The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Maluku Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Maluku Heritage. Tampilkan semua postingan

Masjid Jami’ Ambon

Sepulang dari Museum Siwalima, angkot yang saya tumpangi melintas di depan sebuah masjid yang didominasi warna hijau muda. Spontan saja, saya minta diturunkan di masjid tersebut. Sesuai dengan tulisan Arab yang berada pada gevel pintu masuk utama masjid tersebut, diketahui bahwa masjid tersebut bernama Masjid Jami’ Ambon. Masjid Jami’ ini terletak di Jalan Sultan Baabullah, Kelurahan Honipopu, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Provinsi Maluku. Lokasi masjid ini berdampingan dengan Masjid Raya Al Fatah, dan berada di pinggir Sungai Wai Batu Gajah.
Abdul Baqir Zein dalam bukunya, Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia (Gema Insani Press, Jakarta, 1999) menulis, Masjid Jami’ Ambon didirikan pada tahun 1860 di atas tanah wakaf yang diberikan oleh seorang janda bernama Kharie. Pada awal didirikan, arsitektur bangunan masjid ini masihlah sangat sederhana. Menggunakan konstruksi bertiang kayu dan berdinding papan serta menggunakan rumbia sebagai atapnya. Ukurannya pun pada waktu itu tidaklah sebesar ini. Atapnya masih berbentuk seperti piramida teriris.
Kedudukan Pulau Ambon yang menjadi persinggahan pertama bagi kapal-kapal dagang untuk melanjutkan perjalanan ke Maluku Utara pada masa silam dari jalur selatan, menyebabkan hilir mudik orang dari luar Ambon yang semakin banyak, termasuk di daerah tempat lokasi Masjid ami’ Ambon yang tak begitu jauh dengan Pelabuhan Ambon. Di antara mereka, kemudian banyak yang bermukim sementara di kala transit maupun akhirnya menetap secara permanen di sekitar Pelabuhan Ambon. Kondisi yang demikian, menyebabkan daya tampung masjid tersebut tidak mampu lagi menampung jamaah karena agama Islam semakin bertambah di Ambon karena banyak di antara pedagang yang singgah adalah seorang pedagang Islam. Tak menutup kemungkinan para pedagang Islam tersebut selain melakukan kewajibannya sebagai individu muslim.


Pada 1898 dibangunlah sebuah masjid baru di atas lokasi masjid lama. Bangunannya sudah semi permanen dan lebih luas dari bangunan sebelumnya. Atapnya berbentuk tumpang satu dengan atap seng. Masjid tersebut juga sudah memiliki serambi depan, dengan bentuk limasan yang menyatu dengan bangunan utama masjid tersebut.
Pada 1933, kota Ambon dilanda banjir akibat meluapnya Sungai Wai Batu Gajah. Sedemikian dahsyatnya banjir tersebut sehingga menghayutkan rumah-rumah penduduk  di kiri dan kanan sungai tersebut. Termasuk masjid yang berbentuk semi permanen ini, ikut hancur pula diterjang banjir bandang.
Pada 1936, warga yang berdomisili di sekitar masjid tersebut melakukan musyawarah untuk membangun masjid itu sebagai sarana ibadah yang sering digunakan sebelumnya. Maka dilakukan renovasi dengan mendirikan bangunan yang lebih besar dan permanen. Pendanaannya berasal dari  swadaya murni masyarakat muslim Ambon, dan baru dapat dirampungkan pada 1940.
Pada 1942, menjelang berakhirnya pemeritahan Kolonial Belanda di Maluku, serdadu Kompeni bersiap menghadapi kedatangan tentara Jepang yang akan merebut posisi mereka di Nusantara dengan cara membuka keran yang berada di sebelah hulu Sungai Wai Batu Gajah sehingga permukaan sungai digenangi oleh minyak yang terbakar.
Akibatnya, masjid itu pun turut terbakar. Namun, umat Islam di Ambon segera membangun kembali masjid yang terbakar itu, untuk menunjukkan pada Belanda ketegaran tekad umat Islam dalam mempertahankan masjid tersebut.
Pada 1944, ketika tentara Sekutu memborbardir Kota Ambon untuk mengusir tentara Jepang, mengakibatkan kota itu hancur. Namun Masjid Jami’ Ambon ini tetap utuh dan selamat.
Pada 1950, ketika pecah pemberontakan kaum separatis RMS (Republik Maluku Selatan), mereka berusaha memasuki masjid ini dan menangkap empat orang yang berada di dalamnya, termasuk seorang khatib masjid.
Pada 1960, Penguasa Perang Daerah Maluku menghibahkan lahan tanah yang letaknya bersebelahan dengan Masjid Jami’ Ambon. Hibah tanah ini untuk mengantisipasi membludaknya jamaah yang melakukan shalat Jumat, Id, dan shalat Lima Waktu di Masjid Jami’ Ambon. Karena memang pengurus masjid sudah berencana untuk memperluas bangunan masjid.
Pada 2004, Masjid Jami Ambon direnovasi terutama penggantian lantai masjid, atap, menara dan juga  kubah masjid tanpa merubah bentuk asli dalamnya. Kemudian pada tahun 2011, tanah hibah yang berada di sebelahnya dibangun masjid baru yang besar dan luas untuk mengantisipasi semakin banyaknya jamaah masjid terutama pada hari Jumat maupun hari besar Islam lainnya. Masjid baru tersebut diberi nama Masjid Raya Al Fatah.
Oranga dari luar Ambon yang menyaksikan dua masjid berkubah tersebut bersebelah tentu akan bertanya-tanya kenapa hal ini bisa terjadi. Ada yang memperkirakan terjadinya persaingan antara umat Islam di Ambon sehingga harus membuat dua masjid “kembar”, namun bagi tahu, hal tersebut tidaklah menjadi masalah. Karena demi menyelamatkan sejarah masjid yang melekat erat di sanubarai umat Islam Ambon, dan untuk memenuhi sebuah bangunan masjid yang lebih besar dan luas guna menampung jamaah Masjid Jami Ambon maka dibangunlah Masjid Raya Al Fatah. Kendati demikian, meski sudah berdiri Masjid Raya Al Fatah, masjid yang lama pun, yaitu Masjid Jami’ Ambon, masih tetap digunakan untuk melakukan shalat lima waktu dalam kesehariannya. *** [021015]

Share:

Museum Siwalima

Museum Siwalima merupakan Museum Negeri Provinsi Maluku, yang digunakan sebagai suatu tempat yang sangat penting dan strategis dalam memperkenalkan kebudayaan Maluku kepada masyarakat agar memahami dinamika dan keanekaragaman budaya yang sangat diperlukan oleh masyarakat Maluku yang bersifat multi etnis. Museum ini terletak di Jalan Dr. Malaihollo Taman Makmur, Desa Amahusu, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Provinsi Maluku. Lokasi museum ini berada di sebelah barat Pengadilan Tinggi Ambon, dan menghadap ke Teluk Ambon.
Pilihan kata “Siwalima” sebagai nama museum oleh para pendirinya dilandasi beberapa pemikiran yang haikiki. Yaiu bahwa Siwalima adalah identik dengan falsafah hidup yang menjiwai seluruh aspirasi dan kehidupan sosial budaya masyarakat Maluku. Secara harfiah, kata Siwalima terbentuk oleh dua kata, yaitu “Siwa” dan “Lima”. Siwa berarti sembilan (9), sedangkan Lima artinya “lima” (5). Kedua terminologi ini menunjukkan kepada pemisahan atau pembagian masyarakat atas 2 kelompok sosial, yaitu kelompok Sembilan dan kelompok Lima. Di Maluku Tengah, kedua kelompok ini dikenal dengan istilah “uli siwa” dan “uli lima” atau “patasiwa” dan “pata lima” sedangkan di Maluku Tenggara disebut “ur siu (a) dan ur lim (a)”.
Beberapa aspek budaya lainnya, khususnya yang berkaitan dengan numerasi tadi, dapat dipakai sebagai indikator untuk membedakan antara siwa dan lima misalnya, jumlah harta kawin, arsitektur perumahan, teknik ikat, peletakan batu pamali di baileo, upacara inisiasi (daur hidup) pola tato, dan lain-lain. Sebaliknya berbagai aspek lainnya juga turut membenarkan akan adanya kesatuan atau pertalian antara keduanya, antara lain: bahasa, prosedur adat, mitologi asal usul, sistem kepercayaan dan lain-lain. Tentang proses terjadinya pemisahan ini ada berbagai pendapat dan argumentasi, dan ahli yang mendasari teorinya pada mitos, sejarah pesebaran penduduk, sistem mata pencaharian, bahasa, dan lain-lain.


Namun yang penting adalah bahwa adat sampai hari ini masih tetap ditaati dengan penuh kepatuhan berdasarkan peraturan-peraturan siwa maupun lima. Penguraian tentang adanya pemisahan antara siwa dan lima ini, sama seklai janganlah diartikan bahwa tidak adanya kerja sama antara keduanya. Dalam hal-hal tertentu siwa dan lima lebur menjadi satu sehingga muncullah istilah “Siwalima’ sebagai suatu totalitas. Istilah ini menunjuk kepada satu milik bersama di mana, tentunya, pemanfaatan milik bersama itu adalah kepentingan bersama pula. Kata siwalima dalam pengertian yang lebih populer dewasa ini berarti “semua orang punya” (milik semua orang).
Cikal bakal pendirian museum di Ambon ini diawali beberapa peristiwa yang turut berperan dalam usaha pembentukan museum ini. Yang pertama adalah pameran tentang kepercayaan tradisional yang dilaksanakan oleh Gereja Protestan Maluku, dan yang kedua adalah ditemukannya sejumlah besar patung-patung leluhur oleh beberapa orang sarjana dari Eropa. Maka pada 28 Oktober 1973, berlokasi sementara di Karang Panjang, Ambon, sebuah museum diresmikan untuk Provinsi Maluku. Museum itu diberi nama Museum Siwalima.
Lokasi museum di Karang Panjang hanyalah lokasi sementara. Olehnya itu bekas gedung-gedung milik Yayasan Maluku Irian Barat Makmur di Taman Makmur direnovasi untuk dijadikan museum. Terakhir gedung tersebut digunakan oleh Universitas Pattimura sebagai lingkungan kampus, sebelum menempati gedung kampus yang sekarang ini.
Setelah itu, gedung-gedung di Taman Makmur tersebut direnovasi untuk digunakan menjadi Museum Negeri Provinsi Maluku. Pada 26 Maret 1978, gedung tersebut diresmikan oleh Prof. Ida Bagus Mantra, Dirjen Kebudayaan RI sebagai Museum Negeri Provinsi Maluku Siwalima, atau biasa disebut dengan Museum Siwalima. Kemudian beberapa gedung lainnya juga dibangun, seperti gedung untuk kepentingan administrasi, gedung pameran temporer, gudang, perpustakaan, ruang studi koleksi, bengkel kerja, dan lain-lain.


Museum Siwalima ini pada dasarnya memiliki dua bangunan utama yang digunakan sebagai tempat untuk memajang koleksi yang dimiliki oleh museum tersebut. Bangunan pertama diperuntukkan untuk memamerkan koleksi yang berkenaan dengan dunia kebaharian di Maluku. Sehingga, bangunan pertama ini acapkali disebut sebagai Museum Kelautan, karena di dalam museum ini berisi informasi sejarah kelautan Ambon, benda-benda dan binatang-bintang laut serta benda-benda yang berkaitan dengan kehidupan laut. Di areal ini terdapat 3 buah kerangka ikan paus berukuran 9 meter, 17 meter, dan 19 meter. Kerangka ikan paus yang berukuran 19 meter, ditemukan terdampar di Pantai Ambon pada 1987.
Sedangkan, bangunan kedua digunakan untuk menyimpan segala benda yang berkaitan dengan kebudayaan orang Maluku. Bangunan kedua ini sering dianggap sebagai Museum Etnografi. Di sini banyak disimpan koleksi yang berkenaan dengan manusia, alam dan kebudayaan. Koleksi yang dipamerkan dalam bangunan kedua yang berada di atas, menyajikan religi dan kesenian, pemukiman dan daur hidup, gerabah dan keramik asing, masa kolonial dan perjuangan di Maluku serta numismatika dan heraldika.
Museum yang didirikan di atas lahan perbukitan seluas 3,6 hektar ini, memiliki 5.126 koleksi yang dipajang dalam 2 bangunan museum tersebut. Namun, sebenarnya bila sedikit jeli, Museum Siwalima ini masih memiliki koleksi yang patut juga dipamerkan di lingkungan kompleks museum tersebut. Pohon-pohon besar dan sudah berumur tua tersebut bisa dilabeli dengan penamaan maupun sedikit ceritera pohon tersebut dalam konteks lokalitas Maluku, akan menambah khasanah dalam museum itu sendiri. Hal ini juga bisa selaras dengan apa yang pernah digagas oleh Georgrus Everrhardus Rumphius dalam Kruiboek Raritteikamer Ambonsche Historie Landbeschryving Land-Lucht-En. Zeegedierte 1627-1702, sebuah buku botani Maluku yang mendunia. *** [021015]

Share:

Masjid Ar-Rahman Soahuku

Mendekati Pelabuhan Amahai, kapal cepat Cantika Toperdo yang saya tumpangi dari Pelabuhan Tuhelu di Pulau Ambon, mulai memelankan lajunya. Perlahan tapi pasti, kapal pun merapat di salah satu dermaga yang ada di Pelabuhan Amahai, Pulau Seram. Begitu turun dari kapal, saya langsung dijemput oleh teman yang sedang bertugas di Amahai. Basecampnya kebetulan berada beberapa meter dari pintu Pelabuhan Amahai. Sesampainya di basecamp, terdengarlah bunyi adzan dari masjid yang letaknya tidak begitu jauh dari basecamp. Saya menyempatkan diri untuk melakukan shalat di masjid di sekitar basecamp.
Usai shalat maghrib, saya sempat beberapa saat berkeliling masjid yang berada di bibir pantai tersebut. Namun, baru sebatas melihat-lihat bangunan masjid tersebut. Dalam benak, memang saya ingin menanyakan perihal keberadaan masjid tersebut akan tetapi di pending untuk besok hari. Saya harus melakukan briefing dengan teman-teman di basecamp terlebih dahulu.


Esok harinya dengan diantar oleh Supervisor Tim I untuk melakukan kunjungan ke SMPN 7 Amahai. Sekitar satu jam melakukan obrolan dengan Kepala Sekolah sembari keliling ke ruangan yang terdapat di sekolah tersebut, saya dan Supervisor pun kembali menuju basecamp. Dalam perjalanan pulang inilah, saya teringat untuk mengunjungi masjid itu lagi. Masjid tersebut bernama Masjid Ar-Rahman. Masjid Ar-Rahman terletak di Jalan Samalili, Lingkungan Namalo II RT. 12 RW. 05 Desa Soahuku, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Lokasi masjid ini berada di sebelah timur gapura Pelabuhan Amahai.
Menurut salah seorang guru SMPN 7 Amahai, Rudi, yang kebetulan rumahnya berada di sebelah barat masjid mengatakan bahwa masjid tersebut telah berusia ratusan tahun lebih. Diperkirakan masjid tersebut dibangun pada tahun 1620 seiring adanya penyebaran Islam di daerah tersebut. Pak Rudi, sebutan sang guru tadi, memperlihatkan foto lama bangunan masjid tersebut yang beratap tumpang satu dengan menggunakan daun rumbia sebagai gentengnya. Sedangkan, konstruksinya masih berdinding kayu dan memiliki empat tiang penyangga utama (soko guru).
“Dulu bangunan masjid ini porak poranda akibat hantaman tsunami besar yang melanda Amahai pada tahun 1899,” katanya
Koran Australia, The Brisbane Courier, menulis peristiwa itu edisi 1 Desember 1899 dengan judul “Banyak Korban Tewas, Gempa Mematikan di Hindia Timur.”
“Telegram dari Makassar bertanggal 12 Oktober (1899) menyebutkan, pantai selatan Pulau Seram diterjang ombak tinggi (tsunami) dan gempa bumi. Sebanyak 4.000 orang tewas atau hilang, 500 luka. Amahai hancur total”.


Gempa ini menimbulkan kerusakan yang cukup besar. Terjadi pada 30 September 1899 dengan pusat gempa di pesisir selatan Pulau Seram. Menurut laporan dan kajian seorang  ahli geologi Belanda, Rogier Diederik Marius Verbeek, yang pada saat kejadia berada di Pulau Seram, bahwa ada pergeseran permukaan tanah yang cukup panjang di banyak tempat di Pulau Seram ketika terjadi gempa tersebut. Gempa ini juga berakibat daerah Elpaputih seluas panjang 260 meter dan lebar 100-150 meter tenggelam. Setelah air surut, daratan di Elpaputih menghilang.
Tsunami dahsyat yang melanda Pulau Seram acapkali disebut dengan istilah ‘Bahaya Seram’. Bahaya Seram tak hanya menewaskan Raja Amahai, W Hallatu, tapi juga meluluhlantakan infrastruktur yang terdapat di Amahai serta meninggalkan trauma bagi masyarakat tersisa dari ganasnya peristiwa tsunami pada waktu itu. Pada wilayah yang terkena paling parah (heavily damaged zone) seperti Amahai, masyarakat banyak yang mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Kondisi tersebut melemahkan kesehatan mental. Sehingga, untuk membangun kembali masjid akhirnya memerlukan waktu yang cukup lama. Letak masjid yang berada di tepi pantai meninggalkan ‘kenangan yang mengerikan’ pada waktu itu.
Puluhan tahun lamanya, bangunan masjid yang menyisakan tiang penyangga utamanya dibiarkan begitu saja. Kemudian, setelah masyarakatnya mulai bergeliat lagi, masjid tersebut diusahakan untuk berdiri lagi meski masihlah sederhana. Yang penting bisa digunakan dulu untuk berjamaah.
Pada 17 Agustus 1968, masjid ini dipugar menjadi bangunan yang permanen. Atapnya menggunakan kayu besi (sirap), dan dindingnya menggunakan tembok yang terbuat dari bata yang diplester serta lantai memakai semen.
Kemudian pada tahun 2005, masjid ini kembali mengalami renovasi. Renovasi ini dilakukan oleh Kodim 1502 melalui karya bhakti TNI. Dalam renovasi tersebut, atap masjid diubah menjadi bentuk kubah yang berwarna kuning, atapnya diganti genteng, dan lantainya terbuat dari keramik. Konon, di soko guru utamanya seringkali mengeluarkan air di bagian pondasinya. Air ini kerap diyakini memiliki khasiat bagi penggunanya. Melihat gelagat seperti itu, akhirnya pada bagian bawah soko guru tersebut dilapisi keramik setinggi kurang lebih satu meter agar supaya tidak mengeluarkan air lagi.
Bila ditarik sejarahnya, keberadaan Masjid Ar-Rahman tidak terlepas dari Sunan Giri. Pesantren Giri dulu terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, yang memiliki pengaruh sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Bahkan Sultan Zainl Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di Gresik. Setelah selesai, sultan mulai menyebarkan Islam di tanah Maluku dengan dibantu para santri yang dikirim oleh Sunan Giri. Diperkirakan dari Ternate inilah, Islam mulai menyebar ke Maluku bagian selatan. Adalah Syech Abdul Kalembi yang pertama kali diyakini membawa agama Islam masuk ke Soahuku pada abad 16. Yang menerima agama Islam adalah keluarga Latarissa.
Kini, masjid tersebut masih berdiri kokoh sebagai bukti peninggalan akan adanya penyebaran Islam di daerah Amahai. Masjid tersebut didominasi warna putih yang dipadukan dengan pelisir biru muda pada bagian tepian kayunya. Pintu dan jendela menggunakan kayu dengan warna kuning dipelisir dengan biru muda juga. Bila dilihat dari laut, sungguh artistiknya bangunan masjid ini. *** [011015]

Kepustakaan:
www.indonesiamedia.com/memahami-gempa-dan-tsunami-maluku-2/
http://ekspedisi.kompas.com/cincinapi/index.php/cincinapiMobile/detail/articles/2012/08/02/23411714/Bahaya.Seram.di.Pulau.Serami
Share:

Gereja Imanuel Jemaat Amahai

Maluku sebagai daerah yang pernah menjadi tempat bercokolnya Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang kemudian dilanjutkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dalam rangka ekspansi terhadap jalur perdagangan rempah-rempah dunia, hampir seluruh wilayah Maluku menyimpan situs bangunan peninggalan sejarah kolonial Belanda, seperti benteng, gereja maupun bekas permukiman warga Belanda.
Tak terkecuali dengan daerah Amahai, masih berdiri kokoh sebuah gereja yang digunakan sebagai tempat peribadatan jemaat Kristiani yang berada di tepi jalan antara Amahai menuju Masohi, ibu kota Kabupaten Maluku Tengah. Gereja tersebut bernama Gereja Imanuel Jemaat Amahai. Gereja ini terletak di Jalan Christina Martha Tiahahu, Desa Amahai, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Lokasi gereja ini berada samping Kantor Badan Saniri Negeri dan Lembaga Adat Negeri Amahai atau sebelah timur SDN 1 Amahai.
Cikal bakal bangunan gereja ini sudah ada sejak tahun 1890. Dulu, konstruksi bangunan gerejanya masih menggunakan kayu besi yang pada waktu itu masih banyak dijumpai di daerah tersebut. Namun, ketika terjadi tsunami pada 1 Desember 1899, bangunan gereja tersebut hancur.


Pada tahun 1924, gereja ini dibangun kembali oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dikenal dengan nama De Protestantse Kerk te Amahai, atau biasa disebut juga dengan Indische Kerk. Chr. G.F. de Jong dalam sebuah artikel Voorlopig overzicht van Nederlands kerkelijk ergoed in Indonesië uit de periode 1815-1942 yang diunggah di dalam situsnya, menyebutkan bahwa gereja ini tergolong sebagai bangunan gereja yang besar (een flink kerkgebouw).
Pada waktu Jepang ingin menguasai Maluku, terjadi perlawanan dari pihak Belanda terhadap serangan Jepang tersebut. Bombardir yang dilakukan pada 21 Desember 1943, menyebabkan bangunan gereja mengalami kerusakan berat. Setelah Jepang hengkang dari Maluku, kondisi perpolitikan di sana masih belum stabil. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, masih tersisa ketidak ikhlasan Belanda untuk mengakui negara baru Indonesia. Agresi Belanda pun muncul tapi senantiasa mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia, sehingga Belanda yang dengan segala cara tak bisa menguasai Indonesia lagi.
Setelah dirasa aman dan stabil, gereja tersebut mulai dibangun kembali. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Pendeta Pelamonia Souhoka Pesuarissa Sipalsuta pada 8 Mei 1950, dan selesai pada 6 November 1961. Lalu, ditasbihkan oleh Pendeta Warela K. Haullussy pada 23 Agustus 1964 dengan nama Gereja Imanuel Jemaat Amahai-Soahuku. Pada 7 Juli 1986, Gereja Imanuel ini direstorasi yang pertama, kemudian dilanjutkan dengan restorasi yang kedua pada 18 Oktober 1993.
Kehadiran Gereja Imanuel ini tidak terlepas dari kesejarahan Gereja Protestan Maluku (GPM). GPM merupakan salah satu gereja di Indonesia yang beraliran Protestan Reformasi atau Calvinis. GPM berdiri di Ambon, Maluku pada 6 September 1935. GPM memandirikan dirinya dari Gereja Protestan di Indonesia (GPI) atau Indische Kerk sebagai bentuk kemandirian gereja. *** [011015]

Share:

Gereja Ebenhaizer Soahuku

Pada waktu membonceng sepeda motor menuju SMPN 7 Amahai, pas di tikungan pertigaan dekat lapangan Nunusaku terlihat bangunan gereja lawas. Bangunan gereja berbentuk limasan ini memiliki pintu utama yang berbeda dengan gereja pada umumnya. Pintu utama tersebut tidak berada pada ujung dari bangunan gereja yang menghadap ke jalan tapi berada pada diameter bangunan gereja yang memanjang. Gereja lawas tersebut dikenal dengan Gereja Ebenhaizer.
Gereja ini terletak di Jalan Nona SAR Sopacua, Lingkungan Soahuku, Desa Soahuku, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Lokasi gereja ini berada di timur lapangan Nunusaku.
Sejak Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) berhasil mengusir Spanyol dan Portugis yang lebih dahulu menguasai Maluku, VOC langsung mengambil alih kekuasaan di Maluku pada tahun 1619. Kekuasaan ini tidak sekadar menaklukkan Maluku dan menguasai rempah-rempahnya, namun juga menyebarkan agama Kristen Protestan di Maluku yang sebelumnya sudah banyak yang memeluk agama Katolik. Pada masa Portugis, imam-imam Katolik gencar melakukan pekabaran Injil hingga ke daerah-daerah di Maluku. Akan tetapi, setelah VOC berhasil mengusir Portugis maka para penguasa VOC yang mayoritas beragama Kristen Protestan berusaha menggantikan mereka dengan pendeta-pendeta Protestan dari Belanda.


Pada waktu agama Kristen Protestan pertama kali dibawa VOC ke Soahuku melalui Kaibobu, Seram Barat, pada tahun 1624 terjadi penolakan oleh masyarakat yang dibaptis terlebih dahulu secara Katolik. Kemudian para zending yang didatangkan oleh VOC tersebut kembali lagi ke Soahuku pada tahun 1626. Pembawa agama Kristen itu bernama Van Hart.
Langkah awal yang dilakukan Van Hart adalah dengan mengambil seorang anak dari keluarga Ruhupessy yang bernama Asina untuk menjadi anak angkatnya. Anak angkatnya tersebut kemudian dibaptis dengan nama Mozes. Peristiwa ini dimaknai mulai dari sinilah agama Kristen Protestan berkembang di Soahuku.
Setelah berhasil melakukan baptisan terhadap rakyat Amahai, zending meminta kepada VOC untuk membangun sebuah gereja. Pada waktu itu, penguasa VOC menganjurkan agar supaya kedua desa, yaitu Amahai dan Soahuku, memiliki satu gedung gereja saja. Dalihnya karena kekurangan pimpinan jemaat serta anggota jemaat masih tergolong sedikit.


Lalu, dibangunlah sebuah gereja yang bertempat di halaman bagian barat dari Gereja Imanuel Amahai. Namun, karena senantiasa bertentangan faham antara jemaat di Desa Amahai dan Desa Soahuku, maka Raja Alfaris Tamaela memerintahkan untuk membuat gedung gereja tersendiri. Kedua desa tersebut bersedia untuk mendirikan bangunan gereja sendiri-sendiri.
Kemudian masyarakat penghuni kedua desa tersebut akhirnya bergotong royong untuk memotong kayu besi. Pada saat pemotongan kayu besi terjadilah pertengkaran hebat antara kedua desa. Hal ini menyebabkan Raja Alfaris Tamaela menolak semua kayu besi yang dipotong oleh masyarakat Desa Amahai. Lalu, memerintahkan masyarakat Desa Soahuku untuk mencari kayu Gupassa untuk membangun gereja di Desa Soahuku, dan tidak boleh menggunakan kayu Lenggua.
Bangunan gereja yang dibangun di Soahuku tersebut diberi nama Ebenhaizer, dan digunakan pertama kali pada 31 Oktober 1889 dalam ibadah kebaktian yang dipimpin oleh pendeta J.J. Kelling serta digenapkan pada  31 Oktober 1924 oleh pendeta C.W. Diip.
Pada saat kedatangan Jepang di Maluku, berkecamuklah perang antara Belanda dengan Jepang. Belanda berusaha mempertahankan eksistensi di Maluku, namun Jepang melakukan bombardir dari udara. Bombardir ini yang dilakukan pada 21 Desember 1943, menyebabkan bangunan gereja Ebenhaizer turut hancur.
Seperti di daerah lain di Nusantara, kondisi ini menyebabkan ketidakstabilan politik yang berkepanjangan. Karena setelah Jepang hengkang dari Maluku hingga Indonesia merdeka, ternyata Indonesia masih didera berbagai pemberontakan dalam negeri. Setelah dirasa stabil dalam perpolitikan di Indonesia paska peristiwa penggerogotan dari dalam negeri, kemudian dibangunlah gereja Ebenhaizer kembali. Peletakan batu pertama dilakukan pada 8 Maret 1958, dan selesai pada 20 Februari 1964. Bangunan gereja yang masih mempertahankan menggunakan kayu Gupassa ini, diresmikan pada 31 Oktober 1964 oleh pendeta D. Warella dan J.P. Luhulima.
Sekarang ini, gereja yang menghadap ke timur ini masih digunakan untuk ibadah kebaktian. Bangunan gereja yang bisa disaksikan sekarang ini mendekati usia 51 tahun, namun keberadaan jemaat Ebenhaizer di Soahuku ini sudah ada sejak 226 tahun yang lalu. *** [011015]

Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami