The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Oud Batavia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Oud Batavia. Tampilkan semua postingan

Toko Merah


Di kawasan tepian Kali Besar Barat, berdiri bangunan kembar yang populer dengan sebutan Toko Merah. Thomas B. Ataladjar dalam bukunya, Toko Merah, mencatat, rumah bergaya rumah Belanda, Boer, dibangun Gubernur Jenderal Willem Baron van Imhoff (1743-1750). Awal dibangunnya (1730) adalah untuk tempat tinggal van Imhoff.
Pada akhir 1743, Imhoff menjadikan gedung ini sebagai Academie de Marine, yang kemudian dikenal sebagai akademi maritim tertua di Asia, bahkan salah satu dari yang tertua di dunia.
Tahun 1780-1808, bangunan itu menjadi hotel. Salah seorang tamu hotel adalah Kapten William Bligh, nakhoda kapal Bounty. Saat berlayar memasuki perairan Kepulauan Persahabatan (Friendly Islands) pada 28 April 1789, terjadi pemberontakan di kapal yang dipimpin wakil nakhoda, Christian Fletcher. William dan 18 anak buahnya yang setia diturunkan ke sekoci.




Fletcher dan anak buahnya mendarat dab beranak-pinak di Pulau Pitcain. Sementara William dan anak buahnya terdampar di Kupang, Timor. Mereka dirawat pejabat Hindia Belanda.
Setelah pulih, William membeli kapal dan pergi ke Pulau Jawa. Dalam perjalanan, mereka singgah di Surabaya, Tuban, Semarang, dan Cirebon, sebelum akhirnya tiba di Batavia dan menginap di Toko Merah. Ia lalu kembali ke Inggris.
Kisah pemberontakan di kapal Bounty dan petualangan Willem mengarungi Samudra Pasifik kemudian diangkat ke layar lebar lewat film berjudul, Mutiny on the Bounty. Pemeran utamanya Anthony Hopkins (sebagai William) dan Mel Gibson (Fletcher).

Sumber:
  • KOMPAS edisi Senin, 7 Desember 2009


Share:

Kota Tua di Tepian Kali Besar


Kali Besar dibangun oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, sebagai bagian dari Kota Batavia pada abad ke-17. “Arsiteknya Simon Stevius, yang juga merancang sejumlah tempat bernama Batavia di New York, di Negara Bagian Ohio AS, dan Australia. Luas wilayah Batavia Hindia Belanda yang ia rancang tahun 1650 seluas 105 hektar. Sebelumnya, sampai Coen merebut Jayakarta pada 30 Mei 1619, luas kota Cuma 15 hektar,” tutur Kepala Unit Pelaksana Teknis Kota Tua Candrian, Kamis (3/12).
Nama Batavia dipilih petinggi di negeri Belanda untuk mengenang nenek myang bangsa Belanda yang berasal dari Jerman, yaitu Suku Batavieren.
Kini, Batavia timur lebih dikenal sebagai kawasan Kali Besar Timur, sedangkan Batavia barat lebih populer dengan sebutan Kali Besar Barat. Dua wilayah itu dibangun seperti sebuah kota kembar.
Pada 1905, Batavia dibangun kembali dengan struktur bangunan art deco. Saat itu, Kali Besar diluruskan dan dibangun kembali sehingga kapal berukuran sedang bisa kembali merapat sampai tepian Kali Besar.
Kini, mayoritas gedung tua di tepian Kali Besar renta tak terurus. Ironisnya, kalangan swasta yang masih memiliki gedung-gedung tua di kota lama Batavia, lanjut Candrian, sengaja membiarkan bangunan gedung hancur. “Mereka berharap, setelah gedung lama hancur, bisa membangun gedung baru,” katanya.

Sumber:
  • KOMPAS edisi Senin, 7 Desember 2009


Share:

Gubernur Jenderal Pun Tewas karena Disentri

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengumumkan, pada Mei ini musim sudah berganti dari kemarau (Kompas, 3/5). Artinya, warga Jakarta sudah harus kembali bersiap menghadapi krisis air bersih, seperti tahun-tahun lalu.
Air bersih sebetulnya persoalan klasik Jakarta. Krisis air minum sudah sering terjadi sejak awal pembangunan kota Batavia oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen pada 1619. Maklum, Batavia adalah kota pesisir yang dibangun di daerah muara sungai (Ciliwung), di mana air tawar merupakan komoditas yang tak banyak tersedia di alam.
Lebih tak menguntungkan lagi, Batavia juga sebuah kota di negeri tropis yang dibangun di dataran rendah berawa-rawa yang justru menjadi sumber seribu satu macam penyakit. Pada abad ke-17 dan 18 angka tingkat kematian di sana relatif tinggi. Pada abad ke-18 Batavia sempat dipuji para pelancong sebagai Koningin van het Oosten, Ratu dari Timur.
Hal ini karena Batavia merupakan kota bergaya Eropa yang indah di belahan dunia Timur. Namun, pada akhir abad yang sama, gara-gara banyak orang Belanda yang mati, Batavia mendapat julukan baru: Het Graf der Hollander, Kuburan Orang Belanda!
Sampai awal abad ke-20, warga Batavia masih dihantui aneka penyakit yang mematikan: kolera, tipus, dan difteri, yang antara lain disebabkan buruknya kualitas air minum. Wabah kolera sering terjadi dan selalu minta banyak korban jiwa. Menurut sebuah cerita dari abad ke-18, saking banyaknya orang yang meninggal dalam wabah kolera, tak jarang orang harus pergi mengantar jenazah kerabat, teman, atau tetangga ke kuburan sampai beberapa kali dalam sehari. Gubernur Jenderal Abraham van Rebeeck (1708-1713) meninggal dunia setelah menderita disentri, penyakit tropis lain yang juga sering menyerang warga Batavia.
Buruknya kondisi kesehatan juga disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat soal pentingnya menjaga pola hidup sehat. Pada abad ke-18 banyak warga Batavia belum tahu bahwa kuman di dalam air akan mati jika air mentah dimasak sampai mendidih. Sampai abad ke-19 warga umumnya tak peduli dan meminum air Ciliwung mentah-mentah.
Sejak 1744, pasien-pasien rumah sakit hanya diberi minum teh atau kopi karena air putih sudah tercemar dan tak layak diminum orang sakit. Pada 1753, setelah mendapat saran dari seorang dokter, Gubernur Jenderal Jacob Mossel mengajurkan warga agar memindahkan air dari satu tempayan ke tempayan lain agar mengendap sehingga tampak bersih dan dapat diminum tanpa dimasak.

Sumur artesis
Menurut Scott Merrilees dalam buku Batavia in Nineteenth Century Photographs, untuk mengatasi persoalan air bersih, menjelang pertengahan abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun sumur-sumur artesis di berbagai tempat di Batavia. Sumur pertama digali di dalam Benteng Pangeran Frederik (Prins Frederik Citadel), di tempat Masjid Istiqlal berdiri sekarang, dan selesai pada 1843. Entah kenapa, sumur-sumur berikutnya baru digali hampir 30 tahun kemudian. Pada tahun 1870-an ada enam sumur yang selesai digali, termasuk satu di sisi utara Koningsplein, Medan Merdeka Utara, kurang lebih di seberang istana gubernur jenderal yang kini jadi Istana Presiden.
Pembangunan sumur air tanah dalam ini terus dilakukan hingga akhir 1920-an. Waktu itu di seluruh Batavia sudah ada 50-an sumur artesis, yang kedalamannya bervariasi mulai dari 100 meter sampai hampir 400 meter. Di samping itu, juga dibangun 14 stasiun mesin pompa untuk meningkatkan tekanan air di dalam pipa-pipa pendistribusian.
Dalam sebuah buku tentang Batavia terbitan 1891 disebutkan, pemerintah telah membangun jaringan pipa pendistribusian sepanjang 90 kilometer. Melalui pipa-pipa itu air sumur dialirkan sampai ke daerah-daerah yang jauh dari pusat kota, termasuk ke daerah Meester Cornelis (Jatinegara). Segenap warga kota, baik pribumi maupun Eropa, boleh memanfaatkan air berkualitas baik ini dengan gratis. Sejak adanya sumur artesis ini, kondisi kebersihan dan kesehatan di Batavia meningkat secara signifikan.
Namun, banyak warga yang tak menyukai rasa air sumur dalam ini. Warnanya keruh sehingga kalau dipakai untuk menyeduh teh, warna air teh jadi hitam. Dengan demikian, air Ciliwung tetap merupakan air minum paling favorit di Batavia.
Meski jumlahnya sudah mencapai 50, sumur-sumur artesis tak mampu menghasilkan air dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk Batavia. Pada Oktober 1918 pemerintah memutuskan membangun jaringan pipa baru untuk mengalirkan air bersih ke Batavia dari mata air di Ciomas, di kaki Gunung Salak, Bogor. Pembangunan infrastruktur ini selesai pada akhir 1922 yang diikuti dengan penonaktifan sumur-sumur artesis dan pembongkaran bangunan-bangunan pelindungnya.
Meski berusaha terus meningkatkan pelayanannya, pemerintah kolonial Belanda tak pernah sanggup memenuhi kebutuhan air bersih bagi warga Batavia yang jumlahnya terus meningkat. Sampai akhir zaman penjajahan, sebagian warga masih tetap mengandalkan kebutuhan air bersih mereka dari sumber-sumber lain, seperti  sungai, sumur dangkal, atau dari pedagang air keliling.
Kini, sudah lebih dari satu setengah abad berlalu sejak berdirinya sumur artesis pertama, yang menandai awal usaha pemerintah memenuhi kebutuhan air bersih bagi warga Batavia. Namun, pemerintah masih tetap saja belum mampu memasok air bersih bagi segenap warga kota yang kini bernama Jakarta.

Sumber:
  • KOMPAS edisi Selasa, 5 Mei 2009


Share:

Kantor Bank rasa karbol di Batavia

Pada awal berdirinya, De Javasche Bank menempati bangunan dua lantai bekas Binnenhospitaal, rumah sakit yang berada tepat di sebelah dalam tembok kota di Batavia. Kota adalah kawasan yang pertama kali dibangun oleh Belanda pada awal abad ke-16 dan menjadi pelabuhan penting tempat kapal-kapal dagang dari berbagai pendjuru dunia berlabuh. Bergudang-gudang hasil bumi seperti rempah, kopi, dan teh, serta komoditas perdagangan lain seperti cita, disimpan dan diperdagangkan di sini.
Sebagai perusahaan swasta bidang perbankan, kegiatan De Javasche Bank berkaitan erat dengan perdagangan hasil bumi dari berbagai penjuru Hindia Belanda, oleh karenanya kantornya tak hanya berada di Batavia tetapi juga di beberapa kota besar lain seperti Semarang, Surabaya, Padang, Medan, dan Solo.
Seiring perkembangan zaman, kegiatan De Javasche Bank makin banyak. Setelah sekitar delapan puluh tahun, kapasitas gedung bekas Binnenhospitaal ini dirasa tak lagi memadai sebagai kantor bank besar. Empat kali renovasi besar pun dilakukan, mulai 1909 sampai yang terakhir pada 1933. Bangunan lama bekas rumah sakit akhirnya sirna, digantikan sepenuhnya oleh bangunan megah yang kita lihat sekarang. ***
                                                                                          
                                     
Share:

Museum Bank Mandiri

Museum Bank Mandiri terletak di Jalan Lapangan Stasiun No. 1 Jakarta Kota. Museum ini menempati areal seluas 10.039 m², dan terletak persis di depan stasiun kereta api Kota. Bangunan museum ini terdiri atas 4 lantai dengan luas keseluruhan 21.509 m², dan mulai difungsikan sebagai museum sejak awal tahun 2004.
Kendati letaknya sangat strategis dan mudah dicapai, namun keberadaan museum ini kurang diketahui khalayak ramai, mungkin karena minimnya publikasi terlebih lagi karena papan nama “Museum Bank Mandiri” terletak di tengah bangunan, yang justru kurang eye catching karena pengendara tidak mungkin menolehkan kepala selagi berkendaraan. Sedangkan dari depan bangunan, papan nama ini tidak mungkin terlihat karena lapangan yang tepat di depannya terdapat pepohonan yang menghalangi dan ditambah lagi adanya shelter untuk busway Trans Jakarta. Akan lebih menarik perhatian orang jika papan ini diletakkan di sudut gedung yang merupakan persimpangan jalan Pintu Besar Selatan, Asemka, dan Jembatan Batu menuju Mangga Dua. Papan nama dari lokasi ini akan mempermudah masyarakat umum mengetahui keberadaan museum ini.


Gedung bergaya art-deco ini benar-benar megah. Dibangun oleh Biro Konstruksi NV Nedam pada tahun 1929 dan diresmikan pada tanggal 14 Januari 1933 sebagai Kantor Cabang Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) untuk Dunia Timur dan dikenal sebagai Gedong Factorij Batavia. Sang arsitek gedung ini adalah J.J.J. de Bruin dan C. van der Linde.

Koleksi Bank Mandiri
 Selain kemegahan gedung Museum Bank Mandiri yang mengundang decak kagum para arsitek kita, museum ini memiliki banyak koleksi yang berkaitan dengan dunia perbankan maupun koleksi pendukung dalam operasional bank kala itu. Sebagai contoh adalah bermacam-macam alat penghitung (sempoa, kalkulator), mesin ketik, mesin ATM, alat timbangan, alat pembayaran yang pernah diproduksi, seragam satpam, prestasi pegawai bank, pakaian anti bahan peledak, buku keuangan tahunan abad 19, foto gedung-gedung bank yang tergabung dalam Bank Mandiri (Nederlandsche Handel-Maatschappij, Escomptobank, Chartered Bank) dan lain-lain.  Bank vault atau strong room atau khasanah juga tak luput mendapatkan perhatian.


Di lantai 3 terdapat display ruang kerja direktur bank. Di sini pengunjung bisa merasakan suasana para petinggi sedang mengerutkan kening memikirkan masalah moneter. Pada ruangan tertentu di pajang pula beberapa gubernur de Javasche Bank hingga Bank Indonesia. Juga ada ruangan yang khususnya memamerkan benda-benda numismatik, mulai dari uang zaman VOC hingga uang yang dipakai saat ini.


Luasnya areal museum ditambahnya banyaknya koleksi yang dimiliki museum ini memerlukan berjam-jam untuk bisa menikmati koleksi yang dimiliki museum ini secara detail. Seperti kulkas kayu tempo doeloe, brandkas, sensasi lift schindler tempo doeloe dan kemegahan lantai ubin kuno. *** [110712]
Share:

Nederlandsche Handel Maatschappij, Dari Perdagangan ke Perbankan

Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) adalah sebuah perusahaan milik Belanda yang didirikan berdasarkan Besluit No. 163 pada tanggal 29 Maret 1824 dengan prakarsa Raja Willem I. Tujuan pendirian NHM adalah untuk menggantikan VOC (Verenigde Oost Indische Company) yang bangkrut akibat korupsi yang dilakukan oleh pejabat VOC sendiri. Tujuan lainnya adalah menghidupkan kembali perekonomian Negeri Belanda yang hancur akibat peperangan dengan negara tetangganya, Belgia. Sejak awal berdirinya, NHM bertugas melakukan perdagangan ke seluruh dunia, yang meliputi Amerika, Asia Kecil, Cina, India, Persia, Jazirah Arab. Namun dalam perkembangan selanjutnya perusahaan NHM lebih memfokuskan ke Nusantara.
Pada tahun 1826 perwakilan NHM di Batavia dengan membuka cabangnya di Palembang, Banjarmasin, dan Banda. Kegiatan utamanya adalah melakukan pengiriman, pengapalan dan juga penjualan barang-barang ke Hindia Belanda. Di samping itu, perusahaan ini juga membantu pemerintah Hindia Belanda melakukan pengiriman uang ke Cina, Australia, dan India.
Pada tahun 1830 di Nusantara di perlakukan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang dipelopori oleh Gubernur Jenderal Graaf van de Bosch. Dengan berlakunya sistem tanam paksa maka NHM juga mempunyai fungsi ganda, yakni selain melakukan pengiriman barang, akan tetapi juga melakukan pembelian rempah-rempah dari pemerintah Hindia Belanda. Ternyata harapan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya melalui tanam paksa membuahkan hasil. Pemerintah Hindia Belanda banyak meraup keuntungan dari eksploitasi tenaga kerja pribumi. Namun keuntungan yang selama 40 tahun dinikmati berangsur-angsur menuai kemunduran. Hal tersebut disebabkan pada tahun 1870 sistem tanam paksa dicabut. Pada tahun 1882 Factorij NHM Batavia melakukan usaha penuh sebagai bank modern dengan menerima dana pihak ketiga dalam bentuk deposito, rekening Koran dan produk jasa lainnya.
Sejalan dengan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, pada tanggal 5 Desember 1960 NHM dilebur ke dalam Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) Urusan Ekspor Impor. ***
Share:

Kemegahan Ubin Lantai dan Ubin Tembok

Gedung Nenderlandsche Handel Maatschappij (NHM) di Batavia, interior dan furniturenya dirancang oleh Anthonie Pieter Smits (1881-1957) dengan asistennya Maurits Bruno Tideman (1888-1969). Bangunan ini memiliki arsitektur Indisch bergaya Nieuw-Zakelijk. Setelah masuk ke dalam gedung yang kini menjadi Museum Bank Mandiri, kita dapat melihat keragaman dan kemegahan ubin lantai maupun ubin dindingnya yang terbuat dari bahan kaca, semen, kayu dan beton dengan berbagai ukuran, bentuk dan motif.
Ubin kaca (glasmozaik tegels) berukuran 5 cm x 5 cm x 1 cm yang khusus didatangkan dari perusahaan tegel ternama “Gianese Angelo” dari Venesia, Italia, digunakan untuk ubin lantai (2.050 m² dan ubin dinding (1.018 m²) di area Public Hall Lantai Dasar, Ruang Rapat Utama, Ruang Direksi dan sepanjang koridor Lantai 1. Motif ubin kaca ini sangat bervariasi dan indah. Pada tangga yang mengarah ke ruang rapat Lantai I dan ruang rapat terdapat ornamen ubin kaca berwarna emas (spiegelglas) ukuran 1 cm x 1 cm mempunyai ketebalan 5-8 mm berwarna terang dan bersinar

.

Untuk seluruh lantai ruangan kerja dan tepi bawah dinding menggunakan ubin Semen Portland berwarna polos dengan kualitas bermutu berukuran 20 cm x 20 cm x 3 cm. Total luas ubin semen ini mencapai 14.732 m² dengan komposisi warna 60% abu-abu, 20% merah dan 20% tegel hitam. Tegel untuk sepanjang tepi bawah dinding berwarna hitam berukuran 20 cm x 15 cm dengan sisi yang dimiringkan.
Juga terdapat jenis ubin kayu jati berukuran persegi panjang 7 cm x 17 cm x 5 cm di ruang percetakan. Fungsi ubin dari bahan kayu jati ini untuk mencegah cetakan huruf (Lettering Block) apabila jatuh ke lantai tidak rusak. Adapun ubin kayu jati berbentuk bulat berdiameter 17 cm dengan ketebalan 3 cm digunakan di ruang pengepakan untuk menjaga agar kondisi kertas hasil cetakan tidak lembab. Semua ubin kayu proses pengeringan supaya tidak bergetah.
Adapun jenis lainnya adalah ubin beton berukuran 60 cm x 60 cm x 6 cm yang digunakan di bagian pinggiran taman dalam gedung. ***

Share:

Gedung Ex-Chartered Bank

Salah satu aset bangunan sejarah milik Bank Mandiri yang merupakan warisan zaman kolonial Hindia Belanda, adalah sebuah gedung tua di kawasan Oud-Batavia Jakarta Kota yang memiliki ciri kubah. Gedung tiga lantai di atas lahan seluas 2.279 m² yang terletak di sudut Jalan Kali Besar Barat No. 1-2, memiliki citra arsitektur klasik yang mengawali gaya modern dengan banyak ornament hias. Gedung yang dibangun tahun 1920 ini dirancang oleh arsitek EHGH Cuypers (1859-1927), saat di mana era perdagangan pemerintah Hindia Belanda sedang jaya dan pembangunan gedung di kota Batavia bagian utara cukup gencar dilakukan. Gedung yang berlokasi tidak jauh dari gedung Balaikota lama ini menggunakan konstruksi beton dan dinding bata.
Bangunan ini awal mulanya digunakan sebagai kantor cabang Chartered Bank of India, Australia dan Cina di Batavia, sejak 2 Maret 1965 diserahkan oleh Pemerintah pengelolaannya kepada Bank Umum Negara (BUNEG) yang kemudian menjadi Bank Bumi Daya (BBD) pada bulan Desember 1968. Melihat dari waktu pembangunannya, gedung ini juga menggunakan bahan lantai sebagian mozaik pada daerah yang dianggap penting dan lantai ubin untuk ruangan umum lainnya. Kayu yang dipakai untuk kusen pintu jendela dan railing tangga adalah kayu pilihan terbaik yang waktu itu sangat mudah didapatkan.


Gedung tua seluas 4.824 m² dengan ciri kubah warna kecoklatan di atasnya, menyimpan potensi besar untuk menunjang kawasan Oud Batavia sebagai lokasi tujuan wisata. Dari kejauhan sosok gedung dengan bentuk kubahnya yang menutupi seluruh ruang sudut depan di lantai tiga, terlihat masih sangat megah. Suasana lingkungan sekitar gedung yang hampir dipenuhi oleh bangunan-bangunan lama memang sangat kondusif sebagai bagian dari kawasan kota Oud Batavia yang perlu dilestarikan. Sehingga tidak sedikit pecinta fotografi yang selalu memanfaatkan background gedung sebagai obyeknya. ***

Share:

Gedung Ex-Nederlandsch-Indisch Handelsbank

Bangunan yang menghadap ke Taman Stasiun Jakarta Kota, merupakan gedung asset Bank Mandiri yang hingga kini difungsikan sebagai kantor perbankan.  Gedung bergaya Art-Deco yang tegak lurus ini, sangat mudah terlihat dari arah Stasiun Beos dan Shelter Busway terakhir Kota. Gedung yang sekarang menjadi Kantor Wilayah dan Cabang Bank Mandiri Jakarta-Kota, sebelumnya digunakan sebagai Kantor Cabang Bank Bumi Daya.
Bangunan cagar budaya ini dirancang oleh dua arsitek Belanda yang karyanya cukup banyak di Indonesia, yaitu J.F.L. Blankenberg (1888-1958) dan C.P. Wolf Schoemaker (1882-1949) pada tahun 1935. Tanahnya yang berada di Stationsplein-Binnen Nieuwpoortstraat –Magazijnsweg dibeli  pada akhir tahun 1920. Konstruksi gedung mulai dibangun pada April 1937 dan diresmikan pada 25 Mei 1940. Gedung ini direncanakan khusus sebagai kantor baru Nederlandsch-Indisch Handelsbank (NIHB) yang sedang mengembangkan bisnisnya ketika itu. Sebelumnya kantor NIHB Batavia berlokasi di Jalan Kali Besar Barat No. 41.


Bangunan satu lantai dengan luas 4.233 m² ini hampir menghabiskan keseluruhan tanahnya seluas 4.782 m². Dibangun dengan konstruksi beton, beratap seng dan asbes gelombang, memperlihatkan kekokohan bangunannya. Desain jendelanya sangat unik dibuat berjejer rapi simetris yang merupakan karakter kuat gedung ini. Pada beberapa bagian terlihat juga penggunaan kaca patri yang indah. Pemandangan indah dapat dijumpai mulai dari ruang lobby yang menampilkan desain tangga menuju banking hall di lantai yang posisinya lebih tinggi. Tangga kembar yang berbentuk lengkung ini menggunakan lantai marmer putih yang kontras dengan lantai granit pada hall-nya. Penampilan tangga ini terkesan monumental. Banking hall yang memiliki banyak kolom bulat di sekelilingnya membuat kesan seperti berada di ruang pendopo. Pengolahan lantai granitnya dan pemilihan warna serta tata cahayanya membuat nasabah dan tamu Bank pasti merasa nyaman di gedung antik yang terawatt baik ini. ***

Share:

Gedung Ex-Escomptobank

Gedung tua berarsitektur Indisch yang terletak di pojok pertemuan jalan Pintu Besar Utara dan jalan Bank, menempati lahan seluas 3.010 m² adalah milik Bank Mandiri. Bangunan cagar budaya ini awal mulanya merupakan Kantor Pusat Nederlandsch-Indische Escompto Maatschappij di Batavia yang dibeli tahun 1902. Pembangunan gedung kantor bank yang memiliki seluruhnya 6.729 m² ini dilakukan bertahap.
Gedung pertama yang menghadap ke jalan Pintu Besar Utara terdiri 2 lantai dibangun tahun 1904 dan mulai digunakan tahun 1905. Keunikan gedung Escomptobank ini pada bagian atas dinding luarnya terdapat ornament lambang-lambang kota Hindia Belanda seperti Surabaya, Batavia dan Semarang juga terdapat lambang kerajaan Belanda dan kota Amsterdam. Gedung kedua Escomptobank yang berada di pojok jalan dirancang oleh arsitek Biro Fermont & Cuypers tahun 1920. Gedung ini dibangun tahun 1921 dan selesai sekitar 1928.



Pada tanggal 30 Juni 1949, nama Nederlandsch-Indische Escompto Maatschappij diubah menjadi Escomptobank NV dan sejalan dengan kebijakan nasionalisasi badan-badan usaha milik Belanda, nama bank dan kepemilikan gedung ini pun berubah menjadi Bank Dagang Negara (BDN) pada 11 April 1960. Konstruksi utamanya semua beton bertulang dan kolom praktis serta menggunakan atap genteng tanah liat. Perlindungan pintu dan jendela dari terik matahari dan hujan dilakukan dengan membuat lubang ceruk di mana pintu atau jendela dipasang lebih ke dalam serta diberi sedikit kanopi dari pelat beton tipis yang sekaligus sebagai pemanis arsitekturnya. ***
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami