Pelan
tapi pasti, itulah kira-kira perjalanan saya menggunakan kaki dari PSKK UGM
menuju Stasiun Yogyakarta. Pelan di sini bukan berarti lelet atau lamban dalam
berjalan, melainkan dalam jalan kaki tersebut ada unsur sambil menikmati
keindahan bangunan lawas yang
dilewati. Sehingga, tiap kali menemukan bangunan lawas, saya berusaha berhenti untuk melihat, menanyakan kisahnya
dan memotretnya.
Di
antara bangunan lawas yang saya
singgahi adalah The Phoenix Hotel. Hotel ini terletak di Jalan Jenderal
Sudirman No. 9 Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi hotel ini berada di sebelah timur
Bank Mandiri Graha Tugu atau Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Menurut
historisnya, hotel ini dulunya merupakan bangunan rumah tempat tinggal Kwik
Djoen Eng yang dibangun pada tahun 1918. Kwik Djoen Eng adalah seorang Tionghoa
yang berusaha membangun usahanya di Hindia Belanda kala itu. Ia bersama
saudaranya (Kwik bersaudara) pertama kali mendirikan usahanya di Solo pada Juli
1894 dengan nama NV Kwik Hoo Tong Handel
Maatschappij, yang bergerak dalam bidang ekspor impor hasil bumi (terutama teh
dan gula). Usahanya ini sempat berkembang pesat hingga mengantarkan Kwik Djoen
Eng menjadi saudagar kaya, dan NV Kwik
Hoo Tong Handel Maatschappij menjadi firma di Hindia Belanda yang mampu
mempunyai jaringan perdagangan yang luas di Asia Tenggara, Asia Timur bahkan
sampai ke Eropa dan Amerika. Sekitar tahun 1920, perusahaan dagang Kwik
bersaudara ini, kantor pusatnya dipindahkan ke Semarang sampai mengalami
kebangkrutan pada tahun 1932 karena resesi ekonomi.
Akibat krisis ekonomi tersebut, banyak properti yang dimiliki oleh Kwik Djoen Eng yang tersebar di sejumlah daerah, harus lepas kepemilikannya. Ada yang disita oleh Javasche Bank, dan ada pula yang dijual sendiri. Termasuk di antaranya adalah rumah tinggalnya yang berada di Yogyakarta tersebut. Rumah bergaya Indis (Indische Landhuis) tersebut dijual kepada Liem Djoen Hwat. Oleh Liem Djoen Hwat, rumah tersebut disewakan kepada orang Belanda yang bernama D.N.E. Franckle. Franckle kemudian mengubah rumah tempat tingal menjadi sebuah hotel yang diberi nama Hotel Splendid.
Pada
tahun 1942 pasukan Jepang berusaha menduduki Yogyakarta. Hotel yang semula
dirintis oleh Franckle tersebut, akhirnya dikuasai oleh pasukan Jepang yang
kemudian berganti nama menjadi Hotel Yamato. Penyematan nama Yamato ini hanya
bertahan hingga hengkangnya Jepang pada tahun 1945, dan hotel tersebut kembali
ke pemiliknya, yaitu Liem Djoen Hwat.
Pada
tahun 1946 sampai dengan 1949 ketika Yogyakarta menjadi ibu kota dari
pemerintahan Indonesia, bangunan bekas Hotel Splendid atau Hotel Yamato
tersebut digunakan sebagai Kantor Konsulat China. Selang dua tahun kemudian,
bangunan bekas Kantor Konsulat kembali digunakan sebagai hotel lagi. Hotel
tersebut bernama Hotel Merdeka. Pergantian nama menjadi Hotel Merdeka ini
bertahan hingga tahun 1987.
Setelah
selesai difungsikan sebagai Hotel Merdeka, bangunan lawas tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, yang pada saat itu
telah berada di tangan cucunya. Lalu, bangunan tersebut direnovasi tanpa
mengubah bentuknya dan pada tahun 1993 kembali difungsikan sebagai hotel, yang
diberi nama Phoenix Heritage Hotel.
Sepuluh
tahun kemudian, jaringan Accor Hotel Group mengambil alih manajemen Phoenix
Heritage Hotel. Perubahan manajemen ini dibarengi dengan melakukan renovasi
besar-besaran pada hotel ini. Setelah selesai renovasi, pada 14 Mei 2004 nama
Phoenix Heritage Hotel resmi berganti nama menjadi Grand Mercure. Perubahan
nama tersebut bertahan sampai dengan 29 Maret 2009, dan pada 30 Maret 2009,
nama Grand Mercure diganti menjadi The Phoenix Hotel Yogyakarta hingga
sekarang.
Kini,
The Poenix Hotel Yogyakarta telah menjelma menjadi hotel bintang lima, dan
berada jantung kota yang strategis letaknya. Namun demikian, hotel ini masih
mempertahankan bangunan awalnya yang menjadi ciri dari keunikan bangunan
tersebut sebagai fasadnya kendati di halaman belakangnya telah ada penambahan
bangunan baru untuk menopang kelengakapan fasilitas hotel tersebut.
Berdasarkan
Data Referensi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bangunan The Phoenix
Hotel Yogyakarta ini sudah dimasukkan dalam Daftar Entitas Kebudayaan sebagai
cagar budaya dengan kode pengelolaan KB001561. *** [010417]
Kepustakaan:
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/2017/03/16/2468/
http://referensi.data.kemdikbud.go.id/index71.php?kode=046013&level=3
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/19555/Chapter%20II.pdf;jsessionid=7E086742B0539D6C4AE379C687E13422?sequence=3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar