The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Pontianak Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pontianak Heritage. Tampilkan semua postingan

Masjid Jamiatul Khair Mempawah

Salah satu tinggalan arkeologi Islam di Mempawah yang sampai saat ini masih dapat dilihat adalah Masjid Jamiatul Khair. Rumah ibadah umat Islam ini, secara historis merupakan bukti sejarah (historical evidence) dan saksi nyata namun bisu (the silent eye-witness) ihwal keberadaan dan perkembangan agama Islam di Mempawah. Di dalamnya memuat sejumlah informasi dan fakta sejarah panjang yang menjelaskan bagaimana proses penyebaran Islam dengan segenap implikasi historisnya dalam upaya mempertahankan keberadaan dan mengembangkan visinya di tengah komunitas dan struktur sosial di zamannya.
Masjid Jamiatul Khair terletak di Kelurahan Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Lokasi masjid ini berada di tepi Sungai Mempawah, dan letaknya tak jauh dari Istana Amantubillah, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kraton Mempawah.


Masjid Jamiatul Khair didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1324 H atau bertepatan dengan tanggal 25 Desember 1906, oleh Panembahan Mempawah Muhammad Taufik Akamaddin, atau biasa disebut dengan Gusti Muhammad Taufik. Beliau adalah putra Gusti Ibrahim, yang bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1864-1887). Penobatan Gusti Muhammad Taufik karena menggantikan Gusti Intan, menantu Gusti Ibrahim atau yang tidak lain juga adalah saudara ipar Gusti Muhammad Taufik pada tahun 1902.
Menurut riwatnya, masjid dengan luas bangunan 18 x 18 meter ini sudah tiga kali berpindah lokasi. Pembangunan pertama dilakukan di Kampung Berunai. Kemudian pindah ke Kampung Siantan. Terakhir di lokasi sekarang.
Kampung Pulau Pedalaman dipilih pihak kerajaan karena lokasinya sangat strategis. Selain berada di pinggir Sungai Mempawah juga tidak jauh dari Istana Amantubillah. Sungai saat itu menjadi urat nadi perekonomian. Sampan sebagai alat transportasi utama. Sehingga warga yang menggunakan sampan dengan mudah dapat menjangkau masjid ini.


Tak heran mereka yang mengunjungi istana berkesempatan melihat dari dekat masjid ini dan sekaligus beribadah. Pemandangan sekitar masjid juga cukup menarik. Sungai Mempawah yang persis berada di halaman depan menjadi daya tarik tersendiri.
Areal masjid awalnya cukup luas. Pohon-pohon rindang mengelilingi masjid. Namun sejalan dengan waktu, pihak kerajaan melakukan pembagian lahan di kawasan itu untuk tempat tinggal kerabat. Juga terdapat lahan untuk tanah wakaf keluarga. Hingga kini, istana maupun masjid memang sudah dikelilingi rumah-rumah para kerabat.
Masjid Jamiatul Khair saat itu selalu ramai dikunjungi, baik salat lima waktu, salat jumat, Idul Fitri maupun Idul Adha. Karena semua umat Islam pada hari itu berbondong-bondong ke masjid.
Walaupun telah berusia 108 tahun, kondisi Masjid Jamiatul Khair sangat baik. Sebagian besar kerangka bangunan yang menggunakan kayu belian seperti tiang, lantai dan dinding masjid, tetap terawat. Atap masjid juga terbuat dari sirap belian. Namun sebagian telah dilapisi atap seng.
Pondasi bawah masih dengan tongkat belian. Namun kini dibuat dinding semen agar kolong tak terlihat. Lantai masih mempertahankan papan belian. Bisa menampung jamaah pada posisi duduk 800 orang. Khas masjid ini adalah warna kuning telur dengan kombinasi hijau. Tiang pilar ada empat buah dan tiang-tiang di pondasi dinding serta pada daun jendela. Juga dinding papan belian yang dipasang secara berdiri mashi asli.
Pergantian hanya pada kubah yang semula disusun dari atap sirap kini dilapisi seng. Atap sirap tidak dilepas agar tetap tahan dan menjaga keasliannya. Bangunan ini memiliki tiga kubah dengan bentuk limas. Di atas kubah terdapat kendi.
Tempayan kecil ini dipertahankan karena ada amanah dari Panembahan Muhammad Taufik Akamaddin, yang meminta kendi di atas kubah tetap dipertahankan.
Kini, Masjid Jamiatul Khair telah menjadi salah satu ikon wisata di Kabupaten Pontianak. Tempat ini menjadi lokasi wisata yang sering dikunjungi bersamaan dengan penunjung mengunjungi Istana Amantubillah. Tak hanya kekhasan bangunannya semata, tetapi juga pada nilai kesejarahan yang diukir dan diperankan oleh keberadaan masjid kuno ini. Konservasi nilai kesejarahan tinggalan masjid ini menjadi penting dilakukan, bukan hanya semata keniscayaan yang diamanatkan oleh Universal Declaration of Human Rights dan Undang-undang Cagar Budaya tahun 2010 tentang keharusan memproteksi, mengonservasi, dan mengembangkan tata nilai budaya komunitas, tapi juga dalam upaya menjelaskan kepada generasi kini dan mendatang tentang apa dan bagaimana kontribusi masjid ini dalam pengembangan masyarakat. ***

Share:

Vihara Bodhisatva Karaniya Metta

Vihara ini terletak di Jalan Sultan Muhammad Kampung Darat Sekip, Kelurahan Darat Sekip, Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Letak klenteng persis di ujung pertemuan ruas jalan Sultan Muhammad dan jalan Gusti Ngurah Rai, Pontianak, tak jauh dari komplek pertokoan Kapuas Indah.
Di atas gapura masuk vihara terdapat keterangan yang menunjukkan tahun 1829 M sebagai periode vihara ini.  Warna merah mendominasi hampir di sebagian besar bangunan yang dahulu lebih di kenal dengan sebutan kelenteng tiga atau Thian Hou Keng .  Tiang dan rangka bangunannya terbuat dari kayu ulin yang di beri warna merah dan kuning emas. Di tiga pintu utama terlukis gambar dewa-dewa Khong Hu Chu. Dinding dan altar terdapat patung dan lukisan yang bermakna tentang filosofi ajaran kehidupan.


Ada beberapa bagian dalam vihara yang memiliki makna serta sejarahnya tersendiri. seperti Pot sembahyang dewa Langit Bumi, yang konon bertarihk tahun 1673 M. Yakni pada masa di Mancuria bertahta raja Khan hi (1662-1722). Ada juga  Lonceng  tua Pek kong, yang konon dibawa pada  tahun 1789, pada masa raja Khen Long (1736-1796).


Dalam perkembangan sejarahnya vihara  ini sudah mengalami beberapa kali pemugaran sampai seperti keadaan yang seperti sekarang ini.  Salah satunya pada tahun 1906, vihara di renovasi menjadi tiga bagian. Dewi Samudera (Ma Cou), Tua Pek Kong, Na Ta Cie Ce. Karena hal ini lah kemudian vihara ini juga disebut dengan kelenteng  tiga. Selain itu juga pada tahun 1983, untuk merawat , menjaga dan menjalankan keberadaan vihara ini kemudian dibentuk yayasan Bodhisatva Karaniya Metta.
Sementara itu, di bagian luar vihara, sejauh mata memandang, kawasan di luar vihara merupakan pelataran yang berfungsi sebagai “terminal” dan area bongkar muat kendaraan bis dan kapal motor yang melayani rute dari Pontianak menuju daerah perhuluan Kalimantan Barat. Nampak sejumlah truk dan bis diparkir di area terminal, sementara beberapa kapal motor sedang melakukan aktivitas bongkar muat di tepian Sungai Kapuas, persis bersebelahan dengan area terminal. *** [151112]

Share:

Istana Kadriah

Istana Kadriah terletak Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, atau kurang lebih berjarak 200 meter dari Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahaman Alkadrie.
Syarif Abdurrahman Alkadrie merupakan anak dari seorang pendatang dari Trim Hadramaut di Jazirah Arab, Sayyid Husein Alkadrie. Menurut Ellyas Suryani Soren dalam bukunya Sejarah Mempawah Tempo Doeloe, menerangkan bahwa Sayyid Husein Alkadrie pernah menjadi mufti peradilan agama dan menyebarkan agama Islam di Kerajaan Matan untuk mendampingi Al Habib Husein bin Yahya. Selama lima tahun menjadi mufti di Kerajaan Matan dan saat itu sudah delapan tahun beliau meninggalkan kampung halamannya, Sultan Kerajaan Matan, Sultan Muhammad Zainuddin menjodohkannya dengan salah seorang putrinya yang bernama Nyai Tua. Dari perkawinannya itu, lahirlah Syarif Abdurrahman Alkadrie pada Senin 15 Rabiul Awal tahun 1151 H atau 1739 M, pukul 10.00 pagi.


Kabar tentang Al Habib Husein Alkadrie tersiar ke berbagai negeri di sebelah hulu Kapuas dan pesisir pantai utara. Seorang raja yang mengembara dari Tanah Bugis, Opu Daeng Menambon yang terkenal sangat perkasa dan bijaksana, salah seorang yang sangat ingin bertemu dengan Habib Husein. Lalu diutusnyalah puteranya untuk menjemput Sayyid Husein Alkadrie dengan meminta persetujuan Sultan Zainuddin.
Namun Sultan Zainuddin keberatan mengizinkan menantunya memenuhi undangan Opu karena selain masih membutuhkan di kerajaannya, Sultan khawatir kalau-kalau ada dugaan rakyat sudah tidak menghendakinya lagi di kerajaan itu. Kepada penjemput Al Habib Husein Alkadrie, suatu saat kalau sudah waktunya baru Sultan memberitahukan kepada Opu Daeng Menambon.
Negeri Matan Tanjungpura menjadi tujuan pelaut-pelaut dari Selat Malaka, Tanah Jawa, Sumatera, Sulawesi dan daerah-daerah lain. Alkisah, seorang nakhoda tampan bernama Ahmad yang asalnya datang dari Pulau Siantan dikenal memiliki ilmu yang bermuara kesombongan. Karena merasa dirinya berilmu di manapun ia berlabuh selalu mencari musuh, ibarat ayam jago selalu berkokok mencari ayam.
Begitulah di Matan pun rupanya Ahamd sifatnya tidak berubah, dengan mengganggu wanita-wanita, termasuk kaum kerabat istana. Biarpun lihai bagaimanapun akhirnya Ahmad tertangkap juga dan mendapat hukuman mati. Tapi Al Habib Alkadrie mengubah hukumannya dengan denda dan dilarang singgah di Matan, dia diharuskan meminta maaf kepada Sultan.


Rupanya Sultan sangat kecewa terhadap Al Habib, karena merubah hukuman dengan denda, tapi Sultan tidak berani mengutarakan kekecewaannya. Ketika Nakhoda Ahmad meninggalkan Negeri Matan, baru lepas dari Muara Kayung kapalnya pun diserang Laskar Matan sehingga Ahmad tewas. Rupanya diam-diam Sultan memerintahkan panglima menyerang kapal Nakhoda Ahmad. Di pihak Sayyid Husein Alkadrie terkejut dan tersinggung karena merasa keputusannya tidak diindahkan Sultan. Maka Al Habib Husein Alkadrie pun merasa tidak pantas lagi sebagai mufti di kerajaan itu.
Kemudian secara rahasia, Habib Husein Alkadrie mengirim surat kepada Opu Daeng Menambon di Mempawah. Isi surat menyatakan bahwa ia bersedia pindah ke Mempawah dan memenuhi hajat Opu Daeng Menambon beberapa waktu yang lalu.
Setelah 17 tahun Habib Husein Alkadrie menjadi mufti di Kerajaan Matan, maka tergeraklah hati beliau untuk hijrah ke Sebukit. Dalam suratnya kepada Opu Daeng Menambon, beliau minta disediakan dua buah rumah. Sebuah untuk tempat tinggal dan satunya langgar (surau) terletak di kawasan yang ditumbuhi pohon-pohon nipah, adalah pohon kayu yang hijau seluruhnya dari batang pelepah sampai ke daun dan buahnya. Permintaan itu berdasarkan amanah gurunya Al Mukkaram Ustazul Kabir Hamid bin Ahmad yang menyuruhnya mengembara ke timur di negeri bawah angin yang di sana akan dijumpai tumbuh-tumbuhan yang hijau dan dapat dimanfaatkan sebagai lahan kehidupan dan kemuliaan.
Mendengar balasan surat itu, Opu Daeng Menambon sangat berbesar hati atas kemauan Habib Husein Alkadrie untuk berpindah diam di kerajaannya. Maka Opu Daeng Menambon turun tangan sendiri mencari tempat yang dimaksudkan serta membangun dua rumah yang diminta Habib tadi. Didirikannya dua buah rumah yang sama besarnya karena Habib Husein Alkadrie mempunyai istri, yaitu Nyai Tua, Nyai Tengah dan Nyai Bungsu serta beberapa orang putera dan puterinya.
Kedua bangunan tersebut terletak di hilir Sebukit, di tepi sungai dan tempat itu belum memiliki nama. Ketika perumahan telah siap, maka Opu Daeng Menambon menyiapkan pula dua buah perahu layar dan mengirimkan Gusti Haji bergelar Pangeran Mangku untuk menjemput dari Sebukit berlayar ke Matan.
Dikisahkan pula pada tanggal 8 Muharram tahun 1172 H, yang bertepatan dengan tahun 1758 Masehi berangkatlah Habib Husein Alkadrie dari Matan ke Kerajaan Opu Daeng Menambon dengan lima buah perahu layar, yaitu dua buah perahu pengambil dan tiga buah perahu pengantar dari Matan.
Sejak tersiar luas kabar yang mengatakan seorang ulama besar (mufti Kerajaan Matan) telah berpindah diam di kerajaan Opu Daeng Menambon, maka perahu-perahu berupa kakap (sejenis perahu kecil dan rendah), penjajab (sejenis perahu/kapal perang Bugis) dan bandong (sejenis perahu sungai beratap seperti rumah untuk membawa barang dagangan) dari hulu Kapuas datang berkunjung sambil berniaga dan pula menuntut atau belajar ilmu agama Islam.
Lama-kelamaan tempat itu pun terkenal sebagai nama Galaherang (galah orang) yang berarti galah tempat menambatkan tali perahu yang sekaligus tempat mereka berdiam selama menuntut ilmu kepada Al Habib Husein Alkadrie.
Beberapa lama kemudian menyebarkan agama Islam di Kerajaan Sebukit Rama, akhirnya Habib Husein yang bergelar “Tuan Besar” di Kerajaan Opu Daeng Menambon wafat pada hari Rabu, 3 Dzulhijjah 1184 H (1770 M) dimakamkan di Galaherang (sekarang Desa Sejegi) terletak sekitar 2 kilometer dari Kota Mempawah.
Ketika ayahnya, Sayyid Husein Alkadrie wafat, Syarif Abdurrahman Alkadrie bersama keluarganya memutuskan mencari daerah pemukiman baru. P.J. Veth dalam bukunya, Borneo’s Wester Afdeeling Geographisch, Statistisch, Historisch, menjelaskan bahwa dengan 15 kapal yang dipenuhi dengan campuran suku, termasuk sejumlah anggota keluarganya, Abdurrahman berangkat dari Mempawah pada 23 Oktober 1771, kemudian menyusuri Sei Kapuas, dan sebagai tempat tinggal dia pilih tempat di mana Sei Landak bertemu dengan Sei Kapuas. Tempat ini diproyeksikan sebagai tempat yang strategis bagi perdagangan kelak. Pada waktu itu, sebelum tanjung yang terbentuk oleh Sei Landak dan Sei Kapuas, ada satu pulau kecil yang kemudian hari bergabung dengan darat. Daerah tersebut belum pernah sama sekali diinjak oleh manusia, karena tempat tersebut terkenal sebagai tempat tinggal hantu-hantu (kuntilanak) yang sangat mengerikan. Abdurrahman memutuskan bahwa tempat tersebut cocok digunakan sebagai tempat pemukiman baru.
Lalu, Abdurrahman memerintahkan para pengikutnya untuk mulai membuka lahan tersebut yang masih berupa hutan, namun para pengikutnya masih merasa takut akan kuntilanak tadi. Karena itu, dia perintahkan agar perahu-perahu tersebut mengelilingi pulau tersebut. Kemudian pulau ditembaki beberapa jam lamanya, dengan tujuan mengusir hantu-hantu kuntilanak itu. Nama hantu kemudian menjadi nama bagi pemukiman baru. Setelah penembakan berhenti, Abdurrahman sebagai orang pertama melompat ke darat dengan berbekal parangnya, lalu diikuti oleh para pengikutnya. Dalam waktu yang singkat mereka berhasil membersihkan satu tempat yang luas. Inilah pemukiman baru yang kelak menjadi cikal bakal Kota Pontianak.
Menurut cerita masyarakat setempat, untuk menentukan lokasi di mana istananya akan dibangun, Syarif Abdurrahman kemudian melepaskan tiga kali tembakan meriam ke udara. Tiga titik jatuhnya meriam tersebutlah yang saat ini menjadi lokasi pendirian Istana Kadriah, Mesjid Jami' Sultan Syraif Abdurrahman Alkadrie serta lokasi pemakaman anggota keluarga Kesultanan Pontianak.
Secara historis, Istana Kadriah mulai dibangun pada tahun 1771 M dan baru selesai pada tahun 1778 M. Tak beberapa lama kemudian, Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadrie pun dinobatkan sebagai sultan pertama Kesultanan Pontianak, dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779. Dalam perkembanganya, istana ini terus mengalami proses renovasi dan rekonstruksi hingga menjadi bentuknya seperti yang sekarang ini. Sultan Syarif Muhammad Alkadri, sultan ke-6 Kesultanan Pontianak, tercatat sebagai sultan yang merenovasi Istana Kadriah secara besar-besaran.
Bangunan istana Kesultanan Pontianak seluas 60 meter x 25 meter ini dinamakan Istana Kadriah karena untuk memuliakan nama pendirinya maupun moyang sebelumnya yang memakai nama belakang “al-kadrie”. Dari berbagai istana kerajaan yang terdapat di Kalimantan Barat, Istana Kadriah merupakan istana Melayu terbesar yang berada di wilayah tersebut.
Di atas pintu utama istana, terdapat hiasan mahkota serta tiga ornamen bulan dan bintang sebagai tanda bahwa Kesultanan Pontianak merupakan Kesultanan Islam. Balairungnya, atau sering juga disebut dengan balai pertemuan, didominasi oleh warna kuning yang dalam tradisi Melayu melambangkan kewibawaan dan ketinggian budi pekerti. Di ruang yang biasanya dijadikan tempat melakukan upacara keagamaan dan menerima tamu ini, terpasang foto-foto Sultan Pontianak, lambang kesultanan,  lampu hias, kipas angin, serta singgasana sultan dan permaisuri.
Di sebelah kanan dan kiri ruang utama terdapat 6 kamar berukuran 4 x 3,5 meter dimana salah satunya merupakan kamar tidur sultan. Sedangkan kamar-kamar lainnya dahulunya dijadikan sebagai ruang makan dan kamar mandi.
Di belakang ruang istana terdapat sebuah ruangan yang cukup besar. Di ruangan ini selain untuk menyimpan benda-benda warisan Kesultanan Pontianak, seperti senjata, pakaian sultan dan permaisurinya, foto-foto keluarga sultan, dan arca-arca, juga kediaman sultan dan keluarganya.
Kesultanan Pontianak berlangsung hingga tahun 1952 dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada masa pemerintahan Sultan ke-8, Sultan Syarif Hamid Alkadrie II. Ia mempunyai peranan penting dalam pembentukan negara kita, yaitu menciptakan lambang negara, Garuda Pancasila. Sejak bergabung dengan NKRI, kesultanan berakhir dan berkembang menjadi Kota Pontianak, ibukota Provinsi Kalimantan Barat. *** [151112]

Kepustakaan:
Ellyas Suryani Soren, 2003, Sejarah Mempawah Tempo Doeloe, Mempawah: Kantor Informasi, Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Pontianak.
P.J. Veth, 2012, Borneo’s Wester Afdeeling Geographisch, Statistisch, Historirsch (dialihbahasakan oleh P. Yeri, OFM Cap.), Pontianak: Institut Dayakologi.
Share:

Museum Provinsi Kalimantan Barat

Museum Provinsi Kalimantan Barat terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani Kota Pontianak, atau tepatnya berada di sebelah Gedung Dewan Kesenian Kalimantan Barat. Dan, juga berdekatan dengan Rumah Adat Dayak.
Museum bukan hanya tempat untuk berwisata atau menyimpan koleksi sejarah budaya, namun museum bisa dijadikan media pembangunan, pendidikan, karakter bangsa, sumber informasi, dan lembaga pelestarian warisan budaya. Informasi tersebut tersimpan dalam bentuk benda-benda bukti material hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya. Museum mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam memberikan apresiasi terhadap khasanah budaya bangsa di mana bentuk dan jenis suatu benda budaya serta latar belakang setiap benda tersebut merupakan pancaran dari suatu unsur nilai falsafah dan kearifannya yang patut dimanfaatkan sebagai aset peradaban bangsa.
Museum ini dirintis sejak tahun 1974 oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Provinsi Kalimantan Barat melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Permuseuman Kalimantan Barat.
Fungsionalisasinya diresmikan pada 4 Oktober 1983 oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Depdikbud, yang sejak itu pula museum tersebut dibuka untuk umum.
Kelembagaan museum diresmikan pada 2 April 1988 oleh Sekretaris Jenderal Depdikbud berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0754/0/1987 tanggal 2 Desember 1987. Sejak saat itu, Museum Provinsi Kalimantan Barat menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kantor Wilayah Depdikbud Provinsi Kalimantan Barat, yang selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 001/0/1991 tanggal 9 Januari 1991 berubah menjadi UPT Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud RI.
Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenagan Pemerintah dan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembar Negara RI Nomor 3952) dan Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 365 Tahun 2001 Museum Provinsi Kalimantan Barat merupakan UPT Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Barat yang merupakan unsur pelaksana operasional Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Barat.


Museum Provinsi Kalimantan Barat berdiri di tengah sebidang tanah yang luas. Halaman belakang rancak dihiasi aneka koleksi khas suku Dayak seperti rumah langun, sandung, pancar, rupa-rupa patung serta ukiran. Hadir pula alat penggerak ekonomi berupa miniatur tungku naga, pengepres karet, rumah kopra. Sebuah jangkar abad ke-16 dan replika prasasti dengan caranya sendiri mengisahkan sejarah di tanah ini. Sementara halaman depan terdapat sebuah relief yang menggambarkan peristiwa perjuangan kemerdekaan dari suku Dayak dan Melayu.
Bangunan Museum Provinsi Kalimantan Barat tergolong megah, yang terdiri atas 2 lantai. Kedua lantai tersebut difungsikan sebagai gedung pameran tetap untuk menampilkan sejumlah koleksi yang dimiliki oleh museum tersebut.
Ruang Pameran Tetap dibagi menjadi 3 ruangan, yaitu:

1.       Ruang Pengenalan
Ruang ini menampilkan sejumlah koleksi yang terdiri atas koleksi geologika/geografika, biologika, arkeologika, historika dan numismatika/heraldika.

2.       Ruang Budaya Kalimantan Barat
Ruang ini mencakup 7 unsur kebudayaan yang ada di Kalimantan Barat, seperti: religi dan upacara keagamaan, mata pencaharian hidup, organisasi kemasyarakatan, teknologi dan peralatan, pengetahuan, kesenian, serta bahasa.

3.       Ruang Keramik
Ruang ini menyajikan sejumlah benda koleksi keramik, baik yang lokal maupun asing. *** [151112]
Share:

Masjid Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie

Masjid Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie terletak di Kampung Beting RT.01 RW.02 Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.
Masjid ini didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie ketika pertama kali membuka kawasan hutan di persimpangan tiga buah sungai, yaitu Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kapuas pada tahun 1771. Awalnya, bangunan masjid tersebut hanyalah sebuah bangunan langgar (mushalla) yang sangat sederhana, dan beratap daun rumbia. Karena memang pada saat itu, Syarif Abdurrahmaan bersama rombongannya juga sedang mendirikan tempat tinggal untuk dirinya beserta keluarganya. Tempat tinggal inilah yang kelak menjadi Istana Kadriah.


Namun, semenjak kepemimpinan Sultan Syarif Usman, Sultan ketiga Kesultanan Pontianak, langgar sederhana tersebut mulai dibangun dan diperbesar. Peletakan batu pertama pondasi bangunan dilakukan pada tahun 1821 oleh Sultan Syarif Usman sendiri. Bukti bahwa masjid tersebut dibangun oleh Sultan Syarif Usman dapat disaksikan pada inskripsi bertuliskan Arab yang terdapat di atas mimbar masjid yang menjelaskan bahwa Masjid Sultan Syarif Abdurrahman dibangun oleh Sultan Syarif Usman pada hari Selasa bulan Muharam tahun 1237 Hijriah. Berbagai penyempurnaan bangunan masjid terus dilakukan oleh sultan-sultan berikutnya hingga menjadi bentuknya seperti yang sekarang ini.
Masjid yang memiliki denah segi empat ini berukuran 33,27 meter x  27,74 meter, dikelilingi oleh selasar melingkar berpagar. Masjid yang didominasi kayu belian ini, mampu menampung jamaah sekitar 1.500 orang yang terdiri atas 26 shaf, di mana setiap shaf bisa berderet sekitar 50 jamaah ditambah dengan area selasarnya.


Secara keseluruhan, bentuk bangunan masjid banyak mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa, Timur Tengah, Melayu, dan Eropa. Hal ini terlihat dari bentuk atap undak layaknya tajug pada arsitektur Jawa dengan bentuk mahkota atau genta khas Eropa di bagian ujungnya. Pengaruh Eropa lainnya tampak pada pintu dan jendela masjid yang cukup besar. Adapun ciri Timur Tengah terlihat pada mimbar yang berbentuk kubah.
Menyimak perjalanan sejarahnya, masjid tertua di Provinsi Kalimantan Barat ini oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pontianak ditetapkan sebagai benda cagar budaya untuk rumah ibadah berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Penetapan membawa konsekuensi dengan memelihara, merawat dan melestarikannya agar eksistensi kesejarahan masjid tersebut bisa disaksikan oleh generasi mendatang. *** [151112]
Share:

SD Negeri 14 Pontianak

Zaman sudah berubah. Bangunan-bangunan yang bermunculan semakin modern, tak terkecuali gedung sekolah. Bahan bangunan lebih mengedepankan beton yang kokoh, namun tidak dengan SD Negeri 14 Pontianak. Bangunan SD ini masih menunjukkan keasliannya semenjak didirikan pada tahun 1902 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Bangunan tersebut tampak unik mengingat keseluruhan bangunannya terbuat dari bahan kayu belian yang kesohor akan mutu kayunya untuk sebuah bangunan.
Bangunan berbentuk panggung memanjang ini menghadap ke barat laut, dengan atap berundak dua dan jendela yang berukuran besar. Sebuah pola arsitektur Belanda yang mengedepankan sirkulasi udara. Tak heran, di usia bangunannya yang telah tua ini, masih tegak berdiri.


SD Negeri 14 Pontianak berada di Jalan Tamar, Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Berat.  Menurut sejarahnya, bangunan kuno ini dulunya adalah Hollandsch Inlandsche School (HIS). Pemerintah Hindia Belanda mendirikan HIS atau setingkat SD sekarang, bertujuan untuk mengadakan pendidikan volkschool. Awalnya, hanya untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. Baru pada tahun 1928, Pemerintah Hindia Belanda membuka diri dengan memperbolehkan orang pribumi untuk bersekolah di HIS tersebut. Namun masih sebatas memperbolehkan anak-anak petinggi dan pejabat saja. Sedangkan anak-anak pribumi yang berasal dari kebanyakan tidak diperbolehkan. Baru pada tahun 1950 usai Indonesia mengalami kemerdekaan, masyarakat umumnya diperbolehkan dan memiliki kesempatan yang sama dengan yang lainnya dalam mengenyam pendidikan.


SD ini pernah mengalami beberapa kali renovasi, namun peruntukkannya masih tetaplah sama yaitu untuk tempat proses belajar setingkat SD. Keaslian bangunan ini tetap dipelihara dan dijaga, dan Pemkot Pontianak memasukkan bangunan kuno nan penuh sejarah ini sebagai benda cagar budaya yang harus dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, bahkan di depan SD ini juga dipasang papan yang mengukuhkan bahwa SD Negeri 14 Pontianak ini merupakan benda cagar budaya. *** [151112]
Share:

Tugu Khatulistiwa

Garis Khatulistiwa membentang melingkari tengah-tengah dan membelah bumi menjadi dua belahan yang sama, yaitu Belahan Utara dan Belahan Selatan. Garis Khatulistiwa melewati beberapa kota di Indonesia, misalnya Provinsi Kalimantan Barat, seperti Sekadau, Nanga Dedai, dan beberapa provinsi lainnya di Indonesia, di antaranya: Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Maluku dan Provinsi Papua.
Berdasarkan catatan yang diperoleh pada tahun 1941 dari V. en V oleh Opsiter Wiese dikutip dari Bijdragentot de Geographe dari Chep Van dan Topographeschen Dien in Nederlandsch Indie: Den 31 Sten Maart 1928 telah datang di Pontianak, satu Ekspedisi internasional yang dipimpin oleh seorang ahli Geografi berkebangsaan Belanda untuk menentukan titik atau tonggak garis ekuator di Kota Pontianak.
Kala itu, penentuan titik ekuator dilakukan secara astronomi, artinya bahwa pengukuran yang mereka lakukan tanpa mempergunakan alat yang canggih seperti satelit atau Global Positioning System (GPS). Mereka hanya berpatokan pada garis yang tidak smooth (garis yang tidak rata atau bergelombang) serta berpatokan pada benda-benda alam, seperti rasi bintang (ilmu falaq).


Setelah itu, Tugu Khatulistiwa dibangun pada 31 Maret 1928. Tugu Khatulistiwa yang asli terbuat dari kayu belian (kayu besi atau kayu ulin) yang terdiri dari empat tonggak yang mana 2 buah tonggak bagian depan dengan tinggi 3,08 meter dari permukaan tanah, dan 2 buah tonggak bagian belakang dengan tinggi 4,40 meter dari permukaan tanah. Keterangan simbol berupa anak panah menunjukkan arah utara – selatan (lintang 0 derajat). Keterangan simbol berupa flat lingkaran yang bertuliskan EVENAAR, memiliki arti khatulistiwa dalam bahasa Belanda, menunjukkan belahan garis khatulistiwa atau batas utara dan selatan. Sedangkan flat di bawah arah panah ditulis 109°20’0”0LvGR, artinya garis khatulistiwa di Kota Pontianak bertepatan dengan 109° garis bujur timur 20 menit 00 detik GMT. 
Awal kontruksi pembangunan, tugu ini dibangun berupa tonggak dengan tanda panah. Lalu pada tahun 1930, disempurnakan menjadi berbentuk tonggak dengan lingkaran dan tanda panah. Tahun 1938, tugu asli dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh Opsiter/Architech Silaban pada bagian lingkarannya menjadi seperti sekarang ini.


Tahun 1990, Tugu Khatulistiwa tersebut direnovasi dengan pembuatan kubah dan duplikat Tugu Khatulistiwa dengan ukuran lima kali lebih besar dari tugu aslinya. Peresmian kubah dan replika Tugu Khatulistiwa dilakukan pada 21 September 1991 oleh Gubernur Kalimantan Barat, Parjoko Suryo Kusumo.
Kemudian pada Maret 2005, posisi Tugu Khatulistiwa dikoreksi kembali oleh Tim dari BPPT yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Pontianak. Secara satelit, ternyata terdapat perbedaan ± 117 meter dari posisi yang asli ke arah selatan khatulistiwa. Perbedaan itu terjadi karena faktor akurasi alat dan cara yang digunakan pada waktu dulu dan sekarang. Jadi perlu diketahui bahwa bumi yang kita tempati ini adalah bergerak dengan dua gerakan sekaligus, yaitu berotasi dan berevolusi, sehingga dapat menyebabkan pergeseran. Menurut ahli geologi, bumi itu mengalami pergeseran scara alami sebanyak ± 1 mm, apalagi kalau terjadi gempa akan semakin besar pergeserannya.
Jadi, perbedaan antara pengukuran astronomi (ilmu falaq) dan satelit, tidaklah perlu diperdebatkan terus menerus. Kita harus menghargai perbedaan dan jerih payah orang-orang terdahulu sebelum pengukuran secara satelit diketemukan. Yang harus kita lakukan sekarang adalah memelihara dan melestarikan aset yang sangat berharga ini agar tidak hilang di makan zaman serta demi untuk generasi yang akan datang. *** [141112]
Share:

Istana Amantubillah

Istana Amantubillah merupakan nama istana dari Kerajaan Mempawah. Nama Amantubillah berasal dari bahasa Arab, yang berarti “Aku beriman kepada Allah”. Istana yang didominasi oleh warna biru muda ini terletak di Jalan Adiwijaya RT.04 RW.12 Kelurahan Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.
Berdasarkan catatan sejarah, Istana Amantubillah dibangun pada masa pemerintahan Gusti Jamiril pada tahun 1761. Setelah Gusti Jamiril dinobatkan menjadi raja di Kerajaan Mempawah untuk menggantikan ayahandanya yang bernama Upu Alinu Malinu Daeng Menambon yang kelak ketika menjadi raja bergelar Pangeran Mas Surya Negara. Saat Gusti Jamiril diangkat menjadi Raja Mempawah, beliau menyandang gelar  sebagai Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya yang berkuasa atas seluruh rakyat yang berada di daerah Kerajaan Mempawah.
Belum berapa lama usai Gusti Jamiril dinobatkan menjadi Raja Mempawah, atas nasihat Mufti Kerajaan, Tuan Besar Habib Husain Alkadri, beliau memindahkan istana atau pusat pemerintahannya dari Sebukit Rama ke dekat Kampung Galahirang, di mana Sang Mufti bertempat tinggal. Disitulah istana pertama dari Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya berdiri tegak.
 

Berhubung Kerajaan Mempawah tidak mau takluk di bawah kekuasaan Belanda, maka dengan dalih untuk memulihkan ketentraman, Belanda menyerang Kota Mempawah pada tahun 1787 yang dipimpin Mayor Amral dan Katen Silviser atas nama Gubernur Jenderal di Batavia.
 

Pada tahun 1880, Istana Amantubillah mengalami kebakaran ketika tampuk kekuasaan istana dipegang oleh Gusti Ibrahim, yang bergelar Panembahan Ibrahim Mohammad Syafiuddin (1864-1892). Setelah itu, Istana Amantubillah mengalami beberapa kali direhabilitasi hingga Istana Amantubillah dapat berdiri kembali pada hari Kamis, 22 November 1922 pada masa Panembahan Mohammad Taufik Akkamadin.
Kompleks Istana Amantubillah dibagi dalam tiga bagian, yaitu bangunan utama, bangunan sayap kanan, dan sayap kir. Pada zaman dahulu, bagunan utama merupakan tempat singgasana raja, permaisuri, dan tempat tinggal keluarga raja. Bangunan sayap kana adalah tempat untuk mempersiapkan keperluan dan tempat untuk jamuan makan keluarga istana. Sedangkan bangunan sayap kiri merupakan aula dan tempat untuk mengurus segala seuatu yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Di kompleks istana, pengunjung dapat melihat kolam bekas pemandian raja beserta keluarganya yang berada di belakang bangunan istana. Sayang, kolam pemandian tersebut tidak berfungsi lagi, karena pendangkalan dan tertutupnya saluran air yang menghubungkan kolam tersebut dengan anak Sungai Mempawah.
Selain itu, pengunjung juga masih dapat melihat bekas tempat peristirahatan dan tempat bersantai (gazebo) raja beserta keluarganya, yang keberadaannya tak jauh dari kolam pemandian tersebut.

Raja-raja yang pernah bertahta

Gusti Jamiril (1761 – 1790)
Gusti Jamiril adalah anak kedua Upu Alinu Malinu Daeng Menambon (Pangeran Mas Surya Negara) dengan Putri Kesumba. Setelah dinobatkan menjadi Raja Mempawah, bergelar Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya.

Gusti Jati (1790 – 1826)
Gusti Jati adalah putra Gusti Jamiril dengan istri pertamanya yang bernama Daeng Nyonya binti Daeng Kelola. Setelah diangkat menjadi Raja Mempawah, bergelar Panembahan Surya Nata Kesuma. Namun, oleh GG Van Der Capelen, beliau diberi gelar Sultan Muhammad Zainal Abidin.

Gusti Amir (1826 – 1853)
Gusti Amir merupakan adik Gusti Jati dari istri kedua Gusti Jamiril yang bernama Daeng Laila binti Daeng Kelola. Daeng Laila merupakan adik kandung dari Daeng Nyonya. Baik Gusti Jati maupun Gusti Amir sama-sama putra dari Gusti Jamiril dengan istri yang berbeda. Setelah diangkat menjadi Raja Mempawah, beliau memakai gelar Panembahan Adinata Amar Kamaruddin.

Gusti Mukmin (1853 -1855)
Gusti Mukmin adalah putra dari Gusti Amir. Setelah dinobatkan menjadi Raja Mempawah, beliau menyandang gelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kesuma, sebelumnya lebih dikenal dengan nama Pangeran Daeng.

Gusti Mahmud (1855 – 1860)
Gusti Mahmud merupakan adik dari Gusti Mukmin. Setelah ditetapkan menjadi Raja Mempawah, beliau bergelar Panembahan Muda Mahmud Akkamadin, yang sebelumnya lebih dikenal dengan nama Pangeran Suta Negara.

Gusti Usman (1860 – 1864)
Gusti Usman adalah kemenakan dari Gusti Mahmud. Setelah Gusti Usman diangkat menjadi Raja Mempawah, beliau mengenakan gelar Panembahan Usman Nata Jaya Kesuma.

Gusti Ibrahim (1864 – 1887)
Gusti Ibrahim adalah putra dari Gusti Mahmud. Setelah dinobatkan menjadi Raja Mempawah, beliau bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin.

Gusti Iskandar (1887 – 1892)
Gusti Iskandar adalah putra dari Gusti Ibrahim. Setelah diangkat menjadi Raja Mempawah, beliau menyandang gelar sebagai Pangeran Pati Iskandar.
Semasa beliau menjadi Raja Mempawah, banyak tindakannya yang kurang berkenan di hati rakyat. Sepertinya Belanda mulai mencampuri urusan pajak terhadap rakyat di pedesaan, sehingga rakyat Sangking memberontak melawan pemerintah. Dan orang-orang Cina yang juga merasa tertekan di daerah Mentidong, lalu melawan pula yang menyebabkan terjadinya perang di daerah itu.

Gusti Intan (1892 – 1902)
Karena perlawanan rakyat Sangking dan Mentidong tersebut, menyebabkan Gusti Iskandar digantikan oleh Gusti Intan. Gusti Intan merupakan menantu Gusti Ibrahim. Setelah diangkat menjadi Raja Mempawah, beliau bergelar Pangeran Mangku Negara.

Gusti Muhammad Taufik (1902 – 1943)
Gusti Muhammad Taufik adalah putra dari Gusti Ibrahim. Setelah dinobatkan menjadi Raja Mempawah, beliau memakai gelar Panembahan Muhammad Taufik Akkamadin.
Pada waktu kepemimpinan Gusti Muhammad Taufik ini, Belanda berusaha menghapuskan seluruh kerajaan yang berada di daerah Kalimantan Barat.
Karena itu du belas kerajaan yang ada di daerah Kalimantan Barat ini, semuanya diminta oleh Belanda untuk menanda tangani plakad pendek. Dengan arti bahwa semua raja harus menyerahkan semua kekuasaannya dan mereka hanya berfungsi sebagai pegawai biasa yang digaji oleh Pemerintah Belanda. Jadi dengan sendirinya, raja tak punya hak lagi untuk menentukan hukum atau peraturan terhadap rakyat di daerah kerajaannya sendiri.

Pangeran Wira Negara (1943 – 1946)
Dari dua belas kerajaan yang ada di daerah Kalimantan Barat, akhirnya Mempawah berani menentang plakad pendek. Dan Kerajaan Mempawah statusnya masih tetap seperti di masa Gusti Ibrahim, yang hanya tunduk di bawah kekuasaan Ratu di Negeri Belanda. Pangeran Wira Negara adalah saudara Gusti Muhammad Taufik. Pangeran Wira Negara bertahta sebagai Raja Mempawah di kala masa pendudukan Jepang.

Gusti Mustaan (1946 – 1950)
Gusti Mustaan adalah cucu dari Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin. Gusti Mustaan diangkat menjadi Raja Mempawah setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan dan ketika Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, lalu Kerajaan Mempawah ikut menyatu dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia di tahun 1950.
Sehingga dengan sendirinya hapuslah Kerajaan Mempawah di saat itu, dan langsung daerah kerajaan berubah menjadi Kawedanan Mempawah, di mana Wedananya dijabat oleh Gusti Mustaan sendiri. *** [131112]

Kepustakaan:
  • Ellyas Suryani Soren, 2002, Sejarah Mempawah Tempo Doeloe, Mempawah: Kantor Informasi Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Pontianak
  • Gusti Lahmudin Jia, 2007, Jejak Sejarah Pangeran Mas Surya Negara atau Upu Alinu Malinu Daeng Menambon, Sebukit Rama: __________
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami