The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Koleksi Museum Radyapustaka Solo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Koleksi Museum Radyapustaka Solo. Tampilkan semua postingan

Suluk Warni-Warni Tuwin Wirid Syattariyah

Suluk Warni-Warni ini berupa naskah yang berisi 29 suluk tentang Tasawuf (suluk dan wirid) milik tradisi Tarekat Syattariyah yang biasa dipraktekkan anggota istana di Surakarta. Naskah ini ditulis oleh Radyan Panji Jayaasmara pada tahun 1864 di Surakarta atas perintah KGPH Cakraningrat, menantu Paku Buwana VI, yang juga merupakan murid dari R. Ng. Ranggawarsita.
Naskah ini terdiri dari 472 halaman dengan ukuran 32 x 20 cm, yang berisi mengenai ajaran, tradisi dan silsilah Syattariyah dengan bentuk tulisan Jawa dan beberapa bab ditulis dengan tulisan Arab.


Sebelumnya, aliran tarekat ini telah lama tumbuh di Iran dan Turki dengan nama Tarekat Isyqiyah, tarekat yang ajarannya dengan konsep tasawuf ini cenderung mampu beradaptasi menyesuaikan diri dengan tradisi yang ada. Kemudian seiring dengan perkembangannya tarekat ini mulai muncul di India pada abad 15 dengan nama Tarekat Syattarayah yang dibawa oleh seorang ulama yang bernama Abdullah Asy Syatari. Kemudian menyebar ke berbagai negara termasuk Nusantara, dan pada waktu itu hampir seluruh Kerajaan Islam di Jawa dan Sumatera menggunakan tarekat ini.

Sumber:
Museum Radyapustaka Documentary Board
Share:

Serat Nitimani

Naskah ini dikarang oleh RMH Sugonda pada tahun 1892 di Pasuruan, terdiri dari 384 halaman dan ukuran 33 x 21 cm.


Naskah ini memuat tentang erotik Jawa, bentuk muka wanita, mistik Islam yakni diskusi hidayat jati dan Muhammad Sirolah, juga pengetahuan Islam dan pertapaan lebih banyak mengenai ajaran tasawuf yang ditunjukkan pada ringkasan dialog Sang Murweng-gita dengan Juru Patanya.

Sumber:
Museum Radyapustaka Documentary Board
Share:

Serat Nawawi

Serat Nawawi  ditulis pada tahun 1884 di Surakarta. Serat ini memuat 3 kumpulan tulisan mengenai Sejarah Islam, Ilmu Kenegaraan, dan bahasa Jawa (hakikat huruf).  Pada tulisan pertama mengenai kisah Sultan Ibrahim tentang etika Islam. Ajaran etika ini untuk para pemimpin serta petualan raja-raja muslim, nabi dan orang-orang suci, yang ditutup dengan ilmu wajah.


Pada tulisan kedua, yaitu tentang Nitipraja, suatu pengajaran tentang ilmu kenegaraan Jawa dalam bentuk tembang macapat. Sedangkan, tulisan ketiga mengenai Carakabasa tentang makna atau hakikat huruf Jawa.

Sumber:
Museum Radyapustaka Documentary Board
Share:

Kur’an Kajawekaken

Kur’an Kajawekaken merupakan terjemahan atau tafsir Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa, yang dibuat oleh Bagus Ngarpah bersama dengan Ng. Wirapustaka sebagai editornya. Kemudian ditulis dalam tulisan Jawa oleh Suwonda yang dimulai pada 30 Juni 1905 di Surakarta.


Kur’an ini terdiri dari 3 jilid dan naskah ini merupakan jilid pertama yang memuat Surah al Fatihah hingga Surat Yusuf.

Sumber:
Museum Radyapustaka Documentary Board
Share:

Serat Yusuf

Naskah tertua di Museum Radyapustaka ini ditulis pada zaman Kraton Kartasura. Naskah ini merupakan salinan dari kisah dalam Al-Qur’an tentang Nabi Yusuf. Naskah ini ditulis atas perintah dari Kanjeng Ratu Balitar, permaisuri Paku Buwana I (1703-1719) dengan maksud untuk menyelamatkan suksesi cucunya menjadi Paku Buwana II (1726-1749).


Naskah ini ditulis oleh abdi dalem Pamijen kasepuhan ketika menjaga gerbang Kraton Kartasura. Naskah yang ditulis pada tahun 1729 ini, terdiri dari 206 halaman dengan ukuran 34 x 26 cm. Ditulis di atas kertas dluwang gendhong. Pada naskah ini terdapat iluminasi dalam tinta hitam, merah dan daun emas.

Sumber:
Museum Radyapustaka Documentary Board
Share:

Cariyos Dajjal Utawi Kadis Kawandasa

Naskah Hadist ini merupakan tulisan kuadratik tua di Kraton Surakarta, ditulis dalam aksara Jawa namun dengan bahasa Arab dan dilengkapi dengan terjemahan dalam bahasa Jawa pada tiap barisnya. Naskah ini ditulis di Surakarta pada tahun 1845 sebanyak 45 halaman dengan ukuran naskah 31 x 20 cm.


Isi naskah tersebut yakni tentang perkataan Abdullah kepada Nabi Muhammad tentang hari kiamat yang didahului dengan kelahiran Dajjal-Laknat. Kemudian diskusi tentang 40 tanda-tanda kedatangan Imam Mahdi. Selain itu, juga terdapat penjelasan arti tulisan pada tubuh manusia, serta bagaimana mengobati orang yang kesurupan dengan membaca tulisan tersebut.

Sumber:
Museum Radyapustaka Documentary Board
Share:

Serat Pandhita Raib

Naskah ini merupakan karangan dari Kyai Sastradiwongsa yang ditulis pada tahun 1838 di Surakarta. Serat ini ditulis pada kertas dluwang gendhong (kertas kulit kayu dari Ponorogo).


Isi naskah ini tentang sejarah Islam yakni pertempuran Nabi Muhammad dengan Pandhita Raib dari Negeri Kebar, seorang guru agama Yahudi yang mempengaruhi penduduk Kebar menjauh dari Islam namun akhirnya menyerah pada Nabi Muhammad.
Naskah ini juga memuat tentang sifat-sifat Nabi Muhammad serta ajaran Nabi Muhammad kepada putrinya Fatimah tentang kewajiban ibadah Islam dan kewajiban seorang wanita terutama tugas sebagai istri. Naskah ini juga dimaksudkan sebagai tulak (jimat penolak bala).

Sumber:
Museum Radyapustaka Documentary Board
Share:

Sejarah Penulisan Serat-Serat Islam di Jawa

Masuknya orang-orang Islam di Tanah Jawa tidak hanya untuk berdagang namun juga membawa agamanya yang disebar saat itu di daerah Pesisir Jawa, seperti Gresik, Tuban, Sedayu dimulai pada awal abad 15. Setelah runtuhnya Majapahit dan berganti dengan berdirinya Kerajaan Islam Demak, saat itu para intelektual mulai masuk Islam sehingga terciptalah kebudayaan Jawi Islam. Kemudian mulailah adanya penulisan serat-serat berbahasa Jawa yang berisi tentang ajaran Islam. Karya sastra Jawa Islam tertua, yakni kitab piwulang dari Sunan Bonang yang isinya adalah mengenai Tasawuf.
Bentuk tulisan karya sastra Jawa biasanya menggunakan tembang macapat (sekar macapat) yang berisi tentang petunjuk atau nasihat ajaran keislaman. Bentuk tersebut digunakan agar lebih mudah untuk mengingatkan seseorang tentang ajaran. Tembang macapat dalam sastra Jawa dibagi menjadi 11 tembang, yakni Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durna, Pangkur, Megatruh, dan Pocung. Karya sastra tembang macapat yang menuliskan tentang ajaran Islam biasanya disebut Suluk, yang artinya muatan ajaran tentang kasampurnan (usaha seseorang dalam meraih kesempurnaan hidup dan kematian).
Pada masa Kraton Surakarta, penulisan lebih berkembang dengan munculnya para pujangga yang terkenal dengan serat-serat yang adiluhung seperti Paku Buwana V (Serat Centhini), Kyai Yasadipura I dan II (Serat Panitisastra, Cebolek, Babad Giyanti), Kyai Sindusastra (Serat Arjunasasrabahu), R.Ng. Ranggawarsita (Serat Sitapsara, Pustaka Raja Purwa, Paramayoga, Cemporet).

Sumber:
Museum Radyapustaka Documentary Board
Share:

Sejarah Penulisan Serat Jawa

Penulisan naskah di Jawa dimulai ketika bangsa India masuk ke Tanah Jawa dan membawa agama dan kitab-kitabnya, meskipun pada saat itu bangsa Jawa telah memiliki bahasa sendiri yakni bahasa Kawi (Jawa Kuno) namun belum memiliki aksara. Pada masa itu karena percampuran bangsa Jawa dan India maka dalam penulisan menggunakan aksara dari India dengan bahasa Jawa.
Bahasa Jawa yang ditulis dengan aksara dari India terebut yang tertua bisa dilihat pada prasasti batu di Dieng yang berangka tahun 731 Çaka atau 809 Masehi, sejak itu penulisan apapun di Jawa menggunakan aksara Sansekerta. Namun seiring perkembangan zaman, aksara tersebut mulai berubah hingga masa pemerintahan Paku Buwana III di Surakarta (Lihat Serat Urut-uruting Aksara Jawi). Saat ini kita mengenal aksara tersebut yakni aksara Ajisaka (Ha, Na, Ca, Ra, Ka).
Penulisan serat-serat Jawa dibagi menjadi beberapa golongan sesuai dengan periode perkembangan sejarah pada masa kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa. Menurut Prof. Dr. Poerbatjaraka, serat-serat tersebut dibagi menjadi 7 bagian, yakni: serat Jawi sepuh (parwa), serat Jawi mawi sekar (tembang), serat Jawi enem, serat basa Jawi tengahan, kidung jawi tengahan, serat Jawi zaman Islam dan serat Jawi zaman Surakarta.

Sumber:
Museum Radyapustaka Documentary Board
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami