Kawasan
Bintaran merupakan salah satu kawasan permukiman yang dikembangkan oleh
Pemerintah Hnidia Belanda di Yogyakarta. Pengembangan kawasan ini lantaran
permukiman orang-orang Belanda maupun Eropa yang lama di kawasan Kidul Loji atau
Secodiningratan sudah padat. Kawasan Kidul Loji sendiri berada di sebelah
selatan Benteng Vredeburg, yang berjarak satu kilometer dengan kawasan
Bintaran.
Dalam
pengembangan kawasan Bintaran tersebut, juga didirikan fasilitas keagamaan
berupa gereja Katolik yang bernama Gereja Katolik Santo Yusup, atau yang
dikenal juga dengan Gereja Bintaran. Gereja ini terletak di Jalan Bintaran
Kidul No. 5, Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi gereja ini berada di depan Bintaran
Mart, atau H Royal Residence Bintaran.
Gagasan mendirikan gereja di Bintaran ini berawal dari keprihatinan akan keterbatasan ruang gereja yang ada di Gereja Santo Frasiskus Xaverius Kidul Loji. Pada waktu itu, Gereja Santo Fransiskus Xaverius Kidul Loji masih didominasi oleh jemaat yang terdiri dari orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Orang-orang kulit putih menempati bangunan utama gereja, sedangkan jemaat orang-orang pribumi Katolik memilih menempati gudahng sisi timur gereja.
Seiring
perkembangan waktu, gudang tersebut tak mampu lagi untuk menampung jemaat
pribumi Katoilk. Situasi dan kondisi yang demikian menjadi perhatian Pastor
Henri van Driessche SJ, untuk membangun gereja yang khusus untuk jemaat
orang-orang pribumi Katolik tersebut.
Setelah
penggalangan dana terkumpul, maka dibuatlah desain bangunan gereja yang
dipercayakan kepada Ir. Johannes Theodorus van Oijen. Van Oijen adalah seorang
arsitek berkebangsaan Belanda yang telah banyak berkiprah di kota-kota yang ada
di Hindia Belanda, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Ia kelahiran Den
Haag pada 3 Oktober 1896, dan meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung pada 11
Juli 1944.
Pembangunan gereja dimulai pada tahun 1933, dan kontraktor pelaksananya dilakukan oleh sebuah perusahaan bangunan milik Belanda bernama Naamloze Vennootschap (NV) “Hollandsche Beton Maatschappij”. Luas bangunan gereja adalah 720 m² yang berdiri di atas lahan seluas 5024 m². Tinggi bangunan gereja 13 m, lebar 20 m dan panjang 36 m.
Secara
visual bangunan Gereja Bintaran memiliki keunikan bila dibandingkan dengan
gereja-gereja lainnya yang ada di Yogyakarta. Gereja ini mempunyai atap plat
beton lengkung tinggi yang diapit oleh atap datar. Langgam arsitektur gereja
seperti itu hanya ada dua, yang satunya ada di Belanda yang menjadi induk dari
gereja ini.
Gedung
gereja ini diresmikan pada hari Minggu, 8 April 1934 bersamaan dengan misa
ekaristi untuk pertama kalinya yangdihadiri sekitar 1800 jemaat Katolik
pribumi. Peresmian gereja dilakukan oleh Mgr. A. Th. Van Hoof SJ, Vikaris
Apolistik didampingi oleh Pastor Van Kalken SJ, Kepala Misi Jesuit di Jawa dan
Pastor G. Riestra SJ, Pastor Kepala di Yogyakarta. Selain itu, juga dihadiri
oleh dua orang wakil masyarakat Katolik pribumi, Raden B. Djajaendra dan Raden
Mas L. Jama. Keduanya bekas murid sekolah guru Muntilan yang saat itu bekerja
di sekolah Bruderan Yogyakarta.
Setelah
itu, Pastor pertama yang berkarya di Bintaran adalah Pastor A.A.C.M. de Kuyper
SJ dibantu oleh Pastor A. Soegijopranoto SJ. Mereka berdua sudah dipercaya
memegang Paroki Bintaran sejak 12 Oktober 1933, satu tahun sebelum gereja
diresmikan penggunaannya.
Menilik
data antara Juli 1935 sampai Juni 1936 diketahui bahwa, jumlah jemaat Paroki
Bintaran berjumlah 4.695 orang. Dari jumlah itu, hanya ada 26 jemaat orang
Eropa. Selaras dengan ide awal pendirian gereja ini, perbandingan ini telah mengokohkan
bahwa Gereja Bintaran memang merupakan Gereja Katolik Jawa pertama di Yogyakarta.
Anton
Haryono dalam bukunya, Awal Mulanya Adalah Muntilan: Misi Jesuit di Yogykarta 1914-1940 (Kanisius, 2009) menjelaskan bahwa, daerah Yogyakarta merupakan
tanah Misi paling subur di Jawa, yang tidak hanya tercermin dari pertumbuhan
umat, tetapi juga dari kesuburan panggilan imamat dan hidup membiara. Dari
daerah inilah untuk pertama kalinya di Indonesia muncul imam, biarawan, dan
biarawati pribumi. Bahkan, kardinal pertama juga berasal dari daerah Yogyakarta.
Di
sisi lain, gereja ini juga mempunyai peran dalam proses perjuangan kemerdekaan.
Pada saat Ibu Kota Pemerintahan RI dipindahkan ke Yogyakarta, Gereja Bintaran
menjadi tempat persembunyian keluarga Bung Karno dan Hatta yang kala itu
dibuang ke bukit tinggi. Selain itu, gereja ini juga menjadi tempat rintisan
sekolah pribumi Kolese Debrito, dan sering kali digunakan sebagai tempat
pertemuan kelompok gereja Katolik, salah satunya adalah Kongres Umat Katolik
Seluruh Indonesia (KUKSI) yang berlangsung dari tanggal 12 sampai dengan 17
Desember 1949 yang menghasilkan Partai Katolik Indonesia.
Kini,
Gereja Bintaran menjadi cagar budaya yang dilindungi oleh negara berdasarkan
Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.25/PW.007/MKP/2007 tentang
Penetapan Situs Dan Bangunan Tinggalan Sejarah dan Purbakala Yang Berlokasi Di
Wilayah Propinsi DIY Sebagai Benda Cagar Budaya Atau Kawasan Cagar Budaya. *** [210717]
Foto: Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo
Foto: Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo
Kepustakaan:
Haryono, Anton. (2009). Awal Mulanya Adalah Muntilan: Misi Jesuit di
Yogykarta 1914-1940. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
http://journal.unpar.ac.id/index.php/rekayasa/article/viewFile/1355/1312
http://loncengbintaran.blogspot.co.id/2007/12/sejarah-gereja-santo-yusup-bintaran.html
http://lppmsintesa.fisipol.ugm.ac.id/mengunjungi-gereja-jawa-pertama-di-yogyakarta/
https://www.academia.edu/7666653/Rekam_Jejak_Arsitektur_Indis_di_Bintaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar