The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Boyolali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Boyolali. Tampilkan semua postingan

Candi Sari Cepogo

Usai ke Candi Lawang, saya beranjak ke arah barat untuk mengunjungi sebuah bangunan candi yang masih berada satu desa dengannya. Jaraknya sekitar 1,5 kilometer dari Candi Lawang, dan berada di lereng timur Gunung Merapi. Letak candi ini lebih tinggi dari letak Candi Lawang, karena berada di atas bukit kecil dengan ketinggian 991 meter di atas permukaan air laut.
Sesuai dengan papan nama yang ada di dalam lingkungan candi tersebut, tertulis Candi Sari. Namun untuk membedakan dengan candi yang berada di daerah Kalasan, Kabupaten Sleman, yakni Candi Sari, dalam tulisan ini nama candi tersebut ditambahi dengan nama wilayah yang sudah cukup di kenal, yaitu Cepogo. Sehingga, menjadi Candi Sari Cepogo.


Candi ini terletak di Dusun Candisari RT 07 RW 02 Desa Gedangan, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi candi ini berada di sebelah barat Mushola Al Barokah, atau berada di antara Kali Musuk (75 meter ke selatan) dan Kali Gandul (100 meter ke utara).
Candi Sari Cepogo sekarang hanya tersisa pondasinya serta beberapa peninggalan purbakala lainnya. Di atas pondasi candi  terdapat empat buah batu andesit berbentuk seperti ratna di setiap sudutnya serta satu buah lingga semu di atasnya seperti lapik arca yang diletakkan di tengah pondasi.


Bangunan Candi Sari berdenah bujur sangkar dan memiliki ukuran 4,62 x 4,62 meter. Ketinggian candi sekitar 7 sentimeter. Candi Sari ini dibangun pada periode klasik, sekitar abad 9, dan bercorak agama Hindu. Hal ini didasarkan adanya temuan arca Panteon Hindu, yaitu Durga, Ganesa, dan  Agastya. Selain itu juga ada yoni dan arca Nandi yang merupakan tunggangan Dewa Siwa.
Dalam penelitiannya yang bertitel “Kajian Arsitektur Percandian Petirtaan di Jawa (identifikasi)”, Rahadhian Prajudi Herwindo dan Fery Wibawa C. (2015: 51) menjelaskan, bahwa kompleks Candi Sari ini masih satu rangkaian dengan Candi Lawang dan Candi Petirtaan Cabean Kunti. Ketiganya dibangun pada masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga, raja terakhir Kerajaan Mataram Kuno atau Medang periode Jawa Tengah, yang memerintah dari tahun 924-929.


Tuanya umur candi ini, tak mengherankan bila kondisi sosial budaya di sekitar candi banyak bersliweran ceritera mistis maupun mitos. Menurut juru pelihara Sutrisno, diperkirakan bahwa bentuk candi ini sebenarnya cukup besar. Namun di kalangan masyarakat muncul mitos yang masih diyakini hingga sekarang, bahwa siapa saja yang menggali bukit tempat berdirinya candi tersebut, kelak akan menimbulkan sebuah banjir besar. Dari situlah para arkeolog memutuskan tidak melakukan penggalian lagi. Bukit di tempat candi berada dipercaya sebagai sumber mata air penduduk setempat.
Terlepas dari mitos-mitos yang berkembang, mengunjungi Candi Sari selain melihat langsung batu-batu peninggalan purbakala, Anda akan dimanjakan oleh panorama pegunungan yang indah. Berlatar belakang Gunung Merapi dan Merbabu, pengunjung dapat menikmati pemandangan lembah yang berada di lereng kedua gunung tersebut dengan diiringi sejuknya udara pegunungan. *** [080220]

Kepustakaan:
Herwindo, R. P. (2015). Kajian Arsitektur Percandian Petirtaan di Jawa (identifikasi). Research Report-Engineering Science, 1. Diunduh dari http://journal.unpar.ac.id/index.php/rekayasa/article/view/1358
https://www.solopos.com/pesona-candi-lawang-dan-candi-sari-boyolali-929951
Share:

Candi Lawang

Usai melihat pesona Pesanggrahan Pracimoharjo, saya melanjutkah langkah menuju ke arah barat. Kira-kira menempuh perjalanan sedikit menanjak sejauh sekitar 3 kilometer, bertemulah dengan bangunan candi lawas yang bernama Candi Lawang.
Candi ini terletak di Dusun Dangean RT 03 RW 03 Desa Gedangan, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi candi ini berada di belakang permukiman penduduk, tepatnya berada di belakang rumah kakek canggah dari juru pelihara candi saat ini, atau berjarak sekitar 210 meter dari Kampung Wisata Dangean. Tanpa bertanya rasanya agak kesulitan untuk menemukan bangunan candi ini.


Candi yang berdiri di atas lahan seluas sekitar 500 m² ini berada di lereng timur Gunung Merapi yang memiliki ketinggian 932 meter di atas permukaan laut. Letak candi ini berbatasan dengan tebing di sebelah utara dan timurnya.
Candi Lawang merupakan suatu situs percandian. Di situs ini ditemukan lima stuktur bangunan, yaitu candi induk, candi perwara I, candi perwara II, candi perwara III, dan candi perwara IV. Candi induknya sudah tidak utuh lagi, hanya terlihat sebagian tubuhnya, berdenah bujur sangkar. Pada candi induk masih dapat dijumpai batur, kaki, tubuh bawah dan pintu.


Sementara itu, empat struktur bangunan candi perwara hanya tersisa pondasi dan bagian alas bangunan. Di sebelah utara dan selatan candi induk ditemukan candi perwara berdenah bujur sangkar. Sedangkan candi perwara yang berada di sebelah timur berdenah persegi panjang.
Temuan-temuan lainnya di sekitar candi adalah sebuah yoni, arca Agastya, arca Durga Mahisasuramardini (sekarang disimpan di Museum Radyapustaka, Surakarta), pecahan makara, dan simbar (antefiks).


Candi Lawang memiliki perbingkaian gaya klasik tua di bagian kaki dan sebagian tubuhnya. Ragam hias penghias bangunan (ornamental) berupa simbar dan hiasan untaian bunga serta hiasan geometris berupa motif gawang (kotak-kotak). Bagian tubuh bawahnya memiliki bentuk genta dan setengah lingkaran.
Situs Candi Lawang ini merupakan candi Hindu. Hal ini dapat diketahui dari penemuan yoni dan arca-arcanya. Waktu pembangunan Candi Lawang belum dapat diungkap secara pasti. Secara relatif periodesasi candi dapat diketahui dari langgam bangunan. Langgam bangunan dapat ditentukan berdasarkan bentuk perbingkaian bagian kaki candi dan bagian tubuh bawah. Berdasarkan langgam tersebut, periodesasi Situs Candi lawang dapat diketahui, yaitu antara tahun 750 M – 800 M.
Dilihat dari periodesasi itu, Situs Candi Lawang berdiri pada masa Kerajaan Mataram Kuno namun siapa pembangun candi tersebut belum dapat diketahui. Hal ini lantaran belum ditemukannya prasasti yang mengulas masalah situs percandian tersebut. *** [080220]
Share:

Pesanggrahan Pracimoharjo

Janjian jumpa dengan teman asal Boyolali pada hari Sabtu (08/02/2020), memberikan berkah tersendiri. Di sela-sela penantian waktu sua, saya berkeliling tlatah Boyolali dan berkesempatan mengunjungi sejumlah spot kekunaan yang menawan. Salah satu spot itu berupa bangunan kuno peninggalan penguasa Kraton Surakarta Hadiningrat, yang bernama Pesanggrahan Pracimoharjo.
Pesanggrahan ini terletak di Jalan Ismoyo, Dusun Krapyak RT 06 RW 02 Desa Paras, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi pesanggrahan itu berada di seberang jalan Kantor Kepala Desa Paras.
Pesanggrahan Pracimoharjo terletak di lereng timur Gunung Merapi, dan berjarak sekitar 400 m dari jalan utama penghubung Boyolali-Selo-Magelang. Kalau ke pusat Kota Boyolali jaraknya sekitar 8 Km, dan kalau dengan pusat Kota Surakarta (Solo) berjarak sekitar 35 Km.

Gapura Pesanggrahan Pracimoharjo

Pesanggrahan Pracimoharjo konon telah berdiri sekitar tahun 1803-1804,  semasa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV. Kemudian pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono  X atau PB X (1893-1939), pesanggrahan ini dibangun lebih besar, indah, dan mewah, lengkap dengan pendopo, pringgitan, tamansari, air mancur, serta alun-alun.
Konon saking megahnya bangunan pesanggrahan ini, acapkali Pesanggrahan Pracimoharjo dianggap sebagai miniaturnya Kraton Surakarta Hadiningrat, atau yang juga dikenal dengan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Sanggar Pamelengan

Pesanggrahan merupakan istilah yang berasal dari bahasa Jawa yang telah dimasukkan dalam khasanah perbendaraan bahasa Indonesia. Pesanggrahan berarti rumah atau tempat peristirahatan. Selain itu, pesanggrahan juga merupakan rumah untuk menginap para bangsawan yang sedang menjalankan tugas memeriksa keadaan di luar kraton. Pesanggrahan juga dapat berarti tempat untuk beristirahat dan bersenang-senang bagi raja beserta keluarga.
Pada tahun 1900-an Pesanggrahan Pracimoharjo digunakan sebagai tempat istirahat saat PB X melawat ke wilayah bagian barat serta menikmati keindahan alam dan melihat hasil perkebunan kopi (koffieplantage) saat itu. PB X senang menunggang kuda selama tinggal di pesanggrahan itu dengan diiringi abdi dalem. Pesanggrahan Pracimoharjo ini merupakan pesanggrahan favorit PB X (lustverblijf van PB X) ketika melakukan lawatan.

Sanggar Palereman

Selain sebagai tempat tetirah, Pesanggrahan Pracimoharjo ini juga pernah beberapa kali digunakan untuk menerima kunjungan dari sejumlah pajabat Hindia Belanda. Pada tahun 1928 Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jonkheer Mr. Dr. Andries Cornelies Dirk de Graeff bersama istri dan rombongan pernah berkunjung ke pesanggrahan ini. Rombongan terdiri dari lebih dari 10 orang pejabat Hindia Belanda yang mendampingi Gubernur Jenderal.
Kemudian pada tahun 1930, Gubernur Yogyakarta Pieter Rudolf Wolter van Gesseler Verschuir juga pernah melawat ke Pesanggrahan Pracimoharjo bersama keluarganya. Mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh PB X bersama istrinya dan sejumlah putra-putrinya, dan kedua keluarga tersebut sempat foto bersama di depan pendopo pesanggrahan yang cukup megah.

Bekas Air Mancur

Pada tahun 1947 Tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang dipimpin oleh Slamet Riyadi pernah menjadikan pesanggrahan tersebut sebagai markasnya. Akan tetapi saat Operatie Kraai (Operasi Gagak), atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda II, kompleks pesanggrahan dibakar (bumi hangus) sebelum direbut oleh pasukan Belanda.
Bumi hangus inilah yang melatarbelakangi rusaknya Pesanggrahan Pracimoharjo. Pendopo utama terbakar hingga luluh lantak. Saat ini yang tersisa dari pesanggrahan tersebut hanya beberapa bangunan saja, yaitu gapura masuk, bekas air mancur, sanggar palereman (rumah peristirahatan bergaya Indis), sanggar pamelengan, tugu pojok, dan beberapa sisa struktur serta pagar keliling.
Kendati kompleks pesanggrahan itu sudah tidak utuh seperti sedia kala, namun sisa-sisa bangunan yang ada sekarang sesungguhnya masih memperlihatkan kebesaran dan kemegahan dari pesanggrahan tersebut. Sudah sepantasnyalah bila situs petilasan ini tetap dirawat atau direvitalisasi untuk kegiatan budaya agar supaya kelak pesanggarahan ini menjadi tujuan ekowisata yang edukatif di Boyolali, karena didukung oleh lahannya yang masih begitu luas. *** [080220]

Kepustakaan:
https://www.antaranews.com/berita/990676/ui-akan-bangun-perpustakaan-di-desa-paras-kembangkan-ekowisata-budaya
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/search/Boyolali?page=5&type=edismax&cp=collection%3Akitlv_photos

Share:

Asal Mula Kedunglengkong

Kedunglengkong adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah, sedangkan dukuh Watu bengkah dan Kedunglengkong berada dalam Desa Kedunglengkong, Kecamatan Simo.
Desa Kedunglengkong terletak di sebelah timur laut kota Kecamatan Simo, tepatnya sebelah selatan Gunung Kendeng. Keadaan tanahnya sebagian tanah dataran dan sebagian lagi tanah pegunungan. Dahulu pada zaman penjajahan, daerah ini merupakan daerah perkebunan, yaitu perusahaan milik orang Belanda. Namun, sekarang daerah ini bila musim kemarau tiba tampak gersang.
Asal mula nama Kedunglengkong, konon pada zaman dahulu Sultan Demak pernah mengirim utusan ke Pengging. Utusan Demak itu dikirim, karena Adipati Pengging yaitu Kebokenanga telah sekian lama tidak menghadap ke Kerajaan Demak. Hal ini berarti Adipati Pengging telah melalaikan kewajibannya.
Diceritakan, bahwa utusan pertama gagal dan diulangi dengan utusan yang kedua. Selanjutnya diutuslah utusan yang ketiga. Kini, Sultan Demak menunjuk Sunan Kudus sebagai utusan terakhir untuk menyelesaikan persoalan. Sunan Kudus menyanggupinya dan beangkat dengan disertai para sahabat beliau menuju Pengging. Bukan hanya sahabat, bahkan Sunan Kudus diberi pengawal prajurit pilihan secukupnya.
Tidak ketinggalan pusaka keraton yang berujud bendhe yang terkenal dengan nama Kyai Macan juga turut serta dikirim,  dan semua peralatan yang disiapkan serba lengkap ini diharapkan agar benar-benar dapat berhasil dengan sebaik-baiknya.
Perjalanan beliau beserta para pengikutnya menuju Pengging dengan penuh tanggung jawab. Pada suatu ketika, menjelang waktu dhuhur Sunan Kudus sudah sampai di Pegunungan Kendeng. Atas perintah Sunan, agar semua beristirahat. Sambil menunggu saat untuk shalat dhuhur, beliau memerintah para sahabat agar berusaha, berusaha mencari air untuk wudlu bersama.
Dijawabnya, bahwa sebelum Sunan Kudus memerintah, sebetulnya sebelum itu para sahabat sudah berusaha, namun airnya yang tidak ada. Maklum waktu itu adalah musim kemarau yang berkepannjangan.
Maka diputuskanlah oleh Sunan Kudus, mengajak para pengikutnya untuk shalat bersama, mohon kepada Tuhan air untuk berwudlu bersama. Para pengikut itu mengikuti segala perintah Sunan Kudus. Selesai berdoa, tongkat pusaka Sunan Kudus ditancapkanlah pada sebuah batu yang kebetulan berada di situ, dan ternyata atas permohonannya tadi dapat terkabul.
Dan dengan serta merta, memancarlah air yang melimpah, keluar dari tongkat pusaka Sunan Kudus tadi, sehingga cukuplah dipergunakan semua prajurit Keraton Demak untuk berwudlu bersama.
Usai menunaikan shalat, tampak dari kejauhan dua orang laki-laki yang belum pernah mereka kenal, datang menghampiri tempat mereka berkumpul. Lalu, ditanyalah kedua orang tersebut akan tempat tinggal asalnya. Mereka menjawab bahwa asalnya dari Desa Embel Agung.
Atas kehendak Sunan, dua patah kata embel dan agung tadi agar dijadikan satu saja, yaitu blagung. Selanjutnya Sunan Kudus berpesan, kelak kemudian hari kalau tempat tersebut sudah menjadi ramai, dan dihuni manusia agar dinamakan Desa Blagung (baca: Mblagung) – dan ternyata sampai sekarang masih bernama Blagung (sekarang Kelurahan Blagung) yang letaknya di sebelah timur Kelurahan Kedunglengkong.
Selanjutnya kedua orang dari Blagung tadi diberi pelajaran tentang agama dan amal perbuatan yang baik-baik yang sangat berguna bagi kehidupan mereka di dunia maupun di akherat. Tentu saja mereka sanggup dan berjanji akan melaksanakan sebaik-baiknya.
Selain itu, kedua orang tadi diberi tahu oleh Sunan Kudus, bahwa waktu akan menunaikan shalat tadi mendapat kesulitan air untuk wudlu. Karena kedua orang tadi ditunjuk untuk menjadi saksi dan mereka dianggap sudah menjadi muridnya (Jawa: Putut) maka beliau berpesan kepada kedua orang tersebut, kelak kemudian hari jika tempat tersebut menjadi desa, harap dinamakan Desa Sucen (yang artinya tempat untuk bersuci diri – berwudlu), sedangkan untuk sumber mata airnya besuk agar dinamakan Sumber Putut.
Diceritakan di dalam perjalanan rombongan tersebut, Sunan Kudus sempat melihat batu-batu yang banyak sekali, dan bentuknya terbelah-belah. Maka untuk daerah ini pula, Sunan Kudus berpesan, kelak kemudian hari kalau tempat tersebut menjadi desa agar diberi nama Watu Belah.
Terakhir kedua orang tadi diajak melihat ke arah selatan, nampaklah sungai yang bekelok-kelok dan kebetulan ada sebuah kedhung (bagian terdalam dari sungai) maka berpesanlah beliau, agar besuk tempat tersebut kalau sudah menjadi desa agar dinamakan Kedunglengkong.
Sesudah Sunan Kudus selesai memberi pesan kepada kedua orang tersebut, maka beliau melanjutkan perjalanan menuju Kadipaten Pengging, dengan diikuti para pengiringnya. ***

Sumber:
_______, 1983, Kumpulan Cerita Rakyat di Boyolali, Boyolali: (berupa ketikan tangan).
Share:

Museum Arca Sonokridanggo

Museum Arca Sonokridanggo terletak di Jalan Pandanaran 162 Boyolali atau menyatu dengan Taman Kota Sonokridanggo, di mana di sebelah utara museum ini terdapat TK Islam Al-Hasbi dan di sebelah selatan terdapat lapangan tenis Sonokridanggo.


Lokasi museum ini sebenarnya sangat strategis, terletak di jalur utama tengah Kota Boyolali. Hanya saja, menariknya lokasi ini tidak diimbangi dengan bangunan yang menjadi museum. Museum ini berukuruan 12 x 12 m dan dibalut oleh jeruji-jeruji besi, sehingga bisa dilihat dari luar.


Sempitnya bangunan museum ini, tidak lagi bisa menampung koleksi arca yang berjumlah sekitar 425 buah. Sehingga, ada koleksi museum yang harus ditempatkan diluar bangunan tersebut. Kondisi seperti ini membuat museum ini kurang diminati oleh pengunjung. Penataan museum menjadi kurang maksimal.


Museum yang sudah ada sejak tahun 1990, sebenarnya merupakan aset bagi Pemkab Boyolali untuk fungsi edukasi yang menarik. Bila bangunan museum ini dibenahi, kemungkinan penataan museum menjadi menarik untuk dikunjungi. Karena, sesungguhnya museum ini telah memiliki modal isian museum yang sangat tua, berupa arca-arca zaman Hindu dan Buddha dari abad ke-8 hingga abad ke-10.
Koleksi museum arca sebagian besar berupa lembu nandi, serta yoni yang merupakan lambang kesuburan wanita. Selain itu, ada pula relief arca berwujud Siwa guru yang bertubuh tambun dan berjanggut serta Siwa Mahadewa. Selain itu, ada pula patung Durga, perempuan bertangan delapan yang menginjak banteng, serta Ganesha dan Wisnu yang menaiki garuda. Di luar rumah arca juga terdapat patung Ganesa setinggi 1,5 meter dan yoni yang tingginya sekitar 1 meter. *** [120912]

Share:

Umbul Pengging

Salah satu tempat wisata yang menjadi andalan Kabupaten Boyolalai adalah Pemandian Tirtomarto yang terletak di Jalan Pengging atau tepatnya berada di Dukuh Tirtomarto, Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah.
Lokasi pemandian ini sangat strategis, sehingga mudah dijangkau oleh moda transportasi darat, seperti bus, angkutan umum, ojek maupun transportasi tradisional yang masih eksis, yaitu dokar. Lokasi pemandian ini sebenarnya bila ditarik dalam skala yang lebih luas, menyatu dengan kawasan wisata yang menarik nan eksostis.



Keberadaan kawasan ini tidak terlepas dari peran Sri Susuhunan Paku Buwono (PB) IX. Pada akhir abad ke-19, PB IX sering berkunjung ke Pengging. Kedatangan beliau ke Pengging untuk berziarah dan untuk beristirahat. Selama di Pengging, beliau bermalam di rumah orang Belanda bernama Van Zaanten, seorang pemimpin perusahaan yang berkedudukan di Pengging.
Hal semacam itu, dirasa merepotkan tuan rumah, maka PB IX membangun pesanggrahan yang diberi nama “Pesanggrahan Ngeksipurna”, yang terletak di sebelah selatan Masjid Ciptomulyo.
Untuk melengkapi Pengging sebagai tempat rekreasi dan peristirahatan oleh PB IX beserta keluarga maupun punggawanya, di sebelah selatan pesanggrahan dibangun kolam untuk pemandian. Pemandian inilah yang sekaran dikenal sebagai Pemandian Tirtomarto.
Awalnya, pemandian ini dikenal sebagai Umbul Pengging. Umbul merupakan pancaran air yang mengalir ke permukaan tanah sehingga membentuk sebuah kolam atau semacam telaga. Keberadaan umbul yang ada di kompleks tersebut, atas inisiatif PB IX dimanfaatkan untuk pemandian para keluarga raja beserta punggawanya tersebut saat PB IX berziarah ke Pengging.
Umbul Pengging yang berada di Pemandian Tirtomarto tersebut terdapat tiga umbul, yaitu Umbul Temanten, Umbul Dudo dan Umbul Ngabean.

Umbul Temanten
Umbul ini dijadikan suatu kolam pemandian yang berpagar tembok dengan ukuran lebar sekitar 24 m, panjang 33 m, dengan kedalaman berturut-turut dari 0,70 m, 1,40 m, dan 1,80 m, yang dilengkapi dengan bangunan-bangunan lainnya, seperti ruang tunggu, ruang ganti pakaian, dan kamar toilet.


Menurut cerita, pada zaman dahulu pemandian ini memiliki dua buah umbul (pancaran mata airnya). Pada saat kunjungan PB X disabda menjadi satu, dan ternyata benar-benar menjadi satu. Karena dua umbul telah menjadi satu, maka diibaratkan sebagai sepasang mempelai yang hidup rukun menjadi satu. Sehingga akhirnya umbul tersebut sampai sekarang dikenal dengan nama Umbul Temanten.

Umbul Dudo
Umbul ini dijadikan suatu kolam pemandian yang berpagar tembok dengan ukuran lebar 8 m, panjang 12 m, dengan kedalaman 0,70 m yang di dalamnya terdapat sebuah batu yoni yang terbalik.


Menurut cerita, pada zaman dahulu pemandian yang berpagar tembok ini ditemukan seekor kura-kura yang cukup besar dengan jenis kelamin jantan. Oleh karena itu, dengan ditemukannya kura-kura jantan di umbul tersebut hingga sekarang dinamakan Umbul Dudo. Dudo, dalam bahasa Jawa berarti tidak mempunyai istri. Karena kura-kura jantan tadi cuma sendirian maka dianggaplah kura-kura itu tidak memiliki pasangan hidup (dudo).

Umbul Ngabean
Umbul ini dijadikan suatu kolam pemandian dengan berpagar tembok berbentuk bulat dengan garis tengah sepanjang 26 m, dengan kedalaman 1,50 m, yang dilengkapi dengan aula, panggung, ruang ganti pakaian, serta toilet.


Menurut cerita, kola mini pada zaman PB X khusus hanya dipergunakan mandi para keluarga Raja Kasunanan Surakarta. Untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta kebersihan juga keindahan, oleh Raja ditugaskan seorang abdi dalem berpangkat Ngabehi sebagai penjaganya. Yang akhirnya umbul tersebut hingga sekarang disebut dengan nama Umbul Ngabean.

Sebenarnya Umbul yang berada di daerah Pengging tak hanya tiga itu. Di luar kompleks Pemandian Tirtomarto itu, terdapat sejumlah umbul eksotis yang bertebaran di kawasan Pengging.
Bergeser ke arah utara sekitar 200 m dari Pemandian Tirtomarto, terdapat Umbul Sungsang. Umbul ini dikhususkan bagi laki-laki. Biasanya, umbul ini dijadikan tempat menyucikan diri sebelum berziarah ke makam Raden Ngabehi Yosodipuro.
Seperti Umbul Ngabean, Umbul Sungsang ini juga digunakan untuk ritual dan mandi rendam. Pengunjung ramai pada Jumat malam dan setiap tanggal 29 dan 30 bulan Ruwah.
Berdekatan dengan Umbul Sungsang, terdapat Umbul Plempeng. Umbul ini dikhususkan bagi perempuan. Mereka dapat dengan leluasa menikmati kesegaran air jernihnya tanpa khawatir terganggu. Seperti Umbul Sungsang, umbul ini juga dijadikan tempat menyucikan diri sebelum berziarah ke makam Raden Ngabehi Yosodipuro.
Tak hanya itu, masih banyak lagi umbul yang tak kalah menariknya. Ada Umbul Kendat, Umbul Dandang, dan Umbul Keroncong. Ketiga umbul ini satu kompleks Makam Sri Kedaton. Tak jauh dari Umbul Kendat terdapat Makam Tumenggung Padmonegoro, ayah Raden Ngabehi Yosodipuro. *** [120912]
                                                                                                                                                             



Share:

Masjid Ciptomulyo

Setelah sempat tenggelam namanya, Pengging mulai dikenal kembali pada awal abad ke-18. Ketika itu, ibukota Mataram dipindahkan ke Kartasura. Sedangkan di Pengging pada abad itu, telah berdiri Pondok Pesantren yang diasuh oleh Kyai Kalifah Syarif dari Bagelen. Beliau mempunyai murid bernama Zainal Abidin. Berkat ketekunannya dalam beribadat, kesabarannya, serta kepandaian yang dimiliki Zainal Abidin, Kyai Syarif sangat tertarik terhadap terhadap kepribadiannya tersebut, dan akhirnya dinikahkan dengan puterinya yang bernama Siti Maryam.



Pada suatu ketika pemerintah Kraton Kartasura menerima pengaduan soal perdata, semua hakim kraton tidak dapat memberi keputusan. Terpaksa kraton mengadakan sayembara untuk mendapatkan hakim yang dapat menyelesaikan atau memberi keputusan soal perdata yang ada. Dari sekian  banyak peserta yang mengikuti salah seorang adalah Zainal Abidin, dan ternyata dapat menyelesaikannya dengan baik. Sebagai hadiahnya, Zainal Abidin dijadikan pegawai Kraton Kartasura.



Lama kelamaan latar belakang Zainal Abidin diketahui oleh pihak kraton, bahwa sesungguhnya Kyai Zainal Abidin adalah Bupati Pekalongan bernama Tumenggung Padmonegoro yang telah lama hilang dalam peperangan. Oleh karena itu, Kyai Zainal Abidin diangkat menjadi Bupati Jaksa di Kartasura bernama Tumenggung Padmonegoro, yang berdarah keturunan Sultan Hadiwijaya, dan juga keturunan Susuhunan Amangkurat di Mataram yang dimakamkan di Tegal Arum.



Setelah meninggal, Tumenggung Padmonegoro dimakamkan di Desa Gedong, berdekatan dengan makam Kyai Kebokenongo (Ki Ageng Pengging). Almarhum Tumenggung Padmonegoro memiliki dua putera: Raden Ngabei Yosodipuro I dan Raden Ngabei Yosodipuro II. Pada saat wafat, Raden Ngabei Yosodipuro I dan II dimakamkan di Dukuh Ngaliyan, Desa Bendan, Kecamatan Bayudono, Kabupaten Boyolali. Tepatnya dibelakang Masjid Ciptomulyo. Menurut cerita, masjid ini dibangun oleh Tumenggung Padmonegoro.
Semula masjid yang dibangun Tumenggung Padmonegoro, kala itu masih bernama Kyai Zainal Abidin, oleh masyarakat sekitar sering disebut sebagai Masjid Karangduwet. Namun semenjak direnovasi oleh Sri Susuhunan Paku Buwono (PB) IX, dan selesai pada tahun 1908, masjid itu lalu dinamai sebagai Masjid Ciptomulyo.
Pada waktu peresmian dari pemugaran masjid tersebut, PB IX berkenan menghadiri dan mengikuti sholat Jumat tujuh kali berturut-turut. *** [120912]



Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami