The Story of Indonesian Heritage

Istana Amantubillah

Istana Amantubillah merupakan nama istana dari Kerajaan Mempawah. Nama Amantubillah berasal dari bahasa Arab, yang berarti “Aku beriman kepada Allah”. Istana yang didominasi oleh warna biru muda ini terletak di Jalan Adiwijaya RT.04 RW.12 Kelurahan Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.
Berdasarkan catatan sejarah, Istana Amantubillah dibangun pada masa pemerintahan Gusti Jamiril pada tahun 1761. Setelah Gusti Jamiril dinobatkan menjadi raja di Kerajaan Mempawah untuk menggantikan ayahandanya yang bernama Upu Alinu Malinu Daeng Menambon yang kelak ketika menjadi raja bergelar Pangeran Mas Surya Negara. Saat Gusti Jamiril diangkat menjadi Raja Mempawah, beliau menyandang gelar  sebagai Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya yang berkuasa atas seluruh rakyat yang berada di daerah Kerajaan Mempawah.
Belum berapa lama usai Gusti Jamiril dinobatkan menjadi Raja Mempawah, atas nasihat Mufti Kerajaan, Tuan Besar Habib Husain Alkadri, beliau memindahkan istana atau pusat pemerintahannya dari Sebukit Rama ke dekat Kampung Galahirang, di mana Sang Mufti bertempat tinggal. Disitulah istana pertama dari Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya berdiri tegak.
 

Berhubung Kerajaan Mempawah tidak mau takluk di bawah kekuasaan Belanda, maka dengan dalih untuk memulihkan ketentraman, Belanda menyerang Kota Mempawah pada tahun 1787 yang dipimpin Mayor Amral dan Katen Silviser atas nama Gubernur Jenderal di Batavia.
 

Pada tahun 1880, Istana Amantubillah mengalami kebakaran ketika tampuk kekuasaan istana dipegang oleh Gusti Ibrahim, yang bergelar Panembahan Ibrahim Mohammad Syafiuddin (1864-1892). Setelah itu, Istana Amantubillah mengalami beberapa kali direhabilitasi hingga Istana Amantubillah dapat berdiri kembali pada hari Kamis, 22 November 1922 pada masa Panembahan Mohammad Taufik Akkamadin.
Kompleks Istana Amantubillah dibagi dalam tiga bagian, yaitu bangunan utama, bangunan sayap kanan, dan sayap kir. Pada zaman dahulu, bagunan utama merupakan tempat singgasana raja, permaisuri, dan tempat tinggal keluarga raja. Bangunan sayap kana adalah tempat untuk mempersiapkan keperluan dan tempat untuk jamuan makan keluarga istana. Sedangkan bangunan sayap kiri merupakan aula dan tempat untuk mengurus segala seuatu yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Di kompleks istana, pengunjung dapat melihat kolam bekas pemandian raja beserta keluarganya yang berada di belakang bangunan istana. Sayang, kolam pemandian tersebut tidak berfungsi lagi, karena pendangkalan dan tertutupnya saluran air yang menghubungkan kolam tersebut dengan anak Sungai Mempawah.
Selain itu, pengunjung juga masih dapat melihat bekas tempat peristirahatan dan tempat bersantai (gazebo) raja beserta keluarganya, yang keberadaannya tak jauh dari kolam pemandian tersebut.

Raja-raja yang pernah bertahta

Gusti Jamiril (1761 – 1790)
Gusti Jamiril adalah anak kedua Upu Alinu Malinu Daeng Menambon (Pangeran Mas Surya Negara) dengan Putri Kesumba. Setelah dinobatkan menjadi Raja Mempawah, bergelar Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya.

Gusti Jati (1790 – 1826)
Gusti Jati adalah putra Gusti Jamiril dengan istri pertamanya yang bernama Daeng Nyonya binti Daeng Kelola. Setelah diangkat menjadi Raja Mempawah, bergelar Panembahan Surya Nata Kesuma. Namun, oleh GG Van Der Capelen, beliau diberi gelar Sultan Muhammad Zainal Abidin.

Gusti Amir (1826 – 1853)
Gusti Amir merupakan adik Gusti Jati dari istri kedua Gusti Jamiril yang bernama Daeng Laila binti Daeng Kelola. Daeng Laila merupakan adik kandung dari Daeng Nyonya. Baik Gusti Jati maupun Gusti Amir sama-sama putra dari Gusti Jamiril dengan istri yang berbeda. Setelah diangkat menjadi Raja Mempawah, beliau memakai gelar Panembahan Adinata Amar Kamaruddin.

Gusti Mukmin (1853 -1855)
Gusti Mukmin adalah putra dari Gusti Amir. Setelah dinobatkan menjadi Raja Mempawah, beliau menyandang gelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kesuma, sebelumnya lebih dikenal dengan nama Pangeran Daeng.

Gusti Mahmud (1855 – 1860)
Gusti Mahmud merupakan adik dari Gusti Mukmin. Setelah ditetapkan menjadi Raja Mempawah, beliau bergelar Panembahan Muda Mahmud Akkamadin, yang sebelumnya lebih dikenal dengan nama Pangeran Suta Negara.

Gusti Usman (1860 – 1864)
Gusti Usman adalah kemenakan dari Gusti Mahmud. Setelah Gusti Usman diangkat menjadi Raja Mempawah, beliau mengenakan gelar Panembahan Usman Nata Jaya Kesuma.

Gusti Ibrahim (1864 – 1887)
Gusti Ibrahim adalah putra dari Gusti Mahmud. Setelah dinobatkan menjadi Raja Mempawah, beliau bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin.

Gusti Iskandar (1887 – 1892)
Gusti Iskandar adalah putra dari Gusti Ibrahim. Setelah diangkat menjadi Raja Mempawah, beliau menyandang gelar sebagai Pangeran Pati Iskandar.
Semasa beliau menjadi Raja Mempawah, banyak tindakannya yang kurang berkenan di hati rakyat. Sepertinya Belanda mulai mencampuri urusan pajak terhadap rakyat di pedesaan, sehingga rakyat Sangking memberontak melawan pemerintah. Dan orang-orang Cina yang juga merasa tertekan di daerah Mentidong, lalu melawan pula yang menyebabkan terjadinya perang di daerah itu.

Gusti Intan (1892 – 1902)
Karena perlawanan rakyat Sangking dan Mentidong tersebut, menyebabkan Gusti Iskandar digantikan oleh Gusti Intan. Gusti Intan merupakan menantu Gusti Ibrahim. Setelah diangkat menjadi Raja Mempawah, beliau bergelar Pangeran Mangku Negara.

Gusti Muhammad Taufik (1902 – 1943)
Gusti Muhammad Taufik adalah putra dari Gusti Ibrahim. Setelah dinobatkan menjadi Raja Mempawah, beliau memakai gelar Panembahan Muhammad Taufik Akkamadin.
Pada waktu kepemimpinan Gusti Muhammad Taufik ini, Belanda berusaha menghapuskan seluruh kerajaan yang berada di daerah Kalimantan Barat.
Karena itu du belas kerajaan yang ada di daerah Kalimantan Barat ini, semuanya diminta oleh Belanda untuk menanda tangani plakad pendek. Dengan arti bahwa semua raja harus menyerahkan semua kekuasaannya dan mereka hanya berfungsi sebagai pegawai biasa yang digaji oleh Pemerintah Belanda. Jadi dengan sendirinya, raja tak punya hak lagi untuk menentukan hukum atau peraturan terhadap rakyat di daerah kerajaannya sendiri.

Pangeran Wira Negara (1943 – 1946)
Dari dua belas kerajaan yang ada di daerah Kalimantan Barat, akhirnya Mempawah berani menentang plakad pendek. Dan Kerajaan Mempawah statusnya masih tetap seperti di masa Gusti Ibrahim, yang hanya tunduk di bawah kekuasaan Ratu di Negeri Belanda. Pangeran Wira Negara adalah saudara Gusti Muhammad Taufik. Pangeran Wira Negara bertahta sebagai Raja Mempawah di kala masa pendudukan Jepang.

Gusti Mustaan (1946 – 1950)
Gusti Mustaan adalah cucu dari Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin. Gusti Mustaan diangkat menjadi Raja Mempawah setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan dan ketika Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, lalu Kerajaan Mempawah ikut menyatu dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia di tahun 1950.
Sehingga dengan sendirinya hapuslah Kerajaan Mempawah di saat itu, dan langsung daerah kerajaan berubah menjadi Kawedanan Mempawah, di mana Wedananya dijabat oleh Gusti Mustaan sendiri. *** [131112]

Kepustakaan:
  • Ellyas Suryani Soren, 2002, Sejarah Mempawah Tempo Doeloe, Mempawah: Kantor Informasi Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Pontianak
  • Gusti Lahmudin Jia, 2007, Jejak Sejarah Pangeran Mas Surya Negara atau Upu Alinu Malinu Daeng Menambon, Sebukit Rama: __________
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami