The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Cagar Budaya di Sidoarjo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cagar Budaya di Sidoarjo. Tampilkan semua postingan

Stasiun Kereta Api Sepanjang

Stasiun Kereta Api Sepanjang (SPJ) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Sepanjang, merupakan salah satu stasiun kereta api kelas II yang berada di bawah manajemen  PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 8 Surabaya yang berada pada ketinggian + 9 m di atas permukaan laut. Stasiun ini terletak di Jalan Stasiun Sepanjang, Kelurahan Wonocolo, Kecamatan Taman, Provinsi Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah tenggara Kantor Kelurahan Wonocolo ± 53 m, atau sebelah timur SDN 4 Wonocolo ± 140 m.
Pembangunan Stasiun Sepanjang ini bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api Tarik-Sepanjang-Wonokromo sejauh 30 kilometer. Pengerjaannya dilakukan oleh perusahaan kereta api milik pemerintah di Hindia Belanda, Staatspoorwegen (SS) dari tahun 1897 hingga 1898 sebagai bagian dari proyek jalur kereta api di Jawa untuk line menuju bagian timur (oosterlijnen).

Stasiun Sepanjang (Foto: Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo)

Dalam pengerjaan jalur rel tersebut dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama, pengerjaannya dimulai dari Tarik hingga Sepanjang dan dibuka untuk umum pada 1 Juli 1897. Pada pembukaan jalur rel ini sekaligus juga peresmian Stasiun Sepanjang (Station Sepandjang van de Staatsspoorwegen). Kemudian tahap dua, mengerjakan jalur rel Sepanjang-Wonokromo, dan dibuka untuk umum pada 1 Desember 1898.
Meskipun bernama Sepanjang, secara administratif stasiun ini terletak di sebelah barat daya wilayah Kelurahan Sepanjang itu sendiri. Hal ini disebabkan karena sebelum berdiri Stasiun Sepanjang ini, dulunya sudah ada stasiun kecil yang dalam peta lawas bernama Halte Sepandjang van de OJS. OJS adalah singkatan dari Oost-Java Stoomtram Maatschappij, yaitu maskapai trem uap yang beroperasi di wilayah sekitar Surabaya hingga Mojokerto. Di Surabaya, OJS mengoperasikan trem uap di area dalam kota. Sementara untuk jalur luar kota, jalur OJS bergerak ke arah barat daya mulai dari Wonokromo, Sepanjang, Krian hingga Mojokerto.

Tampak Depan Stasiun Sepanjang (Foto: Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo)

Pada waktu pembangunan jalur Tarik-Sepanjang-Wonokromo, jalur OJS dari arah utara ke selatan terus melengkung ke barat ini, terpotong oleh jalur SS. Potongan inilah yang menjadi tempat bertemunya dua jalur maskapai tersebut, dan di situ dibangun stasiun milik SS di daerah Wonocolo tersebut. Karena jaraknya yang tidak begitu jauh dari halte milik OJS, maka nama stasiun yang didirikan oleh SS itu juga dinamakan dengan menggunakan Sepanjang atau Stasiun Sepanjang.
Stasiun ini memiliki 4 jalur rel kereta api dengan jalur 3 sebagai sepur lurus (sepur utama). Arah barat menuju ke Stasiun Boharan, dan arah timur menuju ke Stasiun Wonokromo. Sedangkan, jalur 2 dan jalur 4 digunakan untuk jalur persusulan atau persilangan antarkereta api. Sementara itu, jalur 1 sudah tidak dipakai lagi.
Melihat jadwal kereta api yang berhenti di Stasiun Sepanjang, stasiun ini tergolong cukup ramai dengan aktivitas menaikkan maupun menurunkan penumpang, baik kereta api kelas ekonomi maupun campuran. Namun bila dilihat dari frekuensinya, stasiun ini banyak melayani kereta api angkutan lokal realsi Surabaya Gubeng-Kertosono-Blitar pulang pergi. *** [060520]

Kepustakaan:
Oegema, J.J.G.. (1982). De Stoomtractie op Java en Sumatra / J.J.G. Oegema. Deventer-Antwerpen :: Kluwer Technische Boeken B.V.
Prayogo, Yoga Bagus., dkk. (2017). Kereta Api di Indonesia: Sejarah Lokomotif Uap. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher
http://www.studiegroep-zwp.nl/halten/Halte-13-Trajecten2.htm

Share:

Candi Sumur

Candi Sumur berlokasi sekitar 100-200 m sebelah barat daya Candi Pari. Sebagaimana umumnya candi yang dibuat dari batu bata, kondisi Candi Sumur juga sudah relative rusak, tinggal sisa dari bagian dinding sebelah timur dan selatan, beserta lantai dan fondasi bangunan walaupun begitu arsitektur secara keseluruhan dari candi ini bisa nampak. Bentuknya hampir sama dengan candi periode Jawa Timur pada umumnya tinggi langsing dengan atap berbentuk persegi sedangkan bahan yang digunakan semuanya terbuat dari bata merah. Secara filosofi hal ini sangat mendukung kepercayaan yang tumbuh pada masa Majapahit bahwa hidup dan kehidupan itu berasal dari tiga unsure yaitu air, tanah dan api. Hal ini nampak pada bahan untuk mendirikan bangunan suci. Batu bata dibuat dengan bahan dasar tanah yang kemudian dicampur air dan dibakar.



Candi ini didirikan pada masa yang sama dengan Candi Pari. Lokasi Candi Sumur ini hanya berjarak ± 100 meter dari Candi Pari. Ukuran candi ini lebih kecil, kira-kira hanya setengah dari Candi Pari dan hanya berhasil dipugar separuhnya saja. Tak heran ketika pertama kali melihat candi ini timbul tanda tanya akan bentuknya yang aneh tersebut. Sisi dinding yang tegak hanyalah sebagian saja yang tentunya hal ini rawan terhadap runtuhnya bangunan tersebut apabila dibiarkan begitu saja. Untuk menghindari dari runtuhnya bagian tersebut pada bagian dalam dibangun  kerangka dari semen yang berfungsi sebagai penopang dan pengikat susunan badan candi yang masih ada.


Pada bangunan candi ini juga tidak ditemukan ukiran atau relief-relief yang menghias dinding atau kaki candi. Bentuk unik hanya terlihat dari susunan anak tangga yang berada di sisi selatan candi. Anak tangga ini cukup curam dan tidak memiliki dinding tangga di bagian sisinya, dan penyusun anak tangga tidak tersusun rata dan rapi. Candi Sumur tampak jelas mengalami renovasi, namun batu-batu penyusun candi nampak belum diatur dengan rapi dan ditambah dengan batu-batu pengganti untuk sisi-sisi yang hilang.
Bentuk candi yang berhasil direnovasi juga belum mampu memberikan gambaran secara lebih jelas dan pasti bentuk arsitektur keseluruhannya. Pada bagian atas tepat di tengah terdapat sumuran (karena itu disebut Candi Sumur, biasanya lubang tersebut dipergunakan sebagai wadah peripih atau tempat untuk menyimpan relik bangsawan atau raja yang didharmakan. Kajian ulang terhadap arsitektur bangunan Candi Sumur ini nampaknya perlu dilakukan secara lebih terperinci lagi, sehingga bagian-bagian yang berongga dari dinding candi bisa diisi dengan batu-batu pengganti yang nantinya akan memperjelas bentuk badan candi.
Menurut legenda sekitar, Candi Sumur dibangun untuk mengenang tempat hilangnya seorang sahabat/adik angkat dari salah satu putera dari Raja Majapahit yang menolak tinggal di Majapahit di kala itu. *** [290417]

Kepustakaan:
  • Endang Prasanti dalam Buletin Museum Mpu Tantular Nawasari Warta edisi Desember 2011 hal. 5 – 6.
Share:

Candi Pari

Di antara sekian banyak tinggalan bangunan kuno, Candi Pari ini termasuk yang terbagus dan terlengkap konstruksinya. Candi ini terletak di tengah-tengah perumahan penduduk yang relative padat dan ramai, pernah dipugar oleh BP3 Jawa Timur pada tahun 1994 hingga 1999. Candi Pari yang terletak di Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, didirikan pada tahun 1293 Saka (1371 M) pada masa Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Di dalam candi ini ditemukan 2 arca Siwa Mahadewa, 2 arca Agastya, 7 arca Ganesa dan 3 arca Buddha yang semuanya disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Dari berbagai temuan arca tersebut membuktikan bahwa Candi Pari berlatar belakang agama Hindu.


Arsitektur Candi Pari terdiri dari kaki candi, badan candi, bilik candi dan atap candi. Secara keseluruhan dibuat dari batu bata hanya ada beberapa bagian yang dibuat dari batu andesit. Kaki candi terdiri dari dua bagian, bagian pertama berdenah empat bujur sangkar. Mempunyai 2 pintu masuk ke dalam bilik, dengan arah utara selatan dan selatan utara, hal seperti ini tidak pernah ditemukan dalam arsitektur percandian Jawa Timur. Kaki candi kedua berdenah bujur sangkar dengan ukuran panjang 10 m dan lebar 10 m dengan tinggi 1,95 m. Pada salah satu sisinya terdapat tangga naik menuju ke bilik, tangga ini sudah hasil renovasi yang dilakukan oleh BP3 Jawa Timur. Badan candi berbentuk bujur sangkar sedangkan pintu masuk candi berbentuk segi empat.


Bilik candi, merupakan tatanan baru hasil pemugaran BP3, dengan menggunakan batu lama susunan lantai asli masih tampak di sudut barat daya dan sudut barat laut. Ukuran bilik 6 x 6 m. Atap candi, sebagian telah runtuh, dengan ukuran panjang 7,80 m dan lebar 7,80 m serta tinggi 4,05 m. Hiasan yang masih tampak pada dinding atap berupa hiasan menara-menara pajal walaupun sudah tidak lengkap lagi dan antefik yang sudah aus.
Sebagaimana bangunan kuno, pada umumnya ada beberapa legenda yang dihubungkan dengan Candi Pari ini. Konon, pada zaman dahulu kala, ada seorang tua yang hidup di pertapaan bernama Kyai Gede Penanggungan dan adiknya seorang janda yang bernama Janda Ijingan. Kyai Gede Penanggungan mempunyai dua orang puteri bernama Nyai Lara Walang Sangit dan Nyai Lara Walang Angin, sedangkan adiknya Janda Ijingan mempunyai putera yang tampan bernama Jaka Walang Tinunu. Ketika sedang memancing ikan bersama dua sahabatnya, Satim dan Sabalong, mereka menemukan ikan deleg yang ternyata adalah jelmaan manusia tampan yang kemudian diberi nama Jaka Pandelegan.


Kedua pemuda tersebut kemudian membuka lahan di sekitar tempat tinggal Kyai Gede Penanggungan dan membuat kedua putrinya jatuh hati. Walaupun tanpa izin orang tuanya, kedua pasang kekasih tersebut tetap menikah dan mengerjakan sawah hingga berhasil panen dengan baik. Ketika itu Kerajaan Majapahit sedang paceklik dan raja mendengar bahwa di Kedung Soko ada orang arif yang memiliki padi berlimpah. Raja meminta supaya orang itu yaitu Jaka Walang Tinunu diminta menghadap beliau, dan diketahui bahwa ternyata Jaka adalah putra raja. Maka raja meminta Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan hidup bersama di kerajaan.
Jaka Pandelegan dan istrinya Dewi Lara Walang Angin ternyata tidak bersedia, dan mereka memilih moksa. Karena kekagumannya kepada suami istri tersebut, Raja Brawijaya memerintahkan untuk didirikan candi di tempat moksa kedua orang tersebut.
Candi Pari didirikan di tempat Jaka Pandelegan moksa sedangkan Candi Sumur didirikan di tempat Dewi Lara Walang Angin moksa. ***

Kepustakaan:
  • Endang Prasanti dalam Buletin Museum Mpu Tantular Nawasari Warta edisi Desember 2011 hal. 4 – 5.
Share:

Candi Tawangalun

Hikmah mengantarkan Principal Investigator dini hari ke Bandara Juanda Surabaya. Dalam perjalanan pulang ke Malang, bisa mampir ke sejumlah candi yang berada di Kabupaten Sidoarjo.Di antara candi yang dikunjungi adalah Candi Tawangalun. Candi Tawangalun terletak di Jalan Candi Tawangalun I, Dukuh Kampung Baru RT. 10 RW. 05 Desa Buncitan, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi candi ini berada di belakang kompleks Akademi Perikanan Sidoarjo (APS).
Dalam kunjungan ke Candi Tawangalun, kami bernasib baik bisa bertemu dengan Ahmad Syaiful Munir, seorang juru kunci (penjaga) candi tersebut yang telah bertugas selama 16 tahun.Dia menceriterakan ukuran candi saat ini, yaitu 5x4 meter, dan tinggi candi berukuran 2,7 - 3 meter.




Selintas Candi Tawangalun hanya seperti tumpukan batu bata yang tidak terawat, dan seolah kebetulan tertata di lokasi tersebut. Hal ini disebabkan bangunannya hanya tinggal separuh bagian, sedangkan bagian lain sudah menjadi puing-puing. Namun apabila diamati baru nampak adanya tatanan atau arsitektur candi atau bangunan religious pada masa lalu. Candi ini dibuat dari batu bata merah, diperkirakan Candi Tawangalun didirikan pada tahun 1292, jadi merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit.
Latar belakang yang mendasari dibangunnya candi ini terdengar unik dan romantis. Candi Tawangalun ini sengaja dibangun sebagai tanda cinta kasih kepada sang selir yang sangat dicintainya. Menurut cerita setempat, di wilayah Tawangalun ini pernah berkuasa raja yang sakti mandraguna. Dia bernama Resi Tawangalun, raja tersebut bukan dari bangsa manusia, tapi dari bangsa jin sehingga tidak semua orang bisa mengetahui kehadirannya. Raja ini mempunyai seorang anak gadis, setelah dewasa gadis ini ternyata memendam rasa cinta pada Raja Brawijaya, penguasa Kerajaan Majapahit.



Untuk mewujudkan keinginan anaknya menjadi selir raja, maka Resi Tawangalun menyulap anaknya sehingga menjadi putri yang sangat cantik sehingga kecantikannya terkenal di seluruh negeri. Raja Brawijaya pun terpikat pada kecantikannya dan kemudian menyuntingnya sebagai selir. Beberapa tahun putri tersebut menjadi selir Raja Brawijaya, hidupnya bahagia dan bergelimang harta. Apa saja yang diminta, selalu dikabulkan sang raja. Tetapi ada satu hal yang tidak bisa ditinggalkan oleh putri jin tersebut yaitu masih menginginkan makanan berupa daging mentah, sehingga secara sembunyi-sembunyi sang putri masih sering menyantap makanan kesukaannya tersebut. Hingga pada suatu hari seorang dayang istana mendapati putri makan daging mentah. Kelakuan aneh ini menjadi bahan perbincangan di kerajaan. Hingga raja sendiri kemudian mengusir putri dari kerajaan. Keluarga kerajaan pun mengetahui bahwa putri tersebut bukan manusia, tapi bangsa raksasa. Meski rasa cinta raja pada selirnya sangat besar, namun apa yang dilakukan sang selir sudah keterlaluan. Hingga Raja Brawijaya pun mengusir selirnya itu dari istana. Dengan cucuran air mata, ia kemudian kembali ke kerajaan ayahnya di Tawangalun. Pada saat itu ternyata dia dalam keadaan hamil, putri Resi Tawangalun tersebut menantikan kelahiran bayinya ke dunia dengan penuh ketabahan dan penderitaan. Hingga lahir seorang bayi dengan jenis kelamin laki-laki, yang kemudian diberi nama Joko Dila atau Arya Damar. Sejak kecil Arya Damar diasuh oleh ibunya dan kakeknya. Saat dewasa, Arya Damar pun menanyakan perihal siapa ayahnya. Karena dirasa sudah dewasa dan sudah waktunya menceritakan rahasia yang tersimpan. Ibu Arya Damar kemudian menceritakan siapa sebenarnya ayah dari anaknya tersebut. Mendengar cerita dari ibunya, Arya Damar sangat terkejut, dia tidak menyangka jika dirinya masih keturunan dari Raja Majapahit. Dengan niat menemui ayahnya, Arya Damar lantas pergi ke Majapahit. Namun, bukannya sambutan baik yang didapat, malah Arya Damar diusir dari Majapahit. Karena kecewa dengan dengan perlakuan ayahnya, Arya Damar pun balik ke Tawangalun dan bertapa di Candi Tawangalun hingga moksa.
Legenda itulah yang hingga saat ini masih sangat dipercaya oleh masyarakat setempat. Karena itu, setiap 1 Syura warga ramai-ramai melakukan bancakan di kompleks Candi Tawangalun. Bahkan beberapa orang “pintar” menyebutkan bahwa dibalik candi sederhana yang terkesan berantakan itu terkandung kesan sacral dan sangat cocok untuk melakukan meditasi, semedi, atau bertapa serta mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. *** [290417]

Kepustakaan:
  • Endang Prasanti dalam Buletin Museum Mpu Tantular Nawasari Warta edisi Desember 2011 hal. 1 – 2.
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami