Pada masa Hindia Belanda dulu, Solo menjadi salah satu kota yang menyenangkan untuk tinggal bagi orang-orang Belanda. Hal ini dikarenakan banyaknya fasilitas modern di zamannya dijumpai di Solo, seperti stasiun kereta api, pusat perbelanjaan, perbankan, societeit, dan hotel. Di antara hotel yang ada di Solo adalah Hotel Rusche (Hotel Rusche te Soerakarta).
Dalam Gouvernements Bedrijf Der Telefonie Gids Voor Solo Uitgave Septermber 1930 No. 70 (hal. 5) disebutkan bahwa, Hotel Rusche berada di Lodjiwoeroeng. Lodjiwoeroeng merupakan sebutan nama daerah yang pernah akrab di kalangan masyarakat Solo. Daerahnya dari Gladag ke utara sampai Jembatan Arifin, terus ke barat sampai Pring Gading lalu ke selatan hingga pertigaan Jalan Imam Bonjol – Jalan Slamet Riyadi, dan kemudian ke timur sampai ke Gladag lagi.
Menurut catatan sejarah, Hotel Rusche didirikan pada akhir abad ke-19 oleh Albert Rusche, seorang pengusaha Belanda yang memiliki banyak usaha di Solo. Usahanya diawali dari percetakan dan penerbitan (drukkerij) Albert Rusche & Co., kemudian merambah ke perhotelan, properti (onroerend goed), dan perdagangan ekspor impor.
Hotel Rusche Solo (Sumber: https://ruschefamily.com/) |
Albert Rusche lahir di Amsterdam pada 28 Juli 1851 dari pasangan Roelof Rusche dan Alberta Wilhelmina Rusche. Ia menikah dengan Diena Jansen pada tahun 1884 di Bogor. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai 11 anak: Bertha de Wilde, Willem, Jootje, Annie, Albert, Alex, Theo, Dina, Albert Alwin Rusche, Adolph Heinrich Christian Rusche, dan Joopie.
Seperti halnya dengan Hotel Slier, Hotel Rusche merupakan salah satu hotel ternama di Kota Solo. Raja Chulalongkorn dari Siam (kini Thailand) pernah menginap di hotel ini ketika mengunjungi Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran. Berita tentang menginapnya Raja Siam dimuat dalam surat kabar De Locomotief: Samarangsch handles-en advertentieblad, 27 Juni 1901.
Hotel Rusche memiliki dua lantai, dan di atas teras depan (voor galerij) terlihat balkon untuk melihat pemandangan yang ada di depan hotel. Gaya arsitektur bangunan hotel ini pada situasi perkembangan arsitektur pada akhir abad ke 19 di Hindia Belanda, yaitu gaya arsitektur transisi. Pada umumnya arsitektur transisi ini mempunyai bentuk denah yang hampir mirip dengan arsitektur Indische Empire. Hal yang membuat arsitektur peralihan terlihat berbeda dengan Indische Empire adalah tidak adanya pilar bergaya Yunani atau Romawi sebagai ciri khasnya.
Seperti hotel-hotel terkenal di kota-kota besar di Hindia Belanda, Hotel Rusche juga mengiklankan jasa perhotelan yang dimilikinya dengan berbagai fasilitas seperti fasilitas 52 kamar lengkap dengan penerangan listrik, servis makanan, serta garasi yang bisa memuat empat buah mobil.
Bangunan Hotel Rusche yang pernah berdiri di Kota Solo itu sekarang sudah tidak ada lagi. Tinggal menjadi kenangan saja. Bekas bangunan Hotel Rusche kemudian pernah dibangun Bank Harapan Santosa (BHS) Gladag, yang pada awalnya merupakan bangunan tertinggi di Kota Solo dengan sepuluh lantai, tapi karena mengalami pailit bangunan BHS tersebut kemudian dibeli oleh pemilik Group Sun Motor, Imelda Sundoro.
Oleh Imelda Sundoro, bangunan bekas BHS itu ‘disulap’ menjadi bangunan The Royal Surakarta Heritage, sebuah hotel bintang lima di pusat Koa Solo yang memiliki 150 kamar dengan lima tipe kamar yakni superior, deluxe, executive, junior suite, dan executive suite. *** [160420]
Kepustakaan:
Aprianto, Muhammad. (2015). Dinamika Ekonomi Di Surakarta Tahun 1870-1936. Skripsi di Program Stdui Ilmu Sejarah, FIB, UNS
Riyanto, Bedjo. (2019). Siasat Mengemas Nikmat: Ambiguitas Gaya Hidup Dalam Iklan Rokok Di Masa Hindia Belanda Sampai Pasca Orde Baru 1925-2000. Yogyakarta: Lembaga Studi Realino
https://ruschefamily.com/?page_id=147
Tidak ada komentar:
Posting Komentar