Jika
Anda termasuk peminat masalah sejarah anak negeri ini, Museum Negeri Aceh
adalah tempat yang tidak boleh dilewatkan saat singgah di Banda Aceh.
Museum
ini terletak di Jalan Sultan Alauddin Mahmudsyah No. 12 Kelurahan Peuniti, Kecamatan
Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lokasi museum ini berada di
samping Gedung Juang maupun Pendopo Gubernuran (Meuligo), dan tidak begitu jauh dengan Situs Cagar Budaya: Pinto
Khop, Taman Sari Gunongan, dan Sentral Telepon Belanda.
Museum
Aceh didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yang pemakaiannya
diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Letnan Jenderal Henri Nicolas
Alfred Swart (lahir di Cibitung, 12 Oktober 1863) pada tanggal 31 Juli 1915.
Bangunannya merupakan sebuah rumah Aceh (Rumoh Aceh) yang berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran
Kolonial (De Koloniale Tentoosteling)
di Semarang pada tanggal 13 Agustus – 15 November 1914.
Pada
waktu penyelenggaraan pameran di Semarang tersebut, Paviliun Aceh memamerkan
koleksi-koleksi yang sebagian besar adalah milik pribadi Friedrich Wilhelm
Stammeshaus (lahir di Sigli, 3 Juni 1881), yang pada tahun 1915 menjadi Kurator
Museum Aceh yang pertama. Selain koleksi milik Stammeshaus, juga dipamerkan
koleksi-koleksi berupa benda-benda pusaka para pembesar Aceh, sehingga dengan
demikian Paviliun Aceh merupakan paviliun yang paling lengkap koleksinya.
Sistematika penataan pameraan di Paviliun Aceh pada Pameran Kolonial tersebut memperlihatkan gambaran mengenai etnografika dan hasil-hasil kesenian, alat-alat pertenunan Aceh dan hasil-hasilnya yang telah terkenal pada masa itu, senjata-senjata tajam diperlengkapi dengan foto-foto cara menggunakannya. Penanggung jawab koleksi dan penataannya ditangani oleh Friedrich Wilhelm Stammeshaus dan Overste Th. J. Veltiman yang dikirim khusus oleh Gubernur Aceh Letnan Jenderal Henri Nicolas Alfred Swart. Di samping pameran tersebut, di muka paviliun setiap saat dipertunjukkan tari-tarian Aceh.
Sebagai
tanda keberhasilan dalam pameran itu, Paviliun Aceh memperoleh 4 medali emas,
11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai paviliun terbaik. Keempat
medali emas tersebut diberikan untuk pertunjukan, boneka-boneka Aceh,
etnografika, dan mata uang. Perak untuk pertunjukan, foto, dan peralatan rumah
tangga.
Karena
keberhasilan tersebut, Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar
paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah museum. Ide ini
diterima oleh Gubernur Swart. Atas prakarsa Stammeshaus, Paviliun Aceh itu
dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah
timur Blang padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Museum ini berada di
bawah tanggung jawab penguasa sipil dan militer Aceh dengan kuratornya yang
pertama Friedrich Wilhelm Stammeshaus.
Setelah
Indonesia merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh yang
pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah daerah Tingkat II Banda Aceh. Pada
tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari
tempatnya yang lama (Blang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini. Setelah
pemindahan ini, pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun
Iskandarmuda (BAPERIS) Pusat.
Sejalan dengan program pemerintah tentang pengembangan kebudayaan, khususnya pengembangan permuseuman, sejak tahun 1974 Museum Aceh telah mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan sekaligus dengan pengadaan bangunan-bangunan baru. Bangunan baru yang telah didirikan itu, gedung pameran tetap, gedung pertemuan. Gedung pameran temporer dan perpustakaaan, laboratorium dan rumah dinas. Selain untuk pembangunan sarana/gedung museum, dengan biaya Pelita telah pula diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang telah dapat dikumpulkan, secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya diterbitkan guna dipublikasikan secara luas.
Sejalan
dengan Program Pelita dimaksud, gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan
BAPERIS Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2
September 1975 Nomor 538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan
penyerahan museum kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan
sebagai Museum Negeri Provinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggung jawab
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk
menjadikan Museum Aceh sebagai Museum Negeri Provinsi baru dapat direalisir
tiga tahun kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 28 Mei 1979 Nomor 093/0/1979
terhitung mulai tanggal 28 mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh.
Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada
tanggal 1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DR. Daoed
Yoesoef.
Selain
Museum Aceh, di Aceh pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda terdapat pula
sebuah Museum Militer yang diberi nama Atjehsch
Leger Museum yang didirikan pada tanggal 7 Januari 1937. Museuum ini
merupakan Museum Militer yang pertama di Hindia Belanda. Atjehsch Leger Museum tidak berusia lama, karena dengan masuknya
tentara Jepang tahun 1942 museum ini tidak dapat diselamatkan lagi.
Seperti
telah dijelaskan di atas bahwa Museum Negeri Aceh, sesuai dengan perjalanan
sejarahnya, pengelolaannya telah saling berganti. Kini, sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan
provinsi sebagai daerah otonom (pasal 3 ayat 5 butir 10f), operasionalisasi
museum tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Aceh. Berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Nomor 10 Tahun 2002 tanggal 2 Februari 2002, status Museum Negeri Aceh
menjadi UPTD Museum Negeri Provinsi Aceh di lingkungan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan.
Museum
yang memiliki luas gedung seluruhnya 2.134 m² yang dibangun di atas lahan
milik negara seluas 9.400 m² ini, sampai tahun 2003 Museum Negeri
Aceh mengelola 5.328 koleksi benda budaya dari berbagai jenis (arkeologika,
biologika, etnografika, filologika, geologika, historika, keramanologika,
numismatika, seni rupa, dan teknologika), dan 12.445 buku dari berbagai judul
yang berisi aneka macam ilmu pengetahuan. ***
[020415]
Kepustakaan:
Seri
Penerbitan Museum Negeri Aceh: Petunjuk Singkat Museum Negeri Aceh, Proyek rehabilitasi dan Perluasan Museum daerah
Istimewa Aceh, 1982
Tidak ada komentar:
Posting Komentar