Mengunjungi
Museum Negeri Aceh tanpa melihat makam kuno yang berada di pelataran museum,
terasa belum lengkap. Makam kuno tersebut bukanlah seonggokan batu yang
dibentuk, akan tetapi sesungguhnya juga menyimpan memori sejarah tersendiri. Makam
kuno tersebut dikenal sebagai Makam Raja-Raja Aceh Keturunan Bugis.
Makam
ini terletak di Jalan Sultan Alauddin Mahmudsyah No. 12 Kelurahan Peuniti,
Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi makam ini tepat
berada di depan auditorium Museum Negeri Aceh.
Sesuai
dengan petunjuk tulisan berwarna kuning yang ditorehkan pada marmer hitam,
dikebumikan jasad raja-raja Aceh keturunan Bugis maupun keluarganya, yakni:
Sultan Alauddin Ahmad Syah, Sultan Alauddin Johan Syah, Sultan Muhammad Daud
Syah (1874-1903), dan Pocut Muhammad.
Sultan
Ahmad Syah adalah Sultan pertama dari Dinasti Aceh-Bugis dan sekaligus
merupakan Sultan yang ke-23 dari Kesultanan Aceh Darussalam yang memerintah
dari 1727 sampai 1735. Sebelum tahun 1727, beliau bergelar Maharaja Lela
Melayu.
Sultan
Alauddin Johan Syah adalah anak dari Sultan Alauddin Ahmad Syah. Sebelum
diangkat menjadi sultan, beliau dikenal sebagai Pocut Aoek. Beliau memerintah
Kesultanan Aceh Darussalam dari 1735 hingga 1760.
Sultan Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh yang ke-35 dan sekaligus menjadi Sultan Aceh yang terakhir. Beliau dinobatkan menjadi sultan di Masjid Indrapuri pada 1878 sampai menyerah kepada Belanda pada 10 Januari 1903. Beliau diasingkan ke Ambon, dan terakhir dipindahkan ke Batavia hingga wafatnya pada 6 Februari 1939. Beliau dikenal sebagai Sultan Aceh yang bertahta tanpa istana. Sedangkan Pocut Muhammad, sesuai dengan hikayat yang berkembang merupakan adik laki-laki dari Sultan Muda.
Berdasarkan
catatan sejarah yang ada, awal dari Sultan Aceh berdarah Bugis dimulai dengan
pernikahan Sultan Iskandar Muda dengan Putroë Suni, anak Daeng Mansyur.
Daeng Mansyur sendiri merupakan menantu dari Teungku Chik Di Reubee. Sultan
Iskandar Muda memerintah dengan sangat bijak sehingga Kesultanan Aceh
Darussalam mencapai masa gemilang.
Perkawinannya
dengan Putroë
Suni, beliau dikaruniai seorang anak perempuan bernama Safiatuddin Syah.
Setelah dewasa, Safiatuddin Syah dipersunting oleh Iskandar Thani dari Pahang.
Dari sinilah, permulaan adanya pemerintahan Sultan dan Sultanah Aceh keturunan
Bugis di Kesultanan Aceh Darussalam.
Dilihat
batu nisan yang terdapat pada makam tersebut, tampak sedikit berbeda dengan
Makam Kandang Meuh dan Makam Kandang XII. Hal ini disebabkan adanya perpaduan
corak nisan Aceh dengan corak nisan Bugis yang silindrik berbentuk piala.
Keberadaan
makam tersebut di pelataran kompleks Museum Negeri Aceh, secara nyata juga
dengan sendirinya menjadi salah satu koleksi museum in situ. *** [020415]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar