The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Candi di Malang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Candi di Malang. Tampilkan semua postingan

Candi di Malang

Candi ini terletak di Jalan Raya Candi 5D Dukuh Badut, Desa Karang Widoro, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur

Candi Jago terletak di Jalan Wisnuwardhana No. 51, Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur

Candi Kidal terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur

Candi Singasari terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur

Candi Sumberawan terletak di Dukuh Sumberawan, Desa Toyomarto, Kecamatan Singosasri, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur
Share:

Candi Badut

Kabupaten Malang merupakan wilayah yang tergolong tua. Di masa silam, Kabupaten Malang pernah berdiri 3 kerajaan, yaitu Kerajaan Kanjuruhan, Tumapel (Singosari), dan Sengguru. Juga pernah menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Kuno maupun Kerajaan Majapahit. Hal ini menjadikan Kabupaten Malang memiliki peninggalan purbakala yang banyak dan beragam. Mulai dari batu bertulis (prasasti), arca, maupun candi.
Candi yang ada di Kabupaten Malang, salah satunya adalah Candi Badut. Candi ini terletak di Jalan Raya Candi 5D Dukuh Badut, Desa Karang Widoro, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi candi ini berada di sebelah barat Sanggar Budaya Putra Mandala Karangbesuki, atau barat laut dari pangkalan angkot AT (Arjosari-Tidar). Karena lokasinya yang berdekatan dengan Kota Malang, seringkali penulisan letak candi ini berada di Kelurahan Karang Besuki, Kecamatan Sukun, Kota Malang, padahal yang benar adalah di Desa Karang Widoro. Pembatas Karang Widoro dan Karang Besuki memang hanya pada jalan aspal berukuran sekitar 6 meter di mana di sebelah timur jalan masuk ke dalam wilayah administrasi Kelurahan Karang Besuki, dan di sebelah barat jalam masuk dalam Desa Karang Widoro.
Candi ini dihubungkan dengan Prasasti Dinoyo yang berangka tahun 682 Çaka atau 760 Masehi. Secara ringkas, prasasti ini menyebutkan bahwa dahulu ada seorang raja yang bijaksana bernama Dewasimha. Di bawah naungannya api Putikecwara memancar menerangi sekelilingnya. Dewasimha memiliki anak bernama Gajayana. Prasasti ini dibuat Raja Gajayana untuk Sang Resi Agung (maharsibhawana) dengan sebutan Walahajiridyah, dan diresmikannya arca Agastya yang baru terbuat dari batu hitam yang indah, sebagai pengganti dari arca yang lama yang terbuat dari kayu Cendana yang sudah lapuk. Pada kesempatan ini sang raja menghibahkan tanah, lembu, budak, perlengkapan saji, mengadakan berbagai upacara untuk menghormati sang resi. Pada baris keempat Prasasti Dinoyo disebut pula bahwa Raja Gajayana membuat bangunan suci yang sangat indah untuk Agastya dengan maksud untuk membinasakan penyakit.


Penamaan candi Badut ini memunculkan beberapa pendapat. Dari tradisi lisan yang berkembang di sekitar lokasi candi, disebutkan bahwa istilah Badut diambil dari nama sejenis pohon yang dahulu banyak tumbuh di daerah ini, dan salah satunya tumbuh di area reruntuhan candi. Karena di sekitarnya banyak tumbuh pohon Badut, maka daerah tersebut dinamakan Dusun Badut. Dengan demikian, candi ini bernama Badut karena sesuai dengan nama pohon Badut yang dahulu tumbuh di sini.
Pendapat lain muncul dari Dr. Brandes dan Dr. F.D.K. Bosch. Oleh Dr. Brandes dan Dr. F.D.K. Bosch, nama Badut dikaitkan dengan nama Liswa yang tertulis pada baris kedua Prasasti Dinoyo. Liswa sendiri merupakan nama lain dari Raja Gajayana. Dalam kamus bahasa Sansekerta, kata Liswa berarti anak komedi (tukang tari), yang dalam bahasa Jawa Kuno disebut badut. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Prof. Dr. R. Poerbatjaraka, bahwa nama Badut diambil dari nama raja Kerajaan Kanjuruhan yang diduga membangun candi tersebut. Berasal dari nama Garbopati nama kecil Raja Gajayana, sebelum menjadi raja di Kerajaan Kanjuruhan. Nama Garbopati sang raja adalah Licwa, yang menurut Poerbatjaraka istilah Liswa adalah bahasa Jawa Kuno yang artinya sekarang sama dengan pelawak atau bisa juga disebut badut.
Sedangkan, Van der Meulen berpendapat bahwa nama Badut diambil dari nama Resi Agastya, seorang resi yang diagung-agungkan oleh Raja Gajayana. Istilah Badut, menurut Van der Muelen diambil dari kata Ba dan Dyut. Ba = Bintang Agastya (Chopus) dan Dyut = Sinar atau Cahaya, jadi Badyut berarti cahaya bintang resi Agastya. Van der Meulen membuat perbandingan dengan penamaan Candi Mendut, yang menurutnya berasal dari kata Men =Sorot, dan Dyut = Cahaya.


Secara arsitektur candi ini mencerminkan gaya Jawa Tengah. Hal ini dapat dicermati beberapa profil yang ditemukan di candi-candi Jawa Tengah, profil tersebut antara lain ruangan bangunan yang agak besar yang dihubungkan dengan bangunan penampil dan tangga masuk, bangunan induk disusun berhadapan dengan bangunan perwara, dan kaki candi relatif tinggi.
Candi memiliki bagian yang relatif lengkap terdiri dari lapik, kaki, badan, dan atap. Bagian lapik merupakan alas tempat kaki candi berdiri, bentuknya persegi panjang berukuran 14,10 x 18,90 meter. Lapik tersebut terdiri dari tiga jenjang masing-masing setinggi 30 cm, 40 cm dan 20 cm, kesemuanya tanpa hiasan ornamen.
Kaki candi berukuran 10,76 x 1,30 meter, berdiri di atas lapik yang lebar, antara kaki candi dan lapik terdapat selasar. Kaki candi tanpa hiasan pelipit maupun ornamen. Pada sisi barat terdapat tangga dengan delapan pijak dan pipi tangga yang telah rusak. Pipi tangga berbentuk lengkung dan berujung ungkel pangkalnya berhias kala naga. Pipi tangga sisi utara dihiasi ornamen burung berdiri di atas bunga teratai. Demikian pula pipi tangga sisi selatan. Struktur kaki candi tidak lengkap, demikian pula trap dan pipi tangga.
Tubuh candi berbentuk persegi dengan ukuran 7,50 x 7,40 meter, tinggi 3,62 meter. Bingkai bawahnya terdiri dari pelipit polos, padma, dan setengah bundaran. Struktur candi masih tampak baik meski di sisi timur dan selatan tidak lengkap. Pada tiap sisinya terdapat relung, di sisi barat terdapat pintu masuk dengan penampil. Kanan kiri terdapat relung yang ukurannya lebih kecil. Penampil dan relung tersebut dihiasi kala tanpa rahang bawah. Bingkai penampil dihiasi sulur-suluran, di bagian bawahnya terdapat sepasang makara yang dikombinasikan dengan sulur-suluran. Ambang pintu dan penampil telah diperkuat dengan penyangga besi. Ruang garbhagraha berukuran 3,45 x 3,45 meter berisi lingga dan yoni.


Atap candi telah rusak, bentuk lengkapnya tidak dapat dikenal dari sisi struktur yang terdapat saat ini. Adapun struktur yang tersisa sebanyak lima lapis pada sebagian sisi barat dan utara. Keadaan struktur yang tidak lengkap tersebut menjadi bagian atas bilik terbuka.
Informasi paling awal tentang candi Badut dilaporkan oleh E.W. Maurenbrecher, seorang controlir bangsa Belanda, pada tahun 1923, pada saat mengadakan inventarisasi di sekitar Malang. Pada tahun yang sama seorang pegawai dinas purbakala Belanda yang bernama B. De Haan melaporkan hal serupa. Tidak banyak yang dapat diungkapkan kecuali reruntuhan batu dan sebuah pohon besar tumbuh di atas reruntuhan itu.
Tahun 1925, B. De Haan mendapat tugas memperbaiki candi Badut. Pada awalnya ia tidak mempunyai harapan dapat menyelesaikannya, sehingga ia memutuskan untuk mengadakan ulang bina partial. Usaha ini diawali dengan mengadakan penggalian yang dilakukan sampai dasar bangunan. Dari hasil penggalian terebut diketahui bahwa bangunan candi Badut telah runtuh sama sekali, kecuali beberapa bagian yang masih dapat dilihat susunannya, bagian itu adalah kaki candi meski banyak yang rusak. Batu-batu yang ada kemudian dipilah-bilah dan dikumpulkan berdasarkan ukuran. Atas dasar inilah kemudian dicoba untuk menyusun bangunannya.
Pada tahun 1926, seluruh bangunan kaki dan tubuh dapat dibangun kembali, hanya bagian atapnya yang tidak ditemukan kembali. Namun demikian Dinas Purbakala waktu itu dapat membuat rekonstruksinya di atas kertas.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1990-1993 dilaksanakan pemugaran lebih lanjut oleh Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bersama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala jawa Timur, melalui proyek Pelestarian atau Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur, yang dilakukan secara bertahap.
Kini, Candi Badut yang berada pada lahan seluas 2.808 m² ini menjadi tujuan wisata yang ada di Malang. Selain, mengenal sejarah Candi Badut, wisatawan juga dapat relaksasi di lokasi ini, karena tempatnya yang masih sejuk dan asri. Banyak pepohonan yang ada di kompleks halaman candi tersebut, seperti pohon beringin, pule, dan sengon. *** [180516]

Share:

Candi Kidal

Candi Kidal terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, atau sekitar 29 kilometer sebelah timur Kota Malang. Candi ini memiliki ukuran panjang 10,8 meter, lebar 8,36 meter, dan tinggi 12,26 meter (setelah dipugar dari tahun 1986 hingga 1990). Diperkirakan tinggi aslinya adalah 17 meter.
Secara vertikal, candi ini dapat dibagi menjadi kaki candi, tubuh candid an atap candi. Di bilik candi tidak ditemukan arca kecuali yoni, di tengah-tengah ruangan. Yoni ini pun ketika ditemukan sudah berada di luar ruangan, diduga berasal dari ruangan candi. Sebuah arca Siwa yang sekarang berada di Royal Tripical Institute, Amsterdam, diperkirakan berasal dari Candi Kidal. Arca tersebut tingginya 1,23 meter digambarkan dengan sikap berdiri, dan memiliki empat tangan. Tangan kanan bagian belakang memegang aksamala, tangan kiri belakang memegang cemara. Kedua tangan depan ditekuk di muka dada, telapak tangan kiri terbuka menghadap ke atas, sedangkan telapak tangan kana nada di atas telapak tangan kiri dalam sikap menggenggam dengan ibu jari mengarah ke atas. Di sampingnya terdapat bunga teratai yang keluar dari batang, menunjukkan personifikasi dinasti Singasari.


Di dalam relung-relungnya tidak ditemukan arca. Seandainya arca Siwa memang berasal dari ruangan candi, dapat diduga bahwa relung-relung tersebut disediakan untuk arca Durga, Ganesha, dan Agastya sebagai lazimnya candi bercorak Siwaistis. Arca yang ditemukan di candi tersebut adalah arca Nandiswara dan Mahakala. Arca-arca tersebut biasanya menempati relung-relung di kanan-kiri pintu masuk candi. Arca-arca lain yang pernah ditemukan adalah arca duduk yang diperkirakan dari pantheon agama Buddha, dan sebuah arca yang lain yang kemungkinan adalah arca Manjucri. Selain itu, masih ada temuan arca tanpa kepala dengan ciri-ciri cakra pada tangan belakang, dan sankha pada tangan kiri (mungkin sekali arca Wisnu).
Selain bangunan utama, bekas-bekas bangunan berdenah segi empat panjang dengan sisa-sisa dua buah tangga masuk pada sisi timur ujung utara dan selatan. Bahkan pada tahun 1901 masih terlihat sisa-sisa bangunan dari batu merah di halaman ini. Diduga Candi Kidal merupakan induk dari suatu kompleks percandian yang tak hanya terdiri dari satu halaman saja melainkan dua halaman.


Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan memiliki satu candi induk. Kaki candi mempunyai tinggi 2 meter, dan terdapat selasar. Untuk menuju selasar serta bilik tubuh candi, terdapat tangga. Anak tangga dibuat tipis-tipis, sehingga dari kejauhan tampak seperti bukan tangga masuk yang sesungguhnya. Tangga batu ini tidak dilengkapi pipi tanggal. Selain itu, pada kaki candi, terdapat relief garudadheya, yakni seekor garuda yang berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan Sang Kadru dengan tebusan air suci amerta (air kehidupan). Konon, relief mitos garudadheya dibuat untuk memenuhi amanat Anusapati yang ingin merawat Ken Dedes, ibunda yang sangat dicintainya. Untuk membaca relief harus menggunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), yang dimulai dari sisi selatan. Nama “kidal” adalah kiri, sesuai dengan cara membaca reliefnya yang tidak searah jarum jam.

Pembangunan Candi Kidal
Masa pendirian Candi Kidal tidak dapat diketahui dengan pasti, hal ini lantaran tidak adanya prasasti atau data penanggalan yang dapat dihubungkan dengan candi itu. Namun, dalam kitab Nagarakertagama disebutkan, bahwa pada tahun 1170 Ç Raja Anusapati wafat dan didharmakan sebagai Siwa di Kidal. Sedangkan di dalam kitab Pararaton dijelaskan, Lina Sang Anusapati I Ç 1171 Dhirnama Sira Ring Kidal.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa Candi Kidal adalah tempat pendharmaan Raja Anusapati yang wafat tahun 1248 Masehi. Dengan demikian, pendirian candi ini diperkirakan selesai pada saat diadakan upacara sradha yang dilakukan 12 tahun setelah raja wafat, yaitu sekitar tahun 1260 Masehi.
Latar belakang keagamaan Candi Kidal ini adalah Hindu, seperti yang dijelaskan dalam kitab Nagarakertagama bahwa Raja Anusapati wafat dan didharmakan di Kidal sebagai Siwa. *** [310813]
Share:

Candi Jago

Candi Jago terletak di Jalan Wisnuwardhana No. 51, Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, atau tepatnya berada di depan SDN Tumpang 02. Dari pusat Kota Malang sekitar 22 kilometer ke arah timur. Secara topografis, candi ini berada di ketinggian 597 meter dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 20-29° C.
Sebagian masyarakat ada yang menyebut candi ini dengan nama Candi Tumpang, karena terletak di Desa dan Kecamatan Tumpang, atau Candi Cungkup, karena bentuk bangunan candi ini dikeramatkan. Candi ini diperkirakan sama dengan jajaghu di dalam Kitab Nagarakertagama yang tercantum di dalam salah satu teksnya yang tertera pada pupuh 41 bait 4 baris ke 2, sebagai tempat pendharmaan Raja Wisnuwardhana dari Kerajaan Singasari yang wafat pada 1.268 Masehi. Dan, diperkirakan peresmian Candi Jago ini pada tahu 1280 Masehi, bersamaan dengan diadakannya upacara sradha (pelepasan roh dari dunia berselang 12 tahun setelah meninggalnya).


Candi ini berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 24 meter x 14 meter yang berketinggian 10,5 meter. Candi ini terbuat dari batu andesit, dan menghadap ke barat. Candi Jago mempunyai bentuk yang unik bila dibandingkan dengan bentuk bangunan candi lainnya. Kaki candi terdiri dari tiga tingkat, tingkat pertama terdapat delapan anak tangga, tingkat kedua terdapat empat belas anak tangga, dan tingkat ketiga terdapat tujuh anak tangga. Kemungkinan candi ini dahulunya memakai atap yang terbuat dari kayu dan ijuk yang berbentuk meru, seperti atap pura-pura yang ada di Bali. Hal ini diperlihatkan pada salah satu pahatan relief yang menceritakan Parthayadnya (Mahabarata) pada teras kedua sebelah timur pada bagian sisi tengah.
Bangunan candi ini didirikan di atas kaki candi yang terdiri atas tiga tingkat yang masing-masing tingkatannya memiliki teras. Teras tersebut makin ke atas makin mengecil serta bergeser ke belakang. Bangunan candi dengan pola semacam ini, mengingatkan kita pada bentuk serta susunan bangunan pada masa Megalithikum, yaitu salah satu bangunan pada masa itu yang disebut punden berundak. Bangunan semacam ini berfungsi sebagai tempat pemujaan arwah atau roh para leluhur.


Sesuai dengan agama Wisnuwardhana yaitu Siwa Buddha, di Candi Jago dipahatkan relief cerita Siwaistis dan Buddhistis. Relief Buddhistis yang dipahatkan adalah relief cerita tantri/Pancatantra dan Kunjarakarna. Sedangkan relief Hinduistis yaitu relief cerita Parthayadnya dan Arjuna Wiwaha serta relief tentang Khrisna.
Relief cerita tantri dipahatkan pada bingkai atas teras pertama berisi cerita-cerita binatang, dilanjutkan relief Kunjarakarna bersambung ke bingkai bawah teras kedua, menceritakan perjalanan Kunjarakarna murid Buddha Wairocana ke neraka, tempat penyiksaan sahabatnya Purnawijaya. Setelah kembali ke dunia mengajak Purnawijaya belajar agama Buddha sehingga dosa-dosanya diampuni. Mulai sudut tenggara sampai utara terdapat relief yang belum diketahui jalan ceritanya.
Sedangkan relief Parthayadnya dipahatkan pada tubuh teras II berisi adegan Pandawa kalah bermain dadu dan diusir ke hutan selama 15 tahun. Lalu, Arjuna memisahkan diri sampai Gunung Indrakila. Arjuna Wiwaha dipahatkan pada bingkai bawah teras III, merupakan kelanjutan cerita Parthayadnya mulai dari adegan Arjuna bertapa digoda bidadari sampai Arjuna memanah babi hutan bersama-sama Dewa Siwa yang menyamar sebagai pemburu. Akhirnya Arjuna diminta untuk membunuh Niwatakawaca yang mengganggu kahyangan sampai Arjuna kawin dengan Batari Supraba.


Di bilik candi tampaknya dulu pernah ada arca Buddha Amoghapasa dan empat pengawalnya, yaitu Sudhanakuma, Cyamatara, Hayagriwa, dan Bhrekuti. Nama-nama itu dipahatkan dalam huruf Nagari pada masing-masing stellannya. Arca lain yang ditemukan di relung dan atap candi yaitu arca Dyani Buddha Aksobya dan Ratna Sambhawa, serta arca çakti/istri Dyani Buddha, yaitu Locana dan Pandurawasini.
Berdasarkan prasasti Majuri (1343 Masehi), disebutkan bahwa Candi Jago pernah mengalami pemugaran dengan diperlebar dan diperindah pada masa kejayaan Majapahit sekitar tahun 1343 Masehi, dan sebagai arsitekturnya kala itu adalah Arya Dewaraja Mpu Aditya atau yang lebih dikenal dengan nama Adityawarwan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan arca Bhairawa di Candi Jago ini, namun arca itu sekarang sudah tidak ada lagi karena hilang dicuri orang pada tahun 2001. Arca Bhairawa diyakini sebagai arca perwujudan Adityawarman sebagai pelindung dan arsitektur Candi Jago ketika masih tinggal di Kerajaan Majapahit. Setelah kembali ke tanah kelahirannya dan berstatus sebagai raja di Swarnadwipa, kemudian Raja Adityawarman membuat sebuah arca Bhairawa yang mirip seperti di Candi Jago namun ukurannya lebih besar. Arca ini sekarang berada di Sumatera Barat.
Keberadaan arca Bhairawa di Candi Jago merupakan salah satu aspek Dewa Siwa. Maka berdasarkan relief cerita dan arca yang ditemukan, candi ini berlatarbelakang agama Hindu-Buddha. *** [310813]

Share:

Candi Jago, Dongeng Tantri dan Perdamaian

CandiJago merupakan monumen penting masa kerajaan di Jawa Timur. Candi peninggalan Kerajaan Singasari yang diresmikan tahun 1280 Masehi ini menyimpan pahatan cerita tantri, sebuah dongeng binatang. Ia juga menjadi simbol perdamaian dan sinkretisme dua agama yang berbeda.
Seekor burung bangau terbang membawa tongkat kayu dengan dua kura-kura menggigit masing-masing ujungnya.
Dari kejauhan dua serigala beristirahat di bawah pohon. Melihat kura-kura terbang, serigala ingin memangsanya. Lalu serigala mengolok-olok kura-kura. Kura-kura membuka mulut untuk membalas. Alhasil, mereka jatuh dan dimangsa serigala. Kura-kura lupa pesan sang bangau bahwa mereka tidak boleh mengucap sepatah kata pun sebelum sampai tujuan.
Dongeng burung bangau dan kura-kura ini tidak asing karena banyak ditemukan dalam buku cerita anak sekarang. Namun, lebih dari 700 tahun lalu, dongeng itu sudah terpahat di dinding Candi Jago yang berlokasi di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.
Candi tempat pendarmaan (pemuliaan) raja keempat Singasari, Wisnu Wardhana, ini merupakan salah satu candi terlengkap di Jawa Timur yang mengukir dongeng binatang.
Pada masa klasik Hindu-Buddha, dongeng binatang dikenal dengan nama cerita tantri. “Ada delapan judul cerita tantri yang berbeda di Candi Jago. Setiap cerita utuh dipahat dalam tiga panel (adegan). Jadi, total ada 24 panel cerita binatang,” kata Surjadi, juru pelihara Candi Jago, akhir Agustus lalu.
Selain kisah bangau dan kura-kura, cerita lain adalah katak dan ular, kerbau dan buaya, singa dan buaya, kisah burung heron, ikan dan kepiting, serta cerita lainnya. Cerita tantri yang terpahat di Candi Jago ini bersumber dari Tantri Kamandaka, kitab Jawa kuno dari abad ke-4.
Kisah biantang di panel candi, kata ikonograf Hariani Santiko, merupakan bagian dari ajaran moral dalam kebudayaan Hindu-Buddha. Perumpamaan dengan cerita binatang dilakukan agar tidak terlalu keras menyinggung orang yang membaca relief. Kisah dalam burung dan kura-kura, misalnya, menggambarkan bahwa mereka yang tidak bisa menahan emosi akhirnya akan celaka.
Cerita tantri di Candi Jago menarik para peneliti asing untuk membaca lalu mendokumentasikan relief Candi Jago. Salah satunya, Ann R Kinney, arkeolog Belanda yang meneliti Candi Jago dan menulis buku Worshiping Siva and Buddha; The Temple Art of East Java.
Dalam bukunya, Kinney menuturkan, relief cerita tantri juga ditemukan di candi-candi lain, seperti Candi Sojiwan dan Mendut dari abad ke-9 di Jawa Tengah. Ada kekosongan sekitar tiga abad sebelum cerita tantri dalam kebudayaan Islam bisa disejajarkan dengan kisah 1.001 malam yang penuh pesan moral.

Bukti Sinkretisme
Dalam kitab sastra kuno Nagarakertagama dan Pararaton, nama Candi Jago disebut sebagai Candi Jajaghu yang dalam bahasa Sanskerta artinya diagungkan. Dalam pupuh 41 bait 4, Empu Prapanca, penulis Nagarakertagama, menuliskan, raja Wisnu Wardhana meninggal lalu dimuliakan di dua tempat, yakni di Candi Waleri (Blitar) sebagai Siwa (Hindu) dan di Candi Jajaghu sebagai Buddha.
“Artinya raja itu menganut agama Siwa Buddha atau Hindu Buddha, “ kata Surjadi. Dalam buku Kupasan Sejarah Candi Jago yang ditulis Surjadi, sinkretisme agama Buddha dengan keyakinan Hindu Siwa ini dilakukan Wisnu Wardhana untuk meredam konflik akibat benturan dua agama berbeda.
Agama Hindu Siwa yang masih percaya leluhur dan Buddha sama-sama berkembang pesat di masa Singasari akhir. Peleburan kedua agama ditampilkan dalam rancang bangun Candi Jago.
Candi Jago kini berada di tengah permukiman warga yang semakin padat. Jarak halaman candi dengan permukiman warga hanya 2-3 meter dibatasi kawat berduri.
Bagian candi dari batu andesit (batu gunung) yang terlihat saat ini ketinggiannya 10,5 meter dengan panjang 24 meter dan lebar 14 meter. Menurut Surjadi, sisa bangunan yang ada saat ini sebenarnya kaki candi yang terdiri atas tiga tingkat.
Uniknya, konstruksi Candi Jago makin ke atas makin bergeser ke belakang. Setiap tingkat memiliki teras lebar di bagian belakang. Konstruksi semacam ini, kata arkeolog Pusat Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, mengingatkan pada konstruksi punden berundak masa megalitik dari situs Gunung Padang.
Di tingkat ketiga tampak satu pintu besar dengan sebagian tembok batu mengelilingi sebuah ruangan. Tembok itu tidak lagi utuh. Bagian atas sebagian sudah hilang. Pintu dengan tembok batu itu merupakan tubuh candi, bagian atap sudah hilang.
Salah satu pahatan relief menggambarkan bentuk bangunan candi dengan atap terbuat dari kayu dan ijuk (meru) seperti atap pura di Bali. Dari pahatan itu para arkeolog menyimpulkan, bagian atas Candi Jago berbentuk meru. Jika dihitung secara keseluruhan dengan atap meru, ketinggian Candi Jago sekitar 17,5 meter.
Di sekitar candi tergeltak tiga arca wajah raksasa dan arca Amogapasha, manusia bertangan enam perwujudan Wisnu Wardhana. Dalam kosmologi Hindu Buddha, arca wajah raksasa diletakkan di bagian depan dan posisinya di atas candi.
Relief yang terpahat di Candi Jago memiliki keunikan dibandingkan dengan candi masa Hindu-Buddha di Jawa Tengah. Di Candi Jago, bentuk manusia dalam relief tidak mirip bentuk manusia pada umumnya. Bentuk reliefnya seperti wayang di Bali.
Selain sebagai tempat pemuliaan raja, Candi Jago juga berfungsi sebagai tempat pendidikan para pangeran Kerajaan Singasari. Relief candi harus dibaca dengan cara mengelilingi selasar candi. Berbeda dengan Candi Borobudur yang reliefnya dibaca searah jarum jam (pradaksina), pembacaan relief di Candi Jago dilakukan berlawanan dengan arah jarum jam yang disebut prasawya. [LUSIANA INDRIASARI]

Sumber:
KOMPAS Edisi Sabtu, 7 September 2013
Share:

Candi Singasari

Candi Singasari terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, atau sekitar 15 kilometer timur laut Kota Malang. Dari jalan raya Malang – Surabaya sekitar 250 meter. Candi ini berada pada lembah di antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna dengan ketinggian 512 di atas permukaan laut. Candi ini juga dikenal dengan Candi Menara, nama yang menunjukkan bahwa Candi Singasari merupakan candi tertinggi pada masanya.
Candi ini ditemukan pada awal tahun 1900-an dalam keadaan sudah rusak, terutama pada bagian puncak menara. Candi ini merupakan petilasan Prabu Kertanegara, yang lokasinya tidak jauh dari petilasan tempat mandinya Ken Dedes. Selain itu, tidak begitu jauh dari candi juga ditemukan sepasang arca yang sangat besar, yaitu arca Gupala dan arca Dwarapala. Kedua arca tersebut terbuat dari batu andesit utuh. Kedua arca yang dibangun sangat besar, dan berujud raksasa (buta) itu, oleh masyarakat setempat sering disebut sebagai Mbah Buta.


Candi Singasari dibangun berdenah empat persegi dengan ukuran 13,84 x 18,34 meter. Struktur candi ini terdiri atas batur (pondasi candi), badan candi, dan atap candi. Kaki candi ini memiliki keistimewaan bila dibandingkan dengan candi-candi lainnya, yaitu memiliki ruangan, bilik, dan memakai ‘penampil’ di setiap sisinya. Biasanya, keadaan yang demikian terdapat di badan candi. Pintu masuk berada di sebelah barat, diapit oleh relung-rekung kecil. Setiap ‘penampil’ kaki candi ditemukan relung-relung kecil yang berisi arca, serta memiliki atap sendiri-sendiri yang terpisah dengan badan candi, seperti mengitari atap pusat candi yang lebih tinggi. Kepala Kala menjadi hiasan setiap relung pintu.
Atap utama candi terdiri atas tiga tingkatan. Teratas berwujud kubus, wujudnya atap penampil sama dengan atap pusat. Sayangnya, atap tersebut telah ambruk. Pemugaran candi dilakukan pada tahun 1934 dan selesai sampai tahun 1936, sehingga berbentuk sekarang.


Berdasarkan Kitab Negarakertagama dan prasasti Gajah Mada (1351 M) yang terdapat di halaman kompleks candi, Candi Singasari merupakan tempat pendharmaan Raja Kertanegara, yaitu raja terakhir Kerajaan Singasari yang wafat pada tahun 1292 M, akibat penyerangan Jayakatwang. Pembuatan candi ini bersamaan dengan waktu diadakan upacara sraddha (upacara untuk memperingati 12 tahun sesudah Raja Kertanegara wafat) atau tahun 1304 M, masa pemerintahan Raden Wijaya (menantu Kertanegara yang merupakan pendiri Majapahit atau Raja Majapahit I).
Awalnya, Candi Singasari terdiri atas 1 candi induk dan 5 bangunan suci lainnya (candi perwara). Tetapi, 5 bangunan suci tersebut kini tinggal pondasinya saja.
Di ruangan utama kaki Candi Singasari ditemukan yoni. Namun tidak begitu jelas arca apa tadinya berada di ruangan tersebut, lantaran sekarang sudah kosong. Arca Durga berada di relung sebelah utara. Ganesha berada di sebelah timur, Agastya (selatan). Selain arca Agastya, semua arca Candi Singasari sekarang berada di Museum Leiden, Belanda.


Pada tahun 1804, arca diambil dari candi, lalu pada tahun 1819 arca-arca tersebut dibawa ke Negara Belanda. Relung-relung di sebelah kanan kirinya pintu candi yang dulunya berisi arca Mahakala dan Nandiswara, sekarang juga sudah kosong.
Di kaki Candi Singasari juga terdapat saluran di bawah lantai bilik, di mana aliran airnya menuju ke utara. Mungkin, dahulu dipergunakan untuk mengalirkan air pembasuh lingga yoni ke suatu pancuran. Jadi, Candi Singasari seperti “lingga”.
Relung-relung di badan candi tidak ada arcanya. Menurut WF Stutterheim, relung-relung tersebut berisi arca dari ‘Pantehon Buddha’. Pendapat ini ditentang oleh Jessie Blom, dengan alasan arca-arca tadi tidak pernah ditemukan. WF Stutterheim berkeyakinan bahwa Candi Singasari memiliki sifat ‘Siwabudha’.
Menurut JLA Brandes, bila dilihat dari seni pahatannya, candi tersebut tergolong hasil kesenian Singasari. Lebih muda ketimbang Candi Jago. Bernet Kempres berpendapat bahwa Candi Singasari dibangun tahun 1300 Masehi. *** [280112]

Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami