Candi
Jago terletak di Jalan Wisnuwardhana No. 51, Dusun Jago, Desa Tumpang,
Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, atau tepatnya berada
di depan SDN Tumpang 02. Dari pusat Kota Malang sekitar 22 kilometer ke arah
timur. Secara topografis, candi ini berada di ketinggian 597 meter dari
permukaan laut dengan suhu rata-rata 20-29° C.
Sebagian
masyarakat ada yang menyebut candi ini dengan nama Candi Tumpang, karena
terletak di Desa dan Kecamatan Tumpang, atau Candi Cungkup, karena bentuk
bangunan candi ini dikeramatkan. Candi ini diperkirakan sama dengan jajaghu di dalam Kitab Nagarakertagama
yang tercantum di dalam salah satu teksnya yang tertera pada pupuh 41 bait 4 baris ke 2, sebagai
tempat pendharmaan Raja Wisnuwardhana dari Kerajaan Singasari yang wafat pada
1.268 Masehi. Dan, diperkirakan peresmian Candi Jago ini pada tahu 1280 Masehi,
bersamaan dengan diadakannya upacara sradha
(pelepasan roh dari dunia berselang 12 tahun setelah meninggalnya).
Candi ini berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 24 meter x 14 meter yang berketinggian 10,5 meter. Candi ini terbuat dari batu andesit, dan menghadap ke barat. Candi Jago mempunyai bentuk yang unik bila dibandingkan dengan bentuk bangunan candi lainnya. Kaki candi terdiri dari tiga tingkat, tingkat pertama terdapat delapan anak tangga, tingkat kedua terdapat empat belas anak tangga, dan tingkat ketiga terdapat tujuh anak tangga. Kemungkinan candi ini dahulunya memakai atap yang terbuat dari kayu dan ijuk yang berbentuk meru, seperti atap pura-pura yang ada di Bali. Hal ini diperlihatkan pada salah satu pahatan relief yang menceritakan Parthayadnya (Mahabarata) pada teras kedua sebelah timur pada bagian sisi tengah.
Bangunan
candi ini didirikan di atas kaki candi yang terdiri atas tiga tingkat yang
masing-masing tingkatannya memiliki teras. Teras tersebut makin ke atas makin
mengecil serta bergeser ke belakang. Bangunan candi dengan pola semacam ini,
mengingatkan kita pada bentuk serta susunan bangunan pada masa Megalithikum, yaitu
salah satu bangunan pada masa itu yang disebut punden berundak. Bangunan
semacam ini berfungsi sebagai tempat pemujaan arwah atau roh para leluhur.
Sesuai dengan agama Wisnuwardhana yaitu Siwa Buddha, di Candi Jago dipahatkan relief cerita Siwaistis dan Buddhistis. Relief Buddhistis yang dipahatkan adalah relief cerita tantri/Pancatantra dan Kunjarakarna. Sedangkan relief Hinduistis yaitu relief cerita Parthayadnya dan Arjuna Wiwaha serta relief tentang Khrisna.
Relief
cerita tantri dipahatkan pada bingkai atas teras pertama berisi cerita-cerita
binatang, dilanjutkan relief Kunjarakarna bersambung ke bingkai bawah teras
kedua, menceritakan perjalanan Kunjarakarna murid Buddha Wairocana ke neraka,
tempat penyiksaan sahabatnya Purnawijaya. Setelah kembali ke dunia mengajak
Purnawijaya belajar agama Buddha sehingga dosa-dosanya diampuni. Mulai sudut
tenggara sampai utara terdapat relief yang belum diketahui jalan ceritanya.
Sedangkan relief Parthayadnya dipahatkan pada tubuh teras II berisi adegan Pandawa kalah bermain dadu dan diusir ke hutan selama 15 tahun. Lalu, Arjuna memisahkan diri sampai Gunung Indrakila. Arjuna Wiwaha dipahatkan pada bingkai bawah teras III, merupakan kelanjutan cerita Parthayadnya mulai dari adegan Arjuna bertapa digoda bidadari sampai Arjuna memanah babi hutan bersama-sama Dewa Siwa yang menyamar sebagai pemburu. Akhirnya Arjuna diminta untuk membunuh Niwatakawaca yang mengganggu kahyangan sampai Arjuna kawin dengan Batari Supraba.
Sedangkan relief Parthayadnya dipahatkan pada tubuh teras II berisi adegan Pandawa kalah bermain dadu dan diusir ke hutan selama 15 tahun. Lalu, Arjuna memisahkan diri sampai Gunung Indrakila. Arjuna Wiwaha dipahatkan pada bingkai bawah teras III, merupakan kelanjutan cerita Parthayadnya mulai dari adegan Arjuna bertapa digoda bidadari sampai Arjuna memanah babi hutan bersama-sama Dewa Siwa yang menyamar sebagai pemburu. Akhirnya Arjuna diminta untuk membunuh Niwatakawaca yang mengganggu kahyangan sampai Arjuna kawin dengan Batari Supraba.
Di bilik candi tampaknya dulu pernah ada arca Buddha Amoghapasa dan empat pengawalnya, yaitu Sudhanakuma, Cyamatara, Hayagriwa, dan Bhrekuti. Nama-nama itu dipahatkan dalam huruf Nagari pada masing-masing stellannya. Arca lain yang ditemukan di relung dan atap candi yaitu arca Dyani Buddha Aksobya dan Ratna Sambhawa, serta arca çakti/istri Dyani Buddha, yaitu Locana dan Pandurawasini.
Berdasarkan
prasasti Majuri (1343 Masehi), disebutkan bahwa Candi Jago pernah mengalami
pemugaran dengan diperlebar dan diperindah pada masa kejayaan Majapahit sekitar
tahun 1343 Masehi, dan sebagai arsitekturnya kala itu adalah Arya Dewaraja Mpu
Aditya atau yang lebih dikenal dengan nama Adityawarwan. Hal ini dibuktikan
dengan ditemukan arca Bhairawa di Candi Jago ini, namun arca itu sekarang sudah
tidak ada lagi karena hilang dicuri orang pada tahun 2001. Arca Bhairawa
diyakini sebagai arca perwujudan Adityawarman sebagai pelindung dan arsitektur
Candi Jago ketika masih tinggal di Kerajaan Majapahit. Setelah kembali ke tanah
kelahirannya dan berstatus sebagai raja di Swarnadwipa, kemudian Raja
Adityawarman membuat sebuah arca Bhairawa yang mirip seperti di Candi Jago
namun ukurannya lebih besar. Arca ini sekarang berada di Sumatera Barat.
Keberadaan
arca Bhairawa di Candi Jago merupakan salah satu aspek Dewa Siwa. Maka berdasarkan
relief cerita dan arca yang ditemukan, candi ini berlatarbelakang agama
Hindu-Buddha. *** [310813]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar