The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Jogja Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jogja Heritage. Tampilkan semua postingan

Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Pugeran

Pugeran merupakan sebuah kampung yang berada di bagian selatan Kota Yogyakarta. Dipilihnya Pugeran sebagai lokasi untuk mendirikan gereja, karena pada waktu itu di Yogyakarta bagian selatan baru ada satu gereja Katolik, yaitu gereja yang berada di Ganjuran.
Selain untuk menampung jemaat Katolik di Yogyakarta bagian selatan dan Bantul bagian utara, juga untuk mengatasi semakin bertambahnya jumlah umat Katolik di Gereja Frasiscus Xaverius Kidul Loji dan Gereja Santo Antonius Bintaran. Hal ini yang menyebabkan muncul ide untuk mendirikan sebuah gereja yang bernama Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Pugeran, atau biasa disebut dengan Gereja Pugeran. Gereja ini terletak di Jalan Suryaden No. 63 Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogayakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi gereja ini berada di sebelah timur laut Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta ± 50 m.


Dengan diprakasai oleh Pastor Adrianus Djajasepoetra SJ, yang didukung oleh para bangsawan Jawa seperti Pangeran Suryodiningrat, Pangeran Tedjokusumo, Pangeran Brotodiningrat, dan Pangeran Puger, gereja itu mulai dibangun pada 5 November 1933 dengan menggunakan hasil rancangan dari seorang arsitek Belanda, Johannes Theodorus van Oijen. Sebelumnya, Van Oijen sudah mendesain Gereja Katolik SantoAntonius Bintaran.
Lahan tempat pendirian gereja ini merupakan tanah milik beberapa penduduk yang dibeli oleh Yayasan Papa Miskin, sebuah yayasan Misi di Yogyakarta, yang diatasnamakan Pastor Adrianus Djajasepoetra SJ. Lahan tersebut berada di lokasi yang sekarang menjadi tempat berdirinya gereja ini, yaitu sebuah jalan yang berada antara pojok Beteng Kulon dan Bantul, yang dikenal dengan nama Pugeran.


Gereja ini kemudian diresmikan pada 8 Juli 1934 oleh Pastor A. Van Klanken SJ, dengan diakon Pastor Rektor Xaverius Muntilan dan subdiakon Pastor A. Sukiman Prawirapratama SJ, bersamaan dengan peringatan 75 tahun Misi Yesuit di Hindia Belanda, dan kemudian esok harinya dilakukan pembaptisan pertama Fransiscus Xaverius Suyatna dari Padokan. Pastor pertama yang ditunjuk untuk berkarya di Gereja Pugeran adalah Pastor Adrianus Djajasepoetra SJ.
Berdasarkan catatan tahun 1936, jumlah umat Katolik yang ada di Gereja Pugeran ini adalah 1.010 orang. Sebagian besar umat tersebut terdiri dari umat pribumi Jawa, yang umumnya berasal dari daerah sekitar Pabrik Gula Padokan, dan sekitar gereja tersebut.


Dilihat dari arsitekturnya, gereja ini memiliki fasad yang khas dibandingkan dengan gereja-gereja lain pada umumnya. Pada gereja ini terjadi ‘perkawinan’ antara arsitektur tradisonal Jawa dengan arsitektur Barat. Ciri tradisionalnya bisa dilihat dari atapnya yang berbentuk tajug yang lazim digunakan pada bangunan ibadah tradisional Jawa yang dipengaruhi oleh agama Islam. Namun pada ujung atap terdapat sebuah salib untuk menandakan bahwa bangunan itu adalah bangunan gereja. Sedangkan, ciri dari Barat ditandai dengan dinding-dinding gerejanya. Badan bangunan bagian depan menggunakan langgam Neo-Gothic yang menggunakan moulding pada permukaan dindingnya, dan di atas pintu utama gereja tertulis Ad Maiorem Dei Gloriam, yang artinya “Demi kemulian Tuhan yang lebih besar”.


Gereja Pugeran ini merupakan salah satu gereja yang mampu bertahan menghadapi gejolak sosial dan politik, karena Paroki Pugeran mampu menjadi bagian dari lokalitas masyarakat di sekitarnya dengan berperan langsung sebagai bagian dari media perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada masa Agresi Militer Belanda II, pasukan Belanda melakukan serangan terhadap Kota Yogyakarta. Pada saat serangan tersebut, banyak orang mengungsi menuju ke arah selatan dari Kota Yogyakarta. Halaman Gereja Pugeran penuh dengan pengungsi. Pastor dan para pembantunya berusaha untuk melindungi dan mengayomi para pengungsi yang mengungsi di halaman Gereja Pugeran. Mereka mengusahakan obat-obatan dan makanan bagi para pengungsi serta merawat yang terluka dan sakit. Sementara, mayat yang bergelimpangan akibat dari perang tersebut, juga dikuburkan dengan layak oleh pastor dan para pembantunya.
Peristiwa heroik itu diabadikan dalam sebuah prasasti yang dibangun di depan gereja, dan tepatnya berada di belakang patung Hati Kudus Yesus. Prasasti tersebut berbunyi: “Di bawah naungan Hati Kudus Juru Selamat Kristus para pastor beserta umat paroki Pugeran dengan penuh bakti serta syukur memperingati hari ulang tahun ke-50 Gereja Hati Kudus tercinta ini, khususnya dengan kenang-kenangan bahagia bahwa pada hari-hari yang paling gelap penuh derita 19 Desember 1948 - 19 Juni 1949 selama Perang Kemerdekaan Republik Indonesia tempat ini telah menjadi pengungsian dan perlindungan bagi penduduk tak bersalah di sekitar gereja Pugeran dan merupakan tempat penghubung rahasia pula antara para pejuang gerilyawan Perang Kemerdekaan Republik Indonesia yang bergerak di dalam dan di luar kota Yogyakarta”. *** [210717]

Kepustakaan:
http://library.fis.uny.ac.id/elibfis/index.php?p=show_detail&id=998&keywords=
https://www.academia.edu/2348128/Tinjauan_Inkulturasi_Agama_Katolik_dengan_Budaya_Jawa_pada_Bangunan_Gereja_Katolik_di_Masa_Kolonial_Belanda_Studi_Kasus_Gereja_Hati_Kudus_Yesus_Pugeran_
Share:

Gereja Katolik Santo Yusup Bintaran

Kawasan Bintaran merupakan salah satu kawasan permukiman yang dikembangkan oleh Pemerintah Hnidia Belanda di Yogyakarta. Pengembangan kawasan ini lantaran permukiman orang-orang Belanda maupun Eropa yang lama di kawasan Kidul Loji atau Secodiningratan sudah padat. Kawasan Kidul Loji sendiri berada di sebelah selatan Benteng Vredeburg, yang berjarak satu kilometer dengan kawasan Bintaran.
Dalam pengembangan kawasan Bintaran tersebut, juga didirikan fasilitas keagamaan berupa gereja Katolik yang bernama Gereja Katolik Santo Yusup, atau yang dikenal juga dengan Gereja Bintaran. Gereja ini terletak di Jalan Bintaran Kidul No. 5, Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi gereja ini berada di depan Bintaran Mart, atau H Royal Residence Bintaran.


Gagasan mendirikan gereja di Bintaran ini berawal dari keprihatinan akan keterbatasan ruang gereja yang ada di Gereja Santo Frasiskus Xaverius Kidul Loji. Pada waktu itu, Gereja Santo Fransiskus Xaverius Kidul Loji masih didominasi oleh jemaat yang terdiri dari orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Orang-orang kulit putih menempati bangunan utama gereja, sedangkan jemaat orang-orang pribumi Katolik memilih menempati gudahng sisi timur gereja.
Seiring perkembangan waktu, gudang tersebut tak mampu lagi untuk menampung jemaat pribumi Katoilk. Situasi dan kondisi yang demikian menjadi perhatian Pastor Henri van Driessche SJ, untuk membangun gereja yang khusus untuk jemaat orang-orang pribumi Katolik tersebut.
Setelah penggalangan dana terkumpul, maka dibuatlah desain bangunan gereja yang dipercayakan kepada Ir. Johannes Theodorus van Oijen. Van Oijen adalah seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang telah banyak berkiprah di kota-kota yang ada di Hindia Belanda, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Ia kelahiran Den Haag pada 3 Oktober 1896, dan meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung pada 11 Juli 1944.


Pembangunan gereja dimulai pada tahun 1933, dan kontraktor pelaksananya dilakukan oleh sebuah perusahaan bangunan milik Belanda bernama Naamloze Vennootschap (NV) “Hollandsche Beton Maatschappij”. Luas bangunan gereja adalah 720 m² yang berdiri di atas lahan seluas 5024 m². Tinggi bangunan gereja 13 m, lebar 20 m dan panjang 36 m.
Secara visual bangunan Gereja Bintaran memiliki keunikan bila dibandingkan dengan gereja-gereja lainnya yang ada di Yogyakarta. Gereja ini mempunyai atap plat beton lengkung tinggi yang diapit oleh atap datar. Langgam arsitektur gereja seperti itu hanya ada dua, yang satunya ada di Belanda yang menjadi induk dari gereja ini.
Gedung gereja ini diresmikan pada hari Minggu, 8 April 1934 bersamaan dengan misa ekaristi untuk pertama kalinya yangdihadiri sekitar 1800 jemaat Katolik pribumi. Peresmian gereja dilakukan oleh Mgr. A. Th. Van Hoof SJ, Vikaris Apolistik didampingi oleh Pastor Van Kalken SJ, Kepala Misi Jesuit di Jawa dan Pastor G. Riestra SJ, Pastor Kepala di Yogyakarta. Selain itu, juga dihadiri oleh dua orang wakil masyarakat Katolik pribumi, Raden B. Djajaendra dan Raden Mas L. Jama. Keduanya bekas murid sekolah guru Muntilan yang saat itu bekerja di sekolah Bruderan Yogyakarta.
Setelah itu, Pastor pertama yang berkarya di Bintaran adalah Pastor A.A.C.M. de Kuyper SJ dibantu oleh Pastor A. Soegijopranoto SJ. Mereka berdua sudah dipercaya memegang Paroki Bintaran sejak 12 Oktober 1933, satu tahun sebelum gereja diresmikan penggunaannya.
Menilik data antara Juli 1935 sampai Juni 1936 diketahui bahwa, jumlah jemaat Paroki Bintaran berjumlah 4.695 orang. Dari jumlah itu, hanya ada 26 jemaat orang Eropa. Selaras dengan ide awal pendirian gereja ini, perbandingan ini telah mengokohkan bahwa Gereja Bintaran memang merupakan Gereja Katolik Jawa pertama di Yogyakarta.
Anton Haryono dalam bukunya, Awal Mulanya Adalah Muntilan: Misi Jesuit di Yogykarta 1914-1940 (Kanisius, 2009) menjelaskan bahwa, daerah Yogyakarta merupakan tanah Misi paling subur di Jawa, yang tidak hanya tercermin dari pertumbuhan umat, tetapi juga dari kesuburan panggilan imamat dan hidup membiara. Dari daerah inilah untuk pertama kalinya di Indonesia muncul imam, biarawan, dan biarawati pribumi. Bahkan, kardinal pertama juga berasal dari daerah Yogyakarta.
Di sisi lain, gereja ini juga mempunyai peran dalam proses perjuangan kemerdekaan. Pada saat Ibu Kota Pemerintahan RI dipindahkan ke Yogyakarta, Gereja Bintaran menjadi tempat persembunyian keluarga Bung Karno dan Hatta yang kala itu dibuang ke bukit tinggi. Selain itu, gereja ini juga menjadi tempat rintisan sekolah pribumi Kolese Debrito, dan sering kali digunakan sebagai tempat pertemuan kelompok gereja Katolik, salah satunya adalah Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) yang berlangsung dari tanggal 12 sampai dengan 17 Desember 1949 yang menghasilkan Partai Katolik Indonesia.
Kini, Gereja Bintaran menjadi cagar budaya yang dilindungi oleh negara berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.25/PW.007/MKP/2007 tentang Penetapan Situs Dan Bangunan Tinggalan Sejarah dan Purbakala Yang Berlokasi Di Wilayah Propinsi DIY Sebagai Benda Cagar Budaya Atau Kawasan Cagar Budaya. *** [210717]

Foto: Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo

Kepustakaan:
Haryono, Anton. (2009). Awal Mulanya Adalah Muntilan: Misi Jesuit di Yogykarta 1914-1940. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
http://journal.unpar.ac.id/index.php/rekayasa/article/viewFile/1355/1312
http://loncengbintaran.blogspot.co.id/2007/12/sejarah-gereja-santo-yusup-bintaran.html
http://lppmsintesa.fisipol.ugm.ac.id/mengunjungi-gereja-jawa-pertama-di-yogyakarta/
https://www.academia.edu/7666653/Rekam_Jejak_Arsitektur_Indis_di_Bintaran
Share:

Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru

Kotabaru termasuk salah satu kelurahan yang ada di Kota Yogyakarta. Semula Kotabaru ini dikenal dengan Nieuwe Wijk, yaitu permukiman orang-orang Belanda maupun Eropa yang tinggal di Yogyakarta. Sebagaimana permukiman orang-orang Belanda pada umumnya, permukiman tersebut dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pendukungnya, seperti fasilitas olahraga, kesehatan, dan keagamaan.
Salah satu fasilitas keagamaan yang ditemukan di kawasan itu adalah Gereja Katolik Santo Antonius, yang terletak di Jalan Abu Bakar Ali No. 1 Kelurahan Kotabaru, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi gereja ini hoek pertemuan antara Jalan Abu Bakar Ali dan Jalan I Dewa Nyoman Oka.
Keberadaan Gereja Katolik Santo Antonius ini tidak terlepas dari peran Pastor Fransiscus Xaverius Strater SJ. Ia adalah seorang misionaris Jesuit yang tiba di Yogyakarta pada tahun 1918. Kedatangannya adalah untuk membantu pengembangan kegiatan Misi di daerah Yogyakarta yang telah dirintis oleh Pastor Henri van Driessche.


Semula tugas utamanya adalah karya pastoral bagi orang-orang Katolik Belanda (Eropa), namun kemudian ia tertarik untuk terlibat dalam Misi di antara orang-orang pribumi Jawa. Mengawali karya misinya tersebut, Pastor Fransiscus Xaverius Strater, SJ mendirikan Kolese Santo Ignatius (Kolsani) pada 18 Agustus 1922, dan Seminari Tinggi (Novisiat Kolsani) pada tahun 1924, yang gedungnya sekarang ini digunakan oleh Puskat/IPPAK dan Pusat Musik Liturgi (PML). Dari Kolsani inilah benih-benih kekatolikan ditabur, dan banyak masyarakat yang mengikuti ajaran Katolik.
Di lingkungan Kolsani itu juga dibangun sebuah kapel untuk tempat kebaktian. Kapel Kolsani ini mula-mula digunakan untuk orang-orang Kolsani, namun kemudian terbuka untuk umum. Seiring perjalanan waktu, kapel kian hari kian terlihat sempit karena jumlah umat bertambah banyak. Hal ini yang menyebabkan Pastor Fransiscus Xaverius Strater SJ memandang perlu didirikan sebuat tempat peribadatan bagi umat Katolik yang lebih besar.
Tempat ibadat, atau gedung gereja, merupakan salah satu sarana penting untuk memenuhi kebutuhan umat dalam menjalankan upacara-upacara keagamaan. Keberadaannya yang permanen dan mudah dijangkau memungkinkan umat untuk mengikuti perayaan Misa dan kegiatan-kegiatan rohani lainnya dengan lebih teratur. Selain itu, gereja sebagai tempat perjumpaan rutin, secara sosial dapat memperteguh eksistensi komunitas kecil umat Katolik di tengah-tengah masyarakat. Menilik kebutuhan fungsionalnya, lembaga Misi kemudian berusaha semaksimal mungkin untuk dapat membangun gedung-gedung gereja.
Provinsial Serikat Jesus Hindia Belanda saat itu, yaitu Pastor J. Hoeberechts, berusaha menggalang dana untuk membangun sebuah gereja yang cukup besar dan representatif guna menampung umat Katolik baru yang semakin bertambah. Akhirnya, Pastor J. Hoeberechts mendapat bantuan atau donatur dari seorang wanita di Belanda untuk membangun gereja di Kotabaru, tapi dengan syarat nama gereja yang disandangnya hendaknya diberi nama Santo Antonius van Padua.


Setelah itu, pembangunan gereja pun mulai direalisasikan. Pastor J. Hoeberechts menyerahkan desain bangunan kepada Cuypers melalui biro arsitek ternama dari Batavia, NV Architecten-Ingenieursbureau Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam, atau biasa disingkat menjadi Biro Arsitek Fermont-Cuypers, yang memang sudah menghasilkan lusinan karya di Hindia Belanda. Akan tetapi, dalam pelaksanaan pembangunan gereja tersebut, desain awal Cuyper mengalami perubahan. Seharusnya lebih luas, besar, dan megah, tetapi karena keterbatasan lahan dan biaya pada waktu itu. Menara depan yang seharusnya memakai kubah diganti menjadi mengerucut ke atas. Begitu pula, bangunan di sisi kiri dan kanan dari gereja, dikurangi lebarnya. Akhirnya terwujud bangunan gereja seperti sekarang ini.
Setelah selesai, Gereja Santo Antonius Kotabaru diresmikan pada 26 September 1926 dengan pemberkatan oleh Mgr. A. van Velsen SJ, Uskup Batavia yang juga membawahi Jawa Tengah dan Yogyakarta. Selain unutk kebaktian, gereja tersebut juga difungsikan sebagai tempat para calon imam muda berlatih. Karena kala itu, gereja tersebut masih merupakan milik Kolsani. Rektor Novisiat Kolsani, yaitu Pastor Fransiscus Xaverius Strater SJ, sekaligus menjabat sebagai Pastor Kepala Paroki Santo Andonius Kotabaru. Dulunya, Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru merupakan stasi dari Paroki Kidul Loji, namun kemudian pada 1 Januari 1934 menjadi paroki yang berdiri sendiri.
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, bangunan gereja ini dikuasai oleh tentara Jepang, dan digunakan sebagai gudang. Sementara itu, bangunan Kolsani menjadi tempat penampungan interniran bagi suster-suster dan wanita-wanita Belanda, sedangkan Seminari Tinggi yang berada di sebelah barat gereja difungsikan sebagai kantor bagi tentara Jepang. Keadaan yang seperti ini, menyebabkan Pastor Fransiscus Xaverius Strater SJ meninggal sebagai internir, dan tempat ibadat umat Katolik dipindahkan ke bangunan rumah kuno berbentuk Joglo yang berada di daerah Kemetiran.
Setelah Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, dan Indonesia merdeka, Kolsani dan Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru difungsikan kembali menjadi tempat pendidikan dan gereja seperti semula. Aktifnya kembali gereja ini, menyebabkan rumah Joglo Kemetiran menjadi paroki yang berdiri sendiri.
Pada tahun 1967 Kolsani menyerahkan pengelolaan gereja kepada paroki untuk mendewasakan Paroki Santo Antonius Kotabaru, namun pemisahan sepenuhnya baru terjadi pada tahun 1975. Paroki Santo Antonius Kotabaru selanjutnya tumbuh menjadi suatu paroki yang berdikari dalam segala bidang hingga saat ini. *** [210717]

Foto: Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo

Keputakaan:
Heuken SJ, Adolf. (2003). Gereja-gereja tua di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka
Haryono, Anton. (2013). Awal Mulanya Adalah Muntilan: Misi Jesuit di Yogyakarta 1914-1940. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
http://travelheritage.id/artikel/detail/19-gereja-katolik-santo-antonius-kotabaru-yogyakarta
Share:

Kantor Asuransi Jiwasraya Kotabaru

Kawasan Kotabaru, yang dulunya disebut Nieuwe Wijk, merupakan sebuah wilayah khusus yang didirikan untuk permukiman orang Belanda maupun Eropa lainnya. Kawasan ini mulai dibangun pada tahun 1920-an. Pembangunan kawasan ini merupakan konsekuensi dari kian berkembangnya jumlah orang Belanda maupun Eropa yang ada di Yogyakarta. Perkembangan tesebut tidak terlepas dengan adanya industri gula dan perkebunan-perkebunan lainnya.
Desain kawasannya sangat rapi dengan pemanfaatan ruang yang teratur. Ada bangunan rumah, taman. Fasilitas keagamaan, fasilitas pendidikan maupun fasilitas kesehatan. Bangunan-bangunan dirancang dengan gaya arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim alam setempat. Salah satu bangunan peninggalan kolonial Belanda yang masih bisa ditemui sampai sekarang adalah Kantor Asuransi Jiwasraya. Kantor ini terletak di Jalan Faridan Muridan Noto No. 9 Kelurahan Kotabaru, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi kantor ini berada di sebelah timur SDN Ungaran, atau berada di hoek Jalan Faridan Muridan Noto dan Jalan Ungaran.


Gedung Kantor Asuransi Jiwasraya itu semula merupakan rumah untuk kediaman salah satu pegawai Nederlandsch-Indische Levensverzekerings en Lijfrente Maatschappij (NILLMIJ). NILLMIJ merupakan sebuah perusahaan asuransi jiwa yang didirikan di Hindia Belanda pada 31 Desember 1859.
Dalam perjalanan yang cukup panjang, NILLMIJ ini pernah mengalami pelbagai perubahan nama. Dimulai ketika perusahaan asuransi ini dinasionalisasi pada tahun 1960, hingga sekarang menjadi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sejak tahun 1998. Oleh karena itu, gedung bekas kediaman pegawai NILLMIJ yang terdapat di Kotabaru pun lantas ikut menjadi aset PT Asuransi Jiwasraya (Persero), dan saat ini dijadikan sebagai Kantor Asuransi Jiwasraya Kotabaru.
Pada masa pendudukan Jepang, Kotabaru dan hunian Belanda lain di Yogyakarta diambil alih oleh Jepang, antara lain untuk kepentingan perkantoran, perumahan, tangsi, dan gudang. Khusus untuk bangunan milik NILLMIJ ini dijadikan untuk tempat tinggal Butaico Mayor Otsuka, perwira tinggi angkatan bersejata Jepang.


Pada 6 Oktober 1945, Mohammad Saleh (dari KNID), R.P. Sudarsono (Polisi Istimewa), Sunyoto, Bardosono (dari BKR) mengadakan pembicaraan dengan pimpinan tentara Jepang yaitu Mayor Otsuka, Kenpeito Sasaki, Kapten Ito dan Kiabuco di bangunan NILLMIJ itu. Dalam pertemuan itu, Jepang diminta agar mau menyerahkan senjatanya dan menyerahkan kewajiban menjaga ketentraman dan keamanan dalam negeri. Akan tetapi, Jepang tetap bersikeras tidak mau menyerahkan senjata, dengan demikian tidak ada jalan lain selain melalui jalan kekerasan atau pertempuran.
Akhirnya, para pejuang bersama pemuda di Yogyakarta berusaha mengepung kediaman Mayor Otsuka yang dianggap sebagai pusat markas pasukan Jepang dari berbagai arah. Karena mengetahui markasnya terkepung, Jepang pun memberi perlawanan dengan memuntahkan peluru mitraliyurnya terhadap pasukan dan pemuda Indonesia dari tempat-tempat persembunyiannya. Pasukan rakayat yang telah disiagakan sejak sore hingga malam hari tanggal 6 Oktober 1945, terus mendesak masuk ke dalam markas Jepang, sehingga terjadi peperangan satu lawan satu dari jarak dekat yang berlangsung sampai menjelang siang hari. Beberapa saat kemudian mereka dapat bergerak mendekati kubu pertahanan Jepang.
Pada saat pertempuran tengah berlangsung, Butaico yang bermarkas di Pingit datang ke Kotabaru. Dengan senang hati Butaico Pingit menyerahkan senjatanya dengan syarat anak buahnya tidak diganggu. Pimpinan TKR lalu meminta agar Butaico Pingit menasehati Mayor Otsuka untuk bersedia mengikuti jejaknya menyerahkan senjata mereka kepada Indonesia. Namun Otsuka belum mau menyerahkan senjata-senjata tersebut. Karena itu pertempuran berjalan semakin memanas. Dalam suatu kesempatan, Mohammad Saleh dan R.P. Sudarsono berhasil masuk ke dalam tangsi Jepang, menemui Mayor Otsuka. Mereka kembali mendesak Butaico Kotabaru tersebut untuk menyerah, agar tidak lagi menimbulkan korban di antara kedua belah pihak. Pada akhirnya karena keadaan terjepit, Butaico Mayor Otsuka memberi jawaban akan menyerahkan snjatanya, tetapi hanya kepada Yogyakarta Ko (Kepala Daerah Yogyakarta) Sri Paduka Sultan Hamengku Buwono IX. Setelah pernyataan ini, perlawanan Jepang semakin berkurang dan sekitar pukul 10.30 tanggal 7 Oktober 1945 dari tengah-tengah pertahanan Jepang berkibar bendera putih tanda Jepang menyerah. Selanjutnya Butaico Mayor Otsuka memerintahkan anak buahnya menghentikan pertempuran serta menyerahkan senjata mereka kepada bangsa Indonesia. *** [210717]

Foto: Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo

Kepustakaan:
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/2016/03/30/holland-kecil-di-residentie-yogyakarta/#
http://lms.aau.ac.id/library/ebook/MJ_246_H/files/res/downloads/download_0049.pdf
Share:

Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta

Kawasan Kotabaru merupakan kawasan permukiman orang-orang Eropa yang dibangun usai Perang Dunia I, atau pada akhir pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921). Kawasan ini merupakan kawasan yang benar-benar baru dibangun terpisah dari Kota Lama Yogyakarta.
Meskipun permukiman itu dikenal dengan Kotabaru, akan tetapi banyak bangunan lawas yang masih menghiasi di kawasan tersebut. Salah satu bangunan yang masih memperlihatkan kekunaannya adalah Rumah Sakit Bethesda. Rumah sakit ini terletak di Jalan Jenderal Sudirman No. 70 Kelurahan Kotabaru, Kecamatan Gondukusuman, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi rumah sakit ini berada di depan Mall Galeria, atau sebelah utara Universitas Kristen Duta Wacana ± 400 m.
Sejarah Rumah Sakit Bethesda tidak dapat dilepaskan dari dinamika zending yang ada di Yogyakarta. Dalam catatan pada Repertorium van Nederlandse zendings- en missie-archieven 1800-1960 diterangkan bahwa, rumah sakit yang dibangun di Yogyakarta itu merupakan rumah sakit yang memberikan layanan kesehatan guna mengembangkan misi gereja, yang pada waktu itu dikenal dengan Gereformeerde Kerken. Gereformeerde Kerken, atau lengkapnya Christelijke Gereformeerde Kerken, adalah suatu kelompok gereja Kristen Protestan di Belanda, yang dalam bahasa Inggris disebut Christian Reformed Churches in the Netherlands.


Ryadi Goenawan dan Darto Harmoko dalam bukunya Sejarah Sosial Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta: Mobilitas Sosial DI. Yogyakarta Periode Awal Abad Duapuluh (1993) menjelaskan bahwa sejak kebangkitan gerakan zending itu, pada tahun 1897 perkembangan agama Kristen di Yogyakarta semakin pesat. Hal ini berkat usaha seorang dokter berkebangsaan Belanda bernama dr. Jan Gerrit Scheurer. Sebelumnya, ia pernah membuka praktek dokter di Gilingan, Solo (1895-1896) bersama istrinya yang bernama Geriitjen van de Riet, dan dibantu oleh Yoram, Sambiyo Reksohusodo dan Kalam Efrayim. Di dalam rumah sewanya itu, kamar makan dirombak menjadi kamar bedah, meja makannya digunakan untuk meja operasi atau bedah. Sebelum memeriksa orang sakit, lebih dahulu dibacakan Alkitab dan berdoa. Tiap hari Minggu diadakan kumpulan untuk merenungkan Firman Tuhan dengan tanya jawab. Dr. Jan Gerrit Scheurer dan pembantu-pembantunya bekerja giat dilandasi sifat kasih sayang.
Ketika Residen Surakarta, Hora Siccama mengetahui bahwa dr. Jan Gerrit Scheurer juga memberitakan Injil, izin praktek pun dicabut. Ia pun kemudian pindah ke Purworejo lagi. Tapi kemudian ia mendapat kepercayaan dari Sinode Middelburg untuk membangun sebuah rumah sakit di Yogyakarta. Sebuah yayasan yang disebut “Rumah Sakit Dr. Scheurer” didirikan dengan dukungan penuh dari tokoh Gereformeerde terkemuka, seperti Abraham Kuyper dan dr. F.L. Rutgers.


Di kota ini ia bertempat tinggal di sebuah rumah sewa yang terletak di Jalan Bintaran. Pada 17 Maret 1897 merupakan awal kerjanya saat mendirikan rumah darurat dari bambu di samping rumahnya untuk tempat praktek pengobatan. Bangunan ini selesai pada bulan Juli 1897. Digantungkan sebuah papan bertuliskan, “Gusti Yesus Poenika Djoeroe Wiloedjeng Sedjatos”. Mulailah kerja yang akan dicatat oleh sejarah sebagai gerak perkembangan agama Kristen di daerah Kota Yogyakarta.
Pada 1 Juli 1897 poliklinik sederhana itu dibuka dengan pemuda Yoram sebagai pegawainya. Tidak ada upacara pembukaan dan tidak ada pesta, yang ada hanya semangat kerja dan cinta-kasih untuk mereka yang menderita serta memerlukan perawatan kesehatan. Pada bulan-bulan pertama orang yang datang ke poliklinik untuk berobat antara 10-15 orang. Hanya dalam waktu satu setengah tahun yang datang berobat tercatat sebanyak 15.367 orang. Selama itu dr. Jan Gerrit Scheurer telah berhasil menjalankan operasi dengan narcose sebanyak 12 kali hanya dengat peralatan sederhana dan di atas meja makan.


Kebutuhan akan ruangan dalam perawatan orang-orang sakit semakin terasakan. Terpaksa direncanakan membangun sebuah rumah sakit dengan kapasitas 150 tempat tidur. Berbagai instansi membantu keinginan dr. Jan Gerrit Scheurer ini, khususnya dari Sri Paduka Sultan Hamengku Buwono VIII. Sebidang tanah di daerah Gondokusuman, seluas 30.000 meter persegi dihadiahkan. Tanah ini sebelumnya merupakan kebun tebu milik Onderneming Muja-Muju, Sultan memberikan ganti kepada perkebunan tebu Muja-Muju untuk menempati daerah lain. Saat itu, tanah yang akan dipakai sebagai bangunan rumah sakit berada di luar dari apa yang disebut Kota Yogyakarta.
Pada 20 Mei 1899 peletakan batu pertama pembangunan rumah sakit dilakukan oleh anak dr. Jan Gerrit Scheurer. Simbolisme ini melambangkan keinginan sang dokter agar cita-citanya diteruskan oleh anaknya. Pada 1 Maret 1900 dapat diselesaikan dua zaal untuk merawat penderita pria dan wanita. Pada 13 Maret 1900 ada 15 pasien yang dirawat di bangunan itu, di antaranya seorang wedana dari Madiun yang harus dioperasi. Kehadiran wedana ini ternyata cukup memberikan arti bagi rumah sakit. Masyarakat lebih mengharapkan berperanannya rumah sakit ini khusunya bagi mereka yang tinggal di Kota Yogyakarta. Ada kaitan kehadiran seorang pejabat di rumah sakit sebagai pasien dengan pengharapan dan kepercayaan masyarakat yang semakin besar atas usaha-usaha di bidang kesehatan masyarakat dari Zending.



Pembangunan rumah sakit berjalan terus dan perencanaan pembangunan dikerjakan secara cuma-cuma oleh Stegerhoek dan Stuur. Di samping itu dana berupa uang sebesar 10.000 dan 5.000 gulden diperoleh dari seorang pensiunan pendeta bernama Coeverden Andriani. Permintaan sang pendeta yaitu, agar rumah sakit ini diberi nama “Petronella”, sebuah nama dari istrinya yang dicintainya.
Perkembangan rumah sakit yang berawal dari poliklinik di Bintaran kini telah memiliki tiga zaal laki-laki dan dua zaal wanita hanya dalam waktu beberapa tahun. Nama yang diberikan untuk rumah sakit yakni ZendingshospitaalPetronella”. Masyarakat waktu itu mengenalnya sebagai “Dokter Tulung”. Kata ‘tulung’ berasal dari pitulungan (bahasa Jawa) yang bermakna pertolongan, karena dalam pelayanan terhadap pasien, rumah sakit ini tidak memandang apa dan siapa pasien itu, namun mengutamakan pertolongan lebih dahulu.
Direktur rumah sakit untuk kali pertamanya dipegang oleh dr. Jan Gerrit Schuerer, karena memang dialah yang merintis rumah sakit ini. Kepemimpinan dr. Jan Geriit Schuerer berakhir pada tahun 1906, dan digantikan oleh H.S. Pruys. Semula ia adalah dokter militer dan pembantu dr. Jan Gerrit Scheurer. Semasa kepemimpinan dr. H.S. Pruys yang menjabat dari tahun 1906 sampai tahun 1918, pendidikan untuk juru rawat semakin diintensifkan dan untuk pendidikan jenis ini diterbitkan buku pelajaran dalam bahasa Jawa. Pendidikan di bidang kebidanan mulai dirintis. Selam bertugas di Rumah Sakit Petronella, dr. H.S. Pruys tidak pernah mengambil cuti ke Negeri Belanda. Pada tahun 1918 ia harus meninggalkan kerja yang dicintainya karena menderita sakit. Ditunjuk sebagai pengganti adalah dr. J. Offringa, yang sejak tahun 1912 telah mendampingi dr. H.S. Pruys.
Kebijakan dari pimpinan dr. J. Offringa membuahkan semakin banyaknya orang-orang yang membutuhkan perawatan kesehatannya datang ke Rumah Sakit Petronella. Banyaknya pasien yang berobat ke Rumah Sakit Petronella menjadikan perlunya penambahan ruangan atau perluasan rumah sakit ini. Tahun 1920 dr. J. Offringa mengajukan rencana kepada Gereformeerde Kerken in Nederland di Amsterdam untuk memperbesar Petronella Ziekenhuis agar dapat menampung 500 pasien. Rencana ini diterima oleh Gereformeerde Kerken in Nederland, bahkan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan tanah yang luas membujur ke barat dan berbatasan dengan Jalan Bedog, serta di bagian selatannya dengan Militaire Hospitaal. Tahun 1924 pembangunan dimulai dan selesai pada tahun 1925. Bantuan ini didapatkan tidak saja dari pemerintah daerah dan pusat tetapi juga dari pabrik-pabrik gula, onderneming-onderneming tembakau, perusahaan kereta api de Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij. Selesainya pembangunan gedung baru itu tepat juga 25 tahun usia rumah sakit ini sejak peletakan batu pertama pada 20 Mei 1899.
Setelah kepempinan dr. J. Offringa (1918-1930), kepemimpinan rumah sakit berturut-turut dipegang oleh dr. K.P. Groot (1930-1942) dan dr. L.G.J. Samallo (1942-1949). Ketika masa pendudukan Jepang (1942-1945), rumah sakit ini namanya diganti dengan Yogyakarta Tjuo Bjoin, dan kemudian setelah terlepas dari penjajahan Jepang, rumah sakit ini dikenal sebagai Rumah Sakit Pusat.
Agar masyarakat umum mengetahui bahwa Rumah Sakit Pusat ini merupakan salah satu rumah sakit pelayanan kasih (Kristen), maka pada 28 Juni 1950 diganti dengan nama Rumah Sakit Bethesda yang mempunyai arti kolam penyembuhan.
Sekarang, Rumah Sakit Bethesda ini merupakan rumah sakit swasta kelas utama tipe B yang ada di Kota Yogyakarta. Pemiliknya adalah Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum (YAKKUM) yang bermarkas di Solo. Rumah sakit ini dikenal sebagai pusat layanan kesehatan yang terkemuka di Kota Yogyakarta, karena dikenal memiliki standar kesehatan yang tinggi dengan sumber daya manusianya yang berkualitas, dan mengutamakan pelayanan yang cepat terhadap pasien-pasiennya. *** [210717]

Foto: Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo

Kepustakaan:
Gunawan, Ryadi & Harnoko, Darto. (1993). Sejarah Sosial Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta: Mobilitas Sosial DI. Yogyakarta Periode Awal Abad Duapuluh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
https://colonialhospitals.files.wordpress.com/.../formulier-z_1890_19101.docx
http://resources.huygens.knaw.nl/zendingoverzeesekerken/RepertoriumVanNederlandseZendings-EnMissie-archieven1800-1960/gids/organisatie/1279604462
https://www.scribd.com/doc/220918518/Laporan-Pkpa-Rs-Bethesda-April-mei-2013
Share:

Gedung Manulife Financial Yogyakarta

Setelah sempat singgah sebentar di The Phoenix Hotel, saya melanjutkan perjalanan ke Stasiun Yogyakarta untuk kembali ke Solo. Sebelum sampai stasiun, saya sempat melihat sebuah bangunan lawas yang masih berdiri kokoh namun dinding penuh dengan mural. Bangunan lawas tersebut adalah Gedung Manulife Financial. Gedung ini terletak di Jalan Margo Utomo No. 20 Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi gedung ini berada di sebelah utara Hotel Grand Zuri atau selatan PT Pertamina Sales Area Yogyakarta Pemasaran BBM Retail Region IV.
Gedung Manulife Financial ini dulunya merupakan tempat menjual aneka peralatan musik dari sebuah firma yang bernama W. Naessens & Co. (De showroom van Naessens & Co. te Djocja) atau masyarakat Jogja pada waktu itu mengenalnya sebagai Toko Musik W. Naessens & Co. Firma ini didirikan oleh J.W.Th. Naessens di Hindia Belanda pada tahun 1891. Dia lahir pada tahun 1862 di Zaltbommel, dan kemudian memulai karirnya sebagai seorang pianis. Pada waktu melakukan tur konser di Hindia Belanda, ia tertarik untuk tinggal di sana dan memutuskan untuk menetap di Surabaya. Talenta bisnisnya menuntun dia untuk usaha penjualan piano dan alat musik lainnya, baik impor maupun dengan cara memproduksi piano sendiri di Hindia Belanda dengan menggunakan kayu jati pilihan.


Pada tahun 1897 firma W. Naessens & Co. membuka cabang di Batavia, kemudian pada tahun 1911 menyusul pembukaan cabang di Semarang dan Medan. Pada tahun 1913 dibuka cabang lagi di Yogyakarta. Jadi, bangunan gedung ini sudah berdiri sejak tahun 1913 bersamaan dengan pembukaan cabang di Yogyakarta tersebut (Firma W. Naessens & Co. filial Djocja).
Kemudian gedung ini mengalami pergantian kepemilikannya, dan dalam perjalanannya dikenal dengan sebutan gedung Manulife Financial, karena gedung ini pernah menjadi Kantor PT Asuransi Jiwa Manulife Financial yang mana pemegang saham terbesarnya adalah Manulife Financial Corporation, sebuah perusahaan penyedia layanan keuangan terdepan yang bermarkas di Kanada.
Setelah Kantor PT Asuransi Jiwa Manulife Financial pindah ke Jalan HOS Cokroaminoto, gedung ini kemudian miliki ole PT XL Axiata Tbk. Pindah kepemilikan tersebut membawa konsekuensi terjadi pergantian nama gedung tersebut, dan menjadi Gedung Graha XL. Penamaan Gedung Graha XL ini pun akhirnya harus berakhir pada waktu terjadi eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta pada 10 Maret 2015.
Pada waktu penetapan gedung ini sebagai bangunan cagar budaya, kepemilikan atas gedung ini masih ada di PT XL Axiata Tbk sehingga penetapannya masih atas nama Gedung Graha XL. Akan tetapi dengan adanya kisruh kepemilikan lahan tersebut, untuk memudahkan pengelolaan oleh BPCB Yogyakarta, gedung ini dinamai Gedung Manulife Financial atau atas nama pengguna gedung sebelum PT XL Axiata Tbk.
Gedung ini ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.25/PW.007/MKP/2007 dengan nomor registrasi nasional RNCB.20070326.02.000155. *** [010417]

Kepustakaan:
http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/siteregnas/public/objek/detailcb/PO2016041200108/Gedung-Manulife-Financial
http://www.pianola.nl/Pianola_Museum/W._Naessens_%26_Co..html
Share:

The Phoenix Hotel Yogyakarta

Pelan tapi pasti, itulah kira-kira perjalanan saya menggunakan kaki dari PSKK UGM menuju Stasiun Yogyakarta. Pelan di sini bukan berarti lelet atau lamban dalam berjalan, melainkan dalam jalan kaki tersebut ada unsur sambil menikmati keindahan bangunan lawas yang dilewati. Sehingga, tiap kali menemukan bangunan lawas, saya berusaha berhenti untuk melihat, menanyakan kisahnya dan memotretnya.
Di antara bangunan lawas yang saya singgahi adalah The Phoenix Hotel. Hotel ini terletak di Jalan Jenderal Sudirman No. 9 Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi hotel ini berada di sebelah timur Bank Mandiri Graha Tugu atau Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menurut historisnya, hotel ini dulunya merupakan bangunan rumah tempat tinggal Kwik Djoen Eng yang dibangun pada tahun 1918. Kwik Djoen Eng adalah seorang Tionghoa yang berusaha membangun usahanya di Hindia Belanda kala itu. Ia bersama saudaranya (Kwik bersaudara) pertama kali mendirikan usahanya di Solo pada Juli 1894 dengan nama NV Kwik Hoo Tong Handel Maatschappij, yang bergerak dalam bidang ekspor impor hasil bumi (terutama teh dan gula). Usahanya ini sempat berkembang pesat hingga mengantarkan Kwik Djoen Eng menjadi saudagar kaya, dan NV Kwik Hoo Tong Handel Maatschappij menjadi firma di Hindia Belanda yang mampu mempunyai jaringan perdagangan yang luas di Asia Tenggara, Asia Timur bahkan sampai ke Eropa dan Amerika. Sekitar tahun 1920, perusahaan dagang Kwik bersaudara ini, kantor pusatnya dipindahkan ke Semarang sampai mengalami kebangkrutan pada tahun 1932 karena resesi ekonomi.


Akibat krisis ekonomi tersebut, banyak properti yang dimiliki oleh Kwik Djoen Eng yang tersebar di sejumlah daerah, harus lepas kepemilikannya. Ada yang disita oleh Javasche Bank, dan ada pula yang dijual sendiri. Termasuk di antaranya adalah rumah tinggalnya yang berada di Yogyakarta tersebut. Rumah bergaya Indis (Indische Landhuis) tersebut dijual kepada Liem Djoen Hwat. Oleh Liem Djoen Hwat, rumah tersebut disewakan kepada orang Belanda yang bernama D.N.E. Franckle. Franckle kemudian mengubah rumah tempat tingal menjadi sebuah hotel yang diberi nama Hotel Splendid.
Pada tahun 1942 pasukan Jepang berusaha menduduki Yogyakarta. Hotel yang semula dirintis oleh Franckle tersebut, akhirnya dikuasai oleh pasukan Jepang yang kemudian berganti nama menjadi Hotel Yamato. Penyematan nama Yamato ini hanya bertahan hingga hengkangnya Jepang pada tahun 1945, dan hotel tersebut kembali ke pemiliknya, yaitu Liem Djoen Hwat.
Pada tahun 1946 sampai dengan 1949 ketika Yogyakarta menjadi ibu kota dari pemerintahan Indonesia, bangunan bekas Hotel Splendid atau Hotel Yamato tersebut digunakan sebagai Kantor Konsulat China. Selang dua tahun kemudian, bangunan bekas Kantor Konsulat kembali digunakan sebagai hotel lagi. Hotel tersebut bernama Hotel Merdeka. Pergantian nama menjadi Hotel Merdeka ini bertahan hingga tahun 1987.
Setelah selesai difungsikan sebagai Hotel Merdeka, bangunan lawas tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, yang pada saat itu telah berada di tangan cucunya. Lalu, bangunan tersebut direnovasi tanpa mengubah bentuknya dan pada tahun 1993 kembali difungsikan sebagai hotel, yang diberi nama Phoenix Heritage Hotel.
Sepuluh tahun kemudian, jaringan Accor Hotel Group mengambil alih manajemen Phoenix Heritage Hotel. Perubahan manajemen ini dibarengi dengan melakukan renovasi besar-besaran pada hotel ini. Setelah selesai renovasi, pada 14 Mei 2004 nama Phoenix Heritage Hotel resmi berganti nama menjadi Grand Mercure. Perubahan nama tersebut bertahan sampai dengan 29 Maret 2009, dan pada 30 Maret 2009, nama Grand Mercure diganti menjadi The Phoenix Hotel Yogyakarta hingga sekarang.
Kini, The Poenix Hotel Yogyakarta telah menjelma menjadi hotel bintang lima, dan berada jantung kota yang strategis letaknya. Namun demikian, hotel ini masih mempertahankan bangunan awalnya yang menjadi ciri dari keunikan bangunan tersebut sebagai fasadnya kendati di halaman belakangnya telah ada penambahan bangunan baru untuk menopang kelengakapan fasilitas hotel tersebut.
Berdasarkan Data Referensi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bangunan The Phoenix Hotel Yogyakarta ini sudah dimasukkan dalam Daftar Entitas Kebudayaan sebagai cagar budaya dengan kode pengelolaan KB001561. *** [010417]

Kepustakaan:
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/2017/03/16/2468/
http://referensi.data.kemdikbud.go.id/index71.php?kode=046013&level=3
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/19555/Chapter%20II.pdf;jsessionid=7E086742B0539D6C4AE379C687E13422?sequence=3
Share:

Indraloka Family Homestay Yogyakarta

Kawasan Jalan Cik Di Tiro tempo doeloe di mulut orang Belanda dikenal dengan Yap Boulevard. Boulevard itu berasal dari bahasa Perancis, yang artinya suatu jalan lebar nan ramai. Biasanya pada boulevard terdapat median pemisah, dan di kiri maupun kanannya ada tanaman peneduhnya yang cukup rindang. Jalan Cik Di Tiro dari dulu hingga sekarang masih seperti dulu, tidak banyak mengalami perubahan lebar jalan. Hanya saja pohon-pohon peneduhnya sudah mulai hilang seiring kawasan tersebut berubah menjadi kawasan komersial.
Namun demikian, jalan tersebut masih mencitrakan sebagai kawasan tempo doeloe yang banyak berdiri bangunan lawasnya. Salah satu bangunan lawas yang masih bisa kita jumpai adalah Indraloka Family Homestay. Homestay ini terletak di Jalan Cik Di Tiro No. 18 Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi homestay ini berada di pojok pertigaan ke Sagan atau pertemuan antara Jalan Cik Di Tiro dengan Jalan Kartini.
Menurut catatan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta, bangunan Indraloka Family Homestay ini dulunya merupakan rumah milik orang Belanda yang bernama Van der Vin, yang dibangun pada tahun 1930.


Ketika tentara Jepang menduduki Yogyakarta, bangunan rumah Van der Vin ini sempat terlantar karena pada waktu pasukan tentara Jepang berusaha memenjarakan orang-orang Belanda maupun orang Eropa lainnya yang berada maupun bermukim di Yogyakarta. Mereka pada umumnya menjadi interniran.
Pada waktu ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, rumah tersebut pernah menjadi rumah dinas Dr. Prawoto Mangkusasmita, salah seorang anggota parlemen dari Partai Masyumi. Setelah ibu kota Republik Indonesia balik kembali ke Jakarta, rumah tersebut berada di bawah kewenangan Jawatan Perumahan Yogyakarta.
Pada tahun 1960 rumah tersebut dibeli oleh Moerdiyono Danoesastro, seorang ambtenaar di Yogyakarta. Prof. Dr. Soebakdi Soemanto, S.U. dalam Diskusi Great Thinker Umar Kayam di Sekolah Pascasarjana UGM pada 24 Mei 2011 menuturkan bahwa ‘priyayi’ yang dilukiskan dalam novel ‘Para Priyayi’, bukan priyayi yang berdarah biru tetapi kelas bawah yang berproses bergerak secara vertikal dan kemudian berada di kalangan elitis. Pada zaman penjajahan Belanda, mereka disebut ambtenaar. Pada zaman republic awal hingga sekarang, yang disebut ambtenaar adalah pegawai negeri. Jadi, Toean Moerdiyono Danoesastro sudah tergolong sebagai priyayi kala itu.
Setelah menjadi milik Moerdiyono Danoesastro, pada tahun 1970 fungsi bangunan rumah tersebut dirubah menjadi homestay. Homestay ini sampai sekarang masih mempertahankan bentuk bangunan aslinya yang bergaya Indis di mana antara tradisional khas Jawa yang dibalut dengan gaya khas Eropa. Rumah yang menghadap ke arah barat dan selatan ini memiliki dua lantai dengan balkonnya yang khas. Keunikan yang lainnya adalah memiliki atap bangunan yang sangat curam. Awalnya atap tersebut terbuat dari sirap, akan tetapi sekitar tahun 2005 sirap tersebut diganti dengan genteng dengan alasan untuk mempermudah perawatan dan pemeliharaan.
Bila Anda sedang berkunjung ke Kota Yogyakarta, sempatkanlah mengunjungi bangunan bergaya Indis ini. Atau, bisa juga Anda menginap di homestay tersebut sekalian menikmati suasana tempo doeloe. Karena bangunan Indraloka Family Homestay ini telah menjadi Bangunan Warisan Budaya (BWB) dengan nomor 798/KEP/2009. *** [010417]

Foto : Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo

Kepustakaan:
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/2014/06/24/selayang-pandang-homestay-indraloka/
https://ugm.ac.id/id/berita/3378-umar.kayam.sastrawan.peduli.%C3%A2%E2%82%AC%CB%9Cwong.cilik%C3%A2%E2%82%AC%E2%84%A2
Share:

Rumah Sakit Mata Dr. Yap Yogyakarta

Jalan kaki dari Gedung PSKK UGM menuju Stasiun Yogyakarta usai menghadiri undangan diskusi dari Medang Heritage Sociery (MHS), cukup lumayan jauh. Jaraknya mendekati 4 kilometer, namun rasa capek di kaki serasa menguap manakala menyaksikan bangunan-bangunan lawas yang membentang sepanjang perjalanan. Salah satu bangunan lawas yang masih bisa dilihat adalah Rumah Sakit Mata Dr. Yap. Rumah sakit ini terletak di Jalan Cik Di Tiro No. 5 Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi rumah sakit ini berada di sebelah utara BRI Cabang Cik Di Tiro, dan tidak begitu jauh dari Rumah Sakit Panti Rapih.
Keberadaan rumah sakit ini tidak lepas dari prakarsa dan usaha dari dr. Yap Hong Tjoen. Dr. Yap adalah anak muda Tionghoa kelahiran Yogyakarta 30 Maret 1885, yang berpikiran besar jauh sebelum adanya Indonesia merdeka atau beberapa tahun sebelum ikrar sumpah pemuda disuarakan.
Era Hindia Belanda, selain orang Belanda banyak orang yang tidak bisa bersekolah. Yap Hong Tjoen agak beruntung dibandingkan dengan anak seusianya kala itu, karena berkesempatan mengenyam pendidikan sampai ke Negeri Belanda. Yap Hong Tjoeng berangkat ke Leiden untuk melanjutkan studi dengan bidang spesialisasi mata. Yap Hong Tjoen menjadi mahasiswa Tionghoa dari Hindia Belanda pertama yang mempertahankan tesisnya di Leiden pada 19 Januari 1919.
Selama belajar di Negeri Belanda, Yap Hong Tjoen juga gemar melakukan kegiatan di dalam berbagai organisasi, seperti Chung Hwa Hui (CHH), Indonesisch Verbond van Studeerenden (IVS) atau Perserikatan Pelajar Indonesia (PPI). Dari situlah kemudian timbul hasrat untuk mengamalkan keahlian dan kepandaiannya kepada masyarakat di Hindia Belanda.


Setelah menyelesaikan pendidikannya di Negeri Belanda, dr. Yap Hoeng Tjoen berusaha merealisasikan cita-citanya setibanya di Hindia Belanda. Dilandasi keinginan menolong masyarakat Hindia Belanda yang menderita penyakit mata dan kebutaan, dr. Yap Hong Tjoen bersama beberapa warga keturunan Tionghoa dan keturunan Belanda mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Centrale Vereeniging tot bevordering der Oogheelkunde in Nederlandsch-Indie (CVO). Perkumpulan yang berkedudukan di Batavia ini berdiri pada tanggal 24 September 1920, dan dicatatkan di Notaris Mr. A.H. van Ophuijsen serta diumumkan kepada khalayak melalui media massa Javasche Courant No. 96 tertanggal 30 November 1920.
Pendirian CVO, memiliki tujuan untuk menolong penderita penyakit mata, memberantas kebutaan, dan memperbaiki nasib penyandang tunanetra, serta memajukan ilmu penyakit mata. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ditetapkan berbagai usaha, di antaranya adalah mendirikan rumah sakit dan klinik untuk penderita penyakit mata, dan memberi bantuan kepada lembaga lain yang bermaksud memberikan sarana tersebut.
Berdasarkan kuasa yang diterima oleh CVO, dr. Yap Hong Tjoe membangun sebuah rumah sakit di atas lahan seluas 2.995 m² di Yogyakarta di Jalan Cik Ditiro (dulu bernama Yap Boulevard). Untuk mewujudkan rumah sakit ini, Yap Hong Tjoe berusaha mencari dana untuk pembangunannya. Dana yang diperoleh antara lain dari Pemerintah Hindia Belanda, Kesultanan Yogyakarta, perusahaan perkebunan dan para dermawan.
Setelah dana terkumpul, CVO mempercayakan desain bangunannya kepada Eduard Cuypers, seorang arsitek terkenal berkebangsaan Belanda. Cuypers bekerja dari jarak jauh di Amsterdam. Fermont dan kolega-kolega lain merealisasikan gagasan Cuypers dari kantor biro arsitek ternama di Batavia, NV Architecten-Ingenieursbureau Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam. Pada tahun tersebut, nama Hulswit sudah tidak dicantumkan lagi pada nama biro arsitek tersebut karena Hulswit sudah meninggal pada tahun 1921.
Menurut prasasti yang berada pada dinding teras bawah sisi barat yang berbentuk persegi, peletakan batu pertama pembangunan rumah sakit mata dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tanggal 21 November 1922 (De Eerste Steen Geledg Door Z.H Hamengkoe Boewono VIII Op Den 21 Sten Nov 1922).


Pada tanggal 29 Mei 1923 rumah sakit mata ini diresmikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dirk Fock, yang mendapat kuasa dari Ratu Belanda. Rumah sakit mata tersebut kemudian diberi nama Prinses Juliana Gasthuis voor Ooglijders, yang artinya Rumah Sakit Mata Putri Juliana untuk Penderita Penyakit Mata. Selain itu, rumah sakit mata ini juga sering disebut Rumah Sakit CVO, dan oleh CVO sendiri dr. Yap Hong Tjoen diangkat sebagai direktur.
Untuk melanjutkan cita-citanya dan melaksanakan tujuan pendirian CVO (pasal 2 stauten v/d CVO, tentang tujuan pada butir (d), yaitu memperbaiki penyandang tunanetra), maka pada tanggal 12 September 1926, dr. Yap Hong Tjoen mendirikan sebuah lembaga yang diberi nama Stichting Voerstenlandsch Blinden Instituut. Lembaga ini bertujuan memberikan keterampilan kepada penyandang tunanetra yang berasal dari berbagai pelosok pedesaan.
Pada tahun 1927 Voerstenlandsch Blinden Instituut mendirikan panti perawatan dan pendidikan keterampilan bagi penyandang tunanetra. Panti ini kemudian diberi nama Balai Mardi Wuto. Di Balai Mardi Wuto, para penyandang tunanetra dididik dan diberi keterampilan supaya dapat mandiri dan menjadi lebih baik kesejahteraannya.
Sampai sebelum pendudukan Jepang di Indonesia, Prinses Juliana Gasthuis voor Ooglijders dan Balai Mardi Wuto mengalami perkembangan yang cukup baik. Banyak penderita penyakit mata dapat tertolong sedangkan yang mengalami kebutaan banyak ditampung dan diberi pendidikan dan keterampilan guna membekali hidupnya.
Ketika Jepang menduduki Yogyakarta pada tahun 1942, Prinses Juliana Gasthuis voor Ooglijders berganti nama menjadi Rumah Sakit Mata Dr. Yap untuk menghilangkan yang ada hubungannya dengan pemerintahan penjajah Belanda. Namun demikian, Rumah Sakit Mata Dr. Yap tetap diusik oleh bala tentara pendudukan Jepang bahkan dr. Yap Hong Tjoen ditangkap dan ditawan. Sejak saat itu hingga sekarang nama Rumah Sakit Mata Dr. Yap tidak pernah mengalami perubahan.
Pada tahun 1948, dr. Yap Kie Tiong putra dr. Yap Hong Tjoen kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikannya di Belanda. Melalui Akta Notaris No. 53 tanggal 17 Juni 1949 dihadapan Notaris J. Hofstade di Semarang, dr. Yap Hong Tjoen menyerahkan kuasa sepenuhnya kepada putranya dr. Yap Kie Tiong. Selama kepemimpinan dr. Yap Kie Tiong sampai beliau wafat tanggal 9 Januari 1969 tidak ada perubahan struktur dewan pengurus. Sebelum meninggal dr. Yap Kie Tiong sempat menulis sepucuk surat wasiat berkaitan dengan kelangsungan Rumah Sakit Mata Dr. Yap yang ditujukan kepada Kanjeng Gusti Paku Alam VIII, Soemito Kolopaking, Soemarman, dan dua orang anggota yang tidak disebutkan namanya. Isi wasiat tersebut antara lain permintaan mengambil alih Rumah Sakit Mata Dr. Yap guna kepentingan masyarakat.
Setelah dr. Yap Kie Tiong tiada, Rumah Sakit Mata Dr. Yap sempat mengalami kekosongan pimpinan sehingga mempengaruhi kelangsungan kegiatan rumah sakit. Kemudian dibentuklah yayasan penyantun Rumah Sakit Mata Dr. Yap Prawirohusodo sebagai pengelola Rumah Sakit Mata Dr. Yap.
Pada tanggal 1 Agustus 2002 Yayasan Rumah Sakit Mata Dr. Yap Prawirohusodo berubah menjadi Yayasan Dr. Yap Prawirohusodo sampai sekarang. Yayasan inilah yang mengkoordinir Rumah Sakit Mata Dr. Yap dan Badan Usaha Sosial Mardi Wuto. *** [010417]

Foto: Rilya Bagus Ariesta Nico Prasetyo

Kepustakaan:

http://ftp.unpad.ac.id/koran/republika/2011-02-04/republika_2011-02-04_024.pdf

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/2015/01/29/lintasan-sejarah-rumah-sakit-mata-dr-yap-yogyakarta/

http://www.norbruis.eu/opdrachten/onderzoek-penelitian/cuypers-hulswit/

https://openaccess.leidenuniv.nl/handle/1887/40027

https://repository.usd.ac.id/2650/2/022214134_Full.pdf

http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2627-dr-yap-hong-tjoen-pendiri-rs-mata-dr-yap-di-yogyakarta
Share:

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tanggal 1 April 2017, saya mendapat undangan diskusi dari Medang Heritage Society (MHS) di Ruang Seminar Agus Dwiyanto, Gedung Masrisingarimbun, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Usai diskusi, saya mencoba melakukan jalan kaki dari PSKK menuju ke Stasiun Yogyakarta. Tujuannya, selain melemaskan otot-otot di badan juga melihat-lihat bangunan lawas yang ada di Yogyakarta di antaranya adalah Rumah Sakit (RS) Panti Rapih.
Rumah sakit ini terletak di Jalan Cik Di Tiro No. 30 Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi rumah sakit ini berada di tenggara bundaran UGM atau sebelah barat SPBU Pertamina 44.552.12.
Berdasarkan papan nama yang dipasang oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta, diketahui bahwa bangunan RS Panti Rapih merupakan bekas bangunan Onder de Bogen Hospitol. Berawal dari pembentukan yayasan Onder de Bogen (Onder de Bogen Stichting) oleh pengurus Gereja Yogyakarta, kemudian diteruskan untuk mendirikan sebuah rumah sakit dengan meminta bantuan kepada Suster-suster Carolus Borromeus yang berpusat di Maastricht Belanda.


Peletakan batu pertama dilakukan oleh Nyonya C.T.M. Schmutzer van Rijckevorsel pada tanggal 14 September 1928. Nyonya C.T.M. Schmutzer van Rijckevorsel adalah istri Ir. Julius Robert Anton Marie Schmutzer, seorang administratur onderneming Gondang Lipoero Ganjuran Bantul, dan juga pernah menjadi murid sekolah perawat yang dikelola oleh Suster Carolus Borromeus di Belanda.
Pembangunan rumah sakit ini dapat diselesaikan pada pertengahan Agustus 1929, dan pada tanggal 24 Agustus 1929 Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen, SJ berkenan memberkati bangunan rumah sakit tersebut. Kemudian pada tanggal 14 September 1929 rumah sakit dibuka secara resmi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dengan nama Rumah Sakit Onder de Bogen.
Sesuai namanya, bangunan rumah sakit ini banyak dihiasi dengan lengkungan-lengkungan (bogen). Lengkungan-lengkungan ini yang menjadi kekhasan dari bangunan rumah sakit tersebut. Bangunan rumah sakit ini dirancang oleh seorang arsitek bernama Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels dari Algemeen Ingenieur Architectenbureau (AIA).
Para suster melayani dan merawat orang sakit, meringankan penderitaan sesama sesuai dengan ajaran Injil tanpa memandang agama dan bangsa. Sedikit demi sedikit penderita datang dan semakin lama semakin bertambah dan meningkat jumlahnya. Pasiennya sebagian besar adalah para pejabat Belanda dan kerabat Kraton. Sultan Hamengku Buwono VIII menjelang wafatnya juga pernah dirawat di rumah sakit ini.
Pada tahun 1942 Jepang datang ke bumi Nusantara untuk mendudukinya, tak terkecuali Yogyakarta. Pada masa pendudukan inilah, RS Onder de Bogen tidak luput dari penguasaan Jepang. Para Suster Belanda diinternir dan dimasukkan ke kamp tahanan Jepang. Akibatnya, pengelolaan rumah sakit menjadi kacau balau. Pemerintah Jepang menghendaki agar segala sesuatu yang berbau Belanda untuk dihilangkan, termasuk salah satunya penggantian nama rumah sakit ini. Akhirnya, rumah sakit ini diberi nama baru “Rumah Sakit Panti Rapih”, yang berarti Rumah Penyembuhan oleh Mgr. Albertus Soegijopranoto, SJ (Uskup pada Keuskupan Semarang).
Setelah Indonesia merdeka, para pejuang kemerdekaan semasa Revolusi Nasional dirawat di rumah sakit ini termasuk Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Sudirman. Pada waktu dirawat di rumah sakit ini, beliau pernah menuliskan sebuah sajak yang berjudul “Rumah nan Bahagia”, yang hingga kini masih tersimpan dengan baik.
Kini, RS Panti Rapih berkembang menjadi rumah sakit swasta Katolik yang terkemuka di Kota Yogyakarta, dengan pelayanan dan pengelolaan yang modern. *** [150417]

Foto: Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo
Share:

SGPC Bu Wiryo 1959 Yogyakarta

Pagi itu diiringi udara segar, kami berangkat dari Wonosalam Kreco menuju Kampus UGM dengan menggunakan mobil sedan Hyundai. Karena masih jauh dari jam undangan lokakarya How to Communicate Science? Using Blood-Based Biomarkers in Health Research di Gedung Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran UGM, laju mobil yang saya sopiri berjalan dengan santai sambil menikmati suasana jalan.
Sebetulnya saya kurang menguasai jalan tersebut, tapi karena yang saya sopiri adalah seorang post doctoral luar negeri yang kebetulan S1 nya dari UGM maka perjalanan tersebut menjadi mudah. Maklum tujuan dari lokasi yang ada di undangan merupakan wilayah semasa kuliahnya. Sebelum memasuki Kampus UGM, saya diajak sarapan di sebuah warung makan Jogja Tempo Doeloe yang bernama SGPC Bu Wiryo. Warung tersebut terletak di Jalan Agro CT VIII A-10 Klebengan, Kelurahan Depok, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi warung ini tepat berada di seberang Fakultas Kedokteran Hewan UGM.


Sambil pesan makanan, saya pun berusaha menanyakan mengenai perjalanan warung ini. Warung ini dirintis oleh Bu Wiryo dengan berjualan nasi di halaman Fakultas Teknologi Pertanian UGM pada tahun 1959. Menu yang digandrungi para mahasiswa kala itu adalah nasi pecel, atau yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan sego pecel. Dari kata sego pecel inilah kemudian disingkat menjadi SGPC. Menu lainnya yang tersaji di warung ini selain nasi pecel adalah sop dengan lauk tahu, tempe, dan telur ceplok. Ada kesan beda dengan pecel-pecel lainnya. Umumnya bumbu pecel hanya disajikan dengan rasa pedas. Namun kita akan merasakan perpaduan antara pedas dan manis pada bumbu kacang di SGPC Bu Wiryo ini. Sayur sop SGPC lebih khas dengan tambahan berupa soun.
Kemudian pada tahun 1994, warung Bu Wiryo pun pindah di tempat yang sekarang. Lokasinya yang relative permanen ini, akhirnya berkembang terus. Tak hanya para mahasiswa tapi khalayak pun juga mulai menyantap menu makanan yang ada di warung tersebut. Mulai buka dari jam 06.00 sampai pukul 21.30, pengunjung akan dihibur oleh Pecel 59 SGPC Accoustic Band Plus.
Menu disediakan sesuai selera. Beberapa diantaranya, seperti SDSB (sop daging sayur bayem), sop tanpa kawat (sop tanpa soun), sop bubrah (sop yang diberi bumbu kacang pecel), sop tanpa truk (sop tanpa kol atau kubis), sop pegatan (sop dan nasi dipisah), pecel kramas (pecel diberi kuah sop), pecel pancasila (pecel dengan telur puyuh 5 butir), pecel diuwel-uwel (pecel dibungkus), dan yang agak baru SBY (sop bayem). Selain itu, pengunjung juga bisa mencicipi soto maupun garangasem.
Untuk minuman, julukan semacam itu juga berlaku. Sebut saja teh mrengut (teh kental), tirto seto (air putih), teh kemul (teh hangat), dan sengkuni (teh dicampur jeruk). *** [231116]
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami