The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Indonesia Tourism. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesia Tourism. Tampilkan semua postingan

Eloknya Nagari Tuo Pariangan

Kabupaten Tanah Datar di Sumatera Barat tengah menghelat promosi pariwisata yang obyeknya relative bervariasi, mencakup atraksi budaya, peninggalan sejarah, produk budaya, ragam kuliner, dan panorama alam. Namun, berkunjung ke Tanah Datar tidak lengkap tanpa menelusuri Nagari Tuo Pariangan.
Daerah yang terletak di kaki Gunung Marapi tersebut berdasarkan tambo atau cerita rakyat dipercaya luas sebagai asal-usul orang Minangkabau. Dalam tambo yang tersimpan di nagari itu, Wali Nagari Tuo Pariangan April Khatib Saidi meyakini asal-usul orang Minangkabau berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain.
Iskandar Zulkarnain adalah seorang penguasa dengan wilayah kekuasaan yang membentang dari belahan bumi bagian barat hingga timur yang hidup pada ribuan tahun lalu.
Mitos tentang kehebatan Iskandar ini membuat banyak penguasa dalam berbagai kebudayaan mengaitkan asal-usulnya dengan kisah tersebut. Dalam versi tambo Minang, April menyebutkan awalnya Sultan Iskandar memiliki tiga anak, yakni Sultan Suri Maharajo Dirajo, Sultan Maharajo Alif, dan Sultan Maharajo Depang yang merantau ke negeri seberang.
Di tengah jalan ketiganya berpisah, dan tinggal Sultan Suri Maharajo Dirajo bersama pengikutnya yang berlayar hingga tiba di kawasan Gunung Marapi. Goa-goa tempat tinggal yang berupa ruangan akhirnya disebut “Paruangan” hingga kemudian menjadi “Nagari Pariangan”.

Nagari riang
Adapun nama Pariangan disebutkan berasal dari keriangan yang didapat tatkala penduduk nagari berhasil menjerat rusa untuk dimakan. Keriangan itu juga masih tampak ketika menyusuri wilayah nagari yang memiliki mata air panas alami itu.
Tempat pemandian berupa pancuran air panas didirikan di dekat Masjid Ishlah yang berarsitektur tradisional. Tempat mandi dengan pemisahan ruang bagi laki-laki dan perempuan itu memiliki dua pancuran untuk air panas dan air dingin.
Sensasi panas dan dinginnya tidak seberapa serta tidak sampai menyakiti kulit. Kucuran air yang sampai di kulit cenderung terasa hangat. Sejumlah warga menggunakan lokasi pemandian untuk keperluan sehari-hari. Sekalipun ada juga pengunjung yang penasaran mencoba.
“Ada juga pengunjung dari Pekanbaru, Jakarta, dan daerah lain di Sumbar yang datang mandi  di sini,” kata Rahmat Hidayat, warga setempat.
Namun, pengunjung juga mesti bersiap dengan pemandangan yang cenderung mengganggu di sekitar lokasi pemandian itu. Pasalnya, tumpukan sampah domestik yang didominasi pembungkus berbahan plastik banyak terlihat di sekitar aliran air sungai yang berbatu.
Nagari Tuo Pariangan bisa dicapai sekitar 2,5 jam perjalanan dengan kendaraan pribadi. Jika hendak menggunakan kendaraan umum, silakan memilih bus atau mobil biro perjalanan rute Padang-Batusangkar.
Sekitar 15 kilometer sebelum tiba di Batusangkar terdapat pintu masuk dengan atap bagonjong yang jadi penanda wilayah Nagari Tuo Pariangan. Kita akan disambut dengan hamparan sawah tak lama sesudah memasuki gerbang itu.
Nagari itu terdiri atas empat jorong, yakni Jorong Pariangan, Padangpanjang, Sikaladi, dan Guguak. Luasnya 2.749 hektar dengan 6.012 penduduk yang mayoritas petani. Dengan sejumlah obyek wisata sejarah, atraksi budaya, dan alam, Nagari Tuo Pariangan tengah gencar berupaya sebagai lokasi kunjungan utama di Tanah Datar.
Untuk keperluan itu, tiga buah rumah gadang dibuka secara gratis sebagai penginapan. Setiap rumah gadang bisa menampung sedikitnya 40 orang.
Sekitar 1.500 pengunjung dari sejumlah negara datang ke nagari itu setiap bulannya. “Baru saja kami menerima 120 mahasiswa asal Malaysia untuk studi tentang sejarah nagari ini selama 40 hari,” kata April.
Atraksi budaya yang khas ialah kebiasaan ziarah dan berzikir yang dilakukan penduduk nagari sesuai ibadah puasa di bulan Syawal. Tradisi setelah enam hari puasa yang dimulai sejak tanggal 2 Syawal itu dilakukan setiap hari Kamis. “Ditetapkan hari Kamis karena menurut keyakinan orang di Nagari Tuo Pariangan, pada saat itulah arwah para pendahulu bisa berkesempatan datang ke tengah-tengah kita,” kata April.
Salah satu yang terus dipromosikan sebagai obyek wisata unggulan adalah atraksi Pacu Jawi. Tontonan berupa sepasang sapi yang dipacu joki setiap usai panen dan saat mulai menanam padi itu telah masyhur hingga mancanegara.

Jejak budaya
Beragam obyek lain seperti delapan buah batu sandar yang terdapat di dalam kompleks Kuburan Panjang Datuak Tantejo Gurhano adalah peninggalan sejarah yang mengagumkan. Batu-batu sandar itu menjadi tempat duduk tetua adat masing-masing delapan suku untuk bermusyawarah.
Karena itulah dikenal juga sebagai Medan Nan Bapaneh atau tempat bermusyawarah. Tokoh adat Nagari Tuo Pariangan, Aswardi Sutan Tumangguang, mengatakan, delapan suku yang sejak awal menghuni Nagari Tuo Pariangan adalah Dalimo, Sikumbang, Koto, Dalimo Panjang, Dalimo Singkek, Pisang, Melayu, dan Piliang.
“Saat ini suku Sikumbang sudah tidak di sini karena pindah ke daerah lain,” kata Aswardi.
Di sini terdapat kuburan Panjang Datuak Tantejo Gurhano yang berukuran 25,5 meter x 7 meter. Panjang Datuak tokoh pembuat Balairung Sari Tabek di Nagari Tabek, Kecamatan Pariangan. Balairung itu merupakan tempat bermusyawarah utama yang terbuat dari kayu dan atap ijuk dengan waktu pembuatan sekitar 450 tahun lalu.
Adapun kompleks Kuburan Panjang Datuak Tantejo Gurhano yang kini sudah ditetapkan sebagai situs cagar budaya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Pubakala (BP3) Batusangkar berada di atas lahas seluas 629 meter persegi. Hampir mirip dengan berbagai kisah di beberapa lokasi kuburan kuno di Indonesia, warga setempat percaya hasil pengukuran panjang kuburan pada waktu berbeda tidak akan pernah sama.
Nagari Tuo Pariangan juga memiliki peninggalan berupa rumah-rumah gadang. Terdapat 35 unit rumah gadang di nagari itu. Namun, tujuh unit rumah gadang rusak berat dan 10 unit lainnya rusak ringan.
Sejumlah rumah gadang dengan rangkiang atau lumbung padi di pelataran itu tampak kusam dengan kayu lapuk. Bagian atap bagonjong masih tampak utuh. Namun, di bagian jenjang atau tangga menuju bagian dalam rumah sudah tampak ditumbuhi tanaman liar.
“Rumah-rumah gadang itu rusak karena faktor umur bangunan yang rata-rata sudah lebih dari 200 tahun. Juga karena sudah tidak ditinggali lagi oleh kaum sebagai pemilik,” kata Aswardi.
Ia menambahkan, sebagian anggota kaum yang memiliki rumah gadang sudah memiliki rumah sendiri atau merantau ke luar kawasan nagari itu. Hal itu menyebabkan rumah-rumah gadang tidak lagi terawat.
“Apalagi biaya untuk memperbaiki rumah gadang relatif mahal,” ujar Aswardi.
Menurut dia, perbaikan tidak bisa serta-merta dilakukan. Pasalnya, harus ada kesepakatan di dalam kaum dengan persetujuan ninik mamak atau tokoh adat dalam kaum tersebut.
Dalam kultur Minangkabau, rumah gadang yang dimiliki kaum tertentu merupakan salah satu identitas kebudayaan dalam sistem sosial kemasyarakatan yang dikuasai secara matrilineal. Rumah gadang merupakan bentuk penegasan atas eksistensi suatu kaum tertentu di Minangkabau.
Kepala Seksi Promosi Wisata Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tanah Datar Efrison mengatakan, porsi pembangunan pariwisata untuk nagari itu memang belum termasuk dalam prioritas program selama sepuluh tahun terakhir. Adapun obyek-obyek wisata yang telah masuk dalam prioritas program adalah Istano Basa Pagaruyung, Air Terjun Lembah Anai, Tanjung Mutiara di Danau Singkarak, panorama alam Tabek Patah, pemandangan Puncak Pato, dan situs Batu Angkek-Angkek.

Bukti sejarah
Menurut Koordinator Kelompok Kerja Dokumentasi dan Publikasi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar Teguh Hidayat, hingga sejauh ini belum ada bukti otentik yang memastikan Nagari Tuo Pariangan sebagai lokasi asal-usul orang Minangkabau.
Ia menambahkan, hal tersebut tidak lepas dari belum adanya bukti ilmiah yang terkait dengan tambo mengenai keyakinan bahwa Nagari Pariangan merupakan lokasi asal-usul orang Minang.
Kadang kala yang sulit di Minang ini mencari korelasi dan relevansi antara tambo dan bukti-bukti sejarah yang sesungguhnya. Saatnya ada penelitian ilmiah tentang topic tersebut. *** [INGKI RINALDI]

Sumber:
  • KOMPAS edisi Selasa, 23 Oktober 2012 hal. 24.

 
Share:

Pemberdayaan Kota Lama

Perlu waktu lama untuk menemukan kembali koleksi buku terbitan tahun 1933 tentang sejarah kota Semarang. Membuka buku itu, saya merasa seperti napak tilas ke kawasan Kota Lama, yang pada masa lalu sebagian orang menyebutnya Outstadt.
Arsitek UNDIP Murtomo B Adji dalam Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman: Arsitektur Kolonial Kota Lama Semarang (2008) menyebutkan luas kawasan itu terpisah dari blok di sekitarnya, seperti “kota” tersendiri sehingga ada yang menyebut Little Netherland.
Hingga saat ini masyarakat masih bisa melihat sisa kebesaran kawasan itu. Sejumlah bangunan kuno yang pada masa Hindia Belanda difungsikan sebagai perkantoran masih berdiri kokoh. Ada yang terpelihara dengan baik semisal Gereja Immanuel (Gereja Blenduk), termasuk yang direfungsikan seperti kantor Bank Mandiri dan PT. Asuransi Jiwasraya.
Karena itu, saya mengapresiasi penyelenggaraan Festival Kota Lama, baru-baru ini (SM, 05/10/12), yang bertujuan antara lain melestarikan sekaligus memberdayakan kawasan itu. Festival juga terkait dengan penyambutan Visit Jateng 2013.
Upaya itu perlu kita acungi jempol mengingat ada pihak swasta berpartisipasi. Artikel saya di harian ini edisi 20 November 2007 juga menyebutkan, “Kota Lama harus kita manfaatkan untuk tempat penyelenggaraan festival, seni budaya, atau tempat lomba masakan dan jajanan khas Semarang.”
Membaca buku sejarah kota ini dan pemberitaan Festival Kota Lama, membuat saya merasa perlu mengingatkan arti penting mengonservasi kawasan itu, yang memiliki nilai kesejarahan tinggi dan keunikan, berbeda dari landmark kota besar lain di Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri kehadiran Kota Lama tidak terlepas dari sejarah pembentukan kota ini. Gedung-gedung di Kota Lama dibangun di satu kompleks atau blok yang memang didesain untuk sentra perdagangan bangsa Belanda, China, dan pribumi. Di antara gedung-gedung itu, ada Hotel Jansen, yang kini sudah rata dengan tanah.

Kota Perdagangan
Perjalanan sejarah Semarang sebagaimana ditulis Liem Thian Joe (Riwayat Semarang, 2004) menyebutkan sejak abad 18 – 19 kota ini sudah menjadi kota perdagangan. Ia juga menulis pada 1896 kota ini sudah memiliki sarana dan prasaran perhubungan angkutan laut, serta informasi dan komunikasi.
Tentu fasilitas atau perangkat yang tersedia sangat minim dan sederhana, seperti sepeda dan gerobak untuk mengangkut hasil bumi gudang ke pelabuhan. Tahun 1863, Semarang bahkan sudah menerbitkan lembaran iklan Semarangsch Nieuws en Advertentieblad, media untuk mempromosikan perdagangan.
Dalam perkembangannya, lembaran iklan itu berganti format menjadi surat kabar, dengan nama de Locomotief.
Kawasan Kota Lama dibelah oleh jalan besar, Heerenstraat (kini Jalan Letjen Soeprapto), dan seorang tokoh Belanda Sneevliet menamai itu Benedenstat (Kota Bawah). Penamaan itu untuk membedakan penyebutan daerah Candi sebagai Kota Baru atau Kota Atas.
Heerenstraat merupakan embrio pusat perdagangan, dengan perusahaan yang menonjol antara lain Mirandolle Voute & Co (bisnis utama gula) dan Kian Gwan (kongsi milik Oei Tjie Sien, pengekspor hasil bumi).
Pada masanya perusahaan itu sangat terkenal dan tahun 1905 mulai menjalankan usahanya dari perkantoran di Kota Lama.
Pemangku kebijakan juga perlu menata lalu lintas di kawasan itu, termasuk lalu lintas ke tempat rekreasi lain di kota ini. Penataan arus lalu lintas sekaligus untuk menciptakan kenyamanan dan menjaga gedung-gedung tua itu dari getaran yang ditimbulkan kendaraan berat yang melintas di dekatnya.
Selain itu, perlu membuat brosur terkait Kota Lama, yang bisa dititipkan di rumah makan, hotel, stasiun, terminal, bandara, dan pelabuhan, yang menjadi akses masuk wisatawan.
Upaya itu untuk melengkapi promosi melalui internet. Pemkot harus lebih serius membenahi Kota Lama supaya bisa dipasarkan melalui kegiatan lokal, regional, ataupun internasional. *** [R. Haryanto, warga Semarang]

Sumber:           
  • SUARA MERDEKA edisi Seni, 22 Oktober 2012.
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami