The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Depok Tempo Doeloe. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Depok Tempo Doeloe. Tampilkan semua postingan

Gemeente Bestuur Depok

Berdasarkan catatan sejarah, pada abad ke-18 ada seorang Belanda bernama Cornelis Chastelein yang menjadi tuan tanah di Depok, Lenteng Agung, Pasar Minggu hingga kawasan Gambir di Jakarta. Kisahnya bermula ketika pada 24 Januari 1674, Cornelis Chastelein yang masih berumur 17 tahun, berlayar ke Hindia Belanda. Di Hindia Belanda, ia bekerja sebagai boekhouder bij de kamer van zeventien atau pemegang buku di kantor Dewan Pengurus VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Pada tahun 1680, ia menikah dengan seorang wanita Belanda, Chatarina van Quaalbergh. Sejak itu pangkatnya di VOC naik terus, sehingga membuat ia menjadi orang kaya.
Akan tetapi karena terjadi selisih paham dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Willem van Outhorn, pada tahun 1692, Cornelis Chastelein mengundurkan diri dari VOC. Setelah mengundurkan diri dari VOC, ia mulai berwiraswasta. Pada tanggal 1 Mei 1696, Cornelis Chastelein membeli lagi lima persil tanah (1,244 hektar) di sekitar Depok, yang meliputi desa Pitara, Kampung Sengon, Kampung Parung Blimbing, dari seorang tuan tanah Tionghoa yang bernama Tio Tiong Ko.


Tanah yang dibelinya itu digunakan untuk membuka usaha pertanian, peternakan maupun perkebunan. Tanah yang dibelinya itu merupakan Tanah Partikelir yang terlepas dari kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda (Het Gemeente Bestuur van Het Particuliere Land Depok). Untuk mewujudkan usahanya tersebut, Cornelis Chastelein berusaha mendatangkan 150 orang budak yang dibeli dari raja-raja di Bali, Sulawesi Selatan, Timor, Nusa Tenggara Timur dan wilayah timur lainnya di Hindia Belanda. Namun, para budak yang menjadi pekerjanya kemudian hari pada tahun 1715 dimerdekakan dengan memakai baptis kristiani ke dalam 12 marga: Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel dan Zadokh.


Tanah Partieklir yang dikelola oleh Cornelis Chastelein ini ternyata diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dan menyetujui menjadi daerah otonomi atau teritori khusus dengan membentuk pemerintahan sipil sendiri (gemeente bestuur).
Gemeente bestuur dibentuk pada tahun 1872 oleh “pewaris” Chastelein, yaitu para pekerjanya yang telah dimerdekakan guna membentuk tatanan awal pemerintahan sipil di Depok dalam organisasi bercorak republik.
Gedung Gemeente Depok (kotapraja) dibangun di Jalan Pemuda No. 10 Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Tempat yang menjadi pusat pemerintahan Kota Depok di masa lampau ini sekarang menjadi Rumah Sakit Harapan Depok. Kawasan ini dulunya dikenal dengan Kerkstraat, lantaran bangunan pertama yang menghuni jalan tersebut adalah kapel yang di kemudian hari berubah menjadi GPIB Jemaat Immanuel Depok.
Ketika Indonesia sudah merdeka, pada tahun 1950 dilakukan pembubaran semua tanah partikelir oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI), termasuk Gemeente Depok. Setelah itu, pemerintah menyerahkan kembali sebagian tanah partikelir yang dianggap sebagai Kommunal bezit dan Eigendom, atau milik bersama, masyarakat Depok. Termasuk di dalamnya tanah yang dimiliki secara pribadi oleh masing-masing ke-12 kaum keluarga masyarakat Depok.
Menilik dari nilai historis yang dikandungnya, gedung kotapraja Depok sudah selayaknya menjadi bangunan cagar budaya yang harus dilestarikan di Kota Depok. *** [160514]
Share:

Margonda

Setiap kota memiliki nama jalan tersendiri. Biasanya untuk penamaan jalan diambilkan dari nama orang yang telah berjasa atau nama orang yang tersohor di suatu daerah. Salah satunya adalah apa yang kita temukan di Kota Depok.
Kota Depok mempunyai nama jalan utama Margonda bila kita dari arah Lenteng Agung mau menuju Kota Depok. Jalan cukup lebar, sekitar 32 meter, yang dikelilingi oleh bangunan publik, baik pemerintahan maupun komersial.
Margonda disematkan menjadi jalan utama di Kota Depok didasarkan pada pertimbangan perjalanan hidupnya untuk bangsa ini. Margonda adalah seorang analis kimia dari Balai Penyelidikan Kimia Bogor. Kini, dikenal sebagai Balai Besar Industri Agro (BBIA). BBIA ini dulunya bernama Analysten Cursus, yang didirikan oleh Indonesische Chemische Vereniging pada permulaan Perang Dunia I.
Pada zaman Belanda, ia pernah mendapat pelatihan penerbang cadangan pada Luchtvaart Afdeeling atau Departemen Penerbangan Belanda. Hal ini tidak berlangsung lama karena pada 5 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang dan Nusantara akhirnya di bawah pendudukan Jepang.
Pada zaman Jepang, berbekal kepandaian yang dimiliki, Margonda kemudian bekerja menjadi karyawan di Departemen Kemakmuran, yang merupakan gabungan dengan Departemen Jawatan Penyeldikan Pertanian  Jepang ketika itu.
Lalu, ia bergabung dengan para pejuang melawan Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali dengan mengorganisir para pemuda untuk mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). AMRI lebih dulu berdiri ketimbang Badan Keamanan Rakyat (BKR). Umur AMRI tergolong relative singkat karena para anggotanya terpecah ke dalam beberapa organisasi seperti BKR, Pesindo maupun kelompok kecil sejenis lainnya.
Semasa perjuangan, Margonda berkawan dengan Ibrahim Adjie dan TB Muslihat. TB Muslihat senasib dengan Margonda. Mereka gugur dalam pertempuran untuk mengusir Belanda yang telah diboncengi Tentara NICA. Margonda gugur di sekitar sungai di kawasan Pancoran Mas Depok yang bermuara di Sungai Ciliwung. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama jalan utama di Kota Depok. ***
Share:

Taman Hutan Raya Depok

Dalam membangun Depok Lama pada abad ke-17, Cornelis Chastelein, telah memikirkan betapa pentingnya peranan hutan lindung dalam keseimbangan ekosistem. Meskipun pada waktu itu, Depok masih memiliki belantara yang luas, akan tetapi Chastelein telah mengantisipasinya. Ia membeli tanah seluas 30 hektar untuk digunakan sebagai hutan lindung yang mencakup wilayah dari Ratu Jaya, Rawa Geni hingga Mampang, sementara di sebelah timurnya berbatasan dengan Parung Belimbing.
Ia memahami arti pentingnya sebuah kawasan hutan yang perlu dijaga kelestariannya dan kelak akan mendatangkan manfaat bagi masyarakatnya di kemudian hari. Karena itu, Chastelein jauh-jauh hari telah mempersiapkan hutan Depok menjadi sebuah kawasan hutan lindung dalam menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem, melarang masyarakat Depok menebang pohon-pohon di dalam kawasan tersebut, dan tidak memperkenankan pembuatan ladang di dalamnya.


Pada waktu itu, di hutan ini masih dihuni oleh berbagai jenis flora dan fauna yang cukup lengkap. Pepohonan besar dan langka menjulang tinggi yang ada di kawasan itu, menjadi habitat yang digemari bagi berbagai jenis burung. Di hutan ini pula pernah hidup beraneka satwa seperti kijang (muntiacus muntjak), harimau Jawa (panther tigris sondaica), monyet (macaca fascicularis), kancil (tragulus javanicus), rusa (cervus timorensis) bangau putih (egrette bulbulus ibis), dan kelinci hutan (lorus microcellis).
Sedangkan, beberapa jenis tanaman yang tercatat pernah ada di hutan ini, seperti kemiri (aleuritas molluccana), nyamplung (calophyllum iniphyllum), aren (arenga pinanta merr.), rotan (calamus sp.), senggani (melastoma malabhatrium), ketapang (terminalis catappa), beberapa jenis palem-paleman seperti palem waregu (rhapis exelsa), sengon (albasia chenensis), bambu (giganthocloa apus), kina (chitana succiruba), jati (tectana arandim), damar (agathis dammara), ketapang cina (cassia alata), manggis (gracinia manggostana), karet (ficus elastic), jamblang (eugenia cumini), pule (alstonia scholaris), randu alas (bombax malabaricum), buni (antidesma bunius), beringin (ficus benyamina l), puspa (schima wallichi), rengas, grenuk, dan masih banyak lagi.
Koleksi jenis tanaman obat di hutan ini cukup bervariasi. Kala itu, ada sekitar 40.000 tanaman obat yang menghuni hutan ini.


Seiring berkembangnya Depok Lama, timbul kekhawatiran akan menyusutnya luas hutan tersebut, maka hutan yang masih tersisa oleh Nederlands Indische Vereniging Tot Natuur Berscherming (Perhimpunan Perlindungan Hutan Alam Hindia Belanda) bekerja sama dengan Gemeente (Kota Praja) Depok ditetapkan sebagai cagar alam (natuur reservaat), dan menjadi cagar alam pertama di Hindia Belanda. Hal ini diperkuat lagi dengan diresmikannya hutan tersebut pada tanggal 31 Maret 1913 oleh Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg sebagai natuur monument.
Penetapan hutan ini menjadi cagar alam tidak saja karena semakin menipisnya kawasan hutan asli di Depok pada waktu itu, namun juga karena hutan ini memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi serta dapat berfungsi menjadi resapan air.
Kini, cagar alam ini tinggal menyisakan 6 hektar saja, dan di sekelilingnya telah dihimpit oleh pemukiman penduduk yang sangat padat di Jalan Cagar Alam, Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Cagar alam itu pun telah berubah statusnya menjadi Taman Hutan Raya (Tahura) Depok yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 2/76/KPPS/1999.
Bila ditinjau dari sisi kesejarahannya, Taman Hutan Raya Depok ini memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan Kebun Raya Bogor. Pembangunan Kebun Raya Bogor dimaksudkan untuk menghutankan kembali dengan mengumpulkan pohon langka (forest) sedangkan Taman Hutan Raya Depok mewujudkan asli hutan belantara (jungle).
Sayangnya tidak bernasib sama dengan Kebun Raya Bogor, Taman Hutan Raya Depok terkesan kurang terawat. Seandainya kawasan Taman Hutan Raya Depok ini ditata sedemikian rupa seperti di Kebun Raya Bogor, kemungkinan besar pamornya akan muncul kembali. Implikasinya selain menjadi pusat perhatian para pecinta botani dari berbagai daerah maupun negara lain, juga akan nyaman menjadi tujuan wisata andalan di Kota Depok. *** [160514]
Share:

Tiang Telepon Kuno di Depok

Kehadiran Depok Lama tidak hanya menyisakan bangunan tua berupa gedung YLCC, GPIB Jemaat Immanuel, Rumah Sakit Harapan Depok maupun SDN Pancoran Mas 02 Depok, akan tetapi ada juga peninggalan Belanda berupa tiang yang kini masih berdiri tegak di pertigaan Jalan Kartini dan Jalan Pemuda. Kawasan tersebut masuk ke dalam wilayah administratif Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat.


Tiang ini memiliki tinggi sekitar 10 meter, dan diperkirakan dibangun pada tahun 1900. Dilihat dari konstruksi tiang yang berbahan baja ini, tampak bahwa tiang tersebut masih memperlihatkan kekokohannya.
Ditinjau dari kesejarahannya, tiang telepon satu-satunya kala itu merupakan monumen peninggalan masa awal pertelekomunikasian di Depok. Sebagai salah satu situs sejarah yang ada di Depok, tiang telepon tersebut harus dijaga keberadaannya. Kesan tidak terawat seharusnya tidak muncul, serta eksistensinya yang harus tetap dipertahankan. Terlebih lokasi tiang tersebut yang berada di salah satu jalan utama di Kota Depok, maka tidak menutup kemungkinan keberadaan tiang telepon kuno tersebut akan tergusur akibat pelebaran jalan kelak. *** [160514]

Share:

Gedung YLCC

Setiap kota yang ada di Indonesia memiliki cikal bakal dalam perjalanan sejarahnya. Biasanya cikal bakal dari sebuah kota acapkali dinamai sebagai kota lama atau Depok Lama, tak terkecuali Kota Depok.
Kota lama Depok terletak di seputaran Jalan Pemuda. Di Jalan Pemuda ini, dulu dikenal sebagai pusat keramaian Depok. Di jalan ini banyak bangunan kuno atau tua yang masih bisa kita saksikan hingga sekarang kendati sebagian bangunan ada yang sudah berubah menjadi rumah pribadi maupun perkantoran. Salah satu gedung tua yang kondisinya masih lumayan bagus dan terawat adalah Gedung Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC).
Gedung YLCC terletak di Jalan Pemuda No. 72 RT.02 RW.08 Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat, atau tepatnya berada satu areal dengan SMP Kasih. Lokasi ini berdekatan dengan GPIB Jemaat Immanuel Depok.


Dulu, gedung YLCC ini merupakan bangunan yang diperuntukkan bagi pastor dan pembantunya (pastorij) yang melayani di Gereja Jemaat Masehi Depok (kini GPIB Jemaat Immanuel Depok). Gedung tersebut dibangun oleh Cornelis Chastelein hampir beriringan dengan pembangunan gereja tersebut, sekitar abad 18.
Bangunan gedung YLCC ini berarsitektur kolonial Belanda dengan konstruksi kayunya terbuat dari jenis kayu nangka (artocarpus integra) dan atapnya semula menggunakan genteng buatan pabrik genteng asli depok, yaitu Aakdewerkfabriek.


Bila ditelusuri, bangunan gedung ini lebih tua ketimbang usia YLCC. Yayasan ini didirikan pada tahun 1952 untuk mengenang jasa-jasa Cornelis Chastelein terhadap leluhur masyarakat Depok. Berdasarkan pesan Cornelis Chastelein yang dikeluarkan di Batavia pada 13 Maret 1714: “… Mijne uyterste wille en intentie strijdende, die is om daar een fraaie christen bevolkinge mettertijt van te doen groeyen.” (… Kehendakoe ijaitoe sopaja atas tanah-tanah itoe timboel soewatoe perhimpoenan masehi jang indah). Dilanjutkan dengan “De twaalf familienamen afstammelingen van de vrijgestelde lijfeigenen van Cornelis Chastelein” (Dua belas nama keluarga keturunan para budak yang dimerdekakan oleh Cornelis Chastelein), yaitu: Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, dan Zadokh.
Keduabelas nama tersebut merupakan cikal bakal marga kaum Depok yang menjadi leluhur masyarakat Depok, dan mewarisi sejumlah tanah perkebunan milik tuannya, yaitu Cornelis Chastelein sesuai surat wasiatnya. Akan tetapi, tanah partikelir tinggalan Chastelein ini kena imbas nasionalisasi ketika Indonesia merdeka.
YLCC ini bertugas mengkoordinasikan keduabelas marga tersebut untuk merawat aset-aset tanah yang bersifat kommunal bezit dan eigendom, atau milik bersama masyarakat Depok berupa tanah pemakaman, lapangan sepak bola, sekolah, rumah sakit, gedung pertemuan, tempat ibadah yang merupakan warisan Cornelis Chastelein serta merawat bukti-bukti peninggalan sejarah. Sedangkan, mereka yang memilih tinggal di Belanda juga mendirikan sebuah paguyuban yang diberi nama De Dodol, singkatan dari Depok Ondervindt Doolopend Onze Liefd, artinya Depok membuat cinta kami tetap. *** [070514]
Share:

GPIB Jemaat Immanuel Depok

Berdasarkan catatan historis yang ada, Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Jemaat Immanuel Depok merupakan kelanjutan dari Jemaat Masehi Depok yang ditetapkan sejak tanggal 28 Juni 1714, dan baru dilembagakan menjadi GPIB Jemaat Immanuel pada tanggal 7 Desember 1955 menjadi Jemaat ke-58 di jajaran Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat.
Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 24 April 1956, terjadi pengalihan aset berupa tanah dan gedung gereja dari Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) kepada Majelsi Sinode GPIB pada tanggal 24 April 1956.
Gereja ini terletak di Jalan Pemuda No. 70  RT.02 RW.08 Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat, atau tepatnya berada di sebelah barat Gedung YLCC. Lokasi ini merupakan kawasan Kota Depok Lama.
Menurut Yano Jonathans dalam bukunya, Potret Kehidupan Sosial & Budaya Masyarakat Depok Tempo Doeloe (2011), Gereja ini dibangun beberapa tahun setelah kedatangan Cornelis Chastelein, seorang keturunan Belanda berdarah ningrat Perancis, dan para budaknya – yang kelak dimerdekakan dalam kristiani – di Depok. Sebelumnya, mereka melakukan ibadah di sebuah kapel berukuran 23 x 8 meter di Batavia, yang telah didirikan terlebih dulu oleh Cornelis Chastelein di dekat purinya di Jalan Kenanga Pasar Senen. Konon, sekalipun harus berjalan selama kurang lebih 14 jam pulang pergi ke Weltevreden di Batavia untuk beribadah di sana, para pekerja di Depok melakukannya dengan penuh kesetiaan.


Pada mulanya, gereja di Depok ini dibangun secara sederhana, terbuat dari kayu dan bambu. Namun, akibat pelapukan yang terjadi, pada tahun 1715 dan 1792 gereja itu direnovasi. Pada tahun 1834, sebuah gempa besar yang terjadi meruntuhkan seluruh bangunan sehingga akhirnya gereja itu didirikan kembali dari batu. Banyak orang beranggapan bahwa pembangunannya kembali baru dilakukan 15 tahun setelah selesainya pembangunan Gereja Willemskerk di Batavia. Itu berarti gereja Depok baru dibangun kembali pada tahun 1854, suatu masa jeda yang cukup panjang.
Dalam perkembangan gereja tersebut tidak ditemukan satu catatan atau prasasti pun mengenai adanya peletakkan batu pertama pembangunan gereja yang sudah dilakukan berulang kali itu, selain prasasti marmer yang dibuat tahun 1892. Prasasti ini merupakan peninggalan peringatan terhadap Cornelis Chastelein sejak ditemukannya kembali naskah surat wasiatnya.
Pada tahun 1980, seiring dengan bertambahnya jumlah anggota jemaat, gereja ini mengalami pemugaran kembali untuk kesekian kalinya, memperlebar sayap kiri bangunan. Pemugaran besar-besaran atas gereja ini dilakukan pada tahun 1998, yang mengubah sebagian besar struktur keaslian bangunan utama. Jendela-jendela mengalami perubahan, bentuk kanopi gereja yang khas diubah, batas dinding di sayap kiri dan kanan diperlebar sehingga menyatu dengan bangunan utama dan hanya menyisakan sedikit untuk jalan keluar masuk. Bagian dalam gereja pun secara keseluruhan mendapat sentuhan-sentuhan arsitektur modern. Akibatnya, ciri keaslian bangunan lama sudah tidak terlihat lagi.
Akan tetapi, bangunan gereja ini setidak-tidaknya telah menunjukkan kepada masyarakat Depok bahwa di kawasan tersebut telah terjadi dinamika dalam kehidupan masyarakatnya. *** [060514]
Share:

Jembatan Panus Depok

Seperti kisah yang ada di daerah lain, Kota Depok juga memiliki bangunan kuno peninggalan Belanda yang hingga kini masih bisa kita saksikan. Jembatan tua sepanjang 65 meter dengan lebar 4 meter ini masih berdiri di atas Sungai Ciliwung, dan menyimpan sejumlah kisah dan kenangan. Masyarakat setempat biasa menyebut jembatan tersebut dengan sebutan Jembatan Panus.
Jembatan Panus terletak di Jalan Thole Iskandar RT.004 RW.07 Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat.
Jembatan Panus merupakan salah satu situs sejarah yang ada di Kota Depok. Jembatan ini dibangun pada tahun 1917 oleh Belanda, dan konstruksinya dirancang oleh Andre Laurens, seorang arsitek dari marga Laurens. Laurens merupakan salah satu dari dua belas nama keluarga para budak yang dimerdekakan oleh Cornelis Chastelein.
Sedangkan, yang menjadi mandor dalam pengerjaan jembatan tersebut merupakan penduduk asli Betawi Depok yang tinggal di samping jembatan, namanya Stephanus Leander. Karena yang menangani pengerjaan di lapangan adalah mandor Stephanus Leander, maka bangunan jembatan tersebut dikenal sebagai Jembatan Panus lantaran diberikan berdasarkan nama mandor tersebut. Akan tetapi untuk kemudahan lafal, nama itu disingkat menjadi panus.


Di masa lalu, jembatan ini merupakan satu-satunya jembatan penghubung antara Depok dengan Buitenzorg (Bogor) dan ke Batavia (Jakarta). Kini, karena kondisinya yang kian rapuh, pada tahun 1990 didirikan jembatan baru yang berada di sampingnya untuk menggantikan fungsi jembatan lama.
Yang menarik, salah satu kaki jembatan itu digunakan sebagai tiang ukur memantau ketinggian air untuk mewaspadai banjir di musim penghujan, khususnya bagi kepentingan warga Jakarta, atau Early Warning System di mana akan ada peringatan dini luapan banjir Sungai Ciliwung sebelum memasuki Kota Jakarta.
Di dekat jembatan tua tersebut berdiri sebuah pos pengamatan ketinggian air. Pos ini dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, yang selalu melaporkan ketinggian air di musim penghujan secara periodik, karena limpahan air yang berasal dari pegunungan di sekitar Bogor hingga Depok akan mengalirkan airnya melalui Sungai Ciliwung.
Pos pemantau ini mempekerjakan 3 petugas pemantau yang bekerja secara bergantian. Biasanya, kondisi ketinggian air dikatakan dalam ambang batas normal antara 80-100 cm. Penggaris pengukur ketinggian air di bawah jembatan Panus, tanda warna biru menunjukkan ketinggian antara 200-270 cm (siaga 3), kuning memperlihatkan ketinggian air antara 270-350 cm (siaga 2), dan warna merah menunjukkan ketinggian di atas 350 cm (siaga 1). *** [090514]

Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami