Tanggal
1 April 2017, saya mendapat undangan diskusi dari Medang Heritage Society (MHS) di Ruang Seminar Agus Dwiyanto,
Gedung Masrisingarimbun, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK)
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Usai diskusi, saya mencoba melakukan
jalan kaki dari PSKK menuju ke Stasiun Yogyakarta. Tujuannya, selain melemaskan
otot-otot di badan juga melihat-lihat bangunan lawas yang ada di Yogyakarta di antaranya adalah Rumah Sakit (RS) Panti
Rapih.
Rumah
sakit ini terletak di Jalan Cik Di Tiro No. 30 Kelurahan Terban, Kecamatan
Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi
rumah sakit ini berada di tenggara bundaran UGM atau sebelah barat SPBU
Pertamina 44.552.12.
Berdasarkan
papan nama yang dipasang oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta,
diketahui bahwa bangunan RS Panti Rapih merupakan bekas bangunan Onder de Bogen Hospitol. Berawal dari
pembentukan yayasan Onder de Bogen (Onder de Bogen Stichting) oleh pengurus
Gereja Yogyakarta, kemudian diteruskan untuk mendirikan sebuah rumah sakit
dengan meminta bantuan kepada Suster-suster Carolus Borromeus yang berpusat di
Maastricht Belanda.
Peletakan batu pertama dilakukan oleh Nyonya C.T.M. Schmutzer van Rijckevorsel pada tanggal 14 September 1928. Nyonya C.T.M. Schmutzer van Rijckevorsel adalah istri Ir. Julius Robert Anton Marie Schmutzer, seorang administratur onderneming Gondang Lipoero Ganjuran Bantul, dan juga pernah menjadi murid sekolah perawat yang dikelola oleh Suster Carolus Borromeus di Belanda.
Pembangunan
rumah sakit ini dapat diselesaikan pada pertengahan Agustus 1929, dan pada
tanggal 24 Agustus 1929 Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen, SJ berkenan
memberkati bangunan rumah sakit tersebut. Kemudian pada tanggal 14 September
1929 rumah sakit dibuka secara resmi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
dengan nama Rumah Sakit Onder de Bogen.
Sesuai
namanya, bangunan rumah sakit ini banyak dihiasi dengan lengkungan-lengkungan (bogen). Lengkungan-lengkungan ini yang
menjadi kekhasan dari bangunan rumah sakit tersebut. Bangunan rumah sakit ini
dirancang oleh seorang arsitek bernama Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels dari Algemeen Ingenieur Architectenbureau
(AIA).
Para
suster melayani dan merawat orang sakit, meringankan penderitaan sesama sesuai
dengan ajaran Injil tanpa memandang agama dan bangsa. Sedikit demi sedikit
penderita datang dan semakin lama semakin bertambah dan meningkat jumlahnya.
Pasiennya sebagian besar adalah para pejabat Belanda dan kerabat Kraton. Sultan
Hamengku Buwono VIII menjelang wafatnya juga pernah dirawat di rumah sakit ini.
Pada
tahun 1942 Jepang datang ke bumi Nusantara untuk mendudukinya, tak terkecuali
Yogyakarta. Pada masa pendudukan inilah, RS Onder de Bogen tidak luput dari
penguasaan Jepang. Para Suster Belanda diinternir dan dimasukkan ke kamp
tahanan Jepang. Akibatnya, pengelolaan rumah sakit menjadi kacau balau.
Pemerintah Jepang menghendaki agar segala sesuatu yang berbau Belanda untuk dihilangkan,
termasuk salah satunya penggantian nama rumah sakit ini. Akhirnya, rumah sakit
ini diberi nama baru “Rumah Sakit Panti Rapih”, yang berarti Rumah Penyembuhan
oleh Mgr. Albertus Soegijopranoto, SJ (Uskup pada Keuskupan Semarang).
Setelah
Indonesia merdeka, para pejuang kemerdekaan semasa Revolusi Nasional dirawat di
rumah sakit ini termasuk Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia
Jenderal Sudirman. Pada waktu dirawat di rumah sakit ini, beliau pernah
menuliskan sebuah sajak yang berjudul “Rumah nan Bahagia”, yang hingga kini masih
tersimpan dengan baik.
Kini,
RS Panti Rapih berkembang menjadi rumah sakit swasta Katolik yang terkemuka di
Kota Yogyakarta, dengan pelayanan dan pengelolaan yang modern. *** [150417]
rumah sakit yang menjadi rumah kedua bagi saya...terimakasih sudah mengulasnya melalui artikel singkat ini...salam
BalasHapusTerima kasih Mas Yosef Krisnadi telah berkenan membaca sejarah anak negeri ini. Saya kebetulan memiliki hobi untuk mengumpulkan serpihan sejarah yang ada di Indonesia. Semoga bermanfaat.
BalasHapus