CandiJago merupakan monumen penting masa kerajaan di Jawa Timur. Candi peninggalan
Kerajaan Singasari yang diresmikan tahun 1280 Masehi ini menyimpan pahatan
cerita tantri, sebuah dongeng binatang. Ia juga menjadi simbol perdamaian dan
sinkretisme dua agama yang berbeda.
Seekor
burung bangau terbang membawa tongkat kayu dengan dua kura-kura menggigit
masing-masing ujungnya.
Dari
kejauhan dua serigala beristirahat di bawah pohon. Melihat kura-kura terbang,
serigala ingin memangsanya. Lalu serigala mengolok-olok kura-kura. Kura-kura
membuka mulut untuk membalas. Alhasil, mereka jatuh dan dimangsa serigala.
Kura-kura lupa pesan sang bangau bahwa mereka tidak boleh mengucap sepatah kata
pun sebelum sampai tujuan.
Dongeng
burung bangau dan kura-kura ini tidak asing karena banyak ditemukan dalam buku
cerita anak sekarang. Namun, lebih dari 700 tahun lalu, dongeng itu sudah
terpahat di dinding Candi Jago yang berlokasi di Dusun Jago, Desa Tumpang,
Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.
Candi
tempat pendarmaan (pemuliaan) raja keempat Singasari, Wisnu Wardhana, ini
merupakan salah satu candi terlengkap di Jawa Timur yang mengukir dongeng
binatang.
Pada
masa klasik Hindu-Buddha, dongeng binatang dikenal dengan nama cerita tantri.
“Ada delapan judul cerita tantri yang berbeda di Candi Jago. Setiap cerita utuh
dipahat dalam tiga panel (adegan). Jadi, total ada 24 panel cerita binatang,”
kata Surjadi, juru pelihara Candi Jago, akhir Agustus lalu.
Selain
kisah bangau dan kura-kura, cerita lain adalah katak dan ular, kerbau dan
buaya, singa dan buaya, kisah burung heron, ikan dan kepiting, serta cerita
lainnya. Cerita tantri yang terpahat di Candi Jago ini bersumber dari Tantri Kamandaka, kitab Jawa kuno dari
abad ke-4.
Kisah
biantang di panel candi, kata ikonograf Hariani Santiko, merupakan bagian dari
ajaran moral dalam kebudayaan Hindu-Buddha. Perumpamaan dengan cerita binatang
dilakukan agar tidak terlalu keras menyinggung orang yang membaca relief. Kisah
dalam burung dan kura-kura, misalnya, menggambarkan bahwa mereka yang tidak
bisa menahan emosi akhirnya akan celaka.
Cerita
tantri di Candi Jago menarik para peneliti asing untuk membaca lalu
mendokumentasikan relief Candi Jago. Salah satunya, Ann R Kinney, arkeolog
Belanda yang meneliti Candi Jago dan menulis buku Worshiping Siva and Buddha; The Temple Art of East Java.
Dalam
bukunya, Kinney menuturkan, relief cerita tantri juga ditemukan di candi-candi
lain, seperti Candi Sojiwan dan Mendut dari abad ke-9 di Jawa Tengah. Ada
kekosongan sekitar tiga abad sebelum cerita tantri dalam kebudayaan Islam bisa
disejajarkan dengan kisah 1.001 malam yang penuh pesan moral.
Bukti Sinkretisme
Dalam
kitab sastra kuno Nagarakertagama dan
Pararaton, nama Candi Jago disebut
sebagai Candi Jajaghu yang dalam bahasa Sanskerta artinya diagungkan. Dalam
pupuh 41 bait 4, Empu Prapanca, penulis Nagarakertagama,
menuliskan, raja Wisnu Wardhana meninggal lalu dimuliakan di dua tempat, yakni
di Candi Waleri (Blitar) sebagai Siwa (Hindu) dan di Candi Jajaghu sebagai
Buddha.
“Artinya
raja itu menganut agama Siwa Buddha atau Hindu Buddha, “ kata Surjadi. Dalam
buku Kupasan Sejarah Candi Jago yang
ditulis Surjadi, sinkretisme agama Buddha dengan keyakinan Hindu Siwa ini
dilakukan Wisnu Wardhana untuk meredam konflik akibat benturan dua agama
berbeda.
Agama
Hindu Siwa yang masih percaya leluhur dan Buddha sama-sama berkembang pesat di
masa Singasari akhir. Peleburan kedua agama ditampilkan dalam rancang bangun
Candi Jago.
Candi
Jago kini berada di tengah permukiman warga yang semakin padat. Jarak halaman
candi dengan permukiman warga hanya 2-3 meter dibatasi kawat berduri.
Bagian
candi dari batu andesit (batu gunung) yang terlihat saat ini ketinggiannya 10,5
meter dengan panjang 24 meter dan lebar 14 meter. Menurut Surjadi, sisa
bangunan yang ada saat ini sebenarnya kaki candi yang terdiri atas tiga
tingkat.
Uniknya,
konstruksi Candi Jago makin ke atas makin bergeser ke belakang. Setiap tingkat
memiliki teras lebar di bagian belakang. Konstruksi semacam ini, kata arkeolog
Pusat Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, mengingatkan pada konstruksi
punden berundak masa megalitik dari situs Gunung Padang.
Di
tingkat ketiga tampak satu pintu besar dengan sebagian tembok batu mengelilingi
sebuah ruangan. Tembok itu tidak lagi utuh. Bagian atas sebagian sudah hilang.
Pintu dengan tembok batu itu merupakan tubuh candi, bagian atap sudah hilang.
Salah
satu pahatan relief menggambarkan bentuk bangunan candi dengan atap terbuat
dari kayu dan ijuk (meru) seperti atap pura di Bali. Dari pahatan itu para
arkeolog menyimpulkan, bagian atas Candi Jago berbentuk meru. Jika dihitung
secara keseluruhan dengan atap meru, ketinggian Candi Jago sekitar 17,5 meter.
Di
sekitar candi tergeltak tiga arca wajah raksasa dan arca Amogapasha, manusia
bertangan enam perwujudan Wisnu Wardhana. Dalam kosmologi Hindu Buddha, arca
wajah raksasa diletakkan di bagian depan dan posisinya di atas candi.
Relief
yang terpahat di Candi Jago memiliki keunikan dibandingkan dengan candi masa
Hindu-Buddha di Jawa Tengah. Di Candi Jago, bentuk manusia dalam relief tidak
mirip bentuk manusia pada umumnya. Bentuk reliefnya seperti wayang di Bali.
Selain
sebagai tempat pemuliaan raja, Candi Jago juga berfungsi sebagai tempat
pendidikan para pangeran Kerajaan Singasari. Relief candi harus dibaca dengan
cara mengelilingi selasar candi. Berbeda dengan Candi Borobudur yang reliefnya
dibaca searah jarum jam (pradaksina),
pembacaan relief di Candi Jago dilakukan berlawanan dengan arah jarum jam yang
disebut prasawya. [LUSIANA
INDRIASARI]
Sumber:
KOMPAS
Edisi Sabtu, 7 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar