Kawasan
Kotabaru, yang dulunya disebut Nieuwe
Wijk, merupakan sebuah wilayah khusus yang didirikan untuk permukiman orang
Belanda maupun Eropa lainnya. Kawasan ini mulai dibangun pada tahun 1920-an.
Pembangunan kawasan ini merupakan konsekuensi dari kian berkembangnya jumlah
orang Belanda maupun Eropa yang ada di Yogyakarta. Perkembangan tesebut tidak
terlepas dengan adanya industri gula dan perkebunan-perkebunan lainnya.
Desain
kawasannya sangat rapi dengan pemanfaatan ruang yang teratur. Ada bangunan
rumah, taman. Fasilitas keagamaan, fasilitas pendidikan maupun fasilitas
kesehatan. Bangunan-bangunan dirancang dengan gaya arsitektur Eropa yang
disesuaikan dengan iklim alam setempat. Salah satu bangunan peninggalan kolonial
Belanda yang masih bisa ditemui sampai sekarang adalah Kantor Asuransi
Jiwasraya. Kantor ini terletak di Jalan Faridan Muridan Noto No. 9 Kelurahan
Kotabaru, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Lokasi kantor ini berada di sebelah timur SDN Ungaran, atau berada
di hoek Jalan Faridan Muridan Noto
dan Jalan Ungaran.
Gedung Kantor Asuransi Jiwasraya itu semula merupakan rumah untuk kediaman salah satu pegawai Nederlandsch-Indische Levensverzekerings en Lijfrente Maatschappij (NILLMIJ). NILLMIJ merupakan sebuah perusahaan asuransi jiwa yang didirikan di Hindia Belanda pada 31 Desember 1859.
Dalam
perjalanan yang cukup panjang, NILLMIJ ini pernah mengalami pelbagai perubahan
nama. Dimulai ketika perusahaan asuransi ini dinasionalisasi pada tahun 1960,
hingga sekarang menjadi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sejak tahun 1998. Oleh
karena itu, gedung bekas kediaman pegawai NILLMIJ yang terdapat di Kotabaru pun
lantas ikut menjadi aset PT Asuransi Jiwasraya (Persero), dan saat ini
dijadikan sebagai Kantor Asuransi Jiwasraya Kotabaru.
Pada
masa pendudukan Jepang, Kotabaru dan hunian Belanda lain di Yogyakarta diambil
alih oleh Jepang, antara lain untuk kepentingan perkantoran, perumahan, tangsi,
dan gudang. Khusus untuk bangunan milik NILLMIJ ini dijadikan untuk tempat
tinggal Butaico Mayor Otsuka, perwira tinggi angkatan bersejata Jepang.
Pada 6 Oktober 1945, Mohammad Saleh (dari KNID), R.P. Sudarsono (Polisi Istimewa), Sunyoto, Bardosono (dari BKR) mengadakan pembicaraan dengan pimpinan tentara Jepang yaitu Mayor Otsuka, Kenpeito Sasaki, Kapten Ito dan Kiabuco di bangunan NILLMIJ itu. Dalam pertemuan itu, Jepang diminta agar mau menyerahkan senjatanya dan menyerahkan kewajiban menjaga ketentraman dan keamanan dalam negeri. Akan tetapi, Jepang tetap bersikeras tidak mau menyerahkan senjata, dengan demikian tidak ada jalan lain selain melalui jalan kekerasan atau pertempuran.
Akhirnya,
para pejuang bersama pemuda di Yogyakarta berusaha mengepung kediaman Mayor
Otsuka yang dianggap sebagai pusat markas pasukan Jepang dari berbagai arah.
Karena mengetahui markasnya terkepung, Jepang pun memberi perlawanan dengan
memuntahkan peluru mitraliyurnya terhadap pasukan dan pemuda Indonesia dari
tempat-tempat persembunyiannya. Pasukan rakayat yang telah disiagakan sejak
sore hingga malam hari tanggal 6 Oktober 1945, terus mendesak masuk ke dalam
markas Jepang, sehingga terjadi peperangan satu lawan satu dari jarak dekat
yang berlangsung sampai menjelang siang hari. Beberapa saat kemudian mereka
dapat bergerak mendekati kubu pertahanan Jepang.
Pada
saat pertempuran tengah berlangsung, Butaico yang bermarkas di Pingit datang ke
Kotabaru. Dengan senang hati Butaico Pingit menyerahkan senjatanya dengan
syarat anak buahnya tidak diganggu. Pimpinan TKR lalu meminta agar Butaico
Pingit menasehati Mayor Otsuka untuk bersedia mengikuti jejaknya menyerahkan
senjata mereka kepada Indonesia. Namun Otsuka belum mau menyerahkan
senjata-senjata tersebut. Karena itu pertempuran berjalan semakin memanas. Dalam
suatu kesempatan, Mohammad Saleh dan R.P. Sudarsono berhasil masuk ke dalam
tangsi Jepang, menemui Mayor Otsuka. Mereka kembali mendesak Butaico Kotabaru
tersebut untuk menyerah, agar tidak lagi menimbulkan korban di antara kedua
belah pihak. Pada akhirnya karena keadaan terjepit, Butaico Mayor Otsuka memberi
jawaban akan menyerahkan snjatanya, tetapi hanya kepada Yogyakarta Ko (Kepala Daerah Yogyakarta) Sri Paduka Sultan Hamengku
Buwono IX. Setelah pernyataan ini, perlawanan Jepang semakin berkurang dan sekitar
pukul 10.30 tanggal 7 Oktober 1945 dari tengah-tengah pertahanan Jepang
berkibar bendera putih tanda Jepang menyerah. Selanjutnya Butaico Mayor Otsuka
memerintahkan anak buahnya menghentikan pertempuran serta menyerahkan senjata
mereka kepada bangsa Indonesia. ***
[210717]
Foto:
Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo
Kepustakaan:
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/2016/03/30/holland-kecil-di-residentie-yogyakarta/#
http://lms.aau.ac.id/library/ebook/MJ_246_H/files/res/downloads/download_0049.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar