Pugeran
merupakan sebuah kampung yang berada di bagian selatan Kota Yogyakarta.
Dipilihnya Pugeran sebagai lokasi untuk mendirikan gereja, karena pada waktu
itu di Yogyakarta bagian selatan baru ada satu gereja Katolik, yaitu gereja
yang berada di Ganjuran.
Selain
untuk menampung jemaat Katolik di Yogyakarta bagian selatan dan Bantul bagian
utara, juga untuk mengatasi semakin bertambahnya jumlah umat Katolik di Gereja
Frasiscus Xaverius Kidul Loji dan Gereja Santo Antonius Bintaran. Hal ini yang
menyebabkan muncul ide untuk mendirikan sebuah gereja yang bernama Gereja
Katolik Hati Kudus Yesus Pugeran, atau biasa disebut dengan Gereja Pugeran. Gereja
ini terletak di Jalan Suryaden No. 63 Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan
Mantrijeron, Kota Yogayakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi
gereja ini berada di sebelah timur laut Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Yogyakarta ± 50 m.
Dengan diprakasai oleh Pastor Adrianus Djajasepoetra SJ, yang didukung oleh para bangsawan Jawa seperti Pangeran Suryodiningrat, Pangeran Tedjokusumo, Pangeran Brotodiningrat, dan Pangeran Puger, gereja itu mulai dibangun pada 5 November 1933 dengan menggunakan hasil rancangan dari seorang arsitek Belanda, Johannes Theodorus van Oijen. Sebelumnya, Van Oijen sudah mendesain Gereja Katolik SantoAntonius Bintaran.
Lahan
tempat pendirian gereja ini merupakan tanah milik beberapa penduduk yang dibeli
oleh Yayasan Papa Miskin, sebuah yayasan Misi di Yogyakarta, yang diatasnamakan
Pastor Adrianus Djajasepoetra SJ. Lahan tersebut berada di lokasi yang sekarang
menjadi tempat berdirinya gereja ini, yaitu sebuah jalan yang berada antara
pojok Beteng Kulon dan Bantul, yang dikenal dengan nama Pugeran.
Gereja ini kemudian diresmikan pada 8 Juli 1934 oleh Pastor A. Van Klanken SJ, dengan diakon Pastor Rektor Xaverius Muntilan dan subdiakon Pastor A. Sukiman Prawirapratama SJ, bersamaan dengan peringatan 75 tahun Misi Yesuit di Hindia Belanda, dan kemudian esok harinya dilakukan pembaptisan pertama Fransiscus Xaverius Suyatna dari Padokan. Pastor pertama yang ditunjuk untuk berkarya di Gereja Pugeran adalah Pastor Adrianus Djajasepoetra SJ.
Berdasarkan
catatan tahun 1936, jumlah umat Katolik yang ada di Gereja Pugeran ini adalah
1.010 orang. Sebagian besar umat tersebut terdiri dari umat pribumi Jawa, yang
umumnya berasal dari daerah sekitar Pabrik Gula Padokan, dan sekitar gereja
tersebut.
Dilihat dari arsitekturnya, gereja ini memiliki fasad yang khas dibandingkan dengan gereja-gereja lain pada umumnya. Pada gereja ini terjadi ‘perkawinan’ antara arsitektur tradisonal Jawa dengan arsitektur Barat. Ciri tradisionalnya bisa dilihat dari atapnya yang berbentuk tajug yang lazim digunakan pada bangunan ibadah tradisional Jawa yang dipengaruhi oleh agama Islam. Namun pada ujung atap terdapat sebuah salib untuk menandakan bahwa bangunan itu adalah bangunan gereja. Sedangkan, ciri dari Barat ditandai dengan dinding-dinding gerejanya. Badan bangunan bagian depan menggunakan langgam Neo-Gothic yang menggunakan moulding pada permukaan dindingnya, dan di atas pintu utama gereja tertulis Ad Maiorem Dei Gloriam, yang artinya “Demi kemulian Tuhan yang lebih besar”.
Gereja Pugeran ini merupakan salah satu gereja yang mampu bertahan menghadapi gejolak sosial dan politik, karena Paroki Pugeran mampu menjadi bagian dari lokalitas masyarakat di sekitarnya dengan berperan langsung sebagai bagian dari media perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada
masa Agresi Militer Belanda II, pasukan Belanda melakukan serangan terhadap
Kota Yogyakarta. Pada saat serangan tersebut, banyak orang mengungsi menuju ke
arah selatan dari Kota Yogyakarta. Halaman Gereja Pugeran penuh dengan
pengungsi. Pastor dan para pembantunya berusaha untuk melindungi dan mengayomi
para pengungsi yang mengungsi di halaman Gereja Pugeran. Mereka mengusahakan
obat-obatan dan makanan bagi para pengungsi serta merawat yang terluka dan
sakit. Sementara, mayat yang bergelimpangan akibat dari perang tersebut, juga
dikuburkan dengan layak oleh pastor dan para pembantunya.
Peristiwa
heroik itu diabadikan dalam sebuah prasasti yang dibangun di depan gereja, dan
tepatnya berada di belakang patung Hati Kudus Yesus. Prasasti tersebut
berbunyi: “Di bawah naungan Hati Kudus
Juru Selamat Kristus para pastor beserta umat paroki Pugeran dengan penuh bakti
serta syukur memperingati hari ulang tahun ke-50 Gereja Hati Kudus tercinta
ini, khususnya dengan kenang-kenangan bahagia bahwa pada hari-hari yang paling
gelap penuh derita 19 Desember 1948 - 19 Juni 1949 selama Perang Kemerdekaan
Republik Indonesia tempat ini telah menjadi pengungsian dan perlindungan bagi
penduduk tak bersalah di sekitar gereja Pugeran dan merupakan tempat penghubung
rahasia pula antara para pejuang gerilyawan Perang Kemerdekaan Republik
Indonesia yang bergerak di dalam dan di luar kota Yogyakarta”. *** [210717]
Kepustakaan:
http://library.fis.uny.ac.id/elibfis/index.php?p=show_detail&id=998&keywords=
https://www.academia.edu/2348128/Tinjauan_Inkulturasi_Agama_Katolik_dengan_Budaya_Jawa_pada_Bangunan_Gereja_Katolik_di_Masa_Kolonial_Belanda_Studi_Kasus_Gereja_Hati_Kudus_Yesus_Pugeran_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar