The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Solo Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Solo Heritage. Tampilkan semua postingan

Rumah Sakit Kadipolo Solo

Bekas Rumah Sakit Kadipolo (RS Kadipolo) mencuat menjadi pemberitaan lagi setelah terjadi sengketa lahan pada tahun 2018. Kasus ini bermula dari penjualan aset keluarga Cendana (Sigit Harjoyudanto) berupa bekas  RS Kadipolo seluas 22.550 meter persegi kepada PT Sekar Wijaya (SW).
Karena RS Kadipolo telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya (BCB) di Surakarta, atau dikenal dengan Kota Solo, akibatnya PT Sekar Wijaya tidak bisa melanjutkan pengurusan perizinan berupa IPR (Izn Penggunaan Ruang) dan IMB. Impiannya untuk mendirikan apartemen megah di Kota Solo kandas sudah. Lalu, PT Sekar Wijaya membatalkan jual beli tanah itu dan meminta kepada Sigit Hajoyudanto alias Sigit Soeharto mengembalikan uang muka pembelian tanah senilai Rp 21,5 miliar lantaran pihak Sigit dinilai tidak jujur. Namun, sampai sekarang uang belum dikembalikan Sigit Soeharto hingga melakukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri (PN) Solo.
Kabar terakhir, lahan bekas RS Kadipolo itu sudah diblokir oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Solo selagi sengketa itu belum usai, atas permintaan kuasa hukum PT Sekar Wijaya. Hal ini dimaksudkan agar tanah sengketa ini tidak berpindah tangan ke orang lain.

Foto Lawas Rumah Sakid Kadipolo (Sumber: http://bedah.fk.uns.ac.id/)

Dalam tulisan ini, saya tidak akan mengomentari perihal sengketa tanahnya tapi lebih kepada kisah historis dari RS Kadipolo tersebut, yang terletak di Jalan Rajiman, Kelurahan Panularan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi rumah sakit ini berada di sebelah timur Kantor Kelurahan Panularan, dan tak jauh dari perempatan Baron.
Dalam buku, DR. KRT. Rajiman Wedyodiningrat: Hasil Karya dan Pengabdiannya (1998) diterangkan dengan gamblang bagaimana rumah sakit itu didirikan. Awalnya dokter Rajiman Wedyodiningrat adalah seorang dokter pribumi yang diangkat menjadi dokter Pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1899, bulan Januari, ia menjadi pegawai Gubernemen Belanda dan bertugas di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (Pelayanan Kesehatan Rakyat Pusat) Betawi (RSUP Dr. Cipto Mangkunkusumo) sebagai dokter pada bagian bedah mayat. Tahun 1899, bulan Mei, ia pindah ke Banyumas, dengan tugas memberantas penyakit cacar di Kalirejo-Purworejo. Tahun 1900, ia ditugaskan di Semarang, memegang bagian chirurgie dan bedah mayat. Tahun 1901 sampai 23 Desember 1902, ia ditugaskan di Rumah Sakit Umum Madiun (Jawa Timur).
Kemudian pada tahun 1903-1904, ia ditugaskan kembali ke Betawi menjadi Assistent Leraar di STOVIA ( d sini, dokter Rajiman sambil studi di STOVIA lagi). Tahun 1904-1905, ia ditugaskan di Sragen sebagai dokter umum. Tahun 1905-1906, ia ditugaskan di Lawang (Jawa Timur) di Rumah Sakit Jiwa. Tahun 1906, ia mengajukan permohonan berhenti dari Gubernemen, dan kemudian dari tahun 1906 hingga tahun 1934 dokter Rajiman Wedyodiningrat bekerja sebagai dokter Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada masa pemerintahan Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X atau Sri Susuhunan Pakubuwono X. Sri Susuhunan Pakubuwono X (PB X) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1893 hingga tahun 1939. PB X diyakini sebagai Raja Besar Terakhir Trah Mataram Surakarta.

Bekas Bangsal RS Kadipolo. Dipotret pada 30 Juli 2014 dari sebelah barat

Selama mengabdi sebagai dokter kraton, dokter Rajiman memelopori pembangunan di bidang kesehatan khususnya pelayanan kesehatan untuk para abdi dalem dalam kraton.
Pada tahun 1915-1917 atas usahanya Kraton Surakarta membuka apotek sendiri dengan mendatangkan seorang apoteker dari negeri Belanda. Apotek itu kemudian diberi nama Panti Hoesodo. Inilah pertama kali ada suatu kraton memiliki apotek, sehingga sudah barang tentu akan memperlancar pelayanan kesehatan, khususnya penyediaan obat-obatan yang cukup memadai. Pendirian apotek ini dianggap amat penting karena di samping akan menunjang profesinya juga ilmu yang dimilikinya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Karena tanpa penyediaan obat-obatan yang cukup memadai, keahliannya kurang cukup untuk menolong penderita. Jadi, pendirian sebuah apotek ini merupakan suatu keberanian pada saat itu, mengingat tenaga ahli untuk itu memang belum ada. Tetapi keahliannya dalam dunia kedokteran menuntut adanya sarana tersebut.
Keberanian dokter Rajiman dalam melaksanakan gagasannya tidak berhenti di situ. Tahun berikutnya, dia mengusulkan kepada pihak kraton untuk dapat didirikan sebuah rumah sakit yang dapat melayani para abdi dalem kraton. Mendengar gagasan tersebut, PB X amat menyetujui. Langkah ini penting sekali bagi dokter Rajiman, sebab dengan berdirinya rumah sakit akan sangat membantu pengembangan dan peningkatan pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Dokter Rajiman menyadari, betapapun keahlian yang beliau miliki dalam dunia kedokteran, semuanya mustahil dapat dinikmati oleh masyarakat luas bila tanpa adanya suatu rumah sakit.
Beliau tidak puas kalau ilmunya hanya dapat dinikmati oleh lingkungan keluarga raja. Rumah Sakit ini kemudian diberi nama Panti Rogo yang teletak di daerah Kadipolo, atau yang dalam sumber litetatur Belanda dikenal dengan Ziekenhuis”Pantirogo” te Soerakarta. Sebagai seorang pendiri rumah sakit tanggung jawabnya memang berat dan hal tersebut menuntut kecermatan, ketekunan, kepemimpinan dan keahlian, baik dalam bidangnya sendiri maupun manajemen. Pengelolaan rumah sakit memang membutuhkan keahlian khusus. Di sinilah tampak bakat kepemimpinan dokter Rajiman.

Kondisi depan RS Kadipolo. Dipotret pada 30 Juli 2014 dari utara

Dalam kegiatannya yang memuncak tersebut, ternyata menjelang usia 55 tahun dokter Rajiman menderita penyakit “encok” dan untuk pencegahannya, beliau mengajukan permohonan pensiun kepada PB X serta setelah mempertimbangkan segala alasannya akhirnya Raja Kasunanan tersebut mengabulkannya.
Sebagai penggantinya, sesuai yang tercatat dalam Regeering Almanak Voor Nederlandsch-Indië 1941 adalah Kanjeng Raden Tumenggung Dr. Mangoendiningrat, yang dalam tugasnya dibantu oleh petugas kesehatan Raden Ngabehi Prodjohoesodo dan Raden Pandji Prawirohoesodo. Setiap yang menjabat sebagai direktur rumah sakit tersebut, oleh Kraton Surakarta diberi gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) seperti halnya dengan Dokter Kanjeng Raden Tumenggung Rajiman Wedyodiningrat.
Setelah Indonesia merdeka, Kraton Surakarta menyatakan diri menjadi bagian dari negara Republik Indonesia (RI). Hal ini sekaligus mengakhiri kraton sebagai Pangreh Praja (Inlandsch Bestuur). Sejak itu, kraton tak lagi mempunyai biaya untuk fasilitas publik yang dulu telah didirikan. Pada tahun 1948, pengelolaan RS Panti Rogo diserahkan kepada pemerintah Jawa Tengah dalam kondisi bahwa keluarga kerajaan dan pegawai yang dirawat di rumah sakit menerima bantuan berupa keringanan pembiayaan rumah sakit.
Awal tahun 1960, pihak Kraton menyerahkan sepenuhnya RS Panti Rogo, baik bangunan dan seluruh tenaga kesehatannya kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Surakarta, dan semenjak itu nama rumah sakit berubah menjadi RS Kadipolo.
Kemudian untuk menghemat biaya uang negara usai mengalami perang, pada 1 Maret 1960 direncanakan untuk mengintegrasikan tiga rumah sakit menjadi satu unit organisasi di bawah direktur dengan nama Rumah Sakit Surakarta, dan akhirnya terwujud pada 1 Juli 1960.
Rumah Sakit Surakarta terdiri dari tiga rumah sakit, yaitu Rumah Sakit Mangkubumen, Rumah Sakit Kadipolo dan Rumah Sakit Jebres. Untuk mengintegrasikan dan meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat, kemudian dilakukan spsesialisasi di masing-masing fungsional di rumah sakit tersebut. RS Kadipolo disebut Rumah Sakit Kompleks A spesialis untuk layanan penyakit internal. RS Mangkubumen disebut Rumah Sakit Kompleks B dengan spesialis untuk radiologi, kelamin dan kulit, gigi, mata, THT, neurologi maupun korban kecelakaan. Sementara itu, RS Jebres disebut Rumah Sakit Kompleks C dengan spesialis untuk perencanaan obstretic dan ginekologi, anak dan keluarga.
Dalam perkembangannya, RS Kadipolo (Kompleks A) menunjukkan kurang efisien dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai rumah sakit, sehingga rumah sakit ini dengan semua peralatan medis dan perelngkapan kemudian dipindahkan ke RS Mangkubumen pertengahan Januari 1977. Sejak itu rumah sakit ini tidak lagi berfungsi sebagai institusi pelayanan kesehatan.
Lahan dan bangunan bekas RS Kadipolo ini kemudian ditempati oleh Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) besamaan dengan berdirinya sekolah tersebut pada 24 April 1977. Kampus SPK ini hanya mampu bertahan selama 5 tahun karena pada Februari 1982 Departemen Kesehatan (Depkes) Pusat memerintahkan untuk pindah ke kampus baru yang berada di kawasan Mojosongo.
Selang tiga tahun, lahan dan bangunan bekas RS Kadipolo berubah menjadi mess dan markas klub sepak bola Arseto. Arseto adalah klub besar kompetisi Galatama. Arseto pernah menjadi juara Galatama pada musim 1990-1992. Kejayaan Arseto terus menggelora hingga luar negeri. Arseto pernah menjuarai Kejuaraan Antarklub ASEAN pada tahun 1993, dan melaju ke babak 7 besar Liga Champion Asia di tahun yang sama.
Pada masa menjadi mess Arseto, lahan dan bangunan bekas RS Kadipolo menjadi terawat dengan baik. Tanah lapang yang berada di belakang, disulap menjadi lapangan sepak bola dengan rumput yang berkualitas. Mess pemain bujang dan berkeluarga dipisah. Ada juga mess untuk pemain diklat. Belum lagi fasilitas fitness yang membuat Arseto  tak perlu kesulitas untuk berlatih. Konon, mess dan markas Arseto di Kadipolo itu menjadi salah satu basecamp klub termegah di Indonesia.
Namun ceritera tentang masa kejayaan Arseto serta kompleks Lapangan Kadipolo mulai memudar setelah Arseto dibubarkan pada tahun 1998. Lahan dan bangunan menjadi tak terawat, lapangan “mahalnya” berubah menjadi semak belukar yang banyak ditumbuhi ilalang.
Bagi orang awam, kepergian Arseto dari lahan dan bangunan bekas RS Kadipolo itu mereka pikir masyarakat kemudian bisa menggunakan lapangan tersebut untuk bermain dan berlatih sepak bola, ternyata tidak. Karena ternyata lahan dan bangunan hibah dari Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kepada Pemda Surakarta tidak amanah (baca: Wali Kota pada waktu itu). Bekas RS Kadipolo itu ternyata sudah dimiliki oleh klub Arseto milik putra mendiang Presiden Soeharto sejak dijadikan basecamp Arseto, dan sekarang dalam masa sengketa jual beli lahan dan bangunan yang telah menjadi cagar budaya, baik tingkat Surakarta maupun Jawa Tengah. *** [080520]

Kepustakaan:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1998). Dr. KRT. Rajiman Wedyodiningrat: hasil karya dan pengabdiannya. Ed. III. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisi Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Regeerings almanak voor Nederlandsch - Indie 1941. (1941). Batavia : Landsdrukkerij.
http://bedah.fk.uns.ac.id/?page_id=2&lang=id_ID
https://bolaskor.com/post/read/cerita-mistis-mes-peninggalan-klub-keluarga-cendana-bernama-arseto-solo
Share:

Hotel Juliana Solo

Perkembangan wilayah Vorstenlanden atau wilayah otoritas kerajaan yang merupakan pewaris dari Dinasti Mataram Islam (Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, Kadipaten Pakulaman), tidak dapat dilepaskan dari perubahan kebijakan politik pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu.
Pada tahun 1870 muncul yang disebut Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria), yang mendorong melonjaknya perekonomian khususnya di wilayah Vorstenlanden termasuk Surakarta. Kebijakan ini menyebabkan perkembangan yang positif bagi usaha perkebunan swasta di Hindia Belanda, khususnya wilayah Surakarta.
Perkembangan Kota Surakarta atau Solo lambat laun berkembang pesat seiring dengan makin banyaknya kalangan swasta asing yang mendirikan perusahaan perkebunan dan bermukim di kota tersebut. Fasilitas kota yang modern banyak mulai dibangun, seperti sarana pengairan pengendali banjir, jaringan listrik, jaringan jalan, jalan kereta api, pusat perekonomian, pemukiman dan fasilitas hiburan, seperti bioskop, societeit, dan hotel.

Hotel Juliana Solo pada masa Hindia Belanda (Sumber: http://antoniuspurbayan.com/)

Sama dengan Hotel Dohne, Hotel Slier maupun Hotel Rusche, Hotel Juliana hadir di Solo kala itu sebagai fasilitas modern untuk mengakomodasi keberadaan para pengusaha asal Eropa yang kian marak. Hotel itu berada di daerah Kebalen atau berada di sebelah utara Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan.
Tak banyak informasi mengenai siapa yang mendirikan Hotel Juliana ini. Dalam buku telepon wilayah Solo (Gouvernements Bedrijf Der Telefonie Gids Voor Solo) terbitan September 1930 tercetak bahwa Hotel Juliana beralamatkan di Poerbajan, dan nomor teleponnya atas nama P. van der Helder. Diperkirakan bangunan hotel tersebut didirikan antara tahun 1900-1920an.
Pada waktu berdiri, Hotel Juliana tak mau kalah bersaing dengan Hotel Slier. Kalau Hotel Slier menawarkan kepada tamu hotelnya untuk penjemputan tamu dari Stasiun Balapan menuju hotel dengan kereta kuda, pengelola Hotel Juliana siap membantu tamunya yang ingin berkunjung ke Kraton Kasunanan Surakarta.
Pada waktu itu, lokasi hotel ini berada di kawasan yang menjadi bagian dari Oude Stad van Solo yang senantiasa ramai dan diperuntukkan untuk kalangan atas. Beberapa landhuurder (penyewa tanah) yang sekaligus ondernemer (pengusaha perkebunan) suka menginap di Hotel Juliana. Tepat di depannya terdapat Solosche Schouwburg  atau Gedung Kesenian Solo (sempat menjadi gedung bioskop Fajar Theater).

Kantor Denpom IV/4 Surakarta (Foto tahun 2014)

Selain itu, menu masakan dari Hotel Juliana ini terkadang mendapat pesanan dari Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan ketika sedang ada perayaan-perayaan yang dilakukan oleh gereja yang berada di sebelah selatan hotel tersebut. Pada tahun 1935 saat Romo C. Ruijgrok, SJ mengalami kambuh sakit asmanya, untuk santapannya juga dipesankan dari Hotel Juliana.
Pada waktu Jepang menduduki Kota Solo, Hotel Juliana dijadikan sebagai kamp bantuan oleh pasukan Jepang untuk mengurusi para interniran yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak, dari Maret 1942 hingga Agustus 1942. Setelah Agustus, para interniran banyak yang dipindahkan ke Sekolan Van Deventer (sekarang SMPN 10) dan Kamp Bumi di Laweyan.
Pada akhir pendudukan Jepang, pada tahun 1945, hotel ini berubah fungsi menjadi markas pemuda dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Kemudian pada tahun 1946-1949 bangunan Hotel Juliana dipinjam untuk markas Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Surakarta.
Pada masa Agresi Militer II atau yang dikenal dengan Operatie Kraai (Operasi Gagak), pasukan Belanda yang membonceng Sekutu berhasrat ingin menduduki Kota Surakarta seperti dulu lagi sebelum kedatangan Jepang. Akan tetapi hasrat tersebut akhirnya harus berhadapan dengan perlawanan dari pasukan TNI dan Pasukan TP.
Sebelum memasuki Kota Solo pada 21 Desember 1948, pimpinan TNI yang membawahi Solo menggunakan taktik bumi hangus guna untuk memperlambat gerak dari pasukan Belanda memasuki Kota Solo. Mereka menilai bangunan bikinan Belanda masih dianggap kuat mengandung aroma kolonialisme sehingga harus diratakan dengan tanah ketimbang dikuasai kembali oleh Belanda. Kantor Gupernemen (sekarang Balai Kota Surakarta), Hotel Slier, Kantor Pos maupun Hotel Rusche tak luput dari bumi hangus tersebut. Sedangkan Hotel Juliana yang lokasinya tak jauh dari keempat bangunan tersebut selamat dari bumi hangus. Hal ini disebabkan karena pada waktu melancarkan bumi hangus, posisi bangunan Hotel Juliana sudah tidak dipergunakan lagi sebagai hotel melainkan sebagai markas PMI Kota Surakarta.
Paska Agresi Militer II ini kemudian bangunan hotel ini difungsikan menjadi Markas Polisi Militer Daerah Militer IV Diponegoro Detaseman IV/4 Surakarta (Markas CPM Surakarta). Saat peristiwa G30S, pada Oktober 1965 hingga Mei 1968, Markas CPM ini menjadi Kantor Teperca (Tim Pemeriksa Cabang) Surakarta dan sekaligus menjadi tempat interogasi para tapol asal Surakarta dan Klaten.
Kini, bangunan bekas Hotel Juliana itu kembali menjadi Kantor Denpom IV/4 Surakarta, yang di kalangan masyarakat Solo akrab juga dengan gedung CPM (Corps Polisi Militer) atau gedung PM (Polisi Militer) saja. Kendati menjadi Kantor Denpom IV/4 Surakarta yang notabene milik TNI, secara umum bangunan berlantai dua tersebut masih terjaga dan terawat, baik detail kusen, hiasan kaca patri, jendela, pintu, atap kayu, serta bekas lorong kamar-kamar hotel yang kini dipergunakan sebagai ruang kerja. Di bagian belakang pada bangunan yang terletak di Jalan Arifin, Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Paar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah ini, masih ditemui bekas tungku cerobong dari bata yang dulu mungkin dipakai sebagai dapur masak hotel. *** [250420]

Kepustakaan:
Putranto, A., & Pradnyawan, D. (2018). MODEL PENILAIAN KUANTITATIF BANGUNAN CAGAR BUDAYA KOTA SURAKARTA (QUANTITATIVE VALUING MODEL OF HERITAGE BUILDINGS IN SURAKARTA CITY). Naditira Widya, 12(2), 159-172. https://doi.org/10.24832/nw.v12i2.313
http://antoniuspurbayan.com/2019/12/11/sejarah-paroki-st-antonius-purbayan/
https://eprints.sinus.ac.id/147/4/001C2016STI_11.5.10008_BAB_IV.pdf
https://indischekamparchieven.nl/en/search?mivast=963&mizig=276&miadt=968&miaet=14&micode=kampen&minr=1397390&milang=en&misort=plaats%7Casc&mif1=Central%20Java&mif2=315905&miview=ika2
http://sejarahsosial.org/kamp_solo/htm/10.htm
https://www.facebook.com/notes/gereja-katolik/sejarah-gereja-paroki-santo-antonius-purbayan-surakarta/77235852439/
Share:

Loge L’Union Frederic Royal Solo

Loge L’Union Frederic Royal adalah sebuah loge yang pernah berdiri di kampung Batangan. Kampung itu sekarang secara administratif berada di Kelurahan Kedunglumbu, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi ini berada di sebelah selatan Benteng Vastenburg, atau sebelah timur laut Alun-alun Lor.
Loge, dalam bahasa Belanda memiliki arti perhimpunan mason (freemasonry). Di dalam bangunan loge ini digunakan sebagai tempat berkumpulnya anggota Freemasonry untuk melakukan pemujaan kepada ‘Yang Maha Terang’, yang dalam ritualnya acapkali dengan melantunkan nyanyian kerohanian dan upacara pemanggilan arwah orang mati. Loge atau loji dalam bahasa pribumi sering disebut sebagai “Rumah Setan atau Gedong Setan” sedangkan dalam bahasa Jawa disebut “Omah Pewangsitan”. Upacara ritual yang dilakukan oleh anggota Gerakan Kemasonan ini yang menyebabkan masyarakat di sekitar menyebutnya dengan omah setan (rumah setan).
Loge L’Union Frederic Royal ini didirikan oleh hampir tiga puluh orang mason bebas di Surakarta. Permintaan pendirian diajukan pada tanggal 25 September 1871, dan pada tanggal 28 Oktober 1872 dilakukan peresmian. Surakarta juga merupakan salah satu dari Vorstenlanden, dan sama seperrti Yogyakarta menikmati status semi-otonom dalam hubungannya dengan pemerintahan di Batavia. Surakarta kemudian dijadikan salah satu daerah tempat untuk mendirikan loge oleh kelompok Gerakan Kemasonan itu.

Loge L’Union Frederic Royal Soerakarta (Sumber: https://www.picuki.com/)

Tokoh yang berperan penting dalam pendirian loge ini diantaranya adalah Jonkheer Willibald Dagobert van Nispen, atau biasa disingkat menjadi Jhr. W.D. van Nispen. Ia lahir di ‘s Heerenberg pada 24 Maret 1836 dari pasangan Lodewijk Carel Jacob Christiaan Frans van Nispen dan Eulalie Louise Bender.
Nispen menikah di Sragen pada 30 September 1905 dengan seorang wanita Jawa yang ia beri nama Brunhilde, dan dari pernikahannya ini, ia dikaruniai seorang putra bernama Dagobert Anton Leonhard Karel van Nispen yang lahir di Kebonromo, Sragen, pada 14 Oktober 1907.
Jhr. W.D. van Nispen dikenal dikenal sebagai seorang yang mempunyai pengaruh dalam hal persewaan tanah di wilayah Surakarta. Kelak ia akan memimpin atau menjadi ketua dari “Solosche Landhuurders Vereeniging” (Perkumpulan Penyewa Tanah Solo), di samping ia mengepalai loge tersebut.
Freemasonry sendiri merupakan perkumpulan persaudaraan internasional ‘rahasia’ yang mempunyai kedekatan dengan jaringan Yahudi.. Dalam bahasa Belanda, freemasonry dikenal dengan Vrijmetselarij. Dr. Th. Stevens, seorang peneliti tentang perkumpulan ini, mengalihbahasakan Vrijmetselarij dalam bahasa Indonesia menjadi Tarekat Mason Bebas.
Para anggota mula-mula berkumpul di sebuah hotel, dan kemudian di sebuah rumah tinggal yang disediakan untuk maksud tersebut. Setelah bangunan loge selesai dibangun, mereka kemudian berpindah ke gedungnya sendiri, dan mendirikan Maconnieke Societeit L’Union Frederic Royal.
Gedung loge yang megah itu memiliki gaya arsitektur Indische Empire. Indische Empire Style adalah suatu gaya arsitektur kolonial yang berkembang pada abad ke 18 dan 19, sebelum terjadinya “westernisasi” pada kota-kota di Hindia Belanda di awal abad ke 20. Gaya ini merupakan hasil percampuran antara teknologi, bahan bangunan dan iklim yang ada di Hindia Belanda dengan gaya Empire Style yang sedang berkembang di Perancis. Gaya arsitektur ini dipopulerkan oleh Herman Willem Daendels, mantan serdadu Napoleon Bonaparte yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-36, yang memerintah antara tahun 1808-1811.
K. Hylkema pernah mengadakan penelitian dalam buku-buku keanggotaan loge-loge di Hindia Belanda (Onderzoek in de ledenboekjes der Indische loges). Di Surakarta, loge L’Union Frederic Royal memiliki anggota loge (Stevens, 2004) sebagai berikut:


1874 72 1897 62 1920 53
1875 72 1898 73 1921 48
1876 72 1899 75 1922 54
1877 72 1900 79 1923 55
1878 72 1901 77 1924 56
1879 71 1902 74 1925 56
1880 53 1903 71 1926 61
1881 53 1904 46 1927 50
1882 47 1905 45 1928 48
1883 47 1906 44 1929 45
1884 49 1907 38 1930 47
1885 25 1908 38 1931 48
1886 44 1909 42 1932 43
1887 43 1910 45 1933 40
1888 34 1911 43 1934 31
1889 34 1912 36 1935 26
1890 - 1913 42 1936 29
1891 43 1914 40 1937 26
1892 48 1915 41 1938 24
1893 45 1916 40 1939 25
1894 41 1917 40 1940 24
1895 41 1918 49 - -
1896 48 1919 50 - -

Pada waktu Jepang menduduki Surakarta, loge ini dibekukan. Kemudian bangunan gedungnya difungsikan untuk kepentingan militer Jepang yang ada di sini. Diperkirakan bangunan loge ini sudah tidak ada lagi ketika terjadi bumi hangus dari pejuang-pejuang Indonesia dalam menghadapi Agresi Militer yang dilancarkan oleh Belanda yang ingin menguasai Indonesia lagi. *** [230420]

Kepustakaan:
Stevens, Dr. Th. (2004). Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
http://www.berghapedia.nl/index.php/Nispen,_Willibald_Dagobert_van
Share:

Hotel Slier Solo

Hotel Slier merupakan salah satu hotel besar yang pernah ada di Surakarta, atau Kota Solo pada masa Hindia Belanda. Dalam buku telepon wilayah Solo (Gouvernement Bedrij Der Telefonie Gids Voor Solo) terbitan September 1930 tercetak bahwa Hotel Slier beralamatkan di Residentielaan, yang sekarang berubah menjadi Jalan Jenderal Sudirman. Lokasi bekas Hotel Slier ini kini menjadi Kantor Pos dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Solo (gedung yang baru).
Hotel ini didirkan oleh Geertruida Adriana Borger, janda mendiang Willem Jacobus Coers (1831-1888), pada tahun 1897. Sebelumnya, hotel ini masih merupakan sebuah losmen yang dirintis oleh Willem Jacobus Coers, seorang kapten kapal (scheepskapitein).
Losmen yang sudah dirintis oleh Coers dilanjutkan oleh istrinya sepeninggal suaminya pada tahun 1888. Kemudian losmen itu dibangun oleh istrinya menjadi hotel yang megah di zamannya, dan diberi nama Hotel Slier (Hotel Slier te Soerakarta). Ia sekaligus menjadi direkturnya hingga tahun 1910. Lalu digantikan oleh J. van Nouhuys sampai tahun 1926.

Hotel Slier Solo (Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Bangunan Hotel Slier terdiri atas dua lantai, dan memiliki gaya arsitektur Indische Empire dengan delapan kolom Doric sebagai penopang selasar bawah. Indische Empire adalah gaya arsitektur yang berkembang di Hindia Belanda antara pertengahan abad ke-18 dan akhir abad ke-19. Gaya ini merupakan replika dari Empire Style Neoklasik yang popular di Perancis abad ke-19, yang telah disesuaikan dengan iklim dan material yang ada di Hindia Belanda.
Pengaruh kolonial terlihat mendominasi bangunan Hotel Slier. Pada atapnya terdapat dormer, yaitu jendela atau bukaan lain yang terletak pada atap yang melereng dan memiliki atap tersendiri. Bingkai dormer biasanya diletakkan vertikal di atas gording pada atap utama.
Dalam foto lama, Hotel Slier kelihatan asri dengan rerimbunan pepohonan yang berada di depan hotel tersebut. Sebagai hotel terkemuka di Kota Solo pada zamannya, Hotel Slier sering menjadi tempat menginap para pejabat kolonial, pengusaha China maupun orang penting lainnya selama bertugas atau mengunjungi Kota Solo. Terkadang juga menjadi tempat untuk pertemuan sejumlah orang penting, seperti Dr. Radjiman dengan Mr. Copper Mountain.

Tuan Hartgers di kantornya yang berada di Hotel Slier, 1921 (Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Suatu terobosan bagus ditempuh pengelola Hotel Slier, yakni penjemputan tamu dari Stasiun Balapan menuju hotel dengan kereta kuda. Penyediaan pelayanan penjemputan yang memadai ini tentu menguatkan minat pengunjung memilih menginap di hotel tersebut.
Selain itu, Hotel Slier juga pernah menjadi kantor dari sejumlah perusahaan yang hadir dan membangun di Kota Solo. Ketika sedang membangun gedung untuk Solosche Electricitiets Maatschappij (SEM), perusahaan ini juga berkantor sementara di Hotel Slier. Setelah selesai, barulah SEM pindah ke gedung barunya yang berada di Purwosari pada 1 Januari 1906. Perusahaan lampu Best Light & Co juga pernah membuka kantor perwakilan sementara di Hotel Slier ketika mempromosikan produknya (Kuntowijoyo, 2000: 143).
Ketika Jepang menduduki Kota Solo, Hotel Slier di bawah kepemimpinan direktur J.F.L. Schrijvers van Zenden dianeksasi oleh pasukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, bangunan hotel tersebut diambil alih oleh Indonesia. Namun, pada saat meletus Agresi Militer Belanda II (Clash II), bangunan Hotel Slier pernah menjadi sasaran aksi pembakaran (bumi hangus) oleh pejuang Indonesia dalam rangka mempersempit ruang gerak Belanda di Solo.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dan situasi mulai stabil kembali, bangunan hotel yang tersisa dirombak menjadi Hotel Merdeka. Kemudian di bagian selatan didirikan Kantor Pos.
Setelah bangunan hotel Merdeka sempat mangkrak puluhan tahun, terakhir lahannya dibeli oleh Kantor Perwakilan BI Solo dan dibangun gedung ekstensi BI untuk mengganti gedung BI yang lama. Gedung BI lama yang berada di sebelah utaranya akan dijadikan sebagai museum BI di Kota Solo. *** [210420]

Kepustakaan:
Kuntowijoyo. (2000). Making An Old City A Pleasant Place To Stay For Meneer And Mevrouw: Solo, 1900-1915. Humaniora Volume XII No. 2, hal. 143.
https://www.colonialbusinessindonesia.nl/nl/database-en/catalog/item/hotel-slier-2
https://www.genealogieonline.nl/stamboom-coers/I49.php
Share:

Hotel Rusche Solo

Pada masa Hindia Belanda dulu, Solo menjadi salah satu kota yang menyenangkan untuk tinggal bagi orang-orang Belanda. Hal ini dikarenakan banyaknya fasilitas modern di zamannya dijumpai di Solo, seperti stasiun kereta api, pusat perbelanjaan, perbankan, societeit, dan hotel. Di antara hotel yang ada di Solo adalah Hotel Rusche (Hotel Rusche te Soerakarta).
Dalam Gouvernements Bedrijf Der Telefonie Gids Voor Solo Uitgave Septermber 1930 No. 70 (hal. 5) disebutkan bahwa, Hotel Rusche berada di Lodjiwoeroeng. Lodjiwoeroeng merupakan sebutan nama daerah yang pernah akrab di kalangan masyarakat Solo. Daerahnya dari Gladag ke utara sampai Jembatan Arifin, terus ke barat sampai Pring Gading lalu ke selatan hingga pertigaan Jalan Imam Bonjol – Jalan Slamet Riyadi, dan kemudian ke timur sampai ke Gladag lagi.
Menurut catatan sejarah, Hotel Rusche didirikan pada akhir abad ke-19 oleh Albert Rusche, seorang pengusaha Belanda yang memiliki banyak usaha di Solo. Usahanya diawali dari percetakan dan penerbitan (drukkerij) Albert Rusche & Co., kemudian merambah ke perhotelan, properti (onroerend goed), dan perdagangan ekspor impor.

Hotel Rusche Solo (Sumber: https://ruschefamily.com/)

Albert Rusche lahir di Amsterdam pada 28 Juli 1851 dari pasangan Roelof Rusche dan Alberta Wilhelmina Rusche. Ia menikah dengan Diena Jansen pada tahun 1884 di Bogor. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai 11 anak: Bertha de Wilde, Willem, Jootje, Annie, Albert, Alex, Theo, Dina, Albert Alwin Rusche, Adolph Heinrich Christian Rusche, dan Joopie.
Seperti halnya dengan Hotel Slier, Hotel Rusche merupakan salah satu hotel ternama di Kota Solo. Raja Chulalongkorn dari Siam (kini Thailand) pernah menginap di hotel ini ketika mengunjungi Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran. Berita tentang menginapnya Raja Siam dimuat dalam surat kabar De Locomotief: Samarangsch handles-en advertentieblad, 27 Juni 1901.
Hotel Rusche memiliki dua lantai, dan di atas teras depan (voor galerij) terlihat balkon untuk melihat pemandangan yang ada di depan hotel. Gaya arsitektur bangunan hotel ini pada situasi perkembangan arsitektur pada akhir abad ke 19 di Hindia Belanda, yaitu gaya arsitektur transisi. Pada umumnya arsitektur transisi ini mempunyai bentuk denah yang hampir mirip dengan arsitektur Indische Empire. Hal yang membuat arsitektur peralihan terlihat berbeda dengan Indische Empire adalah tidak adanya pilar bergaya Yunani atau Romawi sebagai ciri khasnya.
Seperti hotel-hotel terkenal di kota-kota besar di Hindia Belanda, Hotel Rusche juga mengiklankan jasa perhotelan yang dimilikinya dengan berbagai fasilitas seperti fasilitas 52 kamar lengkap dengan penerangan listrik, servis makanan, serta garasi yang bisa memuat empat buah mobil.
Bangunan Hotel Rusche yang pernah berdiri di Kota Solo itu sekarang sudah tidak ada lagi. Tinggal menjadi kenangan saja. Bekas bangunan Hotel Rusche kemudian pernah dibangun Bank Harapan Santosa (BHS) Gladag, yang pada awalnya merupakan bangunan tertinggi di Kota Solo dengan sepuluh lantai, tapi karena mengalami pailit bangunan BHS tersebut kemudian dibeli oleh pemilik Group Sun Motor, Imelda Sundoro.
Oleh Imelda Sundoro, bangunan bekas BHS itu ‘disulap’ menjadi bangunan The Royal Surakarta Heritage, sebuah hotel bintang lima di pusat Koa Solo yang memiliki 150 kamar dengan lima tipe kamar yakni superior, deluxe, executive, junior suite, dan executive suite. *** [160420]

Kepustakaan:
Aprianto, Muhammad. (2015). Dinamika Ekonomi Di Surakarta Tahun 1870-1936. Skripsi di Program Stdui Ilmu Sejarah, FIB, UNS
Riyanto, Bedjo. (2019). Siasat Mengemas Nikmat: Ambiguitas Gaya Hidup Dalam Iklan Rokok Di Masa Hindia Belanda Sampai Pasca Orde Baru 1925-2000. Yogyakarta: Lembaga Studi Realino
https://ruschefamily.com/?page_id=147   

Share:

Kantor Pos Besar Solo

Koridor Sudirman merupakan salah satu koridor spesifik yang ada di Surakarta, atau dikenal juga sebutan Kota Solo. Karena sejak awal keberadaan Surakarta, koridor Jalan Sudirman sudah memiliki peran yang sangat signifikan. Jalur ini mempunyai nilai strategis. Secara morfologis kawasan Jalan Jenderal Sudirman Surakarta  tumbuh dan berkembang memiliki keberagaman bentuk arsitektural yang dipengaruhi keberagaman budaya, sebagai bagian dari suatu proses sejarah dan perkembangannya.
Di sepanjang koridor tersebut mudah ditemui bangunan-bangunan penting peninggalan kolonial Belanda. Salah satunya adalah gedung Kantor Pos Besar Solo (Postkantoor te Soerakarta). Gedung ini terletak di Jalan Jenderal Sudirman No. 8 Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi kantor pos ini berada di sebelah selatan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Solo, atau sebelah barat Benteng Vastenburg.

Kantor Pos Besar Solo (Foto: dokumentasi tahun 2015)

Gedung Kantor Pos Solo dulunya tidaklah seperti ini. Semula hanya berbentuk sederhana semacam loket yang berada di sekitar Benteng Vastenburg. Mengenai berdirinya bangunan itu tidak diketahui secara pasti, namun sekitar tahun 1812 telah ada perhubungan pos di Surakarta kendati Kota Solo tidak dilalui Jalan Pos (Postweg) yang dibangun atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Hal ini terjadi karena pada masa tersebut Surakarta masih merupakan sebuah kerajaan yang besar. Pada masa itu, pengangkutan pos masihlah menggunakan kuda.
Kemudian dengan semakin ramainya orang-orang Belanda bermukim di Surakarta, Pemerintah Hindia Belanda mulai mengembangkan fasilitas publik di Surakarta. Kantor residen, perbankan, gereja, tempat hiburan, dan Kantor Pos, Telegraf dan Telepon.
Pada 1910 Kantor Pos, Telegraf dan Telepon (Post-, Telegraaf- en Telefoonkantoor te Soerakarta) dibangun dengan megah. Gedungnya berlantai dua. Pintu utamanya diapit oleh dua menara sejajar atap yang berada di atas pintu masuk utamanya. Bangunan itu berada di sebelah utara benteng (sekarang Kantor Telkom Solo), dan berhadapan dengan De Javasche Bank Agentschap Soerakarta.

Kantor Pos, Telegraf dan Telepon Tahun 1910 (Sumber: KITLV)

Namun bangunan itu kemudian mengalami nahas pada saat terjadi agresi militer Belanda II (1948). Kantor Pos, Telegraf dan Telepon (PTT) itu dibumihanguskan oleh pejuang Indonesia sebagai taktik perlawanan rakyat saat mempertahankan Kota Solo dari serangan Belanda.
Kemudian setelah kondusif dari situasi perang mempertahankan kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mulai memikirkan untuk mendirikan kantor pos yang baru. Lokasi pembangunannya tidak menempati lokasi yang lama, melainkan berpindah ke sebelah barat residentieweg (lokasi yang sekarang di Jalan Jenderal Sudirman No. 8). Lahan yang digunakan adalah merupakan bekas tempat tinggal orang Belanda yang juga tidak luput dari bumi hangus tersebut.
Ketikan lahan sudah ditemukan, selanjutnya Pemerintah Indonesia mempercayakan rancangan gedungnya kepada seorang arsitek Belanda kelahiran Amsterdam, 20 April 1909 yang bernama Albertus Wilhelm Gmelig Meyling, dan pembangunan kontruksinya dilakukan pada tahun 1956.
Bangunan kantor pos ini memiliki bentuk yang sederhana dengan massa bangunan berbentuk persegi dan dimensi yang cukup besar dan masif serta memiliki irama dari barisan kolom-kolom yang berurutan rapi.
Skala bangunannya memberi kesan bahwa bangunan tersebut merupakan bangunan yang formil tetapi akrab dan berkesan menerima. Ini menunjukkan bahwa bangunan tersebut merupakan bangunan fasilitas yang melayani masyarakat luas. *** [250320]

Kepustakaan:
Amrita, Divya. (2011). Analisis Pembagian Kerja Dalam Rangka Meningkatkan Efektivitas Kerja Karyawan Bagian Sumber Daya Manusia Pada PT. Pos Indonesia Surakarta Tahun 2010/2011. Skripsi, Universitas Sebelas Maret. Diunduh dari https://eprints.uns.ac.id/6972/1/191731411201103101.pdf
Puspitasari, A.Y. (2007). Pengaruh Aktivitas PKL Terhadap Linkage Antara Kraton Kasunanan-Pasar Gede Surakarta. Thesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Diunduh dari https://core.ac.uk/reader/11715210
Ratnatami, Ariko. (2005) Aspek Bentuk Arsitektur Bangunan Pada Makna Fungsi Bangunan Dan Ekspresi Arsitektur Kawasan Koridor (Studi Kasus: Koridor Jl. Jend. Sudirman Surakarta). Thesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Diunduh dari http://eprints.undip.ac.id/12825/1/2005MTA3896.pdf
http://colonialarchitecture.eu/obj?sq=id%3Abt%3A208   
Share:

Situs Bandar Kabanaran

Usai eksplorasi Dalem Djimatan, rombongan peserta Jelajah Kampoeng Batik Laweyan (Sabtu, 21/07) melanjutkan perjalanan menuju sebuah peninggalan sejarah yang ada di Laweyan lainnya, yaitu Situs Bandar Kabanaran.
Situs ini terletak di Jalan Nitik, Kampung Kidul Pasar RT. 04 RW. 01 Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi situs ini berada di dekat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Bandar Kabanaran Kampoeng Batik Laweyan, atau di sebelah utara makam Kyai Haji Samanhoedi.
Bandar Kabanaran ini merupakan sebuah bandar yang berkembang pada masa Kerajaan Pajang yang berada di tepi Sungai Jenes, anak Sungai Bengawan Solo. Sungai Jenes berhulu di lereng Gunung Merapi dan bermuara di Sungai Bengawan Solo dekat Jembatan Mojo.
Keberadaan Sungai Jenes di Situs Bandar Kabanaran itu juga sekaligus menjadi pembatas antara wilayah Kota Solo dengan Kabupaten Sukoharjo, karena di sisi sebelah selatan sungai masuk wilayah adminstratif Kelurahan Banaran, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo.


Dahulu masyarakat setempat menyebut sungai ini sebagai Sungai Kabanaran. Pada masa lalu, sungai itu merupakan jalur utama transportasi dan perdagangan yang terhubung langsung ke Sungai Bengawan Solo. Sehingga, Bandar Kabanaran ini dulunya digunakan sebagai penghubung lalu lintas perdagangan dari pedalaman Jawa menuju bandar besar Nusupan maupun Semanggi yang berada di tepian Sungai Bengawan Solo.
Semenjak Bumi Laweyan diberikan kepada Kyai Ageng Henis oleh Raden Patah, penguasa Kerajaan Demak Bintoro, sebagai tanah perdikan, daerah ini menjadi berkembang dan menonjol. Tidak hanya sebagai sentra dakwah agama Islam di Jawa bagian selatan, akan tetapi Laweyan juga berkembang menjadi pusat perekonomian batik terkemuka pada waktu itu. Hal ini karena didukung oleh keberadaan Sungai Jenes dan kedekatan secara geografis dengan Bandar Kabanaran yang menjadi penentu berkembangnya Pasar Laweyan.
Dulu, Pasar Laweyan merupakan salah satu pasar yang cukup ramai. Ketika Kerajaan Pajang lahir, pasar ini menjadi penyokong utama kegiatan perdagangan yang ada di Laweyan, atau tlatah Kerajaan Pajang. Jaraknya yang hanya sekitar 100 meter dari Bandar Kabanaran menjadikan Pasar Laweyan terus tumbuh dan berkembang.


Laweyan yang banyak menghasilkan tanaman kapas kala itu mampu menghasilkan kain mori maupun kain batik untuk diperdagangkan dengan daerah lain. Setiap hari dari Laweyan melalui Bandar Kabanaran diangkut oleh perahu-perahu yang tertambat di Bandar Kabanaran menuju ke Bandar Nusupan untuk selanjutnya diangkut oleh perahu yang lebih besar menuju ke Bandar Gresik, dan sebaliknya komoditas dari daerah lain pun juga berdatangan ke Laweyan setelah berganti perahu di Bandar Nusupan.
Kemuduran Bandar Kabanaran sebagai pelabuhan sungai terkemuka di Laweyan disebabkan oleh semakin berkurangnya debit air akibat pendangkalan yang dialami oleh Sungai Jenes. Sungai yang pernah menjadi jalan publik tanpa kemacetan itu mengecil perannya seiring surutnya volume air yang ada di sungai tersebut. Selain itu, lambat laun pula peran Sungai Jenes tergerus oleh adanya infrastuktur jalan yang bernama Jalan Dr. Rajiman sejak pindahan kraton dari Kartasura menuju Surakarta, dan dibangunnya jalur rel kereta api oleh Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij dari tahun 1870 sampai dengan 1872. Situasi dan kondisi yang demikian menyebabkan para pengusaha dari Laweyan pun akhirnya memindahkan moda transportasi bagi usaha dagangnya kepada sarana transportasi yang lebih modern.
Kini, Bandar Kabanaran sudah tidak berbekas lagi. Tak ada bekas fisik yang tersisa maupun aktivitas bongkar muat perahu-perahu lagi. Peserta rombongan tinggal menyaksikan sebuah alur sungai yang dangkal dengan airnya yang berwarna hitam pekat serta bau yang menyengat.
Jika tidak ada papan nama bertuliskan Situs Bandar Kabanaran, mungkin orang-orang yang melintas di situ tidak akan pernah tahu bahwa di lokasi itu dulunya ada sebuah bandar atau pelabuhan sungai yang cukup ramai dan memainkan peran penting sebagai urat nadi perekonomian di Laweyan pada khususnya maupun tlatah Kerajaan Pajang pada umumnya. *** [210718]

Share:

Pasareyandalem Kyai Ageng Henis Laweyan

Saat ambil libur kemarin bertepatan ada acara jelajah Kampoeng Batik Laweyan yang diselenggarakan oleh komunitas Soerakarta Walking Tour (Sabtu, 21/07), sehingga saya pun berkesempatan mengikutinya. Sesuai tema jelajah, maka lokasi yang disasar adalah Kampoeng Batik Laweyan yang kaya akan sejarah. Bahkan sejarahnya ada yang lebih tua keberadaannya dari Kota Surakarta, atau Kota Solo itu sendiri.
Salah satu tempat yang dikunjungi adalah Pasareyandalem Kyai Ageng Henis. Pasareyan ini terletak di Jalan Liris, Kampung Belukan RT. 04 RW. 04 Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi pasareyan ini berada di belakang Masjid Laweyan, atau sebelah barat daya Jembatan Laweyan.
Kata pasareyan diambil dari bahasa Jawa yang artinya kuburan atau makam. Namun, ketika kata pasareyan itu digandengkan dengan kata dalem maka pengertiannya menunjukkan bahwa kuburan atau makam tersebut bukanlah sembarang makam pada umumnya. Karena dalam penggunaan bahasa Jawa yang memakai gandengan dengan kata dalem, umumnya merupakan penggunaan bahasa Jawa yang berasal dari kedaton atau kraton. Hal ini disebabkan karena yang bersemayam di makam tersebut masih ada kaitannya dengan trah kraton. Jadi, yang dimaksud dengan Pasareyandalem Kyai Ageng Henis itu menunjuk kepada makam Kyai Ageng Henis.


Kyai Ageng Henis, atau terkadang disebut juga Ki Ageng Enis (ada pula yang menyebutnya Kyai Ngenis, adalah putra Ki Ageng Sela (keturunan langsung Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V, raja terakhir Majapahit) dengan Nyai Bicak yang merupakan putri Ki Ageng Ngerang (Sunan Ngerang I, keturunan dari Maulana Maghribi II).
Kyai Ageng Henis mempunyai putra Ki Ageng Pemanahan yang berputra Sutawijaya, yang akhirnya menjadi Panembahan Senopati, yakni pendiri Kerajaan Mataram Islam. Ketika menjadi punggawa di Kadipaten Pajang, Ki Ageng Henis dianugerahi tanah perdikan Laweyan, hingga ia dianggap sebagai cikal bakal masyarakat Laweyan. Penduduk setempat menganggap Kyai Ageng Henis adalah orang sakti (linuwih), karena ia keturunan Ki Ageng Sela yang terkenal bisa ‘menangkap’ petir.
Kyai Ageng Henis ini juga mempunyai julukan Kyai Ageng Laweyan atau Manggala Pinituwaning semasa Jaka Tingkir berkuasa menjadi Adipati Pajang.
Ki Ageng Henis, memang dianggap sebagai salah seorang leluhur Raja-raja Mataram yang merupakan keturunan Brawijaya V, yang tentu memperoleh gelar kehormatan nama “Ki Ageng”, karena memiliki arti sebagai tokoh besar keagamaan dan pemerintahan yang dihormati dan memiliki kelebihan, kemampuan dan sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.


Kyai Ageng Henis dulunya beragama Hindu Jawa, namun semenjak singgahnya Sunan Kalijaga di daerah ini ketika hendak menuju Kadipaten Pajang, Kyai Ageng Henis pun kemudian masuk Islam. Setelah menyatakan masuk Islam dan menjadi murid Sunan Kalijaga. Ki Ageng Henis (nama sebelum memeluk agama Islam) itu akhirnya dididik dengan agama Islam dan ilmu yang tinggi oleh Sunan Kalijaga. Pada akhirnya Ki Ageng Henis menjadi orang yang waskita. Bahkan Ki Ageng Henis menjadi ulama yang derajatnya menyerupai wali.
Kemudian Ki Ageng Henis yang mendapat sebutan sebagai Kyai Ageng Henis mendapat tugas dari Sunan Kalijaga untuk mensyiarkan agama Islam di tlatah Pajang. Dalam berdakwah, Kyai Ageng Henis menerapkan cara-cara seperti yang dilakukan oleh gurunya, Sunan Kalijaga, yang membumi tanpa kesan menggurui, dengan damai, masuk akal dan penuh welas asih sangat mengena di hati masyarakat yang pada saat itu banyak memeluk agama Hindu.
Dari cara inilah akhirnya mengantarkan Kyai Ageng Henis dapat menjalin persahabatan dengan Ki Ageng Beluk, seorang pendeta agama Hindu di Laweyan yang cukup berpengaruh, yang di kemudian waktu membuahkan hasil yang tidak disangka-sangka. Dengan suka rela Ki Ageng Beluk menasbihkan diri masuk Islam dan menyerahkan pura miliknya pada Kyai Ageng Henis untuk diubah menjadi sebuah masjid (sekarang bernama Masjid Laweyan).


Masjid yang akhirnya menjadi sentra dakwah dan seiring berjalannya waktu dari masjid tersebut berdirilah pesantren yang mempunyai santri lumayan banyak. Saking banyaknya santri yang menimba ilmu kepada Kyai Ageng Henis, pesantren tersebut selalu menanak nasi untuk keperluan makan para santrinya, hingga menimbulkan ‘beluk’ atau asap dari dapur pesantren. Oleh karena itu kemudian daerah itu dikenal dengan Kampung Belukan.
Kyai Ageng Henis adalah tokoh negarawan sekaligus ulama yang mempunyai integritas tinggi yang mempunyai pemikiran maju ke depan. Ia tidak hanya berpikir mengenai akherat saja, namun diseimbangkan dengan kehidupan dunia. Para santri yang jumlahnya semakin banyak tidak hanya melulu diajarkan mengenai ilmu agama, namun juga kegiatan yang akhirnya akan memberikan kemapanan dari segi ekonomi keluarganya. Di Laweyan, selain berdakwah, Kyai Ageng Henis juga mengajarkan bagaimana cara membatik.
Setelah Kyai Ageng Henis meninggal pada tahun 1503, ia dimakamkan di belakang Masjid Laweyan di mana ada kompleks makam kerabat Kadipaten/Kraton Pajang yang beberapa tokoh dan petinggi kerajaan dikebumikan di sana. Sepeninggal Kyai Ageng Henis, cucunya yang bernama Sutawijaya atau yang biasa disebut Raden Ngabehi Loring Pasar menempati rumahnya. Cucu inilah yang akhirnya menjadi raja pertama di Kerajaan Mataram.
Rombongan Soerakarta Walking Tour memasuki kompleks makam Kyai Ageng Henis melalui gapura berbentuk paduraksa yang berada di selatan halaman Masjid Laweyan. Area pertama dari kompleks makam yang terjamah adalah sebuah lahan yang sebagian digunakan oleh kediaman juru kunci dari makam tersebut. Area pertama ini dikelilingi oleh empat gapura paduraksa, namun yang dilengkapi dengan gebyok pintu hanya dua buah, yaitu yang berada di sebelah timur atau menghadap ke Jalan Liris, dan yang berada di sebelah selatan. Sedangkan, gapura yang berada di sebelah barat dari area pertama ini merupakan gapura untuk masuk ke bagian area kedua yang terdapat dalam kompleks makam itu.


Di dalam area kedua ini, peserta rombongan dapat menjumpai sebuah pendopo yang konon diangkat dari pindahan Kraton Kartasura ketika kompleks makam ini direnovasi secara besar-besaran oleh Paku Buwono X. Sebelum direnovasi, kompleks makam ini terkesan sebagai pemakaman umum biasa. Tiada terkesan kemegahannya sebagai sebuah kompleks makam leluhur Raja-raja Mataram.
Pendopo Makam Kyai Ageng Henis ini memiliki bangunan utama seluas 93,96 m² dan dibangun dengan konstruksi tradisional berupa atap joglo. Seluruh rangkaian dari pendopo makam itu terbuat dari kayu jati yang berasal dari hutan Donoloyo yang terkenal memiliki kualitas dan kekuatannya. Sejak didirikan mulai tahun 1745, seluruh elemen kayu yang terpasang belum pernah diganti.
Di sebelah utara pendopo makam terdapat bangunan paseban berbentuk limasan yang multiguna. Mulai dari tempat untuk meletakkan jenasah sebelum masuk ke liang lahat maupun untuk tempat istirahat bagi mereka yang gemar melakukan tetirah di kompleks makam tersebut. Di sebelah barat dan timur dari paseban ini terlihat beberapa makam tua.


Setelah menginjakkan kaki di area kedua, peserta rombongan melanjutkan ke area ketiga. Mereka melintasi jalan setapak yang diapit di antara pendopo dan paseban melalui pintu gerbang paduraksa yang berada di sisi barat dari area kedua ini.
Di area ketiga ini, peserta rombongan akan dimanjakan oleh ribuan nisan kuno yang umumnya terbuat dari batu andesit berwarna hitam. Namun umumnya dari nisan-nisan tersebut jarang memuat tulisan untuk jasad siapakah yang dimakamkan di sana. Barangkali sudah terlalu aus dimakan usia, atau memang tidak diberi tulisan, mengingat dulunya di sekitar kompleks makam ini menjadi pusat dakwah agama Islam di Laweyan.
Setelah melintas area ketiga dan melewati pintu gerbang paduraksa terakhir ini, sampailah peserta rombongan ke dalam area keempat yang merupakan area utama dari kompleks makam tersebut. Karena di dalam area ini disemayamkan sejumlah orang-orang ‘ageng’, ‘agung’, ‘trahing kusuma rembesing madu’, di antaranya terdapat makam Kyai Ageng Henis, Paku Buwono II, Permaisuri Paku Buwono V, Pangeran Widjil I Kadilangu (Pujangga Dalem Paku Buwono II-Paku Buwono III), Nyai Ageng Pati, Nyai Ageng Pandanaran, GPH Prabuwonoto (anak bungsu dari Paku Buwono IX, Kyai Ageng Proboyekso, dan lain-lain.


Di dalam area keempat ini, peserta rombongan juga bisa menyaksikan pohon nagasari yang tergolong tanaman langka, usianya sudah ratusan tahun lebih. Konon, usia pohon tersebut sama dengan keberadaan kompleks makam tersebut.
Kompleks makam Kyai Ageng Henis yang memiliki lahan seluas satu hektar ini terdapat sekitar 4.000 makam. Pada hari dan bulan tertentu, makam Kyai Ageng Henis ini akan banyak dikunjungi oleh peziarah baik dari Kota Solo maupun dari luar Solo. Mereka umumnya melakukan ziarah kubur untuk mendoakan para arwah yang bersemayam di dalam kompleks makam tersebut, tetapi ada pula berziarah dalam pengertian laku seperti tirakat dan sebagainya. Peziarah yang demikian ini umumnya memilih mengunjungi makam pada malam maupun dini hari karena memilih saat suasana sepi dan hening.
Eksistensi Pasareyandalem Kyai Ageng Henis menunjukkan sesuatu yang bersifat penting untuk perkembangan heritage karena kompleks makam tersebut memiliki landasan historis maupun arkeologis. Oleh karena itu, melalui Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 646/116/I/1997 kompleks makam Kyai Ageng Henis ditetapkan sebagai cagar budaya dengan nomor 01 63/F/Lw/2012. Dengan demikian, kompleks makam Kyai Ageng Henis ini dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. *** [210718]

Kepustakaan:
Novitasari, L.N, Santi, M.Y. & Shubhan, N.B. (2017). Momen Sambungan Purus Takian Pada Struktur Pendopo Ki Ageng Henis Surakarta. https://caridokumen.com/download/mekanika-teknik-bangunan-pada-pendopo-masjid-agung-laweyan-surakarta-_5a46c595b7d7bc7b7a1dcfa1_pdf
Shodig, Fajar. (2017). Kyai Ageng Henis Dalam Sejarah Industri Batik Laweyan Surakarta. https://media.neliti.com/media/publications/61344-ID-kyai-ageng-henis-dalam-sejarah-industri.pdf
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami