Lonceng
Cakra Donya berupa mahkota besi yang tinggi berbentuk stupa dibuat pada 1409 M.
Tingginya mencapai 125 cm, lebar 75 cm. Di bagian luar terukir hiasan dan
tulisan Arab juga Tiongkok. Tulisan Arab sudah kabur dimakan usia sedangkan
aksara Tiongkok (Hanzi) tertulis Sing
Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo yang diartikan “Sultan Sing Fa yang telah
dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5.”
Lonceng
ini merupakan hadiah dari Kaisar Tiongkok yang berkuasa di Tiongkok sekitar
abad ke 15 kepada Kerajaan Samudera Pasai. Lonceng yang dihadiahkan oleh Kaisar
Tiongkot tersebut dibawa ke Aceh oleh Laksamana Cheng Ho sekitar 1414 M,
sebagai simbol persahabatan kedua negara. Kong Yuanzhi dalam “Muslim Tionghoa, Cheng Ho” (2000)
menyebutkan bahwa beberapa waktu setelah Kerajaan Samudera Pasai menerima
hadiah lonceng Cakra Donya, kemudian Raja Zainul Abidin mengirimkan adiknya
sebagai utusan untuk berkunjung ke Tiongkok. Tidak terduga ia wafat di Tiongkok
akibat sakit keras. Berhubungan dengan ini, Kaisar Ming mengadakan upacara
penguburan yang khidmat untuk tamu agung dari Aceh itu.
Selain
pusat Kerajaan Islam di Nusantara, Pasai kala itu dikenal sebagai kota
pelabuhan yang maju dan terbuka. Banyak pedagang-pedagang dari Timur Tengah dan
Gujarat India berbisnis di sana serta menyebarkan Islam. Pasai juga mengekspor
rempah-rempah ke berbagai negara, salah satunya Tiongkok.
Kerajaan Pasai berpusat di Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara sekarang. Sayang kejayaan Pasai kini hanya bisa didapat dalam catatan-catatan sejarah Pasai ditaklukkan Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Ali Mughayatsyah pada 1542 M, lonceng dari Tiongkok ini pun dijadikan milik Kerajaan Aceh.
Ketika
Sultan Iskandar Muda memimpin (1607-1636) yang merupakan puncak kejayaan
Kerajaan Aceh, lonceng ini digantung di kapal perang induk milik kerajaan yang
bernama Cakra Donya. Nama itulah akhirnya ditabalkan pada lonceng.
Ketika melawan Portugis yang ingin merebut Malaka, lonceng Cakra Donya menjadi alat penabuh aba-aba bagi pasukan perang di dalam kapal. Portugis yang kagum dengan kekuatan Cakra Donya menyebut armada tersebut dengan Espanto de Mundo yang artinya “Teror Dunia.”
Dari
kapal perang, lonceng Cakra Donya berpindah tempat ke depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Masjid ini masuk dalam kompleks Istana Raja Aceh kala
itu. Lonceng dibunyikan apabila penghuni istana harus berkumpul untuk mendengar
pengumuman Sultan.
Pada
1915, lonceng Cakra Donya dipindah ke Museum Negeri Aceh dan bertahan di sana
sampai sekarang. Digantung dengan rantai di bawah kubah. Lonceng Cakra Donya
kini menjadi saksi bisu persahabatan dan perang Cheng Ho dan lonceng Cakra
Donya adalah simbol hubungan dekat Aceh-Tiongkok.
Cheng
Ho berlayar ke Malaka pada abad ke-15. Saat itu, seorang putri Tiongkok, Hang
Li Po (atau Hang Liu), dikirim oleh Kaisar Tiongkok untuk menikahi Raja Malaka
(Sultan Mansur Shah).
Cheng
Ho mengunjungi kepulauan di Indonesia selama tujuh kali. Ketika ke Samudera
Pasai, ia memberi lonceng raksasa “Cakra Donya” kepada Sultan Aceh, yang kini
tersimpan di Museum Negeri Aceh. Lonceng Cakra Donya merupakan bukti jejak kedatangan
bangsa Tionghoa di Nusantara adalah saksi bisu kuatya armada militer Kerajaan
Aceh Darussalam di masa jayanya. ***
[020415]
.Sungguh menakjubkam dan betapa megah nya negri Aceh waktu itu..
BalasHapus