Masjid
Teungku Di Anjong terletak di Gampong Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Kota
Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sekilas masjid ini tampak
sederhana bila dibandingkan dengan masjid lainnya yang ada di Bumi Serambi
Mekkah, bahkan nuansa arsitektur tradisionalnya masih kental. Namun, dibalik
kesederhanaan bangunannya, masjid ini menyimpan sejarah yang cukup panjang dan
heroik.
Di
halaman masjid ini terdapat sebuah tugu kecil yang memuat prasasti yang
menerangkan ihwal keberadaan masjid. Prasasti yang terbuat dari lempengan
tembaga ini sesungguhnya adalah penanda bahwa masjid ini merupakan salah satu
cagar budaya yang ada di Banda Aceh mengingat ketuaan umur masjid ini. Prasasti
tersebut menerangkan bahwa “meuseujid
nyoë geupeudong bak abad XVIII lé Sayyid Abubakar bin Husen Bafaqih, sidroë
ulama dari nanggroë Arab nyang jak ba dakwah Islam rata teumpat. Teungku Di
Anjong geukira sibagoë ureueng keuramat, lom ngon geubôh lakab Teungku Di
Anjong” (Masjid ini didirikan oleh Sayyid Abubakar bin Husen Bafaqih pada
abad ke-18. Ulama dari negeri Arab ini mengembara untuk mendakwahkan Islam.
Oleh sebab itulah beliau dianggap sebagai orang keramat dan mendapatkan gelar
Teungku Di Anjong).
Konon, Sayyid Abubakar berasal dari Hadramaut, Yaman, hijrah ke Aceh sekitar tahun 1742 karena memang diutus untuk menyebarkan agama Islam ke Nusantara.
Sayyid
Abubakar menjalankan misinya di Aceh, dan bermukim di Peulanggahan.
Peulanggahan yang berarti persinggahan, terletak di lembah Krueng Aceh, tempat
yang sering disinggahi para penggembara yang melintasi Selat Malaka dulu.
Semasa
Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1760-1781) memimpin Kerajaan Aceh Darussalam,
beliau dijuluki oleh masyarakat Aceh sebagai Teungko Di Anjong, dan namanya
diabadikan dalam masjid tersebut.
Ihwal
nama Anjong berasal dari kata
sanjungan yang di Aceh-kan. Beliau disanjung dan sangat dimuliakan oleh umat,
sebab memiliki akhlak yang baik dan ilmu agama yang luas.
Di zaman Kolonial Belanda, Masjid Teungku Di Anjong pernah digunakan Belanda sebagai tempat “bersumpah” Teuku Umar. Teuku Umar bersumpah untuk menjadi “pejuang” Belanda, dan mengkhianati masyarakat Aceh. Teuku Umar pun bertempur atas nama Belanda. Namun, pada akhirnya Teuku Umar kembali membela Negara dan melawan Belanda.
Masjid
Teungku Di Anjong berarsitektur tradisional beratap tumpang tiga, di mana atap
yang teratas mengerucut semakin mengecil ke atas. Hal ini melambangkan hakikat,
tarikat, dan marifat. Awalnya, masjid ini dibangun dengan konstruksi kayu. Namun,
ketika tsunami meluluhlantakkan Bumi Rencong di penghujung 2004, masjid ini
ikut tersapu oleh gelombang setinggi 4,5 meter.
Usai
musibah tersebut, masjid ini kembali dibangun dengan bantuan Badan Rekonstruksi
dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias. Arsitekturnya tetap mempertahankan gaya lama,
hanya saja dindingnya sudah berplester semen semua dan ditambahi teras. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar