maupun naskah kuno (ancient manuscript). Dari deretan keris yang ada, terdapat 2 keris pusaka yaitu keris Srendakan dan keris Rogonolo.

Ruang 3: Koleksi Historika & Koleksi Numismatika
Di ruang ini, pengunjung bisa melihat koleksi peninggalan sejarah maupun koleksi alat tukar pembayaran yang ada di Probolinggo, seperti lonceng, brangkas peninggalan kolonial Belanda, mesin porporasi, sejarah pendidikan Probolinggo, dan uang kertas Probolinggo.


Ruang 4: Koleksi Kolase Foto Probolinggo Tempo Dulu & Foto Wali Kota Probolinggo
Ruang 4 ini menyerupai lorong yang letaknya berada di belakang, yang kelak menghubungkan dengan ruang berikutnya. Di dalam ruang ini, pengunjung akan dimanjakan dengan koleksi foto Probolinggo tempo dulu dan deretan foto Wali Kota Probolinggo yang ditempel di dinding sebelah selatan dari ruang ini.

Ruang 5: Koleksi Historika Transportasi Tradisional
Di ruang 5 ini, pengunjung dapat menyaksikan koleksi peninggalan sejarah berupa alat transportasi tradisional, seperti dokar Blasteran dan cikar.
Dokar Blasteran berasal dari daerah Kebonsari Kulon, Kota Probolinggo. Pada zaman kolonial, dokar ini sering digunakan mengangkut Tentara Gabungan 45 atau anggota veteran. Selama masa penjajahan kolonial Belanda, dokar ini sering digunakan para pejuang dari Kebonsari Kulon ke arah timur menuju Kraksaan, juga ke arah barat menuju ke Bayeman.
Jenis dokar Blasteran ini adalah dokar khas Kota Probolinggo dengan ciri-ciri khusus ukuran dokar yang lebih kecil dan ramping dibandingkan jenis dokar Malangan, tetapi dokar Blasteran memiliki kemampuan angkut manusia maupun barang yang setara dengan dokar Malangan.



Ruang 6: Koleksi Historika Kesenian Tradisional
Ruang ini sebenarnya menyatu dalam ruang utama yang sama dengan ruang 5 maupun ruang 7. Pihak museum hanya menyekat saja dengan partisi yang tidak full sampai ke atap.
Koleksi yang dipajang di ruang ini, antara lain jaran bodhag, kenong telo’, tari lengger, dan sejumlah pakaian pengantin maupun pakaian daerah.

Ruang 7: Koleksi Etnografi & Batik Kuno Probolinggo
Di dalam ruang ini, pengunjung bisa melihat koleksi berbagai peralatan mata pencaharian hidup, seperti alat pertukangan tradisional Probolinggo, alat pertanian tempo dulu serta ronjengan (lesung).
Selain itu, di dalam ruang ini juga dijumpai banyak koleksi batik kuno khas Probolonggo, seperti batik kuno tahun 1889 dengan banyak motif.


Ruang 8: Koleksi Teknologika
Ruang 8 ini merupakan ruang terakhir dari denah alur Museum Probolinggo. Koleksi teknologika adalah benda yang menggambarkan teknologi pada waktu itu. Jenis koleksi ini merupakan berbagai benda yang menunjang kebutuhan masyarakat pada masanya, seperti sepeda ontel “The Humber”, motor uap, Vespa “Congo”, dan becak.
Setelah menyaksikan koleksi yang ada di ruang 8, pengunjung akan menjumpai pintu besar dari gedung ini sebagai tempat keluar, atau akhir dari penjelajahan ruang-ruang yang terdapat di museum ini. Namun itu belum merupakan akhir dari pengunjung untuk memenuhi keingintahuannya dari koleksi yang dimiliki oleh Museum Probolinggo.

Di selasar depan dari bangunan museum ini, masih bisa dijumpai perahu tambangan khas Probolinggo. Di situ, pengunjung juga disediakan kotak istagram untuk berfoto ria dengan latar belakang perahu tadi.
Setelah keluar dari bangunan museum yang bergaya arsitektur Indische Empire ini, pengunjung dapat melihat koleksi teknologika yang dipajang di halaman depan dari museum ini, seperti pesawat Nomad P 803, lokomotif uap buatan pabrik Orenstein & Koppel Maatschappij (1906) milik PG Wonolangan, dan Tank Amfibi PT-76.
Dari data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Kota Probolinggo mengenai Daftar Obyek Wisata dan Jumlah Pengunjung di Kota Probolinggo pada tahun 2017, diketahui bahwa jumlah pengunjung yang mengunjungi Museum Probolinggo adalah sebanyak 21.279 orang yang terdiri dari 20.078 WNI dan 1.201 WNA. *** [310718]
Share:

Tempat Ibadat Tri Dharma Probolinggo

Pagi menjelang matahari memancarkan sinarnya (semburat), kami keluar dari Hotel Tampiarto Plasa untuk berkeliling sambil mengunjungi sebuah bangunan lawas yang digunakan untuk tempat peribadatan pemeluk Tri Dharma di Kota Probolinggo. Nama tempat peribadatan itu tertulis “Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD) Probolinggo.”
Tempat ibadat ini terletak di Jalan Wage Rudolf Supratman No. 127 Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi tempat ibadat ini diapit oleh dua gelanggang olahraga (GOR), yaitu GOR Tri Dharma di sisi kanan dan GOR PB Abadi di sisi kiri, atau sebagai ancer-ancernya adalah berada di sebelah barat daya Dinas Perikanan Probolinggo ± 200 meter.


Sebelum resmi dinamakan TITD Probolinggo, tempat ibadat ini aslinya bernama Klenteng Liong Tjwan Bio Probolinggo. Nama asli itu berasal dari dialek Hokkian yang terdiri atas gabungan tiga kata, yaitu Liong, Tjwan, dan Bio. Liong memiliki arti naga, tjwan bermakna sumber, dan bio artinya kuil atau klenteng (istilah khas di Indonesia). Jadi, setelah tiga kata itu digabung menjadi Liong Tjwan Bio, memiliki arti Klenteng Sumber Naga.
Klenteng Sumber Naga (Liong Tjwan Bio) merupakan tempat ibadah yang secara resmi didirikan pada Tongzhi 4 (1865). Klenteng ini didirikan oleh Oen Tik Goan, saudara Oen Tjoen Goan, serta beberapa anggota keluarga Han dan 172 pendonor terdaftar. Oen Tik Goan (atau Wen Baochang) adalah putra dari Oen King Ting, seorang kapitan China (Kapitein der Chinenezen) Besuki yang menjabat sejak 1832 sampai 1856. Setelah itu, jabatan Kapitan China dipegang oleh Wen Baochang dari tahun 1856 hingga 1859, lalu pindah ke Probolinggo dan menjadi kapitan di sana, dan penggantinya di Besuki adalah saudaranya, Oen Tjoen Goan (Wen Yuanchang). Keluarga Oen terjun dalam indsutri gula, tapi belakangan sejumlah anggota keluarga itu juga memegang pacht candu.


Posisi Klenteng Sumber Naga ini awalnya didesain di ujung utara kawasan Pecinan, namun saat ini telah dikelilingi oleh kompleks permukiman yang lain. Perluasan wilayah kota menyebabkan posisi klenteng seolah membelah jalan yang ada. Berada pada posisi frontal menghadap jalan utama dan membelakangi jalan yang lain, sehingga bangunan klenteng ini membentuk posisi tusuk sate. Posisi tusuk sate merupakan posisi yang kurang baik sehingga diperlukan unsur, baik bangunan maupun elemen yang digunakan untuk membersihkan energi negatif tersebut. Tapi tidak perlu khawatir, bangunan tusuk sate tidak akan dihuni roh jahat selama bangunan tersebut digunakan untuk tempat ibadat.
Klenteng Sumber Naga yang berdiri di atas lahan seluas ± 1500 m² ini, memiliki empat ruang utama dan beberapa ruang penunjang serta halaman depan yang lumayan luas. Ruang utama meliputi ruang suci utama (Ruang Kongco Tan Hu Cin Jin), Ruang Dewi Kwam Im, Ruang Tri Dharma dan Ruang Dewa Kwan Kong. Ruang penunjang meliputi kantor tata usaha, dapur, ruang sekretariat muda-mudi, gudang dan toko penjualan alat-alat sembahyang.


Tan Hu Cin Jin merupakan tuan rumah atau dewa utama Klenteng Sumber Naga Probolinggo. Tan Hu Cin Jin berarti manusia sejati yang berasal dari keluarga Tan. Tan Bun Ciong merupakan nama sebenarnya, seseorang yang sangat pandai dalam bidang pengobatan, feng shui, arsitek bangunan dan pertamanan. Berasal dari Provinsi Kwan Tung di daratan Tiongkok dan terdampar di pantai Banyuwangi, Jawa Timur. Tan Hu Cin Jin memberi pengaruh yang besar terhadap masyarakat Tionghoa di sekitar pesisir utara Jawa Timur (Besuki, Probolinggo, Banyuwangi) dan Bali. Hal ini dapat terlihat dari adanya beberapa klenteng dan vihara dengan pujaan utama yang sama, yaitu Kongco Tan Hu Cin Jin.
Di Klenteng Sumber Naga, masyarakat Tionghoa di sana tidak hanya menganggap klenteng itu sebagai tempat ibadat saja, melainkan juga sebagai sarana komunitas itu sendiri. Sehingga, kontinuitas klenteng tersebut berjalan dengan baik karena para penganut Tri Dharma (Tao, Confusius dan Budha) silih berganti melakukan pemujaan di klenteng ini setiap harinya. *** [310718]

Kepustakaan:
Mulyono, Grace. (2015). Yin Feng Shui Ditinjau Dari Aliran Angin Pada Klenteng Liong Tjwan Bio Probolinggo. LANTING Journal of Architecture, Volume 4 Nomor 1, Februari 2015, Hal: 21-28
Salmon, Claudine. (2010). Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Share:

GPIB Jemaat Immanuel Probolinggo

Setelah perjalanan yang cukup panjang dari Kepanjen menuju Lumajang dan diteruskan ke Probolinggo, kami pun merasa lelah setelah menjelang maghrib. Akhirnya aktivitas terhenti di Kota Probolinggo, dan kami menginap di Hotel Tampiarso Plasa yang berada di Jalan Suroyo.
Esok harinya sebelum kembali ke Kepanjen, kami coba menyusuri Jalan Suroyo yang memiliki panjang sekitar 1 km. Jalan Suroyo yang pada masa Hindia Belanda bernama Heerenstraat menjadi salah satu jalan yang terkemuka dalam mewarnai perwajahan Kota Probolinggo. Di sepanjang jalan ini berdiri bangunan-bangunan lawas peninggalan era Hindia Belanda. Salah satunya bangunan lawas yang kami lihat adalah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat Immanuel.
Gereja ini terletak di Jalan Suroyo No. 32 Kelurahan Tisnonegaran, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi gereja ini berada di samping Toko Buku Togamas, atau selatan SD Katolik Mater Dei.


Sesuai tulisan yang terdapat pada undakan menuju pintu masuk utama GPIB ini, bangunan gereja ini dibangun pada tahun 1862 (Gebouwd Anno 1862). Pada awal berdiri, gereja ini bernama De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indië, atau yang biasa disingkat menjadi Indische Kerk.
Indische Kerk ini merupakan kesatuan dari Gereja Protestan di Indonesia (GPI) yang dibentuk oleh pemerintah Kerajaan Belanda di Hindia Belanda pada tahun 1815. Sama dengan induknya di Negeri Belanda, gereja ini merupakan gereja negara (staatskerk) di mana segala sesuatu yang menyangkut aktivitas gereja, pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah. Pendeta mendapat gaji, dan anggaran-anggaran lainnya untuk keperluan gereja disediakan oleh pemerintah saat itu.
Pada masa pendudukan Jepang, Indische Kerk ini sempat diambil alih untuk digunakan sebagai gudang senjata. Setelah Indonesia merdeka, gereja ini kembali difungsikan sebagai tempat ibadah pemeluk Kristen Protestan.


Kemudian berdasarkan Keputusan Sidang Sinode Algemene Moderamen GPI pada tahun 1948 mengenai pembentukan gereja yang keempat GPI di wilayah Indonesia yang tidak terjangkau oleh GMIM (Gereja Masehi Injil di Minahasa), GPM (Gereja Protestan Maluku) dan GMIT (Gereja Masehi Injil di Timor), lahirlah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat atau De Protestantse Kerk in Westelijk Indonesie pada 31 Oktober 1948.
GPIB memiliki semua jemaat GPI di luar dari tiga gereja saudaranya itu (GMIM, GPM, GMIT). Oleh karena itu, secara historis GPIB berasal dari latar belakang historis GPI, yang dikenal dengan nama De Protestantsche Kerk in Nederlandsch Indië atau Indische Kerk.
Dengan leburnya Indische Kerk ke dalam GPI, maka segala warisan termasuk bangunan gereja milik GPI termasuk yang ada di Probolinggo berganti nama menjadi GPIB dan disematkan pula nama dari GPIB itu juga sehingga nama lengkapnya dari bangunan bekas Indische Kerk yang ada di Probolinggo menjadi GPIB Jemaat Immanuel.


Dilihat dari fasadnya, bangunan GPIB ini bergaya Neo Gothic, yang ditandai dengan atap berbentuk pelana dan material yang digunakan gereja ini adalah besi. Material ini diproduksi 1 set dengan sistem knockdown yang dipesan oleh pemerintah Hindia Belanda di Jerman. Setelah jadi, material itu kemudian diangkut dengan kapal menuju Probolinggo, dan dirakit kembali.
Semula bangunan gereja ini berwarna putih keperak-perakan sesuai dengan warna seng bajanya, tetapi karena dikhawatirkan akan mengalami korosi karena lokasinya yang dekat dengan pantai maka dinding seng harus dilapisi dengan cat anti korosi pada masa itu. Kebetulan cat anti korosi kala itu hanya memiliki satu warna, yaitu merah. Kemudian bangunan gereja itu dilapisi dengan cat warna merah, tidak dengan warna lain. Oleh karena itu, gereja ini kemudian juga turut dikenal dengan sebutan Gereja Merah.
Pada awal dibangun, Gereja Merah ini terdiri dari ruang pastori, ruang ibadah, altar berisi mimbar dan ruang paduan suara, kemudian paska kemerdekaan terjadi penambahan ruang karena kebutuhan dan jumlah jemaat yang semakin banyak. Penambahan tersebut berupa ruang penyimpanan dan ruang pastori.
Kini, bangunan lawas yang telah menjadi cagar budaya ini masih aktif digunakan sebagai tempat peribadatan umat Kristen atau Protestan, dan menjadi spot pilihan untuk pemotretan bagi calon pengantin (pre-wedding) maupun orang yang gemar akan heritage. *** [310718]

Share:

Stasiun Kereta Api Malasan

Stasiun Kereta Api Malasan (MLS) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Malasan, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 9 Jember yang berada pada ketinggian + 138 m di atas permukaan laut, dan merupakan stasiun kelas III.
Stasiun ini terletak di Jalan Stasiun Malasan, Dusun Krajan RT. 08 RW. 02 Desa Malasan Wetan, Kecamatan Tegalsiwalan, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah tenggara SD Negeri Malasan Wetan I ± 200 meter.


Bangunan Stasiun Malasan ini merupakan bangunan peninggalan Hindia Belanda. Pembangunan stasiun ini bersamaan dengan adanya pembangunan jalur rel kereta api dari Pasuruan-Probolinggo-Klakah yang dikerjakan oleh perusahaan kereta api milik pemerintah di Hindia Belanda, Staatsspoorwegen, dari tahun 1884 hingga tahun 1895. Stasiun ini diresmikan pada 1 Juli 1895 bersamaan dengan stasiun-stasiun lainnya yang ada di jalur rel Probolinggo-Klakah.


Jalur tersebut merupakan bagian dari proyek jalur kereta api di Jawa untuk line menuju bagian timur (Oosterlijnen) sepanjang 74 kilometer. Pengerjaannya dimulai dari Pasuruan menuju Probolinggo dan selesai pada tahun 1884, selang sepuluh tahun barulah dilanjutkan pengerjaannya dari Probolinggo menuju Klakah.


Stasiun ini memiliki 3 jalur rel dengan jalur 2 sebagai sepur lurus di mana yang ke arah utara menuju Stasiun Leces, dan yang ke arah selatan menuju ke Stasiun Ranuyoso. Sedangkan jalur 1 digunakan untuk persilangan, dan jalur 3 merupakan jalur badug atau jalur buntu. 
Karena Stasiun Malasan ini merupakan stasiun yang kecil dan lokasinya berada sudut permukiman yang masih jarang atau belum padat, sehingga stasiun ini tidak memperlihatkan aktivitas stasiun pada umumnya, yaitu menaikkan maupun menurunkan penumpang. Stasiun itu hanya untuk persilangan dan persusulan antarkereta api yang melintas di jalur tersebut, sehingga setiap harinya stasiun ini terlihat sepi. *** [310718]
Share:

Stasiun Kereta Api Leces

Stasiun Kereta Api Leces (LEC) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Leces, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 9 Jember yang berada pada ketinggian + 48 m di atas permukaan laut, dan merupakan stasiun kelas III atau kecil.
Stasiun ini terletak di Jalan Leces, Dukuh Krajan I, Desa Sumberkedawung, Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah depan Bank Jatim Cabang Pembantu Leces, atau sebelah selatan Apotek Abdullah.


Bangunan Stasiun Leces ini merupakan bangunan peninggalan Hindia Belanda. Pembangunan stasiun ini bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api dari Pasuruan-Probolinggo-Klakah yang dikerjakan oleh perusahaan kereta api milik pemerintah di Hindia Belanda, Staatsspoorwegen, dari tahun 1884 hingga tahun 1895. Stasiun ini diresmikan pada 1 Juli 1895 bersamaan dengan stasiun-stasiun lain yang ada di Jalur rel Probolinggo-Klakah.
Jalur tersebut merupakan bagian dari proyek jalur kereta api di Jawa untuk line menuju bagian timur (oosterlijnen) sepanjang 74 kilometer. Pengerjaannya dimulai dari Pasuruan menuju Probolinggo dan selesai pada tahun 1884, selang sepuluh tahun barulah dilanjutkan pengerjaannya dari Probolinggo menuju Klakah.


Stasiun ini memiliki 4 jalur rel di mana jalur 2 digunakan sebagai sepur lurus, ke arah utara menuju Stasiun Probolinggo dan yang ke selatan menuju ke Stasiun Malasan. Jalur 1 dan 3 digunakan untuk persilangan atau persusulan antarkereta api, sedangkan jalur 4 merupakan jalur badug/buntu.
Dulu dari jalur 1 terdapat percabangan menuju ke pabrik PT Leces (Persero) kemudian dinonaktifkan, akan tetapi setelah pabrik itu mengembangkan sumber energi dari batu bara dengan dibangunnya cerobong untuk pembakarannya, kemungkinan besar jalur itu akan dihidupkan kembali.
Selain itu, kendati stasiun ini sebagai stasiun kecil namun nasibnya masih dikatakan beruntung bila dibandingkan dengan stasiun-stasiun sekelasnya yang ada di Pulau Jawa ini, yaitu masih adanya aktivitas menaikkan maupun menurunkan penumpang meski untuk saat ini hanya KA Probowangi. *** [070718]

Share:

Stasiun Kereta Api Bayeman

Stasiun Kereta Api Bayeman (BYM) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Bayeman, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 9 Jember yang berada pada ketinggian + 6 m di atas permukaan laut, dan merupakan stasiun kelas III atau kecil.
Stasiun ini terletak di Jalan Raya Tongas atau Jalan Pantura, Desa Dungun, Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah utara atau depan Pasar Bayeman. Di belakang stasiun ini ada pantai yang lumayan indah, yaitu Pantai Bahak Indah.



Bangunan Stasiun Bayeman ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Pembangunan stasiun ini diperkirakan bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api dari Pasuruan-Probolinggo-Klakah yang dikerjakan oleh perusahaan kereta api milik pemerintah di Hindia Belanda, Staatsspoorwegen, dari tahun 1884 hingga tahun 1895.



Jalur tersebut merupakan bagian dari proyek jalur kereta api di Jawa untuk line menuju bagian timur (oosterlijnen) sepanjang 74 kilometer. Pengerjaannya dimulai dari Pasuruan menuju Probolinggo dan selesai pada tahun 1884, selang sepuluh tahun barulah dilanjutkan pengerjaannya dari Probolinggo menuju Klakah.



Stasiun ini hanya memiliki 2 jalur rel di mana jalur 1 digunakan sebagai sepur lurus, ke arah barat menuju Stasiun Grati dan yang ke timur menuju ke Stasiun Probolinggo. Mengingat fungsinya sebagai stasiun kelas III atau kecil, aktivitas yang ada di stasiun ini juga tidak banyak. Hanya digunakan sebagai stasiun untuk tempat persilangan atau persusulan antarkereta api. Jadi, tidak ada aktivitas menaikkan maupun menurunkan penumpang di stasiun ini.
Sebenarnya bila dilihat letaknya, stasiun ini bisa prospektif untuk angkutan orang maupun barang, mengingat lokasinya yang berseberangan dengan Pasar Bayeman, dan Pantai Bahak Indah. Hal ini pula yang menyebabkan stasiun ini dikenal dengan Stasiun Bayeman meski sesungguhnya letak stasiun ini berada di Desa Dungun, bukan Desa Bayeman. Kemungkinan dulunya stasiun ini berkontribusi kepada kebutuhan yang ada di pasar, atau mengangkut komoditas dari pasar tersebut untuk dibawa ke daerah lain. *** [170518]

Fotografer: Renam Putra Arifianto
Share:

Rumah Makan Rawon Nguling Probolinggo

Seperti biasa, sebelum diadakan training selalu didahului dengan pilot test. Pada Performance Oversight & Monitoring Endline Survey for the Evaluation of the Education Partnership – Component 1 (School Construction) ini, saya berkesempatan mengikuti pilot test di Situbondo dan Probolinggo.
Berangkat pada 10 Agustus 2015 dari kantor Regional Economic Development (REDI) pagi menuju Bandara Juanda untuk menjemput pewakilan dari EP-POM terlebih dahulu. Kemudian dari Bandara Juanda, kami menggunakan mobil rental bermerk Toyota Innova menuju Situbondo pada siang hari. Sampai di perbatasan antara Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo sudah menjelang malam, kami berempat pun berhenti untuk makan malam.
Lokasi makan malamnya dipilihkan oleh salah seorang di antara kami, di Rumah Makan Rawon Nguling. Rumah makan ini terletak di Jalan Raya Tambakrejo No. 75 Desa Tambakrejo, Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi rumah makan ini berada di perbatasan antara Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo, atau tepatnya berada di timur gapura batas kabupaten.


Awalnya, rumah makan ini bermula dari warung makan sederhana, yang dirintis oleh Karyodirejo dan istrinya, Marni, pada 12 Desember 1942. Warung makan tersebut dulu diberi nama “Lumayan.” Warung makan ini menyajikan berbagai masakan ala kampung khas Jawa Timur, di antaranya lodeh, soto, rawon, dan sebagainya.
Kebetulan rawon yang dimasak oleh Karyodirejo terasa pas dilidah setiap yang mengunjungi warungnya. Lama-kelamaan, rawon buatan Karyoredjo ini semakin dikenal. Berawal dari mulut ke mulut, kelezatan rawon tersebut akhirnya mencapai lintas luar batas daerahnya. Pengunjung pun kian hari kian bertambah ramai.
Akhirnya, warung makan Lumayan tersebut berkembang pesat, dan sekarang memiliki bangunan yang besar serta megah. Nama warungnya pun berganti menjadi Rumah Makan Rawon Nguling. Hal ini didasarkan pada menu unggulan dari rumah makan ini yaitu rawon. Rawon adalah makanan berbahan dasar daging dengan kuah berwarna hitam. Menghidangkannya, dicampur nasi dan irisan daging sapi dengan sambel terasi dan tauge pendek sebagai perlengkapannya. Kehitaman rawon ini diperoleh dari bumbu utamanya, yaitu kluwek. Bumbu kuahnya sangat khas Indonesia, yaitu campuran bawang merah, bawang putih, lengkuas, ketumbar, serai, kunyit, cabe, kluwek, garam dan minyak nabati. Semua bahan ini dihaluskan, lalu ditumis sampai harum. Campuran bumbu ini kemudian dimasukkan dalam kaldu rebusan daging bersama-sama dengan daging.


Resep Rawon Nguling hasil racikan Karyodirejo bersama istrinya ini, telah diwariskan tiga generasi. Kekhasan rawonnya ini adalah irisan dagingnya lebih besar dibandingkan dengan ukuran irisan rawon di tempat lain. Namun, tetap terasa empuk. Selain itu, cita rasa Rawon Nguling terasa enak karena takaran bumbu dan cara mengolah bahan-bahannya terasa pas. Karyodirejo bersama istrinya, telah berhasil memformulasikan 14 bahan bumbunya, termasuk aneka jenis rimpang, secara tepat. Sehingga, menghasilkan kuah rawon yang lebih kental tetapi tetap segar. Rawon Nguling memang rawon dengan rasa yang luar biasa dengan berbagai pilihan, antara lain raon iga sapi, rawon buntut, rawon paru, rawon lidah, rawon limpa, dan sebagainya.
Saking legendarisnya rasa Rawon Nguling ini, maka tak heran bila tercatat Basuki Abdullah dan Maestro Affandi pernah bersantap di sini. Kemudian Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah mencicipi rawon di rumah makan ini. Foto-foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah makan di tempat ini, sekarang menjadi pajangan utama yang ada di tembok rumah makan ini. Prestasi yang diraih oleh Rumah Makan Rawon Nguling ini mampu mewaralabakan menunya ke beberapa daerah, yaitu antara lain Jakarta, Tangerang, Surabaya, Malang, dan Pasuruan.
Di rumah makan ini, selain menu utama rawon juga menyediakan menu spesial lainnya, seperti ayam penyet komplit, buntut penyet, iga penyet, empal, gule kambing, nasi lodeh, nasi sop, nasik kare ayam kampung, nasi semur daging, nasi sayur asem, tahu tek-tek Surabaya, perkedel, telor asin hingga kerupuk udang.
Setelah selesai makam malam sambil beristirahat sejenak, perjalanan pun dilanjutkan ke Situbondo. Dari perjalanan ini, bersyukurlah saya yang diajak bersantap malam di sini. Hilang laparnya, dapat sejarahnya! *** [100815]
Share:

Mengenal Masyarakat Tengger di Sukapura

Pada tanggal 12 dan 13 Agustus 2015 sebelum peringatan 70 tahun Indonesia Merdeka, penulis berkesempatan mengikuti Pilot Test yang diselenggarakan oleh Regional Economic Development Institute (REDI) bekerjasama dengan EP-Performance Oversight and Monitoring Jakarta dalam Field Survey EOPO 1 Endline Evaluation.
Kesempatan ini menyenangkan sekali bagi penulis karena selain melaksanakan tugas di tempat yang begitu dingin udaranya, juga bisa menyalurkan naluri sosiologisnya untuk mengenal lebih dekat dengan masyarakat setempat di sekitar lokasi pilot test tersebut maupun base camp. Base camp kebetulan berada tidak jauh dengan Kantor Kecamatan maupun Polsek Sukapura, atau tepatnya adalah Hotel Sukapura Permai yang terletak di Jalan Raya Bromo No. 135 Sukapura, Probolinggo. Hotel ini berjarak 18 kilometer ke Gunung Bromo namun memerlukan sedikitnya waktu 40 menit mengingat jalannya terus menanjak dan berkelok-kelok.
Biasanya penulis mengawali keingintahuan mengenal lebih dekat dengan masyarakat di sana, bermula dari pertanyaan etimologi dan epistemologi yang menjadi predikat masyarakat itu sendiri dan terus mengalir dengan sendirinya. Tentunya, proses ini hanya bisa dijalankan ketika penulis telah melakukan tugas wajibnya. Pada saat mencari makan siang atau malam, penulis bisa melempar pertanyaan di warung makan, hotel tempat menginap maupun di tempat lain saat penulis bersantai. Dari informasi yang didapat itulah, penulis bisa melakukan triangulasi dengan penelitian yang lain atau melalui kepustakaan yang ada.




Letak Geografis Sukapura
Kecamatan Sukapura merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Probolinggo yang terletak sekitar 35 kilometer ke arah barat daya dari kantor pemerintahan Kabupaten Probolinggo. Luas wilayah Sukapura mencapai 10.208,53 hektar atau 102,08 kilometer persegi. Di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Lumbang, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kuripan dan Kecamatan Sumber, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lumajang, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan.
Dilihat dari topografinya, Kecamatan Sukapura berada di lereng Pegunungan Tengger yang terkenal dengan Gunung Bromonya, dengan ketinggian 600-1.850 meter dari permukaan air laut. Sehingga, semua desa di Kecamatan Sukapura berada pada desa lereng/punggung bukit, dan suhu udara dingin. Tanahnya banyak mengandung mineral yang berasal dari letusan gunung berapi yang berupa pasir batu, lumpur bercampur tanah liat yang berwarna kelabu. Sifat tanah semacam ini memiliki tingkat kesuburan yang baik sehingga sangat cocok untuk menanam sayur-sayuran, seperti kentang, kol, wortel, sawi, tomat, dan sebagainya.
Dari 12 desa yang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Sukapura, penulis berkesempatan berkeliling ke Desa Sukapura, Desa Sariwani, dan Desa Ngadisari, yang cukup untuk mengenal masyararakat Tengger secara umum di Sukapura. Karena Kecamatan Sukapura ini merupakan bagian dari wilayah adat suku Tengger bagian timur (Sabrang Wetan), terutama terasa kental di Desa Ngadisari yang berhadapan langsung dengan Gunung Bromo. Sedangkan, wilayah Sabrang Kulon diwakili oleh Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan.
Dalam skala yang lebih luas, sesungguhnya daerah Tengger tidak hanya melingkupi wilayah Sabrang Kulon dan Sabrang Wetan saja melainkan luas daerah Tengger kurang lebih 40 kilometer dari utara ke selatan, 20-30 kilometer dari timur ke barat, di atas ketinggian 1.000 – 3.675 meter. Luas tersebut meliputi empat kabupaten, yaitu: Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang. Tiper permukaan tanahnya bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera Tengger, atau masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah Segoro Wedhi, adalah lautan pasir yang sangat luas yang berada pada ketinggian 2.300 meter dengan panjang 5-10 kilometer. Kawah Gunung Bromo dengan ketinggian 2.392 meter, dan masih aktif. Di sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3.676 meter.




Asal Mula Orang Tengger
Nama Tengger, berdasarkan salah satu legenda masyarakat, berasal dari paduan suku kata terakhir dari nama dua nenek moyang mereka, Rara Anteng dan Jaka Seger (teng dan ger). Rara Anteng dipercaya sebagai putri Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit, sementara Jaka Seger diyakini sebagai putra seorang brahmana yang bertapa di dataran tinggi Tengger (Legendanya bisa dibaca di sini).
Sehingga, masyarakat Tengger pada umumnya meyakini nenek moyang orang Tengger adalah keturunan Majapahit. Pada waktu itu, Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Kemuduran ini disebabkan dari dalam kerajaan sendiri maupun dari luar kerajaan. Bersamaan itu pula, penyebaran agama Islam di Jawa sedang dilakukan oleh para sunan yang berafiliasi dengan Kerajaan Demak.
Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Demak pada saat itu mengalami ketidakharmonisan. Ketidakharmonisan tersebut menyebabkan penduduk Majapahit memilih untuk melarikan diri ke daerah Bali dan ke pedalaman sekitar Gunung Bromo dan Gunung Semeru. Yang melarikan diri ke Bali, akhirnya melahirkan kebudayaan Bali. Begitu pula, yang memilih tinggal di pedalaman sekitar Gunung Bromo dan Gunung Semeru pada akhirnya juga menurunkan orang-orang Tengger yang kita kenal, dan sekaligus membentuk kebudayaannya sendiri yang seolah-olah memisahkan diri dari kebudayaan Majapahit yang sangat India-sentris.
Mayoritas masyarakat Tengger memeluk agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut berbeda dengan Hindu Dharma di Bali maupun Hindu-Siwa di Majapahit. Hindu yang berkembang di masyarakat Tengger lebih ke Hindu Mahayana yang telah bercampur dengan adat istiadat setempat. Masyarakat Tengger tidak mengenal kasta, dan masih roh leluhur yang bersemayam di Gunung Bromo sehingga mereka lebih suka memuja Roh Gunung atau persembahan kepada Sang Hyang Gunung Brahma. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo.
Perayaan Kasodo adalah hari raya kurban orang Tengger yang diselenggarakan pada tanggal 14,15, atau 16 bulan Kasodo, yakni pada saat bulan purnama sedang menampakkan wajahnya di lazuardi biru. Hari raya kurban ini merupakan pelaksanaan pesan leluhur orang Tengger yang bernama Raden Kusuma alias Kyai Kusuma alias Dewa Kusuma, putra sulung Rara Anteng dan Jaka Seger, yang telah merelakan dirinya menjadi kurban untuk melindungi orang Tengger dari bencana alam dahsyat.
Gunung Bromo yang dianggap sebagai tempat suci orang Tengger digunakan sebagai persembahan hewan ternak dan hasil bumi pada perayaan Kasodo. Upacara dimulai di Pura Luhur Poten Gunung Bromo, sebuha pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo, dan dilanjutkan ke puncak Gunung Bromo. Persembahan-persembahan tersebut nantinya akan dilemparkan ke kawah Gunung Bromo.


Kearifan Lokal Orang Tengger
Bentuk-bentuk kerarifan lokal dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Pola kehidupan sosial budaya masyarakat Tengger di Sukapura kental akan nilai budaya, religi dan adat-istiadat setempat yang merupakan bentuk nilai-nilai kearifan lokal, di antaranya adalah tata nilai yang dikembangkan oleh masyarakat Tengger dalam mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta benar atau salah.
Masyarakat Tengger di Sukapura memiliki ketentuan adat berupa aturan-aturan adat dan hukum adat yang berfungsi sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat untuk mencegah timbulnya ketegangan sosial yang terjadi dalam masyarakat, seperti tidak boleh menyakiti atau membunuh binatang kecuali untuk korban atau dimakan, tidak boleh mencuri, tidak boleh melakukan perbuatan jahat, tidak boleh berdusta, dan tidak boleh minum-minuman yang memabukkan.
Sejak zaman Majapahit, dataran tinggi Tengger dikenal sebagai daeraht titileman, yaitu suatu daerah terbebas dari membayar pajak. Mereka telah lama mendiami kawasan Tengger dalam damai dan bahagia. Thomas Stamford Raffles, yang menjadi Letnan Gubernur Jawa ketika Kerajaan Inggris mengambil alih jajahan-jajahan Kerajaan Belanda, pada 11 September 1815 melaporkan perjalanannya ke beberapa distrik di Jawa bagian timur lewat pidato di depan Masyarakat Seni dan Sains Batavia (Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen). Saat berkunjung ke kawasan Tengger, ia dapati masyarakat Tengger hidup dalam damai, tertib, teratur, rajin bekerja, jujur, dan selalu riang-gembira.
Selanjutnya, dalam The History of Java ia menulis, mereka tidak mengenal candu dan judi. Ketika ia tanyakan tentang pencurian, perselingkuhan, perzinahan, atau berbagai kejahatan lainnya, mereka para orang gunung itu menjawab, hal-hal buruk itu tidak ada di Tengger.
Ayu Sutarto, seorang budayawan dan peneliti tradisi dari Universitas Jember yang juga menjabat wakil ketua Masyarakat Peduli Bromo melalui makala yang disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya 2006 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal 7-10 Agustus 2006 silam menyatakan, kejujuran dan ketulusan orang Tengger masih dapat dilihat sampai hari ini. Angka kejahatan di desa-desa Tengger pada umumnya hampir selalu nol. Suasana damai, tenteram, aman, dan penuh toleransi yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger dapat dijadikan acuan dalam periode formatif Indonesia modern. Tengger adalah sebuah pusaka saujana (cultural landscape) yang apabila dibina dan dikelola dengan benar, eksistensinya akan memberi sumbangan yang lebih berarti bukan hanya bagi dirinya, melainkan juga bagi Indonesia. *** [130815]

Kepustakaan:
Ayu Sutarto, 2006. Sekilas tentang Masyarakat Tengger, dalam Makalah yang disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya 2006
__________ , 2013. Hikayat Wong Tengger: Kisah Peminggiran dan Dominasi, Pentingnya Meningkatan Keberdayaan Masyarakat Tengger untuk Melestarikan Kawasan Konservasi Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, __________
http://probolinggokab.bps.go.id/data/publikasi/publikasi_79/publikasi/files/search/searchtext.xml
Share:

Stasiun Kereta Api Probolinggo

Stasiun Kereta Api Probolinggo (PB) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Probolinggo, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 9 Jember yang berada pada ketinggian + 5 m di atas permukaan laut, dan merupakan stasiun kelas I.
Stasiun ini terletak di Jalan K.H. Mas Mansyur No. 26, Kelurahan Mayangan, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah utara atau depan Alun-Alun Probolinggo.


Bangunan Stasiun Probolinggo ini merupakan bangunan peninggalan masa Hindia Belanda. Pembangunan stasiun ini diperkirakan bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api dari Pasuruan-Probolinggo-Klakah yang dikerjakan oleh perusahaan kereta api milik pemerintah di Hindia Belanda, Staatsspoorwegen, dari tahun 1884 hingga tahun 1895. Jalur tersebut merupakan bagian dari proyek jalur kereta api di Jawa untuk line menuju bagian timur (oosterlijnen) sepanjang 74 kilometer. Pengerjaannya dimulai dari Pasuruan menuju Probolinggo dan selesai pada tahun 1884, selang sepuluh tahun barulah dilanjutkan pengerjaannya dari Probolinggo menuju Klakah.



Dulu, di sebelah timur Stasiun Probolinggo terdapat stasiun kecil, yaitu Stasiun Jati, dan diteruskan ke Kraksaan. Jalur ini dikerjakan pada tahun 1897. Kemudian dari Kraksaan bercabang ke Stasiun Kalibuntu dan ke Stasiun Paiton melewati Jabung yang selesai dikerjakan pada tahun 1898. Untuk jalur dari Probolinggo-Jati-Gending-Kraksaan yang diteruskan ke Kalibuntu maupun ke Paiton dikerjakan oleh Probolinggo Stroomtram Maatschappij (PbSM). Tapi jalur tersebut sekarang ini sudah tidak aktif lagi.


Peletakan Stasiun Probolinggo adalah salah satu contoh terintegrasinya peletakan stasiun dengan tata ruang kotanya serasa keseluruhan. Sumbu utama kota adalah Jalan Suroyo, yang pada masa Hindia Belanda dikenal dengan Hereenstraat. Hereenstraat ini dulu menjadi jalan arteri utama Kota Probolinggo, yang membentang dari utara ke selatan. Bangunan stasiun terletak di akhir jalan sebelah utara dari sumbu kota tersebut. Sehingga kesan monumental bangunan stasiun sebagai “focal point” dari daerah tersebut sangat kuat sekali. Seperti halnya dengan semua kota pelabuhan maka Stasiun Probolinggo tersebut juga berhubungan langsung dengan pelabuhan. Letak pelabuhan yang ada di belakang stasiun tersebut justeru tidak mengganggu kehadiran bangunannya yang menghadap ke arah kota. Stasiun kota di Probolinggo benar-benar terlihat sebagai bangunan yang seolah-olah memancarkan pesannya ke seluruh penjuru kota.
Stasiun ini memiliki 6 jalur. Dari 6 jalur tersebut, kini yang digunakan tinggal 4 jalur di mana jalur 1 dan 2 sebagai sepur lurus, dan sisanya sebagai persilangan. Stasiun Probolinggo ini tergolong sebagai stasiun besar, sehingga banyak aktivitas dalam menaikkan maupun menurunkan penumpang di stasiun ini.  *** [090814]

Fotografer: Renam Putra Arifianto & Budiarto Eko Kusumo

Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami