The Story of Indonesian Heritage

Gapura Bajang Ratu

Gapura Bajang Ratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Nama Bajang Ratu mungkin ada hubungannya dengan Jayanegara. Bajang artinya kecil/kerdil/tidak jadi. Seperti istilah Pabajangan yang berarti kuburan anak kecil. Menurut Kitab Pararaton maupun dalam legenda, Jayanegara dinobatkan menjadi raja ketika masih kecil (bajang) sehingga gelar ratu Bajang sangat melekat pada dirinya.

 

Denah bangunan berbentuk persegi empat dan ukuran panjang 11,5 meter kali lebar 10,5 meter serta tinggi bangunan 16,5 meter. Tinggi lorong pintu 1,4 meter. Secara vertical Gapuran Bajang Ratu dibagi menjadi tiga bagian (kaki, tubuh dan atap). Tinggi kaki gapura 2,48 meter. Struktur kaki teriri dari bingkai bawah, badan kaki dan atas. Pada sudut kaki masing-masing terdapat hiasan/panil, kecuali pada bagian kiri depan dihiasi dengan relief Sri Tanjung. Dalam kisah tersebut, muncul tokoh Ranini, jelmaan Dewi Uma, isteri Siwa.
Nama Bajang Ratu pertama kali disebut dalam Oudheikunding Verslag (OV) pada tahun 1915. Penyelamatan yang pertama dilakukan pada tahun 1890 dengan jalan dipasang balok kayu sebagai penyangga dan kemudian diganti dengan besi karena kayu tersebut kropos (lapuk). Seperti yang dilaporkan oleh Knebel pada tahun 1907. Penyelamatan dari keruntuhan total diselesaikan pada tahun 1915, sedang penggalian dan penelitian dilakukan pada tahun 1919.


Bajang Ratu merupakan pintu masuk dengan bentuk paduraksa (beratap tunggal). Atapnya tinggi terdiri dari tingkatan-tingkatan horizontal dengan puncak berbentuk kubus. Pada atap terdapat beberapa hiasan relief, antara lain: relief kalamakara, relief naga berkaki, relief kepala kala, relief surya (matahari), relief mata satu (monocle Cyclops) dan relief ratna (mahkota/kelopak bunga). Relief-relief di atas mempunyai fungsi sebagai pelindung/penolak bala, penolak dari segala macam mara bahaya.
Pada bingkai pintu terdapat ornament, berupa relief binatang bertelinga panjang dengan ekor berbentuk sulur gunung sebagai hiasan.
Pada samping kanan dan kiri bangunan induk panil yang agak sempit dihiasi dengan relief Ramayana (menggambarkan peperangan antara manusia kera dengan raksasa). Gapura ini juga bias disebut dengan gapura bersayap (melambangkan bentuk pelepasan) karena bagian kiri dan kanan terdapat sayap (pagar) yang kini tinggal pondasi.
Pada lantai dan atap diletakkan umpak persegi panjang dengan 4 buah lubang di bawah dan 4 buah lubang lagi di atas. Atau juga bias diperkirakan, merupakan engsel pintu. Sementara fungsi Gapura Bajang Ratu, yaitu:
        I.            Sebagai pintu masuk menuju ke sebuah kompleks bangunan suci. Pendapat ini bersumber pada:

a.       Relief Sri tanjung yang melambangkan bentuk upacara pengruwatan/pelepasan.
b.     Bentuk arsitektur bangunannya yang merupakan Gapura Paduraksa. Seperti halnya di kompleks makam Sendang Dhuwur (Paciran, Lamongan), Gapura Plumbangan (Blitar) dan lain-lain.

      II.          Sebagai prasasti untuk memperingati wafatnya seorang raja, dalam hal ini adalah Jayanegara yang wafat pada tahun 1328 M. Berdasarkan pada:

a.    Relief Ramayana yang bentuk dan gayanya serupa dengan yang di dinding Candi Penataran (Blitar abad XIV).
b.     Relief Binatang Bertelinga Panjang, gayanya serupa dengan relief yang sama pada dinding Candi Jago (Malang pada XIII).
c.       Relief Naga Berkaki menunjukkan bahwa ada pengaruh Dinasti Yuan (Tiongkok abad XIII).
d. Uraian dalam Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Jayanegara didharmakan di Kapopongan/Crirangga Pura dan dikukuhkan di Antawulan (Trowulan).
e.     Uraian dalam Kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa Jayanegara kembali ke dunia Wisnu pada tahun 1328 M. Dharmanya di dalam kedaton dan arcanya yang diwujudkan sebagai Wisnu diletakkan di Bubad, “Sira ta dhinameng kapoponga, bhisaka ring Cranggapura, pratista ning Antawulan.    
Menurut Crom (1928), Cranggapura dalam Pararaton sama dengan Criranggapura dalam Kitab Kertagama. Sedang Antawulan (Pararaton) sama dengan Antasari dalam Kitab Negarakertaga. Sehingga disimpulkan bahwa dharma (tempat suci)nya Jayanegara berada di Kapopongan/Cranggapura/Criranggapura. Pratistanya (bangunan sucinya) berada di Antawulan (Trowulan).
Bila prediksi di atas benar maka gapura ini dapat dipastikan yang disebut di dalam Kitab Pararaton maupun di dalam Kitab Negarakertagama. Dan berarti didirikan pada tahun 1340 M  atau 12 tahun setelah Jayanegara wafat (1328 M).
Sedangkan Gapura Bajang Ratu mulai dipugar oleh Pemerintah Indonesia pada tahun anggaran 1985 sampai dengan selesai tahun 1989, dan diresmikan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1992. *** [210112]

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami