Pada
26 Desember 2004, perhatian dunia tertuju kepada Aceh lantaran terjadinya
tsunami. METRO TV kala itu mengangkat peristiwa tsunami dengan judul “Indonesia
Menangis”. Pada peristiwa tsunami, argumen logika seolah-olah menjadi mandul
dan takjub akan kebesaran Sang Pencipta. Tsunami yang meluluhlantakan bangunan
hingga Merduati dari Pante Ceureumen Ulee Lheue, hanya menyisakan sebuah masjid
yang berada tepat di bibir pantai. Masjid tersebut tidak lain adalah Masjid
Baiturrahim.
Masjid
ini terletak di Desa Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, Provinsi
Aceh. Lokasi masjid ini tidak terlalu jauh dengan Pelabuhan Kapal Cepat.
Menurut
catatan inventaris benda cagar budaya tidak bergerak di Provinsi Aceh yang
dikeluarkan oleh Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Aceh dan
Sumatera Utara (2001), luas situs Masjid Baiturrahim adalah 172 m². Sebagai
bangunan cagar budaya, sebenarnya masjid ini memiliki nilai historis dalam
perjalanannya. Namun, pamornya menjadi mendunia karena merupakan satu-satunya
bangunan yang tertinggal di Desa Ulee Lheue dan masih kokoh berdiri di tengah
terjangan kedahsyatan gelombang tsunami.
Menurut catatan sejarah yang ada, masjid ini diperkirakan didirikan pada masa kesultanan Aceh di abad ke-17. Awalnya, masjid ini masih sederhana sekali. Konstruksi dan bahan bangunannya terbuat dari kayu. Kala itu, masjid tersebut dikenal dengan Masjid Jami’ Ulee Lheue yang dibangun di atas tanah wakaf keluarga besar Teungku Hamzah.
Ketika
Masjid Raya Baiturrahman dibakar oleh Belanda pada tahun 1873, semua jamaah
masjid tersebut terpaksa melakukan shalat Jumat di Masjid Jami’ Ulee Lheue.
Sejak peristiwa itulah, nama Masjid Jami’ Ulee Lheue berubah menjadi Masjid
Baiturrahim.
Karena
masjid ini terbuat dari kayu dan berada di bibir pantai, kayunya kian lama
menjadi lapuk sehingga harus dirobohkan. Akhirnya pada tahun 1343 H (1926 M),
atas inisiatif Teuku Teungoh, yaitu seorang uleebalang kemukiman Meuraxa,
masjid ini dibangun kembali dengan menggunakan biaya swadaya masyarakat dan
tokoh-tokoh masyarakat, seperti: Tgk. H. Muhammad (Lamjabat), H. Mahmud Puteh
(Kampung Blang), H. Bintang (Kampung Baro), H. Ali (Meuraxa), H. Nya’ Su’id
(Kampung Blang), Toke Gam (Kampung Surin), H. Neh (Kampung Cot Lamkuweh), H.
Ishak (Kampung Surin), dan Tgk. H. Hanafiah (Kampung Lambung). Masjid ini didirikan
di atas tanah waqaf.
Konstruksi awal masjid ini dibangun dari bahan beton atau bata dengan atap seng bergelombang ukuran 25 x 18 meter. Dari awal pembangunannya, tata ruang dan bagian belakang digunakan sebagai ruang belajar. Kapasitas masjid ini awalnya mampu menampung sekitar 450 jamaah. Namun, karena adanya pertumbuhan jumlah penduduk, maka masjid tersebut sudah tak mampu menampung jamaah yang lebih banyak lagi. Pada tahun 1960, ruangan belakang yang semula dijadikan ruang belajar dirubah untuk ruang shalat Jumat. Pada tahun 1965, kedua bagian ruangan masjid ini tak mampu menampung jamaah shalat Jumat, sehingga jamaah banyak yang shalat di pekarangan masjid.
Pada
tahun 1981, masjid ini mendapat bantuan dari Kerajaan Saudi Arabia sebesar Rp
37.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dan dilakukan perluasan ke samping kiri
dan kanan sehingga dapat menampung jamaah lebih banyak lagi. Tahun 1983
berdasarkan catatan sejarah, Banda Aceh pernah diguncang gempa dahsyat dan
merobohkan kubah masjid. Setelah itu, masyarakat membangun kembali masjid, akan
tetapi tidak lagi memasang kubah atau hanya atap biasa.
Pada
tahun 1991 dilakuan renovasi besar dengan memperluas ruang shalat ke arah belakang
sehingga masjid ini mampu menampung 1.500 jamaah.
Pada
saat Aceh dilanda tsunami, bangunan masjid ini mengalami kerusakan namun tidak
merobohkan masjid. Ada beberapa bagian bangunan yang rusak seperti dinding,
atap, dan pilar bangunan. Namun pada saat rehabilitasi dan rekonstruksi, bagian
masjid yang rusak tadi diperbaiki. Masjid ini menjadi saksi kedahsyatan
tsunami, dan juga menjadi saksi keajaiban saat sepuluh orang selamat di masjid
ini. *** [020415]
Kepustakaan:
Heri Azuwar, 2012. Studi
Konservasi Bangunan Cagar Budaya: Tinjauan Terhadap Mesjid di Kota Banda Aceh,
dalam Tesis di Program Studi Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana
Universitas Syiah Kuala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar