Kabupaten
Malang merupakan wilayah yang tergolong tua. Di masa silam, Kabupaten Malang
pernah berdiri 3 kerajaan, yaitu Kerajaan Kanjuruhan, Tumapel (Singosari), dan
Sengguru. Juga pernah menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Kuno maupun Kerajaan
Majapahit. Hal ini menjadikan Kabupaten Malang memiliki peninggalan purbakala
yang banyak dan beragam. Mulai dari batu bertulis (prasasti), arca, maupun
candi.
Candi
yang ada di Kabupaten Malang, salah satunya adalah Candi Badut. Candi ini
terletak di Jalan Raya Candi 5D Dukuh Badut, Desa Karang Widoro, Kecamatan Dau,
Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi candi ini berada di sebelah barat
Sanggar Budaya Putra Mandala Karangbesuki, atau barat laut dari pangkalan
angkot AT (Arjosari-Tidar). Karena lokasinya yang berdekatan dengan Kota
Malang, seringkali penulisan letak candi ini berada di Kelurahan Karang Besuki,
Kecamatan Sukun, Kota Malang, padahal yang benar adalah di Desa Karang Widoro.
Pembatas Karang Widoro dan Karang Besuki memang hanya pada jalan aspal
berukuran sekitar 6 meter di mana di sebelah timur jalan masuk ke dalam wilayah
administrasi Kelurahan Karang Besuki, dan di sebelah barat jalam masuk dalam
Desa Karang Widoro.
Candi
ini dihubungkan dengan Prasasti Dinoyo yang berangka tahun 682 Çaka atau 760 Masehi. Secara
ringkas, prasasti ini menyebutkan bahwa dahulu ada seorang raja yang bijaksana
bernama Dewasimha. Di bawah naungannya api Putikecwara
memancar menerangi sekelilingnya. Dewasimha memiliki anak bernama Gajayana.
Prasasti ini dibuat Raja Gajayana untuk Sang Resi Agung (maharsibhawana) dengan sebutan Walahajiridyah,
dan diresmikannya arca Agastya yang baru terbuat dari batu hitam yang indah,
sebagai pengganti dari arca yang lama yang terbuat dari kayu Cendana yang sudah
lapuk. Pada kesempatan ini sang raja menghibahkan tanah, lembu, budak,
perlengkapan saji, mengadakan berbagai upacara untuk menghormati sang resi.
Pada baris keempat Prasasti Dinoyo disebut pula bahwa Raja Gajayana membuat
bangunan suci yang sangat indah untuk Agastya dengan maksud untuk membinasakan
penyakit.
Penamaan candi Badut ini memunculkan beberapa pendapat. Dari tradisi lisan yang berkembang di sekitar lokasi candi, disebutkan bahwa istilah Badut diambil dari nama sejenis pohon yang dahulu banyak tumbuh di daerah ini, dan salah satunya tumbuh di area reruntuhan candi. Karena di sekitarnya banyak tumbuh pohon Badut, maka daerah tersebut dinamakan Dusun Badut. Dengan demikian, candi ini bernama Badut karena sesuai dengan nama pohon Badut yang dahulu tumbuh di sini.
Pendapat
lain muncul dari Dr. Brandes dan Dr. F.D.K. Bosch. Oleh Dr. Brandes dan Dr. F.D.K.
Bosch, nama Badut dikaitkan dengan nama Liswa yang tertulis pada baris kedua Prasasti Dinoyo. Liswa sendiri merupakan nama lain dari Raja Gajayana. Dalam kamus bahasa
Sansekerta, kata Liswa berarti anak komedi (tukang tari), yang dalam bahasa
Jawa Kuno disebut badut. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Prof. Dr. R.
Poerbatjaraka, bahwa nama Badut diambil dari nama raja Kerajaan Kanjuruhan yang
diduga membangun candi tersebut. Berasal dari nama Garbopati nama kecil Raja Gajayana, sebelum menjadi raja di
Kerajaan Kanjuruhan. Nama Garbopati
sang raja adalah Licwa, yang menurut Poerbatjaraka istilah Liswa adalah bahasa
Jawa Kuno yang artinya sekarang sama dengan pelawak atau bisa juga disebut
badut.
Sedangkan,
Van der Meulen berpendapat bahwa nama Badut diambil dari nama Resi Agastya,
seorang resi yang diagung-agungkan oleh Raja Gajayana. Istilah Badut, menurut
Van der Muelen diambil dari kata Ba
dan Dyut. Ba = Bintang Agastya (Chopus)
dan Dyut = Sinar atau Cahaya, jadi Badyut berarti cahaya bintang resi
Agastya. Van der Meulen membuat perbandingan dengan penamaan Candi Mendut, yang
menurutnya berasal dari kata Men
=Sorot, dan Dyut = Cahaya.
Secara arsitektur candi ini mencerminkan gaya Jawa Tengah. Hal ini dapat dicermati beberapa profil yang ditemukan di candi-candi Jawa Tengah, profil tersebut antara lain ruangan bangunan yang agak besar yang dihubungkan dengan bangunan penampil dan tangga masuk, bangunan induk disusun berhadapan dengan bangunan perwara, dan kaki candi relatif tinggi.
Candi
memiliki bagian yang relatif lengkap terdiri dari lapik, kaki, badan, dan atap.
Bagian lapik merupakan alas tempat kaki candi berdiri, bentuknya persegi
panjang berukuran 14,10 x 18,90 meter. Lapik tersebut terdiri dari tiga jenjang
masing-masing setinggi 30 cm, 40 cm dan 20 cm, kesemuanya tanpa hiasan ornamen.
Kaki
candi berukuran 10,76 x 1,30 meter, berdiri di atas lapik yang lebar, antara
kaki candi dan lapik terdapat selasar. Kaki candi tanpa hiasan pelipit maupun
ornamen. Pada sisi barat terdapat tangga dengan delapan pijak dan pipi tangga yang
telah rusak. Pipi tangga berbentuk lengkung dan berujung ungkel pangkalnya
berhias kala naga. Pipi tangga sisi utara dihiasi ornamen burung berdiri di
atas bunga teratai. Demikian pula pipi tangga sisi selatan. Struktur kaki candi
tidak lengkap, demikian pula trap dan pipi tangga.
Tubuh
candi berbentuk persegi dengan ukuran 7,50 x 7,40 meter, tinggi 3,62 meter.
Bingkai bawahnya terdiri dari pelipit polos, padma, dan setengah bundaran.
Struktur candi masih tampak baik meski di sisi timur dan selatan tidak lengkap.
Pada tiap sisinya terdapat relung, di sisi barat terdapat pintu masuk dengan
penampil. Kanan kiri terdapat relung yang ukurannya lebih kecil. Penampil dan
relung tersebut dihiasi kala tanpa rahang bawah. Bingkai penampil dihiasi
sulur-suluran, di bagian bawahnya terdapat sepasang makara yang dikombinasikan
dengan sulur-suluran. Ambang pintu dan penampil telah diperkuat dengan
penyangga besi. Ruang garbhagraha
berukuran 3,45 x 3,45 meter berisi lingga dan yoni.
Atap candi telah rusak, bentuk lengkapnya tidak dapat dikenal dari sisi struktur yang terdapat saat ini. Adapun struktur yang tersisa sebanyak lima lapis pada sebagian sisi barat dan utara. Keadaan struktur yang tidak lengkap tersebut menjadi bagian atas bilik terbuka.
Informasi
paling awal tentang candi Badut dilaporkan oleh E.W. Maurenbrecher, seorang controlir bangsa Belanda, pada tahun
1923, pada saat mengadakan inventarisasi di sekitar Malang. Pada tahun yang
sama seorang pegawai dinas purbakala Belanda yang bernama B. De Haan melaporkan
hal serupa. Tidak banyak yang dapat diungkapkan kecuali reruntuhan batu dan
sebuah pohon besar tumbuh di atas reruntuhan itu.
Tahun
1925, B. De Haan mendapat tugas memperbaiki candi Badut. Pada awalnya ia tidak
mempunyai harapan dapat menyelesaikannya, sehingga ia memutuskan untuk
mengadakan ulang bina partial. Usaha
ini diawali dengan mengadakan penggalian yang dilakukan sampai dasar bangunan.
Dari hasil penggalian terebut diketahui bahwa bangunan candi Badut telah runtuh
sama sekali, kecuali beberapa bagian yang masih dapat dilihat susunannya,
bagian itu adalah kaki candi meski banyak yang rusak. Batu-batu yang ada
kemudian dipilah-bilah dan dikumpulkan berdasarkan ukuran. Atas dasar inilah
kemudian dicoba untuk menyusun bangunannya.
Pada
tahun 1926, seluruh bangunan kaki dan tubuh dapat dibangun kembali, hanya
bagian atapnya yang tidak ditemukan kembali. Namun demikian Dinas Purbakala
waktu itu dapat membuat rekonstruksinya di atas kertas.
Setelah
Indonesia merdeka, pada tahun 1990-1993 dilaksanakan pemugaran lebih lanjut
oleh Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bersama Suaka Peninggalan
Sejarah dan Purbakala jawa Timur, melalui proyek Pelestarian atau Pemanfaatan
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur, yang dilakukan secara bertahap.
Kini,
Candi Badut yang berada pada lahan seluas 2.808 m² ini menjadi tujuan wisata
yang ada di Malang. Selain, mengenal sejarah Candi Badut, wisatawan juga dapat
relaksasi di lokasi ini, karena tempatnya yang masih sejuk dan asri. Banyak
pepohonan yang ada di kompleks halaman candi tersebut, seperti pohon beringin,
pule, dan sengon. *** [180516]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar