The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Banda Aceh Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Banda Aceh Heritage. Tampilkan semua postingan

Daftar Bangunan Kuno di Banda Aceh

Berikut ini adalah daftar dari bangunan kuno atau peninggalan sejarah lainnya yang terdapat di Banda Aceh:

Bank ini terletak di Jalan Cut Meutia No. 15 Kelurahan Merduati, Kecamatan Kuta Raja, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Gedung ini terletak di Jalan Sultan Alauddin Mahmudsyah No. 15 Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Gedung ini terletak di Jalan Diponegoro No. 74 Kelurahan, Kecamatan, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Gereja Katolik ini terletak di Jalan Diponegoro, Kelurahan Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Kuburan Belanda ini terletak di Jalan Iskandar Muda, Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Lonceng ini terletak di Jalan Sultan Alauddin Mahmudsyah No. 12 Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Makam ini terletak di Jalan Sultan Alauddin Mahmudsyah No. 12 Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Makam ini terletak di Jalan Perwira, Kelurahan Keuraton, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Makam ini terletak di Jalan Sultan Alauddin Mahmudsyah No. 12 Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Masjid ini terletak di Desa Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Masjid ini terletak di Jalan Masjid Baiturrahman, Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Masjid ini terletak di Gampong Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Museum ini terletak di Jalan Sultan Alauddin Mahmudsyah No. 12 Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Museum ini terletak di Jalan Khairil Anwar No. 15-17 Kelurahan Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Museum ini terletak di Jalan Iskandar Muda, Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Situs Cagar Budaya Pinto Khop terletak di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Pohon ini terletak di Jalan Masjid Baiturrahman, Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Rumoh Aceh terletak di Jalan Sultan Alauddin Mahmudsyah No. 12 Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Sentral Telepon ini terletak di Jalan Teuku Umar No. 1 Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh

Taman Sari Gunongan ini terletak di Jalan Teuku Umar, Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh
Share:

Pohon Köhler

Pohon Köhler (Köhlerboom) merupakan pohon besar dan menjulang yang tumbuh di halaman Masjid Baiturrahman Banda Aceh. Lokasinya berada di dekat pintu masuk ke halaman masjid dari Pasar Aceh yang berada di sebelah utara masjid.
Terdengarnya memang agak aneh namun sesungguhnya pohon tersebut banyak dijumpai di Indonesia. Ada yang menyebutnya dengan nama pohon kepuh atau pranajiwa (Jawa), halumpang (Batak), kepah (Bali), kelompang (NTT), kalupa (Bugis),dan kailupa furu (Maluku Utara). Sedangkan, masyarakat Aceh mengenal pohon tersebut dengan nama pohon geulumpang.
Pohon geulumpang dalam bahasa Latin disebut Sterculia foetida Linn. Pohon geulumpang mempunyai batang yang tinggi hingga mencapai 40 meter dengan diameter batang bagian bawah hingga mencapai 3 meter. Cabang-cabang tumbuh mendatar dan berkumpul pada ketinggian yang sama, serta bertingkat-tingkat. Daunnya berupa daun majemuk menjari berbentuk jorong dengan ujung dan pangkal yang runcing. Panjang daunnya berkisar antara 10-17 cm. Bunganya terdapat di ujung batang, dan buah dari tanaman ini besar agak lonjong sekitar 7-9 cm dengan lebar sekitar 5 cm. Kulit buahnya tebal dan keras dengan warna merah kehitaman.
Habitat pohon geulumpang ini adalah dataran rendah hingga ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut, terutama di daerah kering. Persebaran pohon geulumpang ini sangat luas, mulai  dari Afrika bagian timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, hingga Australia.
Pohon geulumpang ini memiliki pelbagai khasiat, mulai untuk obat-obatan, kosmetika, pewarna alami, korek api hingga bahan untuk biofuel.


Namun siapa sangka, bila pohon geulumpang yang terdapat di halaman Masjid Baiturrahman tersebut melegenda dengan nama pohon Köhler. Hal ini tidak terlepas dari catatan sejarah dalam Perang Aceh.
Madelon Hermine Szekely Lulofs dalam bukunya, “Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh” (2010), mengisahkan bahwa 22 Maret 1873 merupakan hari yang paling menentukan dalam sejarah Aceh. Di lepas pantai Ulee Lheue terlihat empat buah buah kapal sedang lepas jangkar. Awalnya, penduduk di sana berpikir bahwa kapal itu membawa bala bantuan dari Turki yang dijemput oleh Habib Abdurrahman untuk menghadapi Belanda. Setelaj melihat bendera tiga warna berkibar di kapal itu, barulah rakyat menyadari jika yang datang adalah kapal Belanda.
Sebelum melakukan penyerangan, pihak Belanda mengirim surat kepada Sultan Aceh, Mahmud Syah. Setelah proses surat menyurat gagal memperoleh kesepakatam, akhirnya pada 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen ang dipimpin ole Komisaris Niewenhuyzen. Kemudian Niewenhuyzen  mengirim tentaranya pada 8 April 1873 di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Setelah berhasil merangsek masuk, akhirnya pasukan Belanda tiba di tembok tinggi yang merupakan gerbang Masjid Raya Baiturrahman. Mereka mengira bahwa gerbang itu adalah bagian dari istana. Upaya mereka untuk memasuki gerbang itu dihalang-halangi oleh pejuang Aceh. Kemudian pasukan Belanda menembaki masjid itu dengan peluru api,a akhirnya masjid kebangggan rakyat Aceh saat itu terbakar pada 14 April 1873. Pagi itu pula Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler yang sedang berdiri di atas tembok sumur masjid yang telah terbakar, dengan menginspeksi dari jurusan mana untuk menggempur Kraton Daruddunya (Jantung Hati Kerajaan Aceh).
Konon, pada saat menginspeksi inilah, Köhler kena tembak oleh salah seorang pejuang Aceh. Teuku Njak Radja Lueng Bata, anak murid Tgk. Chik Lueng Bata, dalam posisi merunduk melepaskan tembakan dari jarak 100 meter dan mengenai jantung sang Mayor Jenderal. Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler, sebelum menghebuskan nafas terakhirnya di bawah pohon geulumpang sambil berucap “Oh God, Ik ben getroffen” (Oh Tuhan, Aku kena).
Untuk menandai peristiwa tewasnya Köhler ini, pada 14 Agustus 1988 Guberrnur Aceh, Ibrahim Hasan, membuat sebuah monumen peringatan di tempat tewasnya Köhler, yaitu di bawah pohon geulumpang di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Bermula dari lokasi tewasnya Köhler ini pula, pohon geulumpang yang menjadi saksi bisu meninggalnya Köhler dikenal sebagai pohon Köhler. *** [020415]

Share:

Makam Raja-Raja Aceh Keturunan Bugis

Mengunjungi Museum Negeri Aceh tanpa melihat makam kuno yang berada di pelataran museum, terasa belum lengkap. Makam kuno tersebut bukanlah seonggokan batu yang dibentuk, akan tetapi sesungguhnya juga menyimpan memori sejarah tersendiri. Makam kuno tersebut dikenal sebagai Makam Raja-Raja Aceh Keturunan Bugis.
Makam ini terletak di Jalan Sultan Alauddin Mahmudsyah No. 12 Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi makam ini tepat berada di depan auditorium Museum Negeri Aceh.
Sesuai dengan petunjuk tulisan berwarna kuning yang ditorehkan pada marmer hitam, dikebumikan jasad raja-raja Aceh keturunan Bugis maupun keluarganya, yakni: Sultan Alauddin Ahmad Syah, Sultan Alauddin Johan Syah, Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903), dan Pocut Muhammad.
Sultan Ahmad Syah adalah Sultan pertama dari Dinasti Aceh-Bugis dan sekaligus merupakan Sultan yang ke-23 dari Kesultanan Aceh Darussalam yang memerintah dari 1727 sampai 1735. Sebelum tahun 1727, beliau bergelar Maharaja Lela Melayu.
Sultan Alauddin Johan Syah adalah anak dari Sultan Alauddin Ahmad Syah. Sebelum diangkat menjadi sultan, beliau dikenal sebagai Pocut Aoek. Beliau memerintah Kesultanan Aceh Darussalam dari 1735 hingga 1760.


Sultan Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh yang ke-35 dan sekaligus menjadi Sultan Aceh yang terakhir. Beliau dinobatkan menjadi sultan di Masjid Indrapuri pada 1878 sampai menyerah kepada Belanda pada 10 Januari 1903. Beliau diasingkan ke Ambon, dan terakhir dipindahkan ke Batavia hingga wafatnya pada 6 Februari 1939. Beliau dikenal sebagai Sultan Aceh yang bertahta tanpa istana. Sedangkan Pocut Muhammad, sesuai dengan hikayat yang berkembang merupakan adik laki-laki dari Sultan Muda.
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, awal dari Sultan Aceh berdarah Bugis dimulai dengan pernikahan Sultan Iskandar Muda dengan Putroë Suni, anak Daeng Mansyur. Daeng Mansyur sendiri merupakan menantu dari Teungku Chik Di Reubee. Sultan Iskandar Muda memerintah dengan sangat bijak sehingga Kesultanan Aceh Darussalam mencapai masa gemilang.
Perkawinannya dengan Putroë Suni, beliau dikaruniai seorang anak perempuan bernama Safiatuddin Syah. Setelah dewasa, Safiatuddin Syah dipersunting oleh Iskandar Thani dari Pahang. Dari sinilah, permulaan adanya pemerintahan Sultan dan Sultanah Aceh keturunan Bugis di Kesultanan Aceh Darussalam.
Dilihat batu nisan yang terdapat pada makam tersebut, tampak sedikit berbeda dengan Makam Kandang Meuh dan Makam Kandang XII. Hal ini disebabkan adanya perpaduan corak nisan Aceh dengan corak nisan Bugis yang silindrik berbentuk piala.
Keberadaan makam tersebut di pelataran kompleks Museum Negeri Aceh, secara nyata juga dengan sendirinya menjadi salah satu koleksi museum in situ. *** [020415]

Share:

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue

Pada 26 Desember 2004, perhatian dunia tertuju kepada Aceh lantaran terjadinya tsunami. METRO TV kala itu mengangkat peristiwa tsunami dengan judul “Indonesia Menangis”. Pada peristiwa tsunami, argumen logika seolah-olah menjadi mandul dan takjub akan kebesaran Sang Pencipta. Tsunami yang meluluhlantakan bangunan hingga Merduati dari Pante Ceureumen Ulee Lheue, hanya menyisakan sebuah masjid yang berada tepat di bibir pantai. Masjid tersebut tidak lain adalah Masjid Baiturrahim.
Masjid ini terletak di Desa Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi masjid ini tidak terlalu jauh dengan Pelabuhan Kapal Cepat.
Menurut catatan inventaris benda cagar budaya tidak bergerak di Provinsi Aceh yang dikeluarkan oleh Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Aceh dan Sumatera Utara (2001), luas situs Masjid Baiturrahim adalah 172 m². Sebagai bangunan cagar budaya, sebenarnya masjid ini memiliki nilai historis dalam perjalanannya. Namun, pamornya menjadi mendunia karena merupakan satu-satunya bangunan yang tertinggal di Desa Ulee Lheue dan masih kokoh berdiri di tengah terjangan kedahsyatan gelombang tsunami.


Menurut catatan sejarah yang ada, masjid ini diperkirakan didirikan pada masa kesultanan Aceh di abad ke-17. Awalnya, masjid ini masih sederhana sekali. Konstruksi dan bahan bangunannya terbuat dari kayu. Kala itu, masjid tersebut dikenal dengan Masjid Jami’ Ulee Lheue yang dibangun di atas tanah wakaf keluarga besar Teungku Hamzah.
Ketika Masjid Raya Baiturrahman dibakar oleh Belanda pada tahun 1873, semua jamaah masjid tersebut terpaksa melakukan shalat Jumat di Masjid Jami’ Ulee Lheue. Sejak peristiwa itulah, nama Masjid Jami’ Ulee Lheue berubah menjadi Masjid Baiturrahim.
Karena masjid ini terbuat dari kayu dan berada di bibir pantai, kayunya kian lama menjadi lapuk sehingga harus dirobohkan. Akhirnya pada tahun 1343 H (1926 M), atas inisiatif Teuku Teungoh, yaitu seorang uleebalang kemukiman Meuraxa, masjid ini dibangun kembali dengan menggunakan biaya swadaya masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat, seperti: Tgk. H. Muhammad (Lamjabat), H. Mahmud Puteh (Kampung Blang), H. Bintang (Kampung Baro), H. Ali (Meuraxa), H. Nya’ Su’id (Kampung Blang), Toke Gam (Kampung Surin), H. Neh (Kampung Cot Lamkuweh), H. Ishak (Kampung Surin), dan Tgk. H. Hanafiah (Kampung Lambung). Masjid ini didirikan di atas tanah waqaf.


Konstruksi awal masjid ini dibangun dari bahan beton atau bata dengan atap seng bergelombang ukuran 25 x 18 meter. Dari awal pembangunannya, tata ruang dan bagian belakang digunakan sebagai ruang belajar. Kapasitas masjid ini awalnya mampu menampung sekitar 450 jamaah. Namun, karena adanya pertumbuhan jumlah penduduk, maka masjid tersebut sudah tak mampu menampung jamaah yang lebih banyak lagi. Pada tahun 1960, ruangan belakang yang semula dijadikan ruang belajar dirubah untuk ruang shalat Jumat. Pada tahun 1965, kedua bagian ruangan masjid ini tak mampu menampung jamaah shalat Jumat, sehingga jamaah banyak yang shalat di pekarangan masjid.
Pada tahun 1981, masjid ini mendapat bantuan dari Kerajaan Saudi Arabia sebesar Rp 37.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dan dilakukan perluasan ke samping kiri dan kanan sehingga dapat menampung jamaah lebih banyak lagi. Tahun 1983 berdasarkan catatan sejarah, Banda Aceh pernah diguncang gempa dahsyat dan merobohkan kubah masjid. Setelah itu, masyarakat membangun kembali masjid, akan tetapi tidak lagi memasang kubah atau hanya atap biasa.
Pada tahun 1991 dilakuan renovasi besar dengan memperluas ruang shalat ke arah belakang sehingga masjid ini mampu menampung 1.500 jamaah.
Pada saat Aceh dilanda tsunami, bangunan masjid ini mengalami kerusakan namun tidak merobohkan masjid. Ada beberapa bagian bangunan yang rusak seperti dinding, atap, dan pilar bangunan. Namun pada saat rehabilitasi dan rekonstruksi, bagian masjid yang rusak tadi diperbaiki. Masjid ini menjadi saksi kedahsyatan tsunami, dan juga menjadi saksi keajaiban saat sepuluh orang selamat di masjid ini. *** [020415]

Kepustakaan:
Heri Azuwar, 2012. Studi Konservasi Bangunan Cagar Budaya: Tinjauan Terhadap Mesjid di Kota Banda Aceh, dalam Tesis di Program Studi Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Share:

Makam Kandang XII

Makam kuno di Kota Banda Aceh tersebar di beberapa tempat. Keberadaan makam kuno tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa Banda Aceh pernah menjadi ibu kota Kesultanan Aceh Darussalam. Salah satunya adalah Makam Kandang XII.
Makam ini terletak di Jalan Perwira, Kelurahan Keuraton, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi makam ini berada di samping masjid Al Fitroh Keuraton, dan tidak jauh dari Meuligo, Gedung Juang, Museum Negeri Aceh, dan Pinto Khop.
Dalam bahasa Aceh, kandang berarti kuburan atau pusara. Sesuai dengan namanya, di dalam Makam Kandang XII ini terdapat dua belas makam atau kuburan sultan Aceh Darussalam dan keluarga dekatnya (kandang dua blaih), di antaranya Sultan Syamsu Syah bin Munawwar Syah yang memerintah 1497-1514, Sultan Ali Mughayat Syah bin Sultan Syamsu Syah yang memerintah 1514-1530, Sultan Salahuddin Ibnu Ali Mughayat Syah yang memerintah 1530-1537, Sultan Ali Riayat Syah Al Qahar yang memerintah 1537-1568, Sultan Husain Syah Ibnu Sultan Ali Riayat Syah Al Qahar yang memerintah 1568-1575, dan makam Malikul Adil yang hidup pada masa pemerintahan Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam.
Sultan Ali Mughayat Syah merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam dan pemersatu  wilayah yang kemudian hari dikenal sebagai Aceh. Beliau juga dikenal  sebagai musuh besar Portugis yang kala itu berkeinginan membuat koloni di Bumi Aceh. Ketika Portugis melakukan invasi ke Pasai, Pidie, dan Kerajaan Daya, Sultan Ali Mughayat Syah menyerangnya dan berhasil memukul mundur Portugis ke Peureulak maupun ke Aru sebelum akhirnya melarikan diri ke Malaka.


Sultan Salahuddin adalah anak sulung dari Sultan Ali Mughayat Syah dan diangkat menjadi sultan setelah ayahandanya mangkat pada 7 Agustus 1530. Sultan Salahuddin melanjutkan cita-cita ayahandanya dalam melakukan pengusiran terhadap bangsa Portugis yang ingin bercokol di Malaka. Namun, Sultan Salahuddin tidak berhasil menaklukkan Malaka sebagai pusat perdagangan yang banyak dihuni para pedagang Portugis.
Atas kegagalan inilah, Sultan Salahuddin dianggap lemah dan digantikan oleh adiknya, Pangeran Ali Riayat Syah Al Qahar. Setelah diangkat menjadi sultan, Pangeran Ali Riayat Syah Al Qahar bergelar Sultan Ali Riayat Syah Al Qahar. Sebagai anak bungsu Ali Mughayat Syah, ia merupakan seorang Sultan Aceh yang bisa disebut Homen Cavaleiro kedua setelah ayahandanya. Pada awalnya, pemerintahan Sultan Ali Riayat Syah Al Qahar berjalan dengan gemilang namun harus berakhir ketika dua putranya melakukan kudeta. Sedangkan, Sultan Husain Syah adalah anak laki-laki dari Sultan Ali Riayat Syah Al Qahar. Beliau merupakan Sultan Aceh keempat yang memerintah dari tahun 1568 hingga 1575.
Masuk ke dalam kompleks makam ini, kita akan disambut dengan deretan nisan yang teratur. Pada Makam Kandang XII ini, bentuk nisannya pada umumnya didominasi oleh nisan persegi panjang dengan pola garis geometris dan ada ruangan-ruangan yang diisi dengan pahatan ayat-ayat Al Qur’an. Pola ini merupakan bentuk tradisi batu nisan tipe Pasai.
Kekhasan batu-batu nisan tersebut merupakan bukti betapa Aceh sangat kaya akan seninya. Pahatan-pahatan kaligrafi pada batu nisan yang terdapat di Makam Kandang XII ini cukup rumit dan terkenal akan keindahannya.
Kompleks makam seluas 214 m² ini pernah dipugar oleh Pemerintah pada tahun 1978. Di atas pusara bernisan tersebut didirikan bangunan berangka besi dan beratap seng. Hal ini dimaksudkan agar supaya kebersihan nisan tetap terjaga atau tidak lekas menjadi hitam karena terserang lumut. Sehingga, di kemudian hari tinggalan arkeologis bernafaskan budaya awal Islam ini masih bisa disaksikan oleh generasi berikutnya. *** [300315]
Share:

Pinto Khop

Banda Aceh merupakan kota tua yang menorehkan sejarah. Banyak peninggalan Kerajaan Aceh Darussalam bertebaran di seantero kota ini. Salah satunya adalah Situs Cagar Budaya Pinto Khop.
Situs Cagar Budaya Pinto Khop terletak di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi situs ini berada di belakang Pendopo Gubernuran (Meuligo) yang tidak begitu jauh dengan Situs Cagar Budaya Taman Sari Gunongan, Situs Cagar Budaya Sentral Telepon Belanda, Kerkhof Peutjoet, serta Museum Tsunami.
Menurut catatan sejarah yang terpampang di etalase dekat pintu masuk Taman Putroe Phang, Taman ini dibangun oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang diperuntukkan bagi permaisurinya, Putroe Phang, yaitu seorang putri dari Kerajaan Pahang, Malaysia. Pada masa itu, pada tahun 1613 dan tahun 1615, tentara laut dan darat Sultan Iskandar Muda melakukan penyerangan dan berhasil melakukan Kerajaan Johor dan Kerajaan Pahang di Semenanjung Utara Melayu.


Sebagaimana tradisi pada zaman dahulu, kerajaan yang kalah perang harus menyerahkan upeti, pajak tahunan, maupun rampasan perang lainnya. Termasuk juga menyerahkan putri kerajaan untuk diboyong sebagai tanda takluk. Putri kerajaan yang diboyong ini biasanya diperistri oleh raja dengan tujuan untuk mempererat tali persaudaraan dari kerajaan yang ditaklukannya, sehingga kerajaan pemenang menjadi semakin besar dan semakin kuat kedudukannya.
Putri boyongan dari Pahang itu terkenal dengan paras yang sangat cantik dan memiliki budi bahasa yang sangat halus, sehingga membuat Sultan Iskandar Muda jatuh cinta dan menjadikannya sebagai permaisuri.
Demi cintanya yang sangat besar kepada sang putri, Sultan Iskandar Muda bersedia memenuhi permintaan sang permaisuri untuk membangun sebuah taman sari yang sangat indah, lengkap dengan gunongan sebagai tempat untuk menghibur diri sang permaisuri agar kerinduan sang permaisuri pada suasana pegunungan di tempat asalnya bisa terpenuhi. Selain sebagai tempat bercengkerama, gunongan juga digunakan sebagai tempat berganti pakaian permaisuri setelah mandi di sungai yang mengalir di tengah-tengah istana.


Untuk menuju ke taman ini, Sultan membangun sebuah pintu gerbang sebagai penghubung antara istana dengan Taman Ghairah. Pintu ini dinamakan Pinto Khop (Pintu Biram Indrabangsa) atau secara bebas dapat diartikan pintu mutiara keindraan atau kedewaan/raja-raja) yang berukuran panjang 2 meter, lebar 3 meter, yang terbuat dari bahan kapur. Hanya anggota keluarga istana kerajaan yang diizinkan melewati pintu gerbang ini.
Pinto Khop berdiri megah dan indah yang dikelilingi kolam yang airnya sangat jernih dan bersih yang airnya dialiri dari Krueng Daroy, atau yang dikenal juga sebagai Sungai Darul Ashiqi. Sungai ini bukan sungai alam akan tetapi sungai yang sengaja dibuat panjangnya sekitar 5 Km dari pegunungan Mata Ie yang berada di Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar.
Pada masa kerajaan dulu, Pinto Khop atau gerbang ini berada dalam satu kompleks dengan Taman Sari Gunongan, sehingga bentuk dan pola hias yang ada di Pinto Khop seirama dengan relif yang ada di gunongan.
Area lokasi Pinto Khop ini yang memiliki luas sekitar 4.760 m² ini, saat ini dijadikan sebagai taman rekreasi wisata yang dikelola oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh. Lokasi ini tidak pernah sepi dikunjungi oleh para wisatawan lokal maupun manca negara. Taman yang hijau dan asri serta kolam yang luas memberi kesejukan dan keteduhan tersendiri, dan yang tak kalah pentingnya adalah nilai historis yang ada pada taman ini sendiri. *** [020415]
Share:

Makam Kandang Meuh

Menyaksikan Gedung Juang akan mampu melahirkan rasa kagum terhadap bangunan tua peninggalan Kolonial Belanda beserta semangat kejuangannya. Sambil berkeliling kompleks gedung tersebut, kita juga akan bisa melihat Makam Kandang Meuh. Di sini, kompleks Makam Kandang Meuh terbagi menjadi dua lokasi. Yang satu berada di sebelah kiri Gedung Juang, dekat dengan Makam Sultan Iskandar Muda, dan yang satunya lagi berada di sebelah kanan Gedung Juang, dekat dengan Museum Negeri Aceh.
Kedua kompleks Makam Kandang Meuh ini terletak di Jalan Sultan Alauddin Mahmudsyah No. 12 Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi makam ini terletak di dalam kompleks Gedung Juang Banda Aceh, yang bersebelahan dengan Museum Negeri Aceh dan Pendopo Gubernur (Meuligo).


Makam Kandang Meuh merupakan kompleks makam kuno tempat berbaringnya jasad para raja yang pernah memerintah di Kesultanan Aceh Darussalam beserta kerabat dan ulama. Sesuai petunjuk papan yang terpampang dalam kompleks makam di sebelah kiri, jasad yang dimakamkan di Makam Kandang Meuh, antara lain Putri Raja Anak Raja Bangka Hulu, Sultan Alauddin Mahmudsyah (1760-1764), Raja Perempuan Darussalam, dan Tuanku Zainal Abidin serta keluarga sultan lainnya. Sedangkan, di dalam kompleks makan di sebelah kanan, dimakamkan Pocut Rumoh Geudong alias Meurah Limpah atau Pocut Lamseupeung (permaisuri Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah), Pocut Sri Banun (putri Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah), Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah (1857-1870), Sultan Alaiddin Muhammad Syah (1781-1795), Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah alias Sultan Husein (1795-1824), Putroe Bineu alias Pocut Meurah Di Awan (ibunda Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah), Tuanku Pangeran Husein (putra Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah dan Panglima Armada Aceh dalam penerbitan dan peneguhan kekuasaan Aceh di Deli Serdang dan Langkat pada 1854), Tuanku Zainal Abidin (Panglima Perang Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah, dan ayahanda Sultan Aceh terakhir, Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah), Teungku Chik (kakak perempuan Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah).


Dalam Makam Kandang Meuh ini, corak nisan agak berbeda dengan yang ada di MakamKandang XII. Nisannya agak simpel. Artinya, pahatan-pahatan yang terdapat pada nisannya tidak serumit di Makam Kandang XII lantaran kaligrafinya tak sebanyak dan seindah makam tersebut.
Berdasarkan Laporan Pendataan Situs Bangunan Peninggalan Sejarah Aceh Purbakala di Kotamadya Banda Aceh, diterangkan bahwa di kompleks Makam Kandang Meuh terdapat dua corak nisan, yaitu bentuk nisan pipih penataan bahu dan bentuk nisan gada segi enam. Pada bentuk nisan pipih, di bagian bawah nisan berbentuk segi empat dengan pola hias bunga lidah api. Bagian badan makam terdapat sulur-sulur daun bunga lidah api, dan kotak-kotak segi empat bermotif belah ketupat yang saling kait-mengkait serta puncak nisannya berbentuk mahkota bersusun tiga. Sedangkan, pada bentuk nisan gada, di bagian bawah nisan berbentuk segi empat dengan pola hias bunga lidah api. Bagian badan nisan terdapat pola hias bunga lidah api berbentuk belah ketupat yang saling kait-mengkait serta di bagian puncak nisan terdapat kuncup bunga teratai.
Sesuai plang nama yang juga ditancapkan di dalam kompleks Makam Kandang Meuh ini, diketahui bahwa Makam Kandang Meuh ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dalam hal ini ditangani oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Banda Aceh Wilayah Kerja Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. *** [300315]
Share:

Gedung Juang Banda Aceh

Ketika Anda mengunjungi Museum Negeri Aceh, jangan lupa sekalian menengok bangunan tua yang berada di samping kirinya. Bangunan tua tersebut dikenal sebagai Gedung Juang Banda Aceh.
Gedung ini terletak di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah No. 15 Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi gedung berada di antara Museum Negeri Aceh dan Meuligo (Pendopo Gubernuran).
Dulu, gedung ini pernah difungsikan sebagai Kantor Gubernur Belanda. Gedung ini diperkirakan dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1883 yang hampir bersamaan dengan selesainya pembangunan Meuligo yang tepat berada di seberangnya. Memang dulu, Meuligo hanya digunakan sebagai rumah dinas kediaman Gubernur Belanda tersebut.

Foto: Gedung Juang di Banda Aceh (Tampak Depan)

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), gedung ini dikuasai tentara Jepang atau yang dikenal juga dengan sebutan Dai Nippon, dan kemudian gedung tersebut dijadikan Kantor Pemerintahan Militer Jepang serta Residen Aceh (Shu-chokan). Lalu, pada waktu rakyat Aceh mendengar kabar bahwa Soekarno-Hatta telah memproklamirkan Indonesia maka rakyat Aceh serempak berusaha merebut gedung tersebut dari militer Jepang. Setelah berhasil direbut, dikibarkanlah Sang Saka Merah Putih pada 24 Agustus 1945. Simbol dari perjuangan inilah lalu gedung ini dikenal sebagai Gedung Juang.
Pada tahun 1969, gedung ini sempat digunakan sebagai Kantor BAPERIS (Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda), organisasi tentara yang bertugas mengelola Museum Aceh saat dipindahkan dari Blang Padang ke lokasi museum sekarang ini. Sejak itu pula, bangunan tua ini juga dikenal sebagai Gedung BAPERIS.

Foto: Gedung Juang di Banda Aceh (Tampak Samping)

Gedung yang terdiri dari tiga kamar dan satu aula ini kini menjadi Markas Daerah Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Aceh serta sekaligus menjadi Kantor Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (DPD PEPABRI) Aceh. Di atas pintu masuk gedung tua ini terdapat tulisan dalam bahasa Aceh “Udep Saree Matee Sjahid”, yang artinya hidup bersatu atau mati syahid.
Area gedung ini sangatlah menarik untuk dikunjungi lantaran banyak peninggalan sejarah yang bakal ditemui di area tersebut. Selain menikmati arsitektur kolonial pada bangunan gedung tersebut, juga bisa menyaksikan peninggalan yang lainnya, seperti: Situs Cagar Budaya Makam Kandang Meuh, Makam Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda, dan sejumlah peralatan perang peninggalan Belanda. Dan,  yang tak kalah tuanya, adalah rimbun pohon asem Jawa berusia ratusan tahun yang tepat berada di depan gedung tersebut. *** [300315]
Share:

Lonceng Cakra Donya

Lonceng Cakra Donya berupa mahkota besi yang tinggi berbentuk stupa dibuat pada 1409 M. Tingginya mencapai 125 cm, lebar 75 cm. Di bagian luar terukir hiasan dan tulisan Arab juga Tiongkok. Tulisan Arab sudah kabur dimakan usia sedangkan aksara Tiongkok (Hanzi) tertulis Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo yang diartikan “Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5.”
Lonceng ini merupakan hadiah dari Kaisar Tiongkok yang berkuasa di Tiongkok sekitar abad ke 15 kepada Kerajaan Samudera Pasai. Lonceng yang dihadiahkan oleh Kaisar Tiongkot tersebut dibawa ke Aceh oleh Laksamana Cheng Ho sekitar 1414 M, sebagai simbol persahabatan kedua negara. Kong Yuanzhi dalam “Muslim Tionghoa, Cheng Ho” (2000) menyebutkan bahwa beberapa waktu setelah Kerajaan Samudera Pasai menerima hadiah lonceng Cakra Donya, kemudian Raja Zainul Abidin mengirimkan adiknya sebagai utusan untuk berkunjung ke Tiongkok. Tidak terduga ia wafat di Tiongkok akibat sakit keras. Berhubungan dengan ini, Kaisar Ming mengadakan upacara penguburan yang khidmat untuk tamu agung dari Aceh itu.
Selain pusat Kerajaan Islam di Nusantara, Pasai kala itu dikenal sebagai kota pelabuhan yang maju dan terbuka. Banyak pedagang-pedagang dari Timur Tengah dan Gujarat India berbisnis di sana serta menyebarkan Islam. Pasai juga mengekspor rempah-rempah ke berbagai negara, salah satunya Tiongkok.


Kerajaan Pasai berpusat di Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara sekarang. Sayang kejayaan Pasai kini hanya bisa didapat dalam catatan-catatan sejarah Pasai ditaklukkan Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Ali Mughayatsyah pada 1542 M, lonceng dari Tiongkok ini pun dijadikan milik Kerajaan Aceh.
Ketika Sultan Iskandar Muda memimpin (1607-1636) yang merupakan puncak kejayaan Kerajaan Aceh, lonceng ini digantung di kapal perang induk milik kerajaan yang bernama Cakra Donya. Nama itulah akhirnya ditabalkan pada lonceng.


Ketika melawan Portugis yang ingin merebut Malaka, lonceng Cakra Donya menjadi alat penabuh aba-aba bagi pasukan perang di dalam kapal. Portugis yang kagum dengan kekuatan Cakra Donya menyebut armada tersebut dengan Espanto de Mundo yang artinya “Teror Dunia.”
Dari kapal perang, lonceng Cakra Donya berpindah tempat ke depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Masjid ini masuk dalam kompleks Istana Raja Aceh kala itu. Lonceng dibunyikan apabila penghuni istana harus berkumpul untuk mendengar pengumuman Sultan.
Pada 1915, lonceng Cakra Donya dipindah ke Museum Negeri Aceh dan bertahan di sana sampai sekarang. Digantung dengan rantai di bawah kubah. Lonceng Cakra Donya kini menjadi saksi bisu persahabatan dan perang Cheng Ho dan lonceng Cakra Donya adalah simbol hubungan dekat Aceh-Tiongkok.
Cheng Ho berlayar ke Malaka pada abad ke-15. Saat itu, seorang putri Tiongkok, Hang Li Po (atau Hang Liu), dikirim oleh Kaisar Tiongkok untuk menikahi Raja Malaka (Sultan Mansur Shah).
Cheng Ho mengunjungi kepulauan di Indonesia selama tujuh kali. Ketika ke Samudera Pasai, ia memberi lonceng raksasa “Cakra Donya” kepada Sultan Aceh, yang kini tersimpan di Museum Negeri Aceh. Lonceng Cakra Donya merupakan bukti jejak kedatangan bangsa Tionghoa di Nusantara adalah saksi bisu kuatya armada militer Kerajaan Aceh Darussalam di masa jayanya. *** [020415]


Share:

Rumoh Aceh

Memasuki pelataran Museum Negeri Aceh, pengunjung akan menyaksikan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Warna hitam mendominasi eksterior dengan sedikit sentuhan warna kuning dan merah serta ukiran kayu. Rumah panggung tersebut dikenal dengan nama Rumoh Aceh yang menjadi cikal bakal berdirinya Museum Provinsi Aceh.
Rumoh Aceh tersebut terletak di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah 12 Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi rumoh tersebut berada di sebelah kanan Gedung Juang, yang berdekatan dengan Meuligo (Pendopo) Aceh.
Rumoh Aceh merupakan bangunan rumah tradisional Aceh yang berasal dari Paviliun Aceh pada Pameran Kolonial (De Koloniale Testooteling) di Semarang yang digelar antara 13 Agustus – 15 November 1914. Di samping memamerkan berbagai macam koleksi pribadi F.W. Stammeshous (Kurator Atjeh Museum), Paviliun Aceh saat itu juga memamerkan aneka ragam benda pusaka para pembesar Aceh sehingga paviliun tersebut tampil sebagai paviliun yang paling lengkap koleksinya dan memperoleh 4 medali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai paviliun terbaik. Atas keberhasilan tersebut, F.W. Stammeshous mengusulkan kepada Gubernur Aceh H.N.A. Swart agar paviliun itu dibawa kembali ke Aceh untuk dijadikan Atjeh Museum yang kemudian diresmikan 31 Juli 1915 di Banda Aceh.


Untuk memasuki Rumoh Aceh, harus melewati reunyeum (tangga) menuju sramoe keue (serambi depan) yang terbentang sepanjang rumah. Pengunjung harus meniti anak tangga dan tentu saja sebelum masuk harus melepas alas kaki. Saat kami dipersilakan masuk melalui anak tangga, begitu melewati pintu, kami mendapati ruang selasar yang cukup luas yang dikenal dengan sebutan sramoe keue. Di bagian dinding kayu dipajang deretan foto pejuang Aceh, seperti: Sultan Iskandar Muda, Teuku Nyak Arief, Cut Nyak Din, dan Cut Meutia. Sramoe keue berfungsi sebagai ruang tamu, tempat menjalankan kegiatan agama dan tempat bermusyawarah. Bagian ujung barat ruangan ditutup dengan tikar, dan pada upacara-upacara sakral dan khidmat pada bagian tersebut dihamparkan permadani tempat di mana setiap tamu disediakan tika duek (tikar untuk duduk) berbentuk persegi empat berhias anyaman indah.


Dari sramoe keue, pengunjung akan diantar oleh guide perempuan berdarah Batak-Minang menuju ke rambat (ruang tengah). Di dalam ruang tengah tersebut, pengunjung bisa menyaksikan ruang pelaminan yang mempesona. Pelaminan yang dibalut benang emas khas Aceh Barat ini menambah keanggunan dalam ruang tengah di sebelah kiri. Sedangkan, ruang di sebelah kanan adalah ruang pengantin. Di dalam ruang pengantin tersebut, pengunjung dapat melihat tempat tidur yang ditutup kain kelambu beserta peralatan makan dan minum bagi pengantin.
Dari sramoe keue melalui rambat (ruang tengah) yang diapit dua kamar tadi, orang dapat masuk ke sramoe likot (serambi belakang). Rambat dan sramoe likot merupakan kawasan wanita yang hanya boleh dimasuki oleh sesama penghuni rumah atau kerabat dekat, termasuk lelaki secara terbatas. Rumoh inong atau juree yang terletak pada bagian barat dan timur rambat merupakan kamar tidur utama dan paling suci dalam rumah tradisional Aceh, di mana pasangan suami-istri tidur dan upacara-upacara dilaksanakan, sedangkan sramoe likot berfungsi sebagai ruang keluarga dan ruangan dapur. Sebagai ruang keluarga, sramoe likot merupakan tempat berkumpul anggota keluarga, mengasuh anak, dan melakukan kegiatan sehari-hari para wanita, seperti jahit-menjahit, menganyam tikar dan sebagainya. Ruangan dapur berisi segala perlengkapan dapur, mencakup peralatan masak-memasak dan bahan makanan. Sudah menjadi kebiasaan, dapur selalu ditempatkan pada bagian ujung timur ruangan sramoe likot agar tidak mengganggu kegiatan ibadah shalat.
Meski hanya sebentar, kunjungan ke Rumoh Aceh ini membawa kami semakin sadar akan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Aceh dalam membangun tempat tinggalnya. Tidak hanya memperhatikan lingkungan alam sekitarnya, akan tetapi juga kaya akan filosofi dari arsitekturalnya. *** [020415]
Share:

Bustanussalatin

Bustanussalatin merupakan salah satu kitab gubahan Syeikh Nuruddin Ar-Raniry. Nuruddin Ar-Raniry merupakan seorang muslim yang berasal dari Hadhrami, India, yang nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi Asy-Syafii. Naskah tersebut ditulis atas permintaan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M). Beliau datang dari Ranir (sekarang Rander) di Gujarat dan tiba di Aceh pada 6 Muharram 1047 H (31 Mei 1637). Penulisannya dimulai pada tanggal 4 Maret 1638 dengan nama lengkap Bustanussalatin fi zikril awwalin wal akhirin.
Rusell Jones dalam Nuruddin ar-Raniri Bustanu’s-Salatin Bab IV Fasal 1 (Hasanuddin Yusuf Adan, 2013:91) memperkirakan bahwa Nuruddin Ar-Raniry belajar bahasa Melayu di Mekkah dalam tahun 1621 ketika mengunjungi tanah suci untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Perkiraan lain menyatakan bahwa beliau pernah tinggal di sebuah negeri Melayu sebelum pergi ke Aceh atau dia telah belajar bahasa Melayu di Gujarat dan diperkirakan ibunya adalah seorang bangsa Melayu.
Bustanussalatin yang artinya taman raja-raja dibangun sebagai taman Kesultanan Aceh. Sudah ada sejak berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1514 M. Terletak di sepanjang Krueng Daroy yang melintasi Gunongan, Pinto Khop, Kandang, hingga ke Pulau Gajah dan Masjid Raya.
Di dalamnya banyak ditumbuhi pohon-pohon buah, bunga dan sayuran yang khasiatnya bermacam-macam. Dulu luasnya hampir sepertiga Kota Banda Aceh.
Beberapa bangunan yang terdapat dalam taman Bustanussalatin, dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda di antaranya, Gegunongan Menara Permata (Gunongan) yang dibangun untuk istri Sultan Iskandar Muda yang dari Pahang ataun yang lebih dikenal Putroe Phang. Taman Ghairah (Taman Sari) dibangun oleh Sultan Iskandar Muda dengan maksud menjadikan Bandar Aceh Darussalam sebagai Taman Firdaus.
Di dalam taman ini dahulu ditanam sekitar 50 jenis tanaman bunga dan 50 jenis tanaman buah-buahan khas Aceh. Di taman ini juga dibina beragam sarana hiburan para sultan yang hingga kini masih dapat dilihat di antaranya Krueng Daroll ski atau Krueng Daroy yang membelah taman, Gunongan, Kandang Sultan Alauddin Mughayatsyah Iskandar Tsani, Patarana Sangga dan Pinto Khop yang merupakan pintu masuk ke Taman Ghairah.
Naskah dalam kitab ini terdiri dari 7 (tujuh) bab dan 40 pasal, yaitu:
Bab pertama, terdiri dari 10 fasal yang menerangkan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi beserta isi semuanya, mulai dari persoalan Nur Muhammad, Lauh al-Mahfudz, kalam pencatat amal manusia, ‘Arsy (singgasana di surga dengan semua bagiannya), kerusi (singgasana Tuhan), liwa ul-Hamd (bendera keselamatan di surga ke tujuh), para malaikat, sidratul-muntaha (pohon di surga ke tujuh yang setiap daunnya sama dengan kehidupan satu orang yang gugur apabila orang itu mati), dan tujuh lapis langit.
Bab kedua, terdiri dari 13 fasal yang menceriterakan tentang sejarah para nabi dan raja yang terdiri dari nabi-nabi mulai dari Nabi Adam a.s. sampai kepada Nabi Muhammad SAW; raja-raja Parsi sampai kepada zaman Umar, raja-raja Rum sampai kepada zaman Nabi Muhammad SAW, raja-raja Mesir sampai kepada zaman Iskandar Zulkarnain; raja-raja Arab sebelum Islam; raja-raja Najd sampai kepada zaman Nabi Muhammad SAW; sejarah Nabi Muhammad SAW, dan khalifah ar-Rasyidin; sejarah bangsa Arab di bawah kaum Umayyah; sejarah bangsa Arab di bawah kaum Abbasiyah; sejarah raja-raja Islam Delhi; sejarah raja-raja Melaka dan Pahang; dan sejarah raja-raja Aceh.
Bab ketiga, terdiri dari 10 fasal yang menceriterakan tentang raja-raja yang adil dan menteri-menteri serta pembesar-pembesar yang arif dan bijaksana.
Bab keempat yang terdiri dari 2 fasal menceriterakan tentang segala raja-raja yang bertapa (menyunyikan kediamannya atau ibadahnya), dan segala aulia yang salihin.
Bab kelima, terdiri dari 2 fasal yang menyatakan tentang perkara-perkara para raja dan menteri yang dzalim, yang menganiaya rakyat mereka.
Bab keenam, terdiri dari 2 fasal yang menyatakan segala orang yang murah lagi mulia dan segala orang berani yang besar.
Bab ketujuh, sebagai bab terakhir yang menceriterakan tentang akal, ilmu, firasat, qiafat, ilmu ketabiban, sifat-sifat perempuan serta hikayat-hikayat yang ajaib dan jarang terjadi. Bab yang terdiri dari 5 fasal ini kadang-kadang nampak menjadi sebuah bab tersendiri dengan nama Bustanul Arifin (taman orang-orang yang arif).
Naskah Bustanussalatin mempunyai pengaruh besar dalam sejarah dan kesusasteraan Melayu dan Aceh. Salah satu bab dari Bustanussalatin mengisahkan sejarah Aceh secara detail, termasuk silsilah para raja dan penegakan hukum pada masa kesultanan Aceh. Nuruddin Ar-Raniry juga menggambarkan kemegahan dan keindahan Dar Al-Dunya dan taman Bustanussalatin. Dari naskah ini pula diketahui segala gambaran tentang keindahan bangunan, tanaman, dan Darul Isyki (Krueng Daroy) yang terdapat dalam Bustanussalatin. Dan segala peristiwa dan perayaan yang diadakan di dalam maupun di luar taman kerajaan. Seperti perayaan Idhul Adha pada masa Sultan Iskandar Tsani yang gambarannya ada dalam lukisan AD Firous. *** [020415]

Kepustakaan:
Hasanuddin Yusuf Adan, 2014. Islam dan Sistem Pemerintahan di Aceh Masa Kerajaan Aceh Darussalam, Banda Aceh: Yayasan PeNA
Share:

Museum Negeri Aceh

Jika Anda termasuk peminat masalah sejarah anak negeri ini, Museum Negeri Aceh adalah tempat yang tidak boleh dilewatkan saat singgah di Banda Aceh.
Museum ini terletak di Jalan Sultan Alauddin Mahmudsyah No. 12 Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi museum ini berada di samping Gedung Juang maupun Pendopo Gubernuran (Meuligo), dan tidak begitu jauh dengan Situs Cagar Budaya: Pinto Khop, Taman Sari Gunongan, dan Sentral Telepon Belanda.
Museum Aceh didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yang pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Letnan Jenderal Henri Nicolas Alfred Swart (lahir di Cibitung, 12 Oktober 1863) pada tanggal 31 Juli 1915. Bangunannya merupakan sebuah rumah Aceh (Rumoh Aceh) yang berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoosteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus – 15 November 1914.
Pada waktu penyelenggaraan pameran di Semarang tersebut, Paviliun Aceh memamerkan koleksi-koleksi yang sebagian besar adalah milik pribadi Friedrich Wilhelm Stammeshaus (lahir di Sigli, 3 Juni 1881), yang pada tahun 1915 menjadi Kurator Museum Aceh yang pertama. Selain koleksi milik Stammeshaus, juga dipamerkan koleksi-koleksi berupa benda-benda pusaka para pembesar Aceh, sehingga dengan demikian Paviliun Aceh merupakan paviliun yang paling lengkap koleksinya.


Sistematika penataan pameraan di Paviliun Aceh pada Pameran Kolonial tersebut memperlihatkan gambaran mengenai etnografika dan hasil-hasil kesenian, alat-alat pertenunan Aceh dan hasil-hasilnya yang telah terkenal pada masa itu, senjata-senjata tajam diperlengkapi dengan foto-foto cara menggunakannya. Penanggung jawab koleksi dan penataannya ditangani oleh Friedrich Wilhelm Stammeshaus dan Overste Th. J. Veltiman yang dikirim khusus oleh Gubernur Aceh Letnan Jenderal Henri Nicolas Alfred Swart. Di samping pameran tersebut, di muka paviliun setiap saat dipertunjukkan tari-tarian Aceh.
Sebagai tanda keberhasilan dalam pameran itu, Paviliun Aceh memperoleh 4 medali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai paviliun terbaik. Keempat medali emas tersebut diberikan untuk pertunjukan, boneka-boneka Aceh, etnografika, dan mata uang. Perak untuk pertunjukan, foto, dan peralatan rumah tangga.
Karena keberhasilan tersebut, Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah museum. Ide ini diterima oleh Gubernur Swart. Atas prakarsa Stammeshaus, Paviliun Aceh itu dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah timur Blang padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Museum ini berada di bawah tanggung jawab penguasa sipil dan militer Aceh dengan kuratornya yang pertama Friedrich Wilhelm Stammeshaus.
Setelah Indonesia merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah daerah Tingkat II Banda Aceh. Pada tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari tempatnya yang lama (Blang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini. Setelah pemindahan ini, pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS) Pusat.


Sejalan dengan program pemerintah tentang pengembangan kebudayaan, khususnya pengembangan permuseuman, sejak tahun 1974 Museum Aceh telah mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan sekaligus dengan pengadaan bangunan-bangunan baru. Bangunan baru yang telah didirikan itu, gedung pameran tetap, gedung pertemuan. Gedung pameran temporer dan perpustakaaan, laboratorium dan rumah dinas. Selain untuk pembangunan sarana/gedung museum, dengan biaya Pelita telah pula diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang telah dapat dikumpulkan, secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya diterbitkan guna dipublikasikan secara luas.
Sejalan dengan Program Pelita dimaksud, gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan BAPERIS Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 September 1975 Nomor 538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan museum kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan sebagai Museum Negeri Provinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk menjadikan Museum Aceh sebagai Museum Negeri Provinsi baru dapat direalisir tiga tahun kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 28 Mei 1979 Nomor 093/0/1979 terhitung mulai tanggal 28 mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DR. Daoed Yoesoef.
Selain Museum Aceh, di Aceh pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda terdapat pula sebuah Museum Militer yang diberi nama Atjehsch Leger Museum yang didirikan pada tanggal 7 Januari 1937. Museuum ini merupakan Museum Militer yang pertama di Hindia Belanda. Atjehsch Leger Museum tidak berusia lama, karena dengan masuknya tentara Jepang tahun 1942 museum ini tidak dapat diselamatkan lagi.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Museum Negeri Aceh, sesuai dengan perjalanan sejarahnya, pengelolaannya telah saling berganti. Kini, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom (pasal 3 ayat 5 butir 10f), operasionalisasi museum tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Aceh. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 10 Tahun 2002 tanggal 2 Februari 2002, status Museum Negeri Aceh menjadi UPTD Museum Negeri Provinsi Aceh di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Museum yang memiliki luas gedung seluruhnya 2.134 m² yang dibangun di atas lahan milik negara seluas 9.400 m² ini, sampai tahun 2003 Museum Negeri Aceh mengelola 5.328 koleksi benda budaya dari berbagai jenis (arkeologika, biologika, etnografika, filologika, geologika, historika, keramanologika, numismatika, seni rupa, dan teknologika), dan 12.445 buku dari berbagai judul yang berisi aneka macam ilmu pengetahuan. *** [020415]

Kepustakaan:
Seri Penerbitan Museum Negeri Aceh: Petunjuk Singkat Museum Negeri Aceh, Proyek rehabilitasi dan Perluasan Museum daerah Istimewa Aceh, 1982
Share:

Sentral Telepon Militer Belanda

Bangunan bercat putih menjulang yang berada di daerah Blower menuju ke arah Seutui ini menarik perhatian bagi pengendara yang melintasnya. Bangunan dua lantai berbentuk menara yang dikelilingi rimbunan pohon trembesi (Samanea Saman) ini merupakan bangunan kuno peninggalan Belanda yang masih berdiri tegak di Kota Banda Aceh. Bangunan tersebut dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Gedung Menara Sentral Telepon Militer Belanda.
Gedung Menara ini terletak di Jalan Teuku Umar No. 1 Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi gedung ini berada di dekat Simpang Jam, yang tidak begitu jauh dengan Situs Cagar Budaya Pinto Khop, Kerkhof Peutjoet, dan Taman Sari Gunongan serta Museum Tsunami Aceh.
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, Gedung Menara ini dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1903 atau pada era kepemimpinan Sultan Muhammad Daudsyah (1874 – 1903). Hal ini didasarkan pada angka 1903 yang tertera di bagian atas bangunan dekat ventilasi jendela.
Gedung berbentuk oktagonal ini sengaja dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk keperluan militernya. Semula menggunakan telegraf dalam komunikasi jarak jauh, kemudian pihak militer Belanda mengalihkankan ke telepon. Belanda pun menyebut gedung ini sebagai Kantor Telepon Koetaradja yang sesungguhnya berdiri di atas lahan milik Dalam (sebutan untuk Kraton atau Istana/ Kerajaan Aceh Darussalam).


Sebagai pusat telepon yang pertama kali dibangun oleh Pemerintah Kolonial di Hindia Belanda ini, jaringannya menembus berbagai kota yang terbentang dari Banda Aceh hingga Asahan (Sumatera Utara). Sentral telepon ini berguna sekali bagi Gubernur Militer Belanda dalam berkomunikasi dan menghadapi serangan pejuang Aceh.
Gedung dengan luas bangunan 18,7 m² yang berdiri di atas lahan seluas 932 m² ini, memiliki gaya arsitektur Kolonial akan tetapi sudah dipadukan dengan kondisi tropis di Hindia Belanda. Hal ini ditandai dengan pintu dan jendela yang lumayan besar dan berjalusi untuk pintunya. Lantai satu bangunan ini terbuat dari beton, sedangkan lantai duanya semi permanen yang sekaligus bisa berfungsi sebagai gardu pandang juga.
Pada waktu pendudukan Jepang (1942 – 1945), gedung ini tetap digunakan oleh Jepang untuk hal yang sama. Begitu pula, ketika Indonesia merdeka, bangunan ini sempat dijadikan Kantor Telepon Militer Kodam I Iskandar Muda yang disebut Wiserbot (WB) Taruna sampai menjelang tahun 1960. Kemudian berturut-turut digunakan sebagai Kantor KONI, Kantor Surat Kabar Atjeh Post, dan terakhir sebagai Kantor PSSI hingga tahun 2000.
Kini, Gedung Menara ini dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata sejarah yang terdapat di Kota Banda Aceh karena sejak tahun 1991 sentral telepon ini telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya nasional mengingat bangunan tersebut sudah memenuhi kriteria, yaitu berumur lebih dari 50 tahun, dan mempunyai arsitektur yang khas yang ditunjang oleh data arkeologis. *** [300315]
Share:

Taman Sari Gunongan

Melintas Jalan Teuku Umar dari Pusat Kota Banda Aceh menuju Setui, Anda akan bisa menyaksikan bangunan dengan warna putih nan megah di sebelah kiri jalan. Bangunan putih tersebut, sesuai papan yang dipasang di halaman bangunan, tertulis Taman Sari Gunongan.
Taman Sari Gunongan terletak di Jalan Teuku Umar, Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi bangunan ini berada sekitar 100 meter bersebarangan dengan kompleks pemakaman prajurit Belanda, Kerkhof Peutjoet, dan Museum Tsunami Aceh. Untuk mencapai situs itu mudah karena hampir semua kendaraan umum melewatinya.
Menurut catatan yang ada di Taman Sari Gunongan, Gunongan didirikan oleh Sultan Iskandar Muda untuk menyenangkan permaisuri yang sering merindukan kampung halaman. Sultan Iskandar Muda menikahi Putri Pahang (Putroe Phang) setelah Kesultanan Aceh Darussalam menaklukkan Kerajaan  Pahang di Malaysia pada tahun 1615. Sultan Iskandar Muda menjadikan Putri Pahang sebagai istri kedua setelah Putri Tsani asal Reubee, Pidie. Alkisah, permaisuri Sultan Iskandar Muda yang bernama Putroe Phang, sering merasa kesepian di tengah kesibukan sang suami sebagai kepala pemerintahan. Ia selalu teringat dengan kampung halamannya di Pahang, Malaysia. Sultan Iskandar Muda memahami kegundahan permaisurinya. Untuk membahagiakan sang permaisuri, sultan membangun sebuah gunung kecil (Gunongan) sebagai miniatur perbukitan yang mengelilingi Istana Putroe Phang di Pahang.


Sultan Iskandar Muda memerintahkan sejumlah pekerja untuk membangun bangunan yang bisa mengobati perasaan gundah Putri Pahang ini. Bahkan, rakyat pun turut memberikan kontribusi lewat satu colek kapur per orang untuk mengecat putih bangunan yang tengah dibangun.
Lalu, jadilah Gunongan seperti yang ada sekarang. Bangunan itu dianggap sebagai gambaran kecil pemandangan alam dari daerah Pahang yang bergunung-gunung. Di sekitarnya pun dibangun taman yang ditanami sejumlah bunga dan pepohonan, yakni Taman Sari Gunongan atau Taman Ghairah.
Taman Ghairah cukup luas. Cakupannya termasuk kompleks pemandian Putroe Phang. Konon, setelah Gunongan dan Taman Ghairah selesai dibangun, betapa bahagianya sang permaisuri. Hari-harinya banyak dihabiskan dengan bermain bersama dayang-dayang di sekitar Gunongan, sambil memanjatinya sehingga Putri Pahang tersebut tak lagi sedih dan gundah merindukan kampung halamannya.
Menurut Kitab Bustanussalatin yang ditulis oleh Nuruddin Ar-Raniry, Gunongan dan kompleks Taman Ghairah dirancang oleh para ahli yang paham dengan seni bangunan. Ahli bangunan berasal dari dua negeri yang memiliki hubungan erat dengan Aceh kala itu, yakni Turki dan Tiongkok. Bahkan, ada kemungkinan pula Gunongan dan Taman Ghairah mendapatkan sentuhan ahli bangunan dari India.


Gunongan adalah monumen atau bangunan putih bersegi delapan (oktagonal) dengan tinggi sekitar 10 meter. Bangunan itu bertingkat tiga, berbukit-bukit seumpama jejeran gunung, sehingga disebut gunongan atau gunungan. Sekilas Gunongan pun terlihat seperti bunga bertingkat tiga yang sedang mekar. Di bagian puncak terdapat menara yang berbentuk seperti mahkota bunga.
Di Gunongan terdapat satu pintu masuk dengan tinggi hanya 1,5 meter. Pintu itu sengaja dibuat rendah agar pengunjung yang masuk dalam posisi membungkuk. Ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa hormat ketika bertamu atau memasuki suatu tempat.
Selangkah kaki di kiri Gunongan terdapat Peterana Batu. Batu itu memiliki diameter 1 meter dan tinggi 50 sentimeter. Batu itu berbentuk silindier berornamen kerawang motif jaring atau jala. Di pingiran batu terdapat terap, semacam tangga bertingkat dua, dan di tengah batu terdapat lubang. Konon, batu itu adalah takhta tempat penobatan sultan.
Persis di belakang Gunongan terdapat kandang atau makam menantu Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yakni Sultan Iskandar Thani (1636-1641). Sekitar 10 meter di samping kiri terdapat aliran sungai buatan bernama Krueng (sungai) Daroy. Sungai ini mengalirkan air ke kompleks pemandian Putri Pahang (Putroe Phang) yang berjarak sekitar 50 meter dari Gunongan.
Taman Sari Gunongan menjadi situs cagar budaya yang masih ada di Kota Banda Aceh. Berlatar motif cinta dari Sang Raja kepada permaisurinya, bangunan tersebut kini menjadi salah satu objek wisata yang layak dikunjungi ketika berada di Banda Aceh. *** [300315]

Kepustakaan:
Nyoman Surya, 2010. Wisata Murah Sumatera, Yogyakarta: Kata Buku
KOMPAS Edisi Jumat, 28 November 2014
Share:

Museum Giok Aceh Abu Usman Top Idocrase

Demam batu giok yang melanda Aceh ternyata tidak sia-sia. Bagi pecinta batu alam, bisa berkunjung ke Aceh karena Provinsi Aceh sekarang memiliki museum yang menyimpang dan mengumpulkan jenis batu alam mulia dari berbagai pelosok Aceh. Museum ini dikenal dengan nama Museum Giok Aceh Abu Usman Top Idocrase.
Museum ini terletak di Jalan Khairil Anwar No. 15-17 Kelurahan Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi museum ini tepat berada di depan Hotel Aceh Barat Peunayong.


Sesuai namanya, Museum Giok Aceh dimiliki oleh Ir. Muhammad Usman alias Abu Usman. Abu Usman yang lahir pada 1964 adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafi Assunah di Lampeuneuruet, Aceh Besar dengan jumlah santri sekitar 100 orang. Ia merupakan alumnus Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, menggeluti dunia batu mulia di Aceh sejak 30 tahun silam. Batu giok miliknya berhasil memenangi kontes batu mulia dalam Indonesia Gemstone Competition pada Maret 2014 di Jakarta dengan merebut lima sertifikat sekaligus, yaitu dari juara satu, dua, tiga, harapan satu hingga juara harapan dua. Sejak kemenangan itu, batu giok dari Aceh merajai batu mulia Indonesia, dan hal ini memunculkan inisiatif Abu Usman untuk mendirikan museum giok ini.
Gagasan membuat museum ini muncul setelah proses riset panjang yang dilakukan oleh beberapa pengusaha batu yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Batu Aceh (APBA). Riset itu menunjukkan bahwa aset Aceh yang memliki nilai tinggi belum dikemas  dengan baik. Padahal memiliki nilai ekonomi utnuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sehingga museum ini dibangun, sesungguhnya untuk melestarikan batu giok Aceh berbagai macam jenis.


Museum yang diresmikan pada 3 Februaru 2015 oleh Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf ini terletak di gedung lima lantai dengan luas 10 x 15 meter dan bisa menampung 500 hingga 1.000 orang. Lantai satu terdapat gallery, dua hingga empat tersedia ruang pamer berbagai jenis batu. Sedang lantai atasnya aula serta kantor museum.
Namun pada saat penulis berkunjung ke museum ini, hanya dipandu untuk melihat koleksi batu alam yang berada di lantai saja. Terdapat beragam batu alam, mulai dari bongkahan batu cincin sampai ke asesorisnya. Hanya saja ini baru tahap penyusunan dan dekorasi ruang. Kendati guide menerangkan baru ada ragam koleksi batu alam dari dua kabupaten di Aceh, yaitu Kabupaten Aceh Jaya dan Nagan Raya, namun pesona macamnya telah mampu membuat decak kagum. Sedikitnya ada 20 jenis batu dipamerkan, salah satunya adalah jenis Idocrase Aceh yang memiliki kualitas dunia.
Museum Giok Aceh ini merupakan museum umum yang menyediakan informasi seputar batu alam yang ada di Aceh, dan sekaligus menyediakan informasi wisata Aceh. Museum ini diprioritaskan sebagai tempat pembelajaran mengenai batu-batu mulia yang berada di Bumi Aceh, dan ke depannya diharapkan menjadi pusat riset perbatuan di Aceh.
Pihak museum juga akan bekerjasama dengan travel seluruh Aceh untuk menjadikan museum ini sebagai destinasi wisata baru di Aceh. Terlebih Museum Giok Aceh ini merupakan Museum Giok Idocrase pertama di Indonesia. *** [300315]

Share:

Bank Indonesia Banda Aceh

Menyusuri tepian Krueng Aceh dari Jalan Supratman menuju Jalan Diponegoro, Anda menyaksikan sebuah bangunan kuno yang megah dengan warna dominan putih. Bangunan kuno tersebut tak lain adalah Gedung Bank Indonesia Banda Aceh. Gedung Bank Indonesia merupakan salah satu gedung peninggalan Belanda yang masih ada di Banda Aceh.
Gedung Bank Indonesia tersebut berada di Jalan Cut Meutia No. 15 Kelurahan Merduati, Kecamatan Kuta Raja, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi gedung Bank Indonesia ini berada di sebelah barat Hotel Lading Banda Aceh.
Menurut catatan sejarah yang ada, dulunya gedung BI ini merupakan gedung De Javasche Bank  yang dibangun pada 2 Desember 1918 oleh Pemerintah Hindia Belanda atas hasil rancangan biro arsitek terkemuka di Hindia Belanda, N.V. Architecten-Ingenieurs Bureau Hulswit en Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam yang didirikan pada tahun 1910 oleh Eduard Cuypers (1859-1927) dan Marius J. Hulswit bersama A.A. Fermont.

Foto: Gedung BI Banda Aceh

De Javasche Bank sendiri, awalnya didirikan di Amsterdam, Belanda, pada 29 Desember 1826 atas prakarsa Raja Belanda kala itu, yaitu Raja Willem I. Namun, baru beroperasi sebagai bank dalam pengertian sesungguhnya pada 24 Januari 1828 melalui Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No. 25. Kemudian, kantor pertama De Javasche Bank di Hindia Belanda didirikan di Semarang pada 1 Maret 1829. Baru disusul daerah lainnya, seperti: Batavia, Surabaya, Bandung,  Cirebon, Yogyakarta, Solo, Kediri, Malang, Surabaya, Manado, Padang, dan Banda Aceh.
Bangunan De Javasche Bank pada umumnya memiliki kemiripan dari desain gedungnya. Hal ini bisa dimaklumi karena hasil rancangan yang digunakan, hampir semuanya ditangani oleh biro arsitek yang sama. Ciri khas gedung De Javasche Bank yang dirancang oleh biro arsitek ini dapat dilihat dari penggunaan balustrade, barisan horisontal dari tiang-tiang yang disatukan dengan penghubung berupa kayu atau bahan lain di atap bangunan. Di bagian tengah atap terdapat cupola yang cukup besar yang diberi jendela kaca di keempat sisi.
Gedung yang menggunakan langgam Neo-Klasik yang telah diselaraskan dengan iklim tropis ini, jendela hadir bukan sebagai pelengkap saja. Akan tetapi, malah ikut mempengaruhi penampilan bangunan. Dari luar gedung, orang melihat sebuah jendela tampil sebagai elemen estestis sebuah bangunan. Sedangkan dari dalam bangunan, jendela yang pada waktu dibuka akan memberikan visual kepada orang yang berada di dalam bangunan dalam menatap keluar jendela.

Foto: Gedung BI Banda Aceh

Pada masa pendudukan Jepang, bangunan De Javasche Bank ini sempat ditutup oleh Jepang pada 20 Oktober 1942. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, De Javasche Bank sempat vakum. Akhirnya, De Javasche Bank dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1951 menjadi Bnak Indonesia Setelah menjadi Bank Sentral, keberadaannya diatur dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia. Pada 2 Maret 1964, Kantor Bank Indonesia Banda Aceh dibuka kembali dengan menempati gedung De Javasche Bank tersebut. Namun, pada 26 Desember 2004, bangunan gedung Bank Indonesia Banda Aceh ini mengalami kerusakan yang cukup parah akibat gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh. Akibatnya, operasional Kantor Bank Indonesia Banda Aceh terpaksa dipindahkan sementara ke salah satu rumah dinas Bank Indonesia yang beralamat di Jalan Jenderal Sudirman No. 82 Banda Aceh. Pemindahan ini untuk menunjang kelancaran pelayanan Kantor Bank Indonesia kepada masyarakat sambil menunggu selesainya renovasi yang dilakukan terhadap gedung Kantor Bank Indonesia yang berada di Jalan Cut Meutia No. 15 Banda Aceh tersebut. Pada tahun 2007, setelah renovasi gedung Kantor Bank Indonesia tersebut selesai, kegiatan operasional Kantor bank Indonesia kembali dipindahkan ke tempat semula.
Dalam pelaksanaan renovasi ini, telah dilakukan upaya untuk mengembalikan bangunan ke bentul awal rumah dengan mempertahankan dan mengganti bagian-bagian bangunan yang rusak serta upaya lainnya agar sesuai dengan kondisi sebelumnya sehingga bangunan gedung Kantor Bank Indonesia Banda Aceh menjadi utuh dan indah. *** [300315]



Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami