The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Tampilkan postingan dengan label Madura Heritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Madura Heritage. Tampilkan semua postingan

Klenteng Pao Sian Lin Kong

Sumenep merupakan salah satu kabupaten yang berada di paling ujung timur dari Pulau Madura. Meski terletak di ujung timur Pulau Madura, Sumenep ternyata menyimpan memori sejarah yang cukup panjang. Sehingga, wajar bila wilayah besutan Aria Wiraraja ini banyak terdapat peninggalan bangunan kuno yang menyimpan sejarah. Selain, Kraton Sumenep, Masjid Jamik Sumenep, Benteng Kalimo’ok, dan lain-lain. Di kalangan orang Tionghoa pun tak mau kalah dalam mengisi memori sejarah tersebut, dengan mendirikan Klenteng Pao Sian Lin Kong.
Klenteng Pao Sian Lin Kong terletak di Jalan Slamet Riyadi No. 27 Desa Pabian, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Lokasi klenteng ini berada sekitar 500 meter arah timur dari Stadion Ahmad Yani. Jaraknya tidak begitu jauh dari pusat Kota Sumenep atau hanya sekitar 2,8 kilometer kea rah timur dari alun-alun Kota Sumenep, atau hanya berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Terminar Aria Wiraraja Sumenep.


Mengenai kapan berdirinya klenteng ini tidak ada bukti yang jelas, baik berupa inskripsi, naskah maupun cerita-cerita yang menceritakan kapan klenteng tersebut dibangun. Hanya saja, diperkirakan bahwa klenteng sudah ada sejak tahun 1821 berdasarkan keberadaan patung Makco Thiang Siang Sing Bo, dewi pelindung para pelaut, yang dibawa langsung oleh perantau asal Hokkian di Tiongkok selatan ke Sumenep.
Orang Hokkian adalah penduduk dari Provinsi Fujian bagian selatan di Tiongkok. Orang Hokkian dikenal sebagai pekerja keras dan pandai berdagang. Mereka merupakan mayoritas yang merantau di Nusantara. Daerah asal utama pendatang dari Hokkina kala itu merupakan pelabuhan utama yang melayani perdagangan lewat laut.
Semula klenteng ini didirikan di Desa Marengan, Kecamatan Kalianget. Daerah tersebut berada di dekat pantai, dan dikenal sebagai pusat perdagangan di Pulau Madura pada masa Hindia Belanda. Makin lama, klenteng yang menjadi destinasi orang Tionghoa untuk melakukan sembahyang dan melestarikan adat-istiadat Tionghoa ini, tak mampu menampung jemaat lagi.


Melihat situasi seperti itu, seorang kapiten Tionghoa pada masa Hindia Belanda berkenan menghibahkan tanahnya di Desa Pabian untuk merelokasi klenteng tersebut. Lokasinya berada di dekat rumah tinggal sang kapiten tersebut.
Klenteng yang menghadap ke selatan ini berdiri di atas lahan seluas 2.685 meter persegi. Halaman klenteng ini dibilang cukup luas di antara pintu gerbang dan bangunan utamanya. Setelah melewati men lou wu, pintu gerbang untuk masuk ke dalam bangunan utama, peziarah akan ketemu hiolo (tempat dupa besar). Di sebelah kiri dan kanan dari hiolo terdapat cok say (patung singa) yang menghadap ke hiolo. Di atas pintu utama terdapat kaligrafi dalam aksara Tionghoa di sebelah kanan dan kiri yang memiliki makna: “keramatnya mendunia” dan “negara dan lautan tenang”.
Memasuki ruang utama dari klenteng ini, peziarah akan menemukan tiga altar untuk pemujaan kepada Kongco Hok Tek Tjeng Sien (Dewa Bumi), Makco Thian Siang Sing Bo (Dewi pelindung bagi pelaut asal Fujian), dan Kong Tik Cung Ong. Kemudian di belakang ruang utama, terdapat bangunan oktagonal bercat merah yang menjadi rumah khusus bagi Dewi Kwam Im Posat (Dewi Welas Asih). Konon, patung Dewi Welas Asih yang juga dikenal sebagai Avalokitesvara Boddhisatva itu bisa berubah wajah sesuai dengan kondisi jemaat yang datang berdoa, terutama di bagian mata dan pipi. Hal ini pertanda tulus atau tidaknya niat seseorang yang berdoa tadi.
Berbeda dengan klenteng lainnya, Klenteng Pao Sian Lin Kong tergolong cukup bersih dan terawat. Hal ini tak lepas dari sumbangsih dana dari para peziarah yang nadzarnya terkabulkan di klenteng ini. ***
Share:

Masjid Ladju Sumenep

Masjid Ladju merupakan masjid tertua yang ada di Sumenep. Masjid ini terletak di Jalan Panglima Sudirman, Kelurahan Kepanjin, Kecamatan Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, atau tepatnya berada di depan Rumah Dinas Bupati Sumenep atau sebelah utara Kraton Sumenep.
Sejatinya masjid ini bernama Masjid Al-Mukmin, namun masyarakat setempat terlanjur akrab dengan sebutan Masjid Ladju. Dalam bahasa Madura, ladju berarti lama sehingga dinamakan Masjid Ladju secara historis sesungguhnya untuk menunjukkan bahwa masjid ini dibangun lebih dulu ketimbang Masjid Jamik Kabupaten Sumenep. Di dalam Babad Songennep dijelaskan bahwa yang membangun Masegit Ladju (Masjid Lama) adalah Pangeran Anggadipa pada tahun 1639. Pangeran Anggadipa merupakan Tumenggung yang diangkat oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo (Mataram) setelah Sumenep berhasil ditaklukkan oleh pasukan Mataram pada tahun 1624. Ia berasal dari Jepara yang akhirnya menikah dengan putri Raden Martapati dari Arosbaya.
Kedatangan Tumenggung Anggadipa membawa perubahan yang sangat berarti bagi perkembangan agama Islam di wilayah Sumenep. Perubahan tahun Saka yang berdasarkan peredaran matahari menjadi tahun Jawa berdasarkan kalender Hijriyah yang dipergunakan umat Islam diterapkan di Sumenep dan mendapatkan respon positif dari masyarakat.


Dilihat dari bangunannya, Masjid Ladju ini lebih kecil bila dibandingkan dengan MasjidJamik Kabupaten Sumenep. Ruang utama Masjid Ladju hanya memiliki 4 soko (pilar penyangga) dengan jendela masjid yang besar dan lebar di mana di dalamnya terdapat mimbar berukir dengan warna yang khas. Sedangkan pintu utama untuk masuk ke ruang utama tersebut berjumlah tiga yang masih menunjukkan keasliannya. Selain itu, di bagian depan masjid sebelah kiri maupun kanan terdapat prasasti peninggalan kraton bertuliskan aksara Jawa.
Awalnya, Masjid Ladju merupakan masjid kraton yang diperuntukkan bagi kerabat KratonSumenep dan masyarakat sekitar yang hendak menunaikan shalat akan tetapi dalam perkembangannya, ternyata bangunan Masjid Ladju sudah tidak mampu lagi menampung jamaah yang kian bertambah banyak. Sehingga, ketika Kraton Sumenep diperintah oleh Panembahan Sumala atau Pangeran Natakusuma, beliau mulai mendirikan masjid baru yang lebih besar, lebih luas dan lebih megah pada tahun 1779 hingga tahun 1787. Masjid kraton yang baru tersebut dikenal dengan Masjid JamikKabupaten Sumenep. *** [081213]
Share:

Vihara Avalokitesvara Pamekasan

Vihara Avalokitesvara (Klenteng Kwan Im Kiong) merupakan vihara terbesar kedua di Pulau Jawa, yang terletak di Dusun Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, Provinsi Jawa Timur, sekitar 14 kilometer sebelah timur Kota Pamekasan, dan berdekatan dengan obyek wisata Pantai Talang Siring.  Lokasi vihara ini mudah ditempuh dengan moda transportasi darat, baik kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat. Dari Kota Pamekasan mengambil jalur ke arah Kota Sumenep nanti akan menemui obyek wisata Pantai Talang Siring, lalu masuk jalan di sampingnya ke arah selatan sejauh 1,7 kilometer. Pengunjung akan melintasi jalan dengan pemandangan mangrove di kiri kanan. Hingga sampai ke vihara tersebut.
Sejarah berdirinya vihara diawali dengan sebelum masuknya agama Islam ke Pulau Madura. Pada sekitar abad ke-14 Masehi di daerah Proppo Pamekasan terdapat kerajaan Buddhist yaitu Kerajaan Jamburingin yang berencana membangun sebuah candi di pusat kerajaan. Kerajaan Majapahit membantu perlengkapan candi berupa arca-arca yang dikirim dengan perahu dan diturunkan di pelabuhan Talang.


Dari pelabuhan Talang, agar sampai di pusat Kerajaan Jamburingin, arca-arca tersebut diangkut dengan kereta kuda. Akan tetapi, pengiriman arca-arca tersebut gagal dikarenakan kereta kuda rusak karena tidak mampu menahan beban. Akhirnya, arca-arca tersebut terlantar di tepi pantai sampai tertimbun tanah. Lokasi rencana pembangunan candi yang gagal tersebut, sekarang dinamakan Desa Candi Burung. Burung dalam bahasa Madura berarti gagal atau tidak jadi, sehingga Candi Burung diartikan sebagai sebuah candi yang gagal dibangun.
Sekitar abad ke-17 Masehi, tanpa sengaja seorang petani menemukan arca-arca tersebut saat mencangkul ladangnya di sekitar Pantai Talang. Kebetulan di daerah bermukim beberapa keluarga keturunan China, kemudian ladang yang terdapat arca-arca tersebut dibeli. Setelah dibersihkan, ternyata arca-arca tersebut adalah arca-arca Buddha versi Majapahit aliran Mahayana yang banyak penganutnya di negeri China.


Salah satu arca berukuran besar yang diketemukan, ternyata arca Avalokitesvara Bodhisatva atau Kwan Im Posat atau Dewi Welas Asih, yang selalu bersifat penolong dan pengayom kita semua. Dengan ukuran tinggi 155 cm, tebal tengah 36 cm dan tebal bawah 59 cm. Arca-arca yang lain adalah Amogasidha, Kencono Wungu, dan Ratna Sambhava (Sam Po Hud), semuanya terbuat dari batu hitam (andesit). Dan sekarang, arca tersebut diwarnai kuning keemasan.
Tempat ditemukan arca-arca tersebut diberi nama Dusun Candi serta dibuatlah bangunan ala kadarnya untuk menampung arca-arca tersebut. Seiring perkembangan, bangunan ini diberi nama Vihara Avalokitesvara (Kwan Im Kiong), dan terus direnovasi dan dilengkapi dengan sarana ibadah yang lain.
Vihara yang memiliki lahan seluas 3 hektar ini, memiliki 5 altar pemujaan ditambah dengan 3 sarana ibadah bagi pemeluk agama lain serta sejumlah fasilitas dan sarana lainnya. Di vihara ini terdapat altar Thian Kong yang berada di depan setelah pintu masuk halaman yang bercorak Bali, lalu altar Kwan Im Thang yang berada di bangunan tengah. Selanjutnya, adalah altar Avalokitesvara (Kwan Im Posat) yang merupakan altar utama bagi vihara ini, yang merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit abad 14.
Kemudian bangunan di sisi kanan dari ketiga altar tersebut, terdapat Li Thang dipakai untuk altar pemujaan terhadap Nabi Kong Hu Cu dan Nabi Lao Cu, Pura bercorak Bali yang digunakan untuk tempat peribadatan umat Hindu, Tian Cin (Gedung Agung) digunakan untuk altar pemujaan Kwan Kong Jai Shen Ya dan Hok Tek Cin Sin (Dewa), dan Dhamma Sala berbentuk bangunan mirip candi berwarna hitam yang digunakan sebagai altar Sakya Munni Buddha Gautama. Sedangkan di depan bangunan utama vihara semenjak dahulu terdapat musholla, karena di setiap rumah keluarga Madura pada zaman dahulu umumnya terdapat langgar (musholla).


Di lingkungan halaman vihara ini juga terdapat penginapan untuk tamu (peziarah) yang akan beribadah, karena rata-rata pengunjung tidak hanya berasal dari Jawa Timur, akan tetapi ada yang berasal dari Medan, Lampung, Singkawang, Jawa Tengah, Jakarta, dan lain-lain, bahkan ada juga yang datang dari Luar Negeri. Selain itu, ada juga kantin, gedung aula untuk sarana kesenian dan olahraga, pendopo untuk pementasan wayang kulit, dan tempat tinggal para Bhikku yang dinamakan Kuti. Lalu, di depan kompleks altar-altar tersebut, terdapat 2 bangunan pagoda yang menjulang tinggi seolah mengapit pintu masuk ke altar. Kedua pagoda yang didominasi warna merah menambah kemegahan vihara ini dengan ketujuh susunan ruas (lantai) ke atasnya.
Vihara yang dikelola oleh Yayasan Candi Bodhi Dharma ini, pernah menerima 2 kali penghargaan dari MURI (Museum Rekor Indonesia) pada 8 Agustus 2009, yaitu sebagai vihara terunik yang di dalamnya terdapat bangunan ibadah agama lain, yaitu bangunan musholla (Islam) dan bangunan pura (Hindu), sedangkan penghargaan yang satunya, sebagai pemrakarsa dan pelaksana pagelaran wayang kulit dengan pemain pendukung berasal dari 10 negara.
Bagi pengunjung biasa maupun peziarah yang berkunjung di vihara ini, selain mengisi aspek spiritualnya juga bisa menikmati keindahan arsitektur yang bercorak khas China. *** [081213]
Share:

Benteng Erfprins

Benteng Erfprins terletak di Jl. K.S. Tubun, Dusun Sumur Kembang, Kelurahan Pejagan, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Lokasi benteng ini mudah dicapai, karena terletak di Kota Bangkalan. Dekat dengan Kantor Laka Lantas Polres Bangkalan.  
Keberadaan benteng ini merupakan peninggalan Belanda di Bumi Madura. Masyarakat sekitar umumnya mengenal benteng ini sebagai Benteng Bangkalan atau Benteng Kolonial. Namun sebenarnya benteng ini bernama benteng Erfprins. Berdasarkan catatan dokumen Belanda yang ada, benteng ini dibangun semasa pemerintahan Raja Willem I (1817-1848). Saat dibangun, lahirlah anak Raja Willem I yang berdasarkan kebiasaan raja di Belanda, diberi nama “Erfprins. Barangkali sebagai bentuk monumen atas kegembiraan kelahiran putranya, maka bangunan benteng tersebut dinamakan benteng Erfprins atau dalam bahasa Indonesia: Warisan Pangeran.


Benteng ini memiliki cerita kekunaan yang cukup panjang. Mulai dari menjadi benteng tempat pertahanan tentara Belanda di Madura, Kantor Residen Madura Barat, Markas Brimob hingga sekarang dihuni oleh sekitar 25 KK. Sebgai Benda Cagar Budaya yang ditetapkan dengan Surat Keterangan Benda Cagar Budaya dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan (BP3 Trowulan) tertanggal 12 Desember 2003, bangunan ini layak dilestarikan. Namun sayangnya, benteng ini kurang terawat, kekumuhan menghinggapi benteng yang memiliki luas 7.249 m dengan tinggi tembok 4,5 m serta ketebalan tembok 0,5 m ini. Kekumuhan ini tampak dari banyaknya PKL (Pedagang Kaki Lima) yang mangkal di sekeliling tembok benteng, rumah warga yang bersentuhan dengan tembok benteng secara langsung maupun dilema adanya beberapa Kepala Keluarga yang masih mendiami bangunan di dalam benteng tersebut. Padahal bila ditata dengan baik, benteng ini bisa menjadi ikon Kota Bangkalan dan sekaligus menjadi tujuan wisata sejarah yang membanggakan. *** [050613]
Share:

Museum Cakraningrat

Museum Cakraningrat terletak di Jalan Soekarno Hatta 39 A Kelurahan Malajah, Kecamatan Bangkalan, Provinsi Jawa Timur. Museum ini merupakan museum umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Bangkalan. Awal berdirinya didasari pada pemikiran dan rasa tanggung jawab untuk merawat dan melestarikan benda-benda bernilai sejarah warisan nenek moyang yang ada di Pulau Madura, maka antara tahun 1950-1954 atas saran para sesepuh yang ada di Kabupaten Bangkalan, seperti: R.A. Roelan Tjakraningrat, R.A Saleh Adiningrat Surjowinoto, R.P. Abdoel Madjid Surjowinoto, R.P. Machfud Sosroadipoetro, dan R.P. Abdoel Hamid Notodiredjo, dilakukan pengumpulan peralatan, benda-benda dan dokumen-dokumen bekas milik “Kraton Bangkalan” yang masih ada dan tersisa untuk bisa diurus dan dirawat. Selanjutnya benda-benda tersebut dikumpulkan dalam sebuah gudang yang terletak di Kompleks Makam Raja-Raja Bangkalan, yang dikenal dengan Pasarean Aer Mata. Kompleks makam tersebut terletak di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan.


Pada tahun itu pula terbentuk sebuah yayasan, yang diberi nama “Yayasan Kona”. Bersama dengan yayasan ini ,yang diwakili oleh R.A. Moch. Anwar Tjakra Adipoetra, R.P. Abdoel Madjid Surjowinoto dan R.P. Abdoel Hamid Notodiredjo, Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bangkalan saat itu, H.J. Soedjaki (1971-1976) dengan dibantu oleh staf beliau, R.A. Saleh Sosroadipoetro dan R. Abdurrachman bersepakat untuk memindahkan benda-benda tersebut ke tempat yang lebih representative. Atas dasar itulah maka pada tahun 1974 dibangunlah sebuah gedung yang terletak di Kompleks Pendopo Kabupaten Bangkalan, Jl. Letnan Abdullah No. 1 Bangkalan. Untuk mendukung keberadaan gedung tersebut dibangun pula pintu gerbang yang bentuk arsitekturnya serta ornamennya serupa dengan Bentar Makam Agung Arosbaya.
Dengan disaksikan oleh Gusti Pembayon, permaisuri R.A. Roeslan Tjakraningrat, pada tanggal 24 Juli 1975 benda-benda tersebut dipindah ke gedung baru dan sejak saat itu pemeliharaan dan perawatan benda-benda koleksi itu dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Dan baru pada tahun 1979 gedung tersebut diresmikan sebagai museum denga nama “Museum Daerah Tingkat II Bangkalan”.


Dalam perjalanannya museum tersebut mengalami perkembangan yang cukup pesat, terbukti dengan semakin bertambahnya koleksi yang dimiliki baik yang berasal dari sumbangan dan pemberian dari masyarakat yang memiliki kepedulian dan kesadaran tinggi terhadap upaya-upaya pelestarian benda-benda bersejarah maupun yang berasal dari perburuan dan pencarian serta penyelamatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sendiri. Di samping melakukan upaya penambahan koleksi, dilakukan pula upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola museum melalui berbagai pelatihan dan pendidikan bekerjasama dengan instansi dan lembaga terkait khususnya dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, Museum Mpu Tantular dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala  Trowulan.
Beberapa kendala yang dihadapi dalam upaya menambah koleksi museum di antaranya masih banyaknya benda-benda yang masih dimiliki pribadi, keluarga atau keturunan kraton dan kolektor serta beberapa di antaranya tersebar di beberapa wilayah, bahkan di luar negeri, khususnya di Belanda. Oleh karenanya, upaya-upaya itu akan tetap dilakukan untuk menyelamatkan dan melestarikan benda-benda peninggalan bernilai sejarah tersebut.
Sejalan dengan upaya-upaya itu, atas inisiatif dan perhatian yang tinggi untuk melestarikan peninggalan sejarah, maka Bupati Bangkalan R. KH. Fuad Amin, S.Pd. pada tahun 2007 berhasil membangun gedung museum yang megah seperti saat ini. Pada tanggal 9 Agustus 2007 semua benda koleksi yang sebelumnya disimpan di gedung museum lama dipindah ke gedung museum baru yang lebih megah tersebut dan pada tanggal 13 Maret 2008 diresmikan pemakaiannya oleh Gubernur Jawa Timur saat itu, Imam Utomo, dengan nama “Museum Cakraningrat. Nama tersebut digunakan untuk mengenang dan menghormati jasa dan kebesaran Pangeran Cakraningrat.
Bangunan museum ini menempati lahan seluas 2.079 m² dengan rincian bangunan publik berukuran panjang 31,670 m dan lebar 20,950 m. Sedangkan bangunan non publik memiliki luas 144 m². Bangunan ini berarsitektur joglo limasan berplester semen yang dipadukan dengan kaca-kaca.
Bangunan seluas itu, memiliki koleksi hingga ratusan lebih. Mulai kain batik khas Madura, peralatan bati mapun alas untuk membatik, bokor, kereta kuda, gamelan hingga kitab tulis tangan karya ulama besar Bangkalan, Syaichona KH Moh. Cholil bin Abdul Latif atau terkenal dengan sebutan Syaichona Cholil. Kumpulan karya tulis tangan ulama yang lahir pada 11 Jamadil Akhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 Masehi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan.  *** [050613]
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami