The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label archeotourism. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label archeotourism. Tampilkan semua postingan

Candi Dawangsari

Bila Anda ingin mengunjungi situs Candi Dawangsari, pastikan dulu bahwa kendaraan yang akan dipergunakan untuk menuju lokasi haruslah benar-benar fit, mengingat lokasi situs tersebut berada di ketinggian bukit. Dan, sepintas Anda akan tidak menyangka akan bisa melihat lokasi situs tersebut, karena kebanyakan mereka yang pergi ke lokasi tersebut biasanya langsung melihat Candi Barong yang megah bak benteng di atas bukit. Padahal, sebelum kita memarkir kendaraan atau lapor kepada petugas yang menjaga situs tersebut, di situlah lokasi Candi Dawangsari berada.


Candi Dawangsari terletak di Dusun Dawangsari, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, atau berseberangan dengan lokasi Candi Barong.
Situs candi ini kini hanya menyisakan reruntuhannya saja. Di antara reruntuhan batu candi, terdapat beberapa batu yang berbentuk melingkar yang mengidentifikasikan bentuk dari sebuah stupa, dan bisa dipastikan dahulu candi ini digunakan sebagai tempat peribadatan umat Buddha.


Kerukunan umat beragama sudah dijalani sejak dulu oleh bangsa kita, terlihat dari Situs Dawangsari yang menganut agama Buddha dengan Candi Barong yang beragama Hindu, keduanya hidup rukun berdampingan. *** [270412]
Share:

Candi Mendut

Secara administrasi, Candi Mendut terletak di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi ini berada kira-kira 2 Km di sebelah tenggara ibu kota Kabupaten Magelang di Mungkid. Untuk mencapai lokasi Candi Mendut tidaklah sulit karena dapat ditempuh dengan berbagai jenis kendaraan baik roda dua maupun roda empat. Letaknya berdekatan dengan Candi Pawon serta Candi Borobudur yang sangat terkenal dan merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia.
Pada tahun 1836, seluruh bangunan Candi Mendut kecuali bagian atap bangunan dapat ditemukan dalam keadaan tertimbun semak belukar. Selanjutnya temuan bangunan candi tersebut diusahakan untuk dapat ditempatkan kembali dengan jalan dibersihkan dan digali pada tahun 1897 – 1904, kaki dan tubuh candi diperbaiki namun hasilnya belum memuaskan. Perbaikan berikutnya dilanjutkan oleh Th. Van Erp pada tahun 1908, bersamaan dengan perbaikan Candi Borobudur. Pada tahun tersebut berhasil disusun kembali sebagian atap candi. Pada tahun 1925 beberapa stupa kecil dapat dipasang kembali pada atap candi

.

Untuk menentukan secara pasti mengenai pendirian candi bercorak Buddha ini, sangatlah sulit mengingat terbatasnya data yang ditemukan. Namun demikian, para ahli memperkirakan bahwa Candi Mendut didirikan pada abad ke-9 Masehi oleh Wangsa Syailendra. Perkiraan ini didasarkan pada prasasti Karang Tengah yang berangka tahun 824 M. Di dalam prasasti itu disebutkan bahwa Raja Indra telah membuat bangunan suci bernama Venuvara atau hujan bambu, oleh JG De Casparis nama Venuvara disamakan dengan Candi Mendut.
Bangunan Candi Mendut berdiri di atas basement yang cukup tinggi sehingga tampak lebih kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat laut. Arah hadap candi ke barat laut tersebut tampaknya merupakan salah satu keistimewaan bagi Candi Mendut, karena kebanyakan candi di Jawa Tengah menghadap ke timur.


Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atap candi bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil yang berjumlah 48 buah. Berdasarkan gambar rekonstruksi, kemungkinan atap bangunan Candi Mendut dahulu ditutup dengan atap yang besar. Tinggi bangunan keseluruhan diperkirakan 26,40 meter.
Candi Mendut memiliki daya tarik tersendiri yang jarang ditemukan pada candi-candi lain di Jawa Tengah bahkan di Indonesia. Keberadaan tiga buah arca yang cukup besar di dalam bilik candi memiliki nilai keindahan yang sangat tinggi, baik dalam bentuk fisik maupun sebagai hasil karya seni. Bahkan di kalangan umat Buddha, ketiga arca tersebut dianggap masih memancarkan sinar kesucian. Ketiga arca tersebut masing-masing dibuat dari bongkahan batu utuh yang memperlihatkan betapa luar biasa hasil karya seni nenek moyang bangsa kita.

Ketiga arca tersebut, adalah:

1.       Arca Dyani Buddha Cakyamuni
Arca tersebut menghadap ke barat, digambarkan dalam posisi duduk, kedua kakinya menyiku ke bawah, menapak pada landasan teratai, sikap tangan dharmacakramudra yang melambangkan sedang memutar roda kehidupan.

2.       Arca Bodhisatva Avalokitesvara/Lokesvara
Arca ini terletak di sebelah kanan arca Buddha Cakyamuni menghadap ke selatan. Arca ini digambarkan dalam posisi duduk, kaki kiri dilipat ke dalam sedangkan kaki kanan menjulur ke bawah. Sikap tangan varamudra melambangkan memberi ajaran, juga digambarkan memakai pakaian kebesaran antara lain memakai mahkota dan memakai perhiasan pada telinga, tangan, leher dan kelat bahu.

3.       Arca Bodhisatva Vajrapani
Arca ini terletak di sebelah kiri arca Buddha Cakyamuni menghadap ke utara. Ia digambarkan memakai pakaian kebesaran seperti halnya arca Bodhisatva Avalokitesvara. Ia juga digambarkan dalam posisi duduk, kaki kanan dilipat dengan telapak kaki menyentuh paha, sedang kaki kiri menjulur ke bawah.
Hiasan pahatan relief yang tersebar di permukaan dinding luar bagian kaki dan badan candi menambah daya tarik Candi Mendut. Motif dan tema hiasan pada Candi Mendut bersumber dari cerita-cerita dan pelambangan dalam agama Buddha terutama cerita Jataka.
Pada Candi Mendut, adegan-adegan sinopsis cerita Jataka dipahatkan pada panel-panel bidang luar sayap tangga dan pada bagian bawah badan candi.
Salah satu panel pada sayap tangga kana sisi luar menggambarkan kisah tentang kura-kura dalam keadaan bahaya diselamatkan oleh dua ekor burung dengan menggigit kedua ujung batang kayu, untuk dibawa ke sebuah taman. Pada bagian lain juga terdapat adegan cerita Jataka yang mengisahkan tentang seekor kera yang menipu buaya. Pada relief tersebut tampak kera duduk di atas punggung buaya.

Hiasan relief yang juga sangat menarik pada dinding tubuh candi adalah:

  •  ·         Relief Kuvera/Yaksa Panhika/Arawika
Relief ini terdapat di sebelah kanan pintu masuk ke bilik candi. Ia digambarkan sebagai figure seorang laki-laki yang dikelilingi anak-anak. Di bawah tempat duduknya terdapat kendi-kendi yang penuh dengan uang.
Kendi penuh dengan uang adalah salah satu atribut Dewa Kuvera sehingga ia disebut juga sebagai dewa kekayaan. Dalam ontologi agama Buddha, pada awalnya ia adalah seorang yaksha raksasa pemakan manusia. Setelah bertemu dengan Sang Buddha, ia bertobat dan berubah menjadi pelindung anak-anak.
  • ·         Relief Hariti
Relief ini terletak di sebelah kiri pintu masuk ke bilik candi. Hariti digambarkan sedang duduk sambil memangku anak, di sekelilingnya terdapat beberapa anak yang sedang bermain. Seperti halnya kuvera, Hariti semula adalah raksasa yang gemar makan manusia. Setelah bertemu Sang Buddha, ia bertobat dan berubah menjadi pelindung anak-anak. Bahkan ia dikenal sebagai dewi kesuburan (Fertility Goddes).

  • ·         Relief Bodhisatva Avalokitesvara dan Dewi Tara
Relief ini terdapat di dinding tubuh sisi selatan relief Avalokitesvara, dipahatkan pada bagian tengah panel duduk di atas padmasana. Di kanan kirinya duduk caktiya atau istrinya, yaitu Dewi Tara. Di bawah padmasana terdapat kolam yang berisi teratai. Dalam mitologi Buddha, relief ini menggambarkan cerita kelahiran Dewi Tara di dunia.
Selain relief-relief tersebut, dijumpai pula relief-relief yang menggambarkan Bodhisatva, yaitu di dinding sisi timur, Dewi Tara di dinding sisi utara, dan relief-relief dalam bentuk flora. *** [201112]

Sumber:
  • Brosur Candi Mendut dari Kantor Pariwisata Pemerintah Kabupaten Magelang.
Share:

Candi Abang

Candi Abang terletak di Dusun Candiabang, Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bentuk candi ini sudah tidak utuh lagi, dan tertutup oleh tanah dan rerumputan sehinggu nampak seperti bukit. Dari bukit ini, kita dapat memandang Kota Yogyakarta dan sekitarnya.



Candi yang mirip piramida ini terbuat dari batu bata merah, bukan terbuat dari batu andesit yang biasa untuk pembuatan candi di Jawa Tengah maupun Yogyakarta. Karena terbuat dari batu bata merah, maka candi ini lebih dikenal sebagai Candi Abang. Abang merupakan kata yang berasal dari bahasa Jawa yang bermakna merah.
Dari sejumlah temuan hasil ekskavasi pada tahun 2002, diperkirakan candi merupakan peninggalan Hindu, dan dibangun pada abad 9 dan 10 semasa Kerajaan Mataram Kuna.
Bentuk candi ini berdenah segi empat dengan ukuran 36 m x 34 m, yang sekarang ditumbuhi rerumputan sehingga dari kejauhan tampak seperti sebuah bukit kecil atau gundukan tanah. Ketika ditemukan untuk pertama kalinya, dalam candi terdapat arca dan yoni sebagai simbol Dewa Siwa berbentuk segidelapan, dengan sisi berukuran 15 cm.


Sekitar 100 m di bawah Candi Abang terdapat Situs Gua Sentono. Situs Gua Sentono diduga merupakan pertapaan Hindu karena di dinding gua terdapat gambar atau relief para dewa agama Hindu. Pada malam Jumat Kliwon, lokasi ini sering ramai dikunjungi oleh para peziarah yang gemar melakukan tirakat atau semedi. *** [061012]
Share:

Candi Merak

Secara administratif terletak di Dukuh Candi Merak, Desa Karangnongko, Kecamatan Karangnongko, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Candi ini didirikan sekitar abad 8 – 10 Masehi.
Menurut Anto, salah seorang petugas yang menunggu candi, candi ini pertama kali ditemukan sekitar tahun 1925. Dulu, lahan candi merupakan lahan yang ada pohon Joho. Saking besarnya pohon Joho ini, banyak buruk merak yang suka bertengger atau tidur di sini. Namun karena tuanya umur pohon Joho tersebut, suatu ketika pohon tersebut tumbang.


Tumbang pohon Joho ini menyebabkan akarnya tercerabut ke atas, dan ini menjadikan tanah di bawah terangkat ke atas. Pada saat inilah muncul banyak arca di bawah pohon yang tumbang tadi. Setelah dilakukan penggalian lebih dalam, ternyata ditemukan candi. Karena dulunya di daerah ini banyak buruk merak yang tidur di sini, maka candi tersebut akhirnya dinamai Candi Merak.
Candi Merak merupakan candi yang berlatar belakang agama Hindu. Hal ini dapat dilihat dari arca-arca yang terdapat di Candi Merak, seperti lingga yoni, arca Ganesa dan arca Durga. Selain itu terdapat arca-arca lain di sekitar halaman Candi Merak seperti Nandi dan dewa-dewa lain dalam agama Hindu.


Candi Merak memiliki ukuran bangunan panjang 8,86 m, lebar 13,5 m dan tinggi 12 m, dengan luas kompleks candi sekitar 2.000 m². Di kompleks candi ini, terdapat satu buah bangunan candi induk yang menghadap ke timur, dan tiga buah candi perwara yang ketiganya menghadap ke barat. Pemugaran Candi Merak dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah dengan dana APBD Provinsi Jawa Tengah. Bagian kaki candid an bagian tubuh selesai dipugar pada tahun 2007 dan 2010. Sedangkan bagian atap candi selesai pada tahun 2011.
Ciri-ciri arsitektur bangunannya menunjukkan bahwa candi ini merupakan candi yang dibangun oleh Kerajaan Mataram Kuna seperti halnya Candi Sewu, Candi Prambanan, dan Candi Plaosan. Bahkan, ada yang memperkirakan candi ini seumuran dengan Candi Bima yang ada di Kompleks Candi Dieng. Hal ini terlihat dari kudhu dan kala makara yang terdapat di Candi Merak sama dengan yang ada di Candi Bima. *** [071012]
Share:

Candi Gebang

Pada bulan November 1936 seorang penduduk desa sedang menggali tanah untuk mencari batu untuk bahan bangunan, tetapi cangkulnya justru menemukan sebuah arca batu yakni arca Ganesha.
Penemuan ini kemudian ditindak lanjuti oleh Dinas Purbakala dengan melakukan sejumlah ekskavasi arkeologis. Dari penggalian ini diketahui bahwa di lokasi temuan arca Ganesha tersebut ternyata terdapat sisa sebuah bangunan candi yang telah runtuh dan terpendam tanah.
Selain temuan berupa bangunan juga ditemukan sejumlah artefak-artefak lain. Di antaranya adalah wadah gerabah, kotak batu berlubang (peripih), lingga serta sejumlah arca dewa.
Candi Gebang merupakan candi bercorak Hindu. Bangunan ini memiliki ukuran 5,25 x 5,25 m dengan tinggi 7,75 m. Bangunan candi menghadap ke arah timur dengan satu bilik tanpa tangga masuk. Di dalam bilik tersebut terdapat sebuah yoni.


Di sisi kanan pintu masuk terdapat arca Nandiswara. Nandiswara adalah dewa penjaga arah mata angin. Ia sering dijumpai dengan Mahakala. Untuk arca Mahakala di Candi Gebang seharusnya berada di sisi kiri pintu masuk tetapi arca ini telah hilang semenjak candi ditemukan.
Secara administratif, Candi Gebang terletak di Dusun Gebang, Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, atau tepatnya berada di belakang Stadion Maguwoharjo hanya saja terhalang oleh sungai bila menuju candi tersebut dari arah stadion. Sedangkan secara astronomis, bangunan Candi Gebang berada pada 110° 24’ 53.62” BT dan 07° 45’ 04.01” LS.


Penamaan candi yang ditemukan pada tahun 1936 ini didasarkan pada lokasi candi itu berada, yakni di Desa Gebang. Penamaan sebuah candi selain dari keberadaannya, candi juga bisa dinamai berdasar legenda yang dikenal oleh masyarakat atau juga didasarkan pada penyebutan dari sebuah prasasti.
Pada saat pertama kali ditemukan, Candi Gebang dalam kondisi runtuh total hanya tersisa bagian kaki. Tampak jika Candi Gebang juga tertimbun endapan lahar Merapi. Di wilayah Yogyakarta cukup banyak ditemukan bangunan candi yang tertimbun oleh endapan vulkanik. Di antaranya Candi Kedulan, Candi Sambisari, Candi Kadisoka serta Candi Morangan.
Masa pendirian Candi Gebang belum bisa diketahui dengan pasti. Hanya berdasar ciri arsitekturnya, agaknya Candi Gebang didirikan dari periode yang tua yakni sekitar tahun ± 730 hingga 800 Masehi.
Ciri arsitektur tersebut tampak pada relief kepala manusia di bagian atap candi yang seolah-olah melongok dari sebuah jendela. Ciri semacam ini dinamakan dengan Kudu. Relief Kudu juga dijumpai pada Candi Bima di kompleks percandian Dieng.
Setelah selesai dipugar pada tahun 1940, terlihat bahwa sejumlah arca pengisi relung pada tubuh bangunan kosong yakni di relung candi sisi utara dan selatan. Hanya di sisi barat saja yang berisi arca Ganesha yang duduk di atas lapik berbentuk yoni. Ganesha merupakan dewa penghilang segala marabahaya.
Sebagai upaya pelestarian peninggalan sejarah dan budaya, maka di tahun 1937 hingga 1939 Candi Gebang dilakukan pemugaran oleh Dinas Purbakala (Oudheid Dienst) yang dipimpin oleh Prof. DR. Van Romondt.
Saat ini kita sebagai generasi penerus sudah seharusnya untuk turut menjaga dan melestarikan peninggalan sejarah yang sangat berharga ini. *** [071012]
Share:

Candi Sambisari

Candi Sambisasri terletak di Dukuh Sambisari, Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara astronomis terletak pada 07° 45’ 48.13” LS dan 110° 26’ 46.43” BT. Candi Sambisari pertama kali ditemukan pada bulan Juli 1966, yakni ketika seorang petani yang sedang mencangkul sawahnya, tiba-tiba terbentur mengenai sebuah bagian batu candi yang berukir. Setelah melalui penelitian ternyata temuan tanpa sengaja tersebut merupakan bagian kecil dari sebuah gugusan candi yang terpendam hingga kedalaman 6,5 meter di dalam tanah yang merupakan endapan lahar vulkanik dari gunung Merapi.


Pada bulan September 1966 untuk pertama kalinya dilakukan kegiatan penelitian sistematis berupa ekskavasi arkeologis yang dilaksanakan oleh Kantor Cabang I Lembaga Peninggalan Purbakala Nasional di Prambanan dengan dibantu oleh para mahasiswa Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tahun 1975 hingga 1977 berhasil menampakkan satu buah bangunan induk dan tiga buah candi perwara. Kondisi candi-candi tersebut sudah dalam keadaan runtuh kecuali pada bagian kaki, sebagian pagar langkan dan sebagian bagian tubuh masih dalam kondisi aslinya.


Candi Sambisari merupakan candi Hindu yang dibangun sekitar abad 9 Masehi. Kemudian bangunan ini menghilang tertimbun endapan lahar Merapi. Di tahun 1986 pemugaran Candi Sambisari telah usai.
Candi Sambisari merupakan kelompok percandian yang terdiri dari sebuah candi induk dan tiga buah candi perwara di depannya. Candi induk menghadap ke arah barat dengan denah berbentuk bujursangkar berukuran 13,65 x 13,65 m dengan tinggi 7,5 m. Hal menarik dari candi induk adalah dijumpainya batu-batu pipih semacam umpak di sepanjang selasarnya. Batu-batu tersebut mempunyai tonjolan berbentuk bulan dan persegi. Pada sisi luar tubuh candi induk terdapat relung-relung yang ditempati oleh beberapa arca yakni arca Durga (sisi utara), arca Ganesha (sisi timur), dan arca Agastya (sisi selatan). Untuk dua buah arca di pintu masuk yakni Mahakala dan Nandiswara telah hilang dicuri pada tahun 1971.
Di depan candi induk terdapat 3 buah candi perwara yang berukuran 4,8 x 4,8 m (perwara sisi utara dan selatan), dan 4,9 x 4,8 m (perwara tengah). Secara keseluruhan kompleks Candi Sambisari dikelilingi oleh pagar berukuran 50 x 48 m.
Pada tahun 1976 ditemukan prasasti emas di bawah salah satu umpak di candi induk. Prasasti tersebut berukuran 2 x 1 cm yang bertuliskan om siwasthana yang artinya ‘hormat, rumah bagi dewa Siwa’. Di halaman candi juga ditemukan arca perunggu berukuran tinggi 29 cm dan lebar 12 cm. Arca ini adalah arca Vajrapani, yakni salah seorang Bodhisattva. Selain itu, juga ditemukan sejumlah talam dan cawan perunggu serja sejumlah gerabah. *** [061012]
Share:

Candi Cetho

Kompleks bangunan candi Cetho yang berlokasi di lereng barat Gunung Lawu, tepat di Dukuh Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah ini memiliki ukuran panjang 190 m dan lebar 30 m dan berada di ketinggian 1.496 m dari permukaan air laut.
Candi Cetho berlatar belakang agama Hindu. Pola halamannya berteras dengan susunan 13 teras meninggi ke arah puncak. Bentuk bangunan berteras seperti ini mirip dengan bentuk punden berundak masa prasejarah.



Tahun Pendirian dan Fungsi Candi
Prasasti dengan huruf Jawa Kuno pada dinding gapura teras ke-7 berbunyi “Pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397”, yang dapat ditafsirkan peringatan pendirian tempat peruwatan atau tempat untuk membebaskan dari kutukan dan didirikan tahun 1397 Saka (1475 M).


Fungsi Candi Cetho sebagai tempat ruwatan juga dapat dilihat melalui simbol-simbol dan mitologi yang ditampilkan oleh arca-arcanya. Mitologi yang disampaikan berupa cerita Samudramanthana dan Garudeya. Sedangkan simbol penggambaran phallus dan vagina dapat ditafsirkan sebagai lambang penciptaan atau dalam hal ini adalah kelahiran kembali setelah dibebaskan dari kutukan.

Riwayat Penelitian dan Pemugaran
§   Candi Cetho pertama kali dikenal dari laporan penelitian van der Villis pada tahun 1942 yang kemudian penelitian dan pendokumentasian dilanjutkan oleh W.F. Stuterheim, K.C. Crucq dan A.J. Bernet Kempers.
§       Riboet Darmosoetopo dkk pada tahun 1976 telah melengkapi hasil penelitian sebelumnya.
§   Tahun 1975/1976 Sudjono Humardani melakukan pemugaran terhadap Kompleks Candi Cetho dengan dasar “perkiraan” bukan pada kondisi asli. Dengan kata lain, pemugaran tersebut tidak mengikuti ketentuan pemugaran cagar budaya yang benar.
§   1982 Dinas Purbakala (sekarang Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) meneliti dalam rangka rekonstruksi.



Nuansa Lokasi Candi
Lokasi candi yang terletak di lereng Gunung Lawu membawa konsekuensi bahwa di daerah sekitar candi adalah sejuk di siang hari dan dingin pada malam hari. Suasana udara ini ternyata membawa berkah bagi masyarakat sekitar candi tersebut. Mereka bisa menanam berbagai tanaman sayuran di ladang maupun halaman rumahnya, dalam skala besar (baik lahan maupun modal) banyak terhampar perkebunan teh yang sudah melegenda sejak zaman Belanda.


Dalam perjalanan, pengunjung akan dimanjakan oleh pemandangan kebun teh bak beludru yang menghampar luas di punggung-punggung bukit. Yang suka minum teh, bisa singgah sebentar di Rumah Teh Ndoro Doker, daerah Kemuning, yang bangunannya menyerupai bangunan ala Belanda.
Sehingga, perlu dipastikan dulu kehandalan moda transportasi untuk menuju ke candi tersebut. Nuansa pegunungan yang memiliki tikungan tajam, naik-turun, tidak bisa ditempuh dengan kendaraan yang asal-asalan. *** [140912]




Share:

Candi Ngetos

Candi ini secara geografis terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, ± 17 km ke arah selatan dari Kota Nganjuk. Bangunannya terletak ditepi jalan beraspal antara Kuncir dan Ngetos. Menurut para ahli, berdasarkan bentuknya candi ini dibuat pada abad XV (kelimabelas) yaitu pada zaman kerajaan (Majapahit). Dan menurut perkiraan, candi tersebut dibuat sebagai tempat pemakaman raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Bangunan ini secara fisik sudah rusak, bahkan beberapa bagiannya sudah hilang, sehingga sukar sekali ditemukan bentuk aslinya.



Berdasarkan arca yang ditemukan di candi ini, yaitu berupa arca Siwa dan arca Wisnu, dapat dikatakan bahwa Candi Ngetos bersifat Siwa–Wisnu. Kalau dikaitkan dengan agama yang dianut raja Hayam Wuruk, amatlah sesuai yaitu agama Siwa-Wisnu. Menurut seorang ahli (Hoepermas), bahwa didekat berdirinya candi ini pernah berdiri candi berukuran lebih kecil (sekitar 8 meter persegi), namun bentuk keduanya sama. N.J. Krom memperkirakan bahwa bangunan candi tersebut semula dikelilingi oleh tembok yang berbentuk bulat cincin.
Candi yang memiliki ukuran dengan panjang 9,1 m, dan tinggi 10 m, dibangun pada abad 15 (zaman Majapahit) atas perintah Raja Hayam Wuruk kepada pamannya Raja Ngatas Angin atau Raden Ngabei Siloparwoto dengan patihnya yang bernama Raden Bagus Condrogeni.
Candi ini dibangun untuk dipergunakan sebagai tempat penyimpanan abu jenazah Hayam Wuruk atau untuk pemakaman dirinya. Hayam wuruk ingin dimakamkan di situ karena daerah Ngetos masih termasuk wilayah Majapahit yang menghadap gunung Wilis yang seakan-akan disamakan gunung Mahameru. *** [150812]

Share:

Candi Lor

Candi Lor terletak di Desa Candirejo, Loceret ± 4 km selatan Kota Nganjuk. Berdiri di atas tanah seluas 42 x 39,40 m = 1.654 m², luas saubasementnya (alasnya) 12,40 x 11,50 m = 142,60 m², dan tinggi candi ± 9,30 m, didirikan oleh seorang yang bernama Empu Sindok tahun 859 Çaka atau 937 Masehi sebagai Tugu Peringatan atas jasa masyarakat Anjuk Ladang (sekarang Nganjuk) saat melawan tentara Melayu. Prasasti Anjuk Ladang yang ditemukan di sekitar Candi Lor merupakan bukti sejarah berdirinya Kabupaten Nganjuk.
Pada bangunan Candi Lor ini terdapat 2 buah makam, yaitu Abdu Dalem Kinasih Empu Sindok yang bernama: Eyang Kerto dan Eyang Kerti.



Selain terdapat makam, juga kita dapat jumpai pohon yang sangat besar yang umurnya ± 500 tahun. Pohon kepuh ini berdiri di atas bangunan candi. Bahan baku pada bangunan Candi Lor adalah bata berukuran tinggi 5,6 m, panjang 7 m dan lebar 4,2 m. Keadaan candi sudah tidak utuh lagi tinggal sebagian badan dan kaki, dari tangga yang diperkirakan candi menghadap ke barat.



Keadaan sekarang hanya tinggal reruntuhan tetapi dari sisa-sisa yang ada dapat diketahui bahwa bangunan semula terdiri dari dua tingkat. Bagian depannya di barat di dekat reruntuhan candi ditemukan reruntuhan arca Ganesha dan Nandi, serta prasasti batu bertarikh 850 Çaka (937 M) yang menyebutkan bangunan suci Srijayamerta. Sehingga dapat disimpulkan Candi Lor merupakan bangunan suci Agama Hindu.

Latar Belakang Sejarah
Laporan paling tua tentang Candi Lor ditulis Raffles pada tahun 1817, ia mencatat bahwa distrik Anjoek terdapat sebuah bangunan suci berdiri sangat bagus dengan bentuk seperti Candi Jabung di Probolinggo. Menurut Raffles, kemiripan tersebut menunjukkan bahwa baik dimensi maupun rancangan umum dari sejumlah candi-candi distrik timur berbeda jauh dan dibangun dengan material yang sama. Pada tahun 1866 Hoepermans mencatat tentang keadaan Candi Lor yang waktu itu berupa sisa-sisa bangunan dari bata yang ditumbuhi oleh pohon kepuh.
Bangunan Candi Lor tanpa ornamen dengan pintu masuk di sebelah barat, di tempat ini ditemukan arca-arca banyak yang sudah cacat. Di antara arca-arca tersebut terdapat Ganesha dan Nandi, kemudian arca-arca itu dibawa ke Kediri. Sedangkan pada tahun 1908, Kneebel mencatat bahwa di suatu ketinggian di sisi jalan Desa Papoengan, terdapat candi tanpa atap yang keadaannya dililit oleh akar-akar pohon sepreh. Di sekitar candi terdapat Yoni yang telah patah dan terdapat sebuah kuburan. Situs Candi Lor ini terkenal sebagai tempat pertapaan tokoh yang bernama Gentiri.
Pada tahun 1913 N.J. Krom banyak mengulas tentang prasasti Anjuk Ladang yang ditemukan di halaman Candi Lor. Prasasti tersebut pernah dibawa ke Residen Kediri yang akhirnya karena kepentingan penelitian dibawa ke Jakarta dengan nomor inventaris C.59. Bagian yang memuat angka tahun pada Prasasti Anjuk Ladang tersebut sudah aus sehingga menimbulkan berbagai penafsiran para ahli. Brandes membacanya 857 Çaka yang kemudian hari diragukan ketepatannya oleh L.C. Damais. Menurutnya angka tahun tersebut haruslah dibaca 859 Çaka (937 M).
Prasasti Anjuk Ladang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isana Wikrama Dharmottungga Dewa yang memerintahkan Rakai Hino Pu Sahasra Rakai Wka Pu Baliswara serta Rakai Kanuruhan Pu Da untuk menetapkan Watek Anjuk Ladang (Nganjuk) sebagai Desa Swantantra, seperti tersurat dalam kalimat: …”Sawah kakaitan I Anjuk Ladang tutugani tanda Swantantra”.
Habib Mustopo menjelaskan bahwa data yang tak diragukan adalah adanya centara penetapan Swantantra di Anjuk Ladang dengan sebuah bangunan suci seorang tokoh yang cukup terkenal yaitu “Bhatara I Sang Hyang plasada kabyaktan I dharma samgat I Anjuk Ladang”. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Candi Lor paling tidak berasal dari 859 Çaka atau 937 M dan berhubungan langsung dengan Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isana Wikramatunggadewa dan sampai sekarang Candi Lor dikenal sebagai candi cikal bakal berdirinya Kabupaten Nganjuk dan sebagai dasar penetapan hari jadi Kota Nganjuk pada tanggal 10 April 937 M. *** [150812]
Share:

Segaran Majapahit

Kolam Segaran merupakan salah satu dari 32 waduk/kolam kuno Majapahit yang masih dapat disaksikan hingga saat ini. Orang yang pertama kali menemukan kola mini adalah Ir. Henry Maclain Pont pada tahun 1926. Letak kolam di depan Museum Majapahit agak bergeser ke utara yang secara administratif termasuk wilayah Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Bentuk denah kolam empat persegi panjang berukuran panjang 375 m dan lebar 125 m. Dinding kolam setinggi 3,16 m sementara lebarnya 1,6 m.


Bahan bangunan kolam terbuat dari bata yang direkatkan satu sama lain dengan cara digosokkan tanpa menggunakan perekat. Pada bagian tenggara terdapat saluran yang mengalirkan airnya ke kolam, sementara pada bagian barat laut terdapat saluran pembuangan air. Saluran ini berhubungan dengan Balong Bunder (Kolam Bulat) yang terletak di sebelah selatannya serta Balong Dowo (Kolam Panjang) yang terletak di depan Museum Majapahit. Kedua kolam/balong tersebut sekarang telah mengalami pendangkalan dan tidak berfungsi.


Pada waktu ditemukan hampir seluruh bagian kolam tertutup tanah dan rerumputan seluas 65.448 m³. Pada tahun 1966 diadakan pemugaran pada kolam tersebut. Namun kegiatan ini hanya berlangsung satu tahun. Pemugaran yang lebih terencana dilaksanakan pada tahun 1974 dan berlanjut pada Tahun Anggaran 1983/1984.


Menurut cerita rakyat pada masa kejayaan Majapahit, Kolam Segaran digunakan sebagai tempat rekreasi dan menjamu tamu dari luar negeri. Diceritakan apabila penjamuan telah usai, maka peralatan perjamuan seperti piring, mangkuk dan sendok yang terbuat dari emas dibuang di kolam untuk menunjukkan betapa kayanya Kerajaan Majapahit. Namun berdasarkan adanya saluran keluar masuk serta luasnya kolam diduga kola mini dahulu difungsikan sebagai waduk atau penampung air.
Sementara peneliti lain menyebutkan Segaran dikaitkan juga kegunaannya sebagai penambah kelembaban/kesejukkan udara Kota Majapahit. Bangunan ini mencerminkan kemampuan Majapahit beradaptasi dengan lingkungannya. Para ahli memperkirakan Kolam Segaran adalah “telaga” yang disebutkan dalam Kitab Negarakertagama Pupuh VII:5.3. *** [210112]
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami