Kawasan
Jalan Cik Di Tiro tempo doeloe di
mulut orang Belanda dikenal dengan Yap
Boulevard. Boulevard itu berasal dari bahasa Perancis, yang artinya suatu
jalan lebar nan ramai. Biasanya pada boulevard
terdapat median pemisah, dan di kiri maupun kanannya ada tanaman peneduhnya
yang cukup rindang. Jalan Cik Di Tiro dari dulu hingga sekarang masih seperti
dulu, tidak banyak mengalami perubahan lebar jalan. Hanya saja pohon-pohon
peneduhnya sudah mulai hilang seiring kawasan tersebut berubah menjadi kawasan
komersial.
Namun
demikian, jalan tersebut masih mencitrakan sebagai kawasan tempo doeloe yang banyak berdiri bangunan lawasnya. Salah satu bangunan lawas yang masih bisa kita jumpai adalah
Indraloka Family Homestay. Homestay
ini terletak di Jalan Cik Di Tiro No. 18 Kelurahan Terban, Kecamatan
Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi homestay ini berada di pojok pertigaan
ke Sagan atau pertemuan antara Jalan Cik Di Tiro dengan Jalan Kartini.
Menurut
catatan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta, bangunan
Indraloka Family Homestay ini dulunya merupakan rumah milik orang Belanda yang
bernama Van der Vin, yang dibangun pada tahun 1930.
Ketika tentara Jepang menduduki Yogyakarta, bangunan rumah Van der Vin ini sempat terlantar karena pada waktu pasukan tentara Jepang berusaha memenjarakan orang-orang Belanda maupun orang Eropa lainnya yang berada maupun bermukim di Yogyakarta. Mereka pada umumnya menjadi interniran.
Pada
waktu ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, rumah tersebut pernah
menjadi rumah dinas Dr. Prawoto Mangkusasmita, salah seorang anggota parlemen
dari Partai Masyumi. Setelah ibu kota Republik Indonesia balik kembali ke
Jakarta, rumah tersebut berada di bawah kewenangan Jawatan Perumahan
Yogyakarta.
Pada
tahun 1960 rumah tersebut dibeli oleh Moerdiyono Danoesastro, seorang ambtenaar di Yogyakarta. Prof. Dr.
Soebakdi Soemanto, S.U. dalam Diskusi Great Thinker Umar Kayam di Sekolah
Pascasarjana UGM pada 24 Mei 2011 menuturkan bahwa ‘priyayi’ yang dilukiskan
dalam novel ‘Para Priyayi’, bukan priyayi yang berdarah biru tetapi kelas bawah
yang berproses bergerak secara vertikal dan kemudian berada di kalangan elitis.
Pada zaman penjajahan Belanda, mereka disebut ambtenaar. Pada zaman republic awal hingga sekarang, yang disebut ambtenaar adalah pegawai negeri. Jadi, Toean Moerdiyono Danoesastro sudah
tergolong sebagai priyayi kala itu.
Setelah
menjadi milik Moerdiyono Danoesastro, pada tahun 1970 fungsi bangunan rumah
tersebut dirubah menjadi homestay. Homestay ini sampai sekarang masih
mempertahankan bentuk bangunan aslinya yang bergaya Indis di mana antara
tradisional khas Jawa yang dibalut dengan gaya khas Eropa. Rumah yang menghadap
ke arah barat dan selatan ini memiliki dua lantai dengan balkonnya yang khas.
Keunikan yang lainnya adalah memiliki atap bangunan yang sangat curam. Awalnya
atap tersebut terbuat dari sirap, akan tetapi sekitar tahun 2005 sirap tersebut
diganti dengan genteng dengan alasan untuk mempermudah perawatan dan
pemeliharaan.
Bila
Anda sedang berkunjung ke Kota Yogyakarta, sempatkanlah mengunjungi bangunan
bergaya Indis ini. Atau, bisa juga Anda menginap di homestay tersebut sekalian menikmati suasana tempo doeloe. Karena bangunan Indraloka Family
Homestay ini telah menjadi Bangunan Warisan Budaya (BWB) dengan nomor
798/KEP/2009. *** [010417]
Foto
: Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo
Kepustakaan:
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/2014/06/24/selayang-pandang-homestay-indraloka/
https://ugm.ac.id/id/berita/3378-umar.kayam.sastrawan.peduli.%C3%A2%E2%82%AC%CB%9Cwong.cilik%C3%A2%E2%82%AC%E2%84%A2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar