The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Situs Majapahit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Situs Majapahit. Tampilkan semua postingan

Situs Pemukiman BPA

Situs Pemukiman BPA berada di halaman sebelah selatan Museum Majapahit, yang secara administratif termasuk Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Situs ini memperlihatkan sisa bangunan pemukiman yang sangat menarik. Denah bangunan segi empat, berukuran panjang 5,2 m dan lebar 2,15 m. Kapasaitas ruang ini relative sempit bila dijadikan tempat tinggal, paling banyak ditempati 2-3 orang seperti masih dapat disaksikan di Bali sekarang ini. Tangga terdiri dari 3 undakan, menempel di sisi utara batur. Hal ini menunjukkan bahwa bangunan menghadap ke utara dengan deviasi sekitar 100 ke arah timur laut. Ukuran undakan panjang 90 cm, lebar 50 cm dan tinggi 25 cm. Lantai bangunan tidak ditutup dengan bata, kemungkinan sudah hilang, hanya dijumpai perkerasan tanah padat yang bercampur pecahan kecil tembikar dan bata. Batur bangunan terbuat dari pasangan bata yang masing-masing bata berukuran lebih kurang panjang 28 cm, lebar 18 cm dan tinggi 5 cm. Batur paling tinggi terdiri dari 10 lapis bata. Perekat antara bata berupa tanah setebal ± 0,5-1 cm. Keberadaan perekat tanah ini memberikan petunjuk bahwa bangunan ini dilindungi oleh atap agar terhindar dari erosi hujan yang menyebabkan lepasnya ikatan antar bata.
Sekeliling bangunan dijumpai selokan selebar 7-8 cm yang terbuat dari bata. Dinding selokan dibatasi oleh bata dalam posisi berdiri pada kedua sisinya dan bata rebah/horisontal di bagian dasarnya. Posisi selokan bagian barat lebih rendah dari bagian timur, sehingga dapat diperkirakan pada waktu dihuni air mengalir dari timur ke barat. Tidak ditemukan umpak di situs ini kemungkinan tiang langsung berdiri di atas lantai. Dinding juga tidak ditemukan, kemungkinan bangunan ini merupakan bangunan terbuka tanpa dinding atau menggunakan dinding dari bahan yang mudah lapuk seperti kayu atau anyaman bambu. Atap bangunan terbuat dari genteng terakota, yang pecahannya banyak dijumpai di sekitar bangunan. Genteng dibuat sangat tipis dan halus berukuran panjang 24 cm, lebar 14 cm dan tebal 1 cm.
Bangunan ini mempunyai halaman di sisi utara dan timur. Halaman-halaman ini posisinya lebih rendah 50 cm dari batur bangunan. Halaman utara diperkeras dengan susunan batu kerakal (batu andesit kecil bulat) yang dalam keluasan tertentu dibingkai segi empat dengan bata-bata yang diletakkan secara horisontal. Susunan gabungan kerakal dan bata ini menunjukkan suatu pola perkerasan yang khas. Pola halaman semacam ini dijumpai pula pada penggalian di Situs Trowulan lainnya. Luas halaman utara yang terungkap berukuran panjang 6 m, lebar 4 m, namun demikian halaman ini dapat lebih luas lagi karena halaman utara belum digali lebih luas. Perkerasan semacam ini menjadikan kenyamanan bagi penghuni rumah, karena halaman tidak becek di musim hujan dan tidak berdebu pada musim kemarau. Untuk menghindari genangan air, halaman sisi utara dilengkapi dua jalur selokan terbuka yang mengarah ke timur-barat dan selatan-utara. Keduanya berpotongan dengan selokan yang mengelilingi bangunan. Lebar selokan 16 cm, dalamnya 8 cm, dinding dan bagian dasarnya dibatasi oleh bata. Berdasar perbedaan ketinggian permukaan dasar selokan dapat disimpulkan bahwa pada masa lalu aliran air bergerak dari selatan ke utara. Pada kotak galian lain di halaman selatan Museum Trowulan, ditemukan pipa air terbuat dari tanah liat tertanam in situ di dekat lantai bangunan.
Halaman timur bangunan rumah ditemukan pula sisa-sisa perkerasan yang menggunakan kerakal berbingkai bata seperti halnya halaman utara. Luas halaman yang berhasil diekskavasi panjang 10 m, lebar 5 m. Di halaman ini terdapat sisa bangunan yang tidak diketahui bentuknya secara keseluruhan, tersusun dari pasangan bata yang kokoh. Selain itu di tengah halaman ditemukan sebuah jambangan tembikar in situ berdiameter 66 cm pada bagian perut dan tinggi 40 cm. Jambangan besar yang dapat dikatakan hampir utuh ini diperkuat dengan struktur bata yang kokoh di sekililingnya. Struktur ini berdenah segi empat, berukuran panjang 80 cm, lebar 76 cm, tinggi 25 cm. Keberadaan jambangan di tengah halaman ini menimbulkan dugaan bahwa benda ini digunakan untuk menyimpan air yang setiap saat diperlukan orang ketika berada di halaman itu. Di sisi barat dan timur halaman ini ditanamkan sebuah wadah tembikar. Selokan terbuka dijumpai pula di halaman timur. Lebar selokan antara 10-16 cm dan kedalaman 8-10 cm. Dua jalur selokan melintang dari utara ke selatan, sedang sebuah selokan yang lain melintang dari lokasi jambangan menuju kea rah timur. Berdasar ketinggian dasar selokan aliran air pada waktu itu mengalir dari selatan ke utara. ***

Share:

Situs Klinterejo

Situs Klinterejo terletak di tengah persawahan. Secara administratif situs ini termasuk wilayah Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Di dalam situs terdapat peninggalan-peninggalan berupa: yoni, sandaran arca, lumping batu, jaladwara, balok batu dan umpak. Peninggalan yang paling menarik adalah yoni dalam ukuran besar, berbentuk balok, berukuran panjang 191 cm, lebar 184 cm dan tinggi 121 cm. Salah satu sisi yoni terdapat cerat yang disangga oleh naga. Badan yoni tersusun dari beberapa pelipit berhias pola geometris, sulur dan daun-daun lotus. Pada pelipit atas salah satu sisinya terdapat bingkai kecil berisi pahatan angka Jawa Kuno 1294 Ç (1372 M). Yoni berdiri di atas batur berdenah segi empat berukuran panjang 6,5 m, lebar 6,3 m dan tinggi 1,13 m. Sandaran arca telah rusak, namun sisi depan masih memperlihatkan bentuk lotus yang merupakan cirri khas kesenian Majapahit, sementara sisi belakang terdapat hiasan semacam payung.
Sekitar 200 m di sebelah barat situs ini pernah digali pada tahun 1982, 1987 dan 1988. Hasil penggalian berupa struktur bata sebanyak 22 lapis dan di bawahnya terdapat struktur lain yang arahnya sejajar. Di samping kedua struktur tersebut masih terdapat lainnya yang mempunyai arah lain. Diperkirakan struktur tersebut merupakan bagian dari bangunan yang berdenah segi enam. Di sini terlihat tanda-tanda bahwa tidak semua struktur berasal dari periode yang sama. Temuan lain berupa fragmen gerabah, genteng dan perunggu yang jumlahnya lebih sedikit disbanding situs-situs yang ditemukan di Kecamatan Trowulan, sehingga diperkirakan situs ini merupakan situs keagamaan bukan situs pemukiman. Di sebelah barat kotak gali pada lading tebu masih dijumpai 32 buah umpak batu, sebagian masih tertata berjajar dua-dua dalam empat baris.
Lokasi Situs Klinterejo berdekatan dengan Desa Panggih. Nama desa ini dalam Kitab Pararaton disebutkan sebagai tempat pendharmaan Tribhuwana Tunggadewi, ibu Hayam Wuruk yang bergelar Bhre Kahuripan, sehingga situs ini hampir selalu dikaitkan dengan Bhre Kahuripan. ***
Share:

Situs Pendopo Agung

Situs Pendopo Agung termasuk wilayah Dusun Nglinguk, Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Nama Pendopo Agung diberikan pada situs ini karena pada saat ini telah berdiri pendopo yang didirikan pada 15 Desember 1966 atas prakarsa Kolonel Sampurna. Pendirian bangunan ini dengan berdasar pada umpak-umpak yang ditemukan di situs, yang menurut anggapan mereka pada masa dahulu pasti berdiri pendopo yang sangat besar yang layak menjadi pendopo keratin. Di depan pendopo selanjutnya didirikan patung Raden Wijaya sebagai pendiri kerajaan Majapahit dan di belakangnya terdapat relief Gajah Mada sedang melakukan sumpah Amukti Palapa.
Sebelum berdiri pendopo, umpak-umpak batu berdenah segi enam berjajar membujur arah barat-timur sebanyak 26 buah. Enam belas di antaranya digunakan sebagai umpak pendopo, satu umpak digunakan sebagai candra sangkala berdirinya Pendopo Agung, sedang sisanya diletakkan di halaman sebelah barat pendopo. Tiga di antara enam belas umpak tersebut posisinya masih in situ difungsikan sebagai umpak saka guru. Di halaman barat dan selatan pendopo terdapat semacam tiang batu yang oleh masyarakat disebut batu cancangan gajah. Di halaman belakang Pendopo Agung terdapat makam yang disebut Kubur Panggung. Penelitian terdahulu menyebutkan di bwah bangunan makam ini terdapat struktur bata yang saling bersilangan, sebagai bagian dari peninggalan Majapahit. ***
Share:

Situs Kedaton

Situs Kedaton terletak di Dusun Kedaton, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Situs ini dapat ditempuh dari Balai Penyelamatan Arca melalui jalan kecamatan menuju kea rah selatan. Pada jarak 1,5 kilometer dari Balai Penyelamatan Arca terdapat jalan desa yang mengarah ke barat. Untuk sampai ke kompleks Situs Kedaton, jalan desa tersebut harus ditempuh sejauh 150 meter. Lokasi Situs Kedaton berada pada sebuah tanah datar dengan ketinggian 41,10 meter di atas permukaan air laut. Dari luas dan banyaknya struktur yang ditemukan pada situs ini, dapat diperkirakan bahwa situs ini merupakan suatu kompleks percandian yang terdiri atas beberapa bangunan:

Bangunan I
Merupakan sebuah kaki bangunan dengan bentuk denah segi empat berukuran panjang 12,6 meter, lebar 9,5 meter, serta tinggi bagian yang tersisa 1,58 meter dari permukaan tanah. Pada bagian sudut dan tengah masing-masing sisi dinding luar terdapat bentuk-bentuk pilaster, yang selain berfungsi sebagai ornament hias juga berfungsi sebagai penguat dinding. Bangunan ini mempunyai arah hadap ke barat dengan azimuth 279⁰. Di depan bangunan ini, dengan jarak ± 5 meter terdapat sebuah sumur kuno yang terbuat dari susunan bata dengan denah berbentuk segi empat, berukuran 8,5 meter x 7,5 meter dan kedalaman 5,70 meter. Hingga sekarang sumur ini masih berfungsi, baik untuk kebutuhan air maupun untuk kepentingan ritual oleh masyarakat tertentu yang percaya, bahwa sebelum bersemedi di Sumur Upas, harus mensucikan dirinya dengan air yang berasal dari sumur kuno tersebut.

Bangunan II (kompleks Sumur Upas)
Merupakan suatu gugusan/kompleks bangunan yang luasnya belum dapat diketahui dengan pasti, demikian pula dengan arah hadapnya.. Namun berdasarkan orientasi bangunan I yang mempunyai arah hadap ke barat, diperkirakan kompleks bangunan ini juga mempunyai pintu masuk dengan arah hadap yang sama. Penamaan Sumur Upas diambil dari bangunan semacam lubang (sumuran) yang terdapat di tengah gugusan. Oleh masyarakat, lubang tersebut dinamakan dengan sumur upas. Adapun nama upas mempunyai arti gas/racun. Dalam cerita yang berkembang pada masyarakat setempat, Sumur Upas ini dahulu merupakan suatu jalan rahasia menuju ke suatu tempat yang aman bagi raja apabila diserang oleh musuh. Untuk menghalangi agar tidak semua orang berani/dapat memasukinya, maka jalan rahasia/lorong ini diberi nama sumur upas/sumur beracun.
Banyaknya struktur yang Nampak dari hasil ekskavasi selama ini, diperkirakan gugusan bangunan II (kompleks Sumur Upas) ini terdiri dari beberapa bangunan. Struktur-struktur ini posisinya saling tumpang tindih, yang menandakan bahwa situs ini pernah dihuni manusia dalam beberapa masa yang berlainan. Selain itu, temuan-temuan lepas yang didapat selama ekskavasi berlangsung, berupa: pecahan gerabah dan keramik asing (Cina) dalam jumlah yang cukup banyak, disertai dengan beberapa fragmen arca, mendukung dugaan bahwa situs ini pada masa dahulu merupakan sebuah pemukiman. Dari hasil ekskavasi yang pernah dilakukan, ditemukan 4 buah kerangka manusia pada bangunan I (Candi Kedaton) dan sebuah kerangka lagi di dekat Sumur Upas. Hasil penelitian kerangka manusia tersebut menunjukkan bahwa keempat kerangka yang ditemukan di dalam bangunan I berjenis kelamin wanita, sedangkan yang ditemukan di dekat Sumur Upas berjenis kelamin pria. Adanya temuan kerangka manusia yang berbeda konteks dengan temuan sekitarnya, menunjukkan bahwa situs ini mengalami fungsi yang berbeda dari masa sebelumnya.
Di sebelah barat Candi Kedaton, dalam jarak ± 100 meter, terdapat pula peninggalan purbakala berupa gugusan batu umpak berukuran besar. Batu-batu umpak ini berbentuk segi delapan, berukuran diameter 0,77 meter. Bagian tengah batu umpak terdapat lubang berbentuk segi empat, sebagai tempat untuk meletakkan tiang. Diperkirakan gugusan batu umpak ini masih dalam posisi in situ dan tersusun dalam konfigurasi memanjang sejajar sebanyak tujuh-enam dengan orientasi timur-barat. Melihat letaknya yang saling berdekatan, kemungkinan besar kedua situs ini saling berkaitan. ***

Share:

Situs Sentonorejo

Situs Sentonorejo merupakan peninggalan Majapahit yang berupa hamparan ubin (lantai) dan sisa dinding bangunan. Letak situs di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Lantai bangunan kuno tersebut berada ± 1,80 m di bawah permukaan tanah sekitarnya dan berorientasi ke barat-timur dengan azimuth 80.
Hal menarik dari tinggalan lantai kuno ini ubinnya berpenampang segi enam, lebar tiap sisi 6 cm dan tebal rata-rata 4 cm, bahannya terbuat dari tanah liat bakar. Temuan lantai serupa berjarak ± 500 m dari tempat ini. Jumlah ubin yang masih tersisa 104 buah, sebagian tersimpan di Museum Trowulan. Adapun pengikat antara bata satu dengan lainnya digunakan perekat tanah liat. Dinding bangunan merupakan susunan bata berukuran panjang 30 cm, lebar 20 cm dan tebal 5 cm. Diperkirakan sisa lantai dan dinding di Sentonorejo ini merupakan pemukiman kuno yang bersifat profan yaitu berupa rumah tinggal pada masa Majapahit. Situs Pemukiman Sentonorejo dipugar pada Tahun Anggaran 1990/1991. ***
Share:

Gapura Wringin Lawang


Kehabisan tiket kereta api di Stasiun Gubeng Surabaya menuju Solo menjelang lebaran tidaklah menyedihkan. Justru sebaliknya, bisa berkesempatan berkendara motor dari Surabaya ke Solo. Momen ini tentu tidak bisa hanya diambil capeknya, tapi lebih ke sekali dayung tiga pulau terlampaui. Artinya, sepanjang perjalanan yang berjarak 265 km itu, saya berkesempatan singgah di beberapa situs yang mengandung kekunaan atau bernilai heritage. Salah satunya adalah ketika singgah pertama di Gapura Wringin Lawang.
Gapura Wringin Lawang terletak di wilayah administrasi Dukuh Wringin Lawang, Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Lokasi gapura ini tidak terlalu jauh dari jalan utama Surabaya – Solo.
Bangunan Wringin Lawang ini sebenarnya bukan merupakan bangunan candi melainkan sebuah gapura, namun masyarakat lebih mengenalnya dengan nama Gapura Wringin Lawang. Bangunan ini berada di permukaan tanah pada ketinggian 36,42 meter di atas permukaan laut, orientasi bangunan ke arah timur-barat dengan azimuth 279. Bangunan kuno ini telah dikenal sejak tahun 1815 dalam tulisan Raflles, History of Java, yang disebut dengan nama “Gapura Jati Pasar”. Pada tahun 1907 dalam tulisan Knebel, gapura ini dikenal dengan nama “Gapura Wringin Lawang”, dibuat dari bata.
Menurut ceritera sesepuh yang tinggal di dekat lokasi gapura, bahwa sebutan Wringin Lawang dikaitkan adanya dua buah pohon beringin yang mengapit gapura tersebut.


Sebelum dipagar, bangunan ini dalam keadaan rusak dengan tinggi 15,50 meter, kaki dan tubuh gapura masih berdiri, namun pada bangunan sisi utara sebagian tubuhnya dan puncak gapura telah runtuh dan hilang, yang tersisa tinggal 9 meter, sedang bangunan sisi selatan kondisinya masih dalam keadaan relatif utuh, hanya bagian kemuncak saja yang hilang.
Bentuk dasar denah Gapura Wringin Lawang adalah persegi empat, berukuran 13 x 11,50 meter, kaki gapura tingginya kurang lebih 4,70 meter. Struktur kaki terdiri dari bingkai bawah, badan kaki dan bingkai atas. Susunan bingkai kaki gapura terdiri dari susunan pelipit-pelipit rata atau datar, sedangkan badan kaki polos.
Pada gapura tersebut terdapat lorong yang lebarnya 3,50 meter, sedang di sisi timur dan barat terdapat sisa-sisa anak tangga. Tampaknya anak tangga ini semula dibatasi oleh pipi tangga, dan pada sisi sebelah utara dan selatan gapura terdapat sisa struktur bata yang mungkin merupakan bagian dari tembok keliling.
Tubuh gapura mempunyai tinggi 6,60 meter. Tubuh bangunan secara vertikal terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu bingkai bawah tubuh, bidang tubuh dan bingkai atas tubuh. Bingkai bawah terdiri dari susunan pelipit-pelipit rata dan pelipit sisi genta, sedang bingkai atas tubuh menyambung dengan bingkai puncak gapura. Tinggi atap gapura 7,85 meter, atap ini bentuknya bertingkat, dan pada masing-masing tingkatan terdapat hiasan berbentuk menara-menara kecil sedang pada ujung-ujung atap gapura dihiasi dengan antefik-antefik.
Gapura Wringin Lawang termasuk tipe candi bentar, yaitu gapura yang tidak mempunyai atap. Candi benntar biasanya berfungsi sebagai gerbang luar dan suatu kompleks candi atau kompleks bangunan lainnya. Di sebelah barat daya dan tenggara Gapura Wringin Lawang ditemukan pula 15 buah sumur kuno berbentuk segi empat dan silinder. Gapura Wringin Lawang yang nampak saat ini adalah hasil pemugaran tahun anggaran 1991/1992 sampai dengan tahun 1994/1995, dan diresmikan purna pugarnya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudyaan pada tanggal 9 September 1995. *** [260714]

Share:

Makam Tralaya

Lokasi kompleks makam Tralaya terletak di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Daerah ini kurang lebih 15 km di sebelah barat Kota Mojokerto. Untuk dapat menuju ke tempat ini sangatlah mudah yaitu masuk ke arah selatan dari perempatan Trowulan kurang lebih 2 km.
Kepurbakalaan Tralaya merupakan pekuburan Islam kuno di Kota Kerajaan Majapahit. Menurut Prof. Poerwodarminto, Tralaya berasal dari kata Setra dan Pralaya. Setra berarti tegal (tanah lapang), sedangkan pralaya/laya berarti rusak/mati. Kedua kata tersebut disingkat menjadi Tralaya yang berarti tanah lapang untuk orang mati (pekuburan/makam).
Makam Tralaya merupakan bukti adanya komunitas muslim di dalam Kota Kerajaan Majapahit. Bukti ini didukung oleh sumber tertulis berupa Kidung Sunda yang menguraikan tentang pasukan Kerajaan Sunda yang akan mengantarkan Puteri Raja Sunda sebagai calon pengantin untuk Raja Hayam Wuruk. Pasukan terdiri dari 4 orang utusan diiringi 300 orang punggawa. Utusan ini masuk ke Ibukota Majapahit dan berjalan kea rah selatan sampai Masjid Agung yang terletak di Palawiyan, selanjutnya berjalan lagi kea rah timur dan selatan sampai di Pablantikan diteruskan ke Kepatihan, sedangkan pasukan Majapahit berjalan sampai di Masjid Agung menanti pasukan dari Kerajaan Sunda di sini. Namun keberadaan Masjid Agung ini tidak ditemui lagi di bekas Kota Kerajaan Majapahit. Adanya komunitas muslim di Ibukota Kerajaan Majapahit dituliskan juga dalam Ying-Yai Sheng-Lan yang ditulis oleh Mahuan pada tahun 1416 M. Dalam buku “The Malay Annuals of Semarang and Cerbon” diterjemahkan oleh HJE de Graaf disebutkan bahwa utusan-utusan Cina dari Dinasti Ming pada abad XV yang berada di Majapahit kebanyakan muslim.
Bukti-bukti kepurbakalaan Islam di bekas Kota Kerajaan Majapahit ini menarik perhatian para sarjana untuk meneliti, di antaranya adalah P.J. Veth, Verbeek, Knebel dan Krom. Peneliti selanjutnya Dr. LC. Damais. Ia menyatakan bahwa makam Tralaya meliputi jangka waktu antara 1368 – 1611 Masehi. Adapun nama-nama keluarga Raja Majapahit yang beragama Islam dan dimakamkan di Tralaya antara lain Puteri Kencana Ungu dan Dewi Anjasmara.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, hanya diketahui nama seorang yang dimakamkan di Tralaya yaitu Zainuddin, namun nisan dengan nama ini sudah tidak diketahui lagi tempatnya. ***

 Sumber:
  • I Made Kusumajaya, ____ , Mengenal Kepurbakalaan Majapahit Di Daerah Trowulan, Mojokerto: BP3 Jatim
Share:

Candi Gentong

Candi Gentong terletak di Desa Jambumente, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini berada di sebelah timur ± 360 m dari arah Candi Brahu. Dalam rangkaian penelitian untuk merekontruksikan Kota Kerajaan Majapahit, Maclaine Pont menyebutkan bahwa Candi Gentong merupakan salah satu dari tiga candi yang berderet dengan arah bujur barat ke timur yaitu Candi Gedong, Candi Tengah dan Candi Gentong. Namun kedua candi lain tersebut sekarang sudah tidak Nampak lagi. Dalam tulisan Verbeek tahun 1889 Candi Gentong masih terlihat bangunannya, namun pada tahun 1907 dalam tulisan Knebel Candi Gentong sudah tidak nampak lagi, tinggal berupa gundukan. Usaha pelestarian terhadap Candi Gentong telah dilakukan selama 6 tahun mulai Tahun Anggaran 1995 sampai dengan 2000 dan masih terus berjalan pada Tahun Anggaran 2001. Hasil yang dapat dicapai yaitu menampakkan Struktur Candi Gentong I dan Candi Gentong II serta usaha-usaha pelestariannya.


Bentuk Candi Gentong I sangat menarik dan belum dijumpai pada bangunan kuno lain. Bangunan ini tersusun dari 3 buah struktur bata berdenah bujur sangkar. Ketiga struktur ini nampaknya pernah mengalami vandalism, karena pada masing-masing sisi selatan dindingnya, strukturnya terputus pada satu garis, walaupun struktur III telah ditutup kembali tetapi memakai pola susun dan sistem pemasangan berbeda dengan aslinya. Di luar 3 struktur tersebut dijumpai struktur IV dan V yang pemasangan batanya menggunakan spesi dari tanah liat, berbeda dengan stuktur I sampai dengan III yang pemasangan batanya menggunakan sistem gosok.
Candi Gentong II berdenah bujur sangkar berukuran 7,10 x 7,10 m dikelilingi oleh beberapa bangunan lain yang berdasar sisa struktur menunjukkan jumlahnya 7 buah dengan posisi ke delapan penjuru mata angin, kecuali arah mata angin utara. Pada bangunan inti dijumpai sumuran serta 12 ceruk yang hilang salah satu di sisi selatan. Secara keseluruhan ukuran bangunan Candi Gentong II adalah 18,5  x 18,5 m. Keadaan Candi Gentong II yang terletak di sebelah utara Gentong I hanya tersisa bagian kaki dan sumurannya.
Berdasarkan konsep tata ruang dan didukung oleh temuan-temuan artefaktual yang bersifat Budhis, dapat disimpulkan bahwa konsep tata ruang Candi Gentong adalah mandala stupa, yaitu pembagian ruang yang terdiri dari pusat dikelilingi oleh ruangan-ruangan lain yang lebih kecil. *** [210112]
Share:

Candi Brahu

Candi Brahu terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Seperti bangunan-bangunan kuno yang terdapat di Trowulan, Candi Brahu terbuat dari bata yang direkatkan satu sama lain dengan sistem gosok. Denah bangunan bujur sangkar dan arah hadapnya ke barat dengan azimuth 227°. Ukuran bangunan: tinggi 25,7 m, serta lebar 20,7 m.
Struktur bangunan candi terdiri dari kaki, tubuh dan atap. Kaki candi terdiri dari bingkai bawah, tubuh serta bingkai atas. Bingkai tersebut terdiri dari pelipit rata, sisi genta dan setengah lingkaran. Dari penelitian yang terdapat pada kaki candi diketahui terdapat susunan bata yang strukturnya terpisah, diduga sebagai kaki candi yang dibangun pada masa sebelumnya. Ukuran kaki candi lama ini 17 m x 17 m. Dengan demikian struktur kaki yang tampak sekarang merupakan tambahan dari bangunan sebelumnya. Kaki Candi Brahu terdiri dari dua tingkat dengan selasarnya serta tangga di sisi barat yang belum diketahui bentuknya dengan jelas. Bagian tubuh Candi Brahu sebagian merupakan susunan bata baru yang dipasang pada masa pemerintahan Belanda.


Denah Candi Brahu berukuran 10 m x 10,5 m dan tinggi 9,6 m. Di dalamnya terdapat bilik berukuran 4 m x 4 m, namun kondisi lantainya telah rusak. Pada waktu pembongkaran struktur bata pada bilik ini ditemukan sisa-sisa arang yang kemudian dianalisa di Pusat Penelitian Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) Yogyakarta. Hasil analisa menunjukkan bahwa pertanggalan radio carbon arang Candi Brahu berasal dari masa antara tahun 1410 hingga 1646.
Atap Candi Brahu tingginya kurang lebih 6 m. Pada sudut tenggara atap terdapat sisa hiasan berdenah lingkaran yang diduga sebagai bentuk stupa. Berdasar gaya bangunan serta profil sisa hiasan berdenah lingkaran pada atap candi yang diduga sebagai bentuk stupa, para ahli menduga bahwa Candi Brahu bersifat Budhis. Selain itu diperkirakan Candi Brahu umurnya lebih tua dibandingkan dengan candi-candi yang ada di Situs Trowulan. Dasar dugaan ini adalah Prasasti Alasantan yang ditemukan tidak jauh dari Candi Brahu. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja Mpu Sindok pada tahun 861 Ç atau 939 M, di antara isinya menyebutkan nama sebuah bangunan suci yaitu waharu atau warahu. Nama inilah yang diduga sebagai asal nama Candi Brahu sekarang. Candi Brahu dipugar pada Tahun Anggaran 1990/1991 sampai dengan 19941995. *** [210112]

Share:

Makam Putri Campa

Makam Putri Campa terletak di sudut timur laut Kolam Segaran Majapahit. Pada kompleks makam tersebut terdapat batu nisan berangka tahun 1230 Ç yang dianggap sebagai Makam Putri Campa. Menurut Babad Tanah Jawi, Putri Campa adalah Permaisuri Raja Majapahit terakhir/Brawijaya.



Ia berpesan, kelak apabila meninggal dimakamkan secara Islam di daerah Sastrawulan (menjadi Trowulan). *** [210112]
               
Share:

Situs Trowulan

Situs Trowulan merupakan satu-satunya situs perkotaan masa klasik di Indonesia. Situs yang luasnya 11 km x 9 km, cakupannya meliputi wilayah Kecamatan Trowulan dan Sooko di Kabupaten Mojokerto serta Kecamatan Mojoagung dan Mojowarno di Kabupaten Jombang. Situs bekas kota Kerajaan Majapahit ini dibangun di sebuah dataran yang merupakan ujung penghabisan dari tiga jajaran gunung yaitu Gunung Penanggungan, Welirang dan Anjasmara, sedangkan kondisi geografis daerah Trowulan mempunyai kesesuaian lahan sebagai daerah pemukiman. Hal ini didukung oleh antara lain topografi yang landai dan air tanah yang relatif dangkal. Sebagai bekas kota, di Situs Trowulan dapat dijumpai ratusan ribu peninggalan arkeologis baik berada di bawah maupun di permukaan tanah yang berupa: artefak, ekofak serta fitur.
Situs peninggalan Kerajaan Majapahit yang sangat menarik ini diperoleh melalui penelitian yang panjang. Penelitian terhadap Situs Trowulan pertama kali dilakukan oleh Wardenaar pada tahun 1815. Ia mendapat tugas dari Raffles untuk mengadakan pencatatan peninggalan arkeologi di daerah Mojokerto. Hasil kerja Wardenaar tersebut dicantumkan oleh Raffles dalam bukunya “History of Java” (1817) yang menyebutkan bahwa berbagai obyek arkeologi yang berada di Trowulan sebagai peninggalan dari Kerajaan Majapahit.
Peneliti berikutnya adalah W.R. Van Hovell (1849), J.V.G. Brumund dan Jonathan Rigg. Hasil penelitian mereka diterbitkan dalam “Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia”. J. Hageman menulis tentang Trowulan dengan judul “Toelichting over den Ouden Pilaar van Majapahit” (1958).
R.D.M. Verbeek mengadakan kunjungan ke Trowulan dan menerbitkan laporannya dalam artikel Oudheden van Majapahit in 1815 en 1887, yang termuat dalam TBG XXXIII tahun 1889. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh R.A.A. Kromodjojo Adinegoro, seorang Bupati Mojokerto (1849 – 1916) yang sangat menaruh perhatian terhadap peninggalan arkeologi di Trowulan. Ia menggali Candi Tikus dan juga merintis pembangunan Museum Mojokerto yang berisi benda koleksi arkeologis peninggalan Majapahit. J. Knebel, seorang anggota Comissie voor Oudheidkundig Orderzoek op Java en Madura pada tahun 1907 melakukan inventarisasi peninggalan arkeologi di Trowulan. Selanjutnya, N.J. Krom mengulas peninggalan Majapahit di Trowulan dalam karyanya Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst (1923). Penelitian terhadap Situs Trowulan lebih intensif dilakukan setelah didirikan Oudheidkundige Vereeneging Majapahit (OVM) tahun 1924 oleh R.A.A. Kromodjojo Adinegoro bekerjasama dengan seorang Belanda yang bernama Ir. Henry Maclaine Pont dan kemudian berkantor di Trowulan. Selanjutnya kantor tersebut dijadikan museum yang memamerkan benda-benda peninggalan Majapahit.
Antara tahun 1921 – 1924 Maclaine Pont mengadakan penggalian-penggalian di Trowulan dengan maksud mencocokkannya dengan uraian dalam Kitab Negarakertagama. Hasil penelitiannya tersebut kemudian menghasilkan Sketsa Rekonstruksi Kota Majapahit di Trowulan.
Stutterheim yang melakukan penelitian tentang bentuk Ibukota Kerajaan Majapahit berpegang pada Kitab Negarakertagama pupuh VIII – XII dan menyimpulkan bahwa tata kota Kraton Majapahit dapat dianalogikan dengan Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Lebih jauh disebutkan bahwa bangunan yang terdapat di dalam kompleks kraton mirip dengan bangunan yang terdapat di dalam kompleks puri di Bali (Stutterheim, 1948). Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pada tahun 70-an hingga 1993. Puslit Arkenas mencoba mencari bukti-bukti tentang kota melalui penggalian arkeologis yang ditentukan atas dasar nama tempat yang disebut dalam Negarakertagama atau atas dasar penemuan baru yang ditemukan secara tidak sengaja oleh penduduk. Strategi yang dikembangkan waktu itu adalah penelitian sporadis.
Hasil penggalian di Situs Trowulan menunjukkan bahwa sebagai tempat terakumulasinya aneka jenis benda yang biasa disebut kota ini, tidak hanya berupa situs tempat tinggal saja, tetapi terdapat situs-situs lain seperti situs upacara, situs agama, situs bangunan suci, situs industry, situs perjagalan, situs makam, situs sawah, situs pasar, situs kanal dan situs waduk. Situs-situs itu membagi suatu kota dalam wilayah-wilayah yang lebih kecil yang diikat oleh jaringan jalan. Namun sejauh ini penelitian belum memberikan gambaran utuh mengenai keseluruhan kota Majapahit seperti diuraikan Prapanca dalam puja sastranya, Negarakertagama.
Pemahaman bentuk Situs Trowulan secara lebih luas baru diperoleh setelah dilakukan foto udara oleh tim geografi Universitas Gadjah Mada yang berhasil menunjukkan Situs Trowulan sebagai kota berparit.
Pelestarian yang dilakukan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala waktu itu telah menghasilkan rencana induk pelestarian yang dimaksudkan untuk melindungi situs penting di Trowulan. Tahun demi tahun situs bangunan digali, dipugar dan dipelihara serta dimanfaatkan, seperti: Candi Tikus, Gapura Bajangratu, Candi Brahu, Candi Gentong, Gapura Wringin Lawang dan Candi Kedaton. Berdasarkan kegiatan arkeologis yang dilakukan, menunjukkan bahwa Situs Trowulan merupakan situs penting dalam dunia arkeologi Indonesia. ***

Sumber:
  • I Made Kusumajaya, ____ , Mengenal Kepurbakalaan Majapahit Di Daerah Trowulan, Mojokerto: BP3 Jatim
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami