Sepulang
dari Museum Siwalima, angkot yang saya tumpangi melintas di depan sebuah masjid
yang didominasi warna hijau muda. Spontan saja, saya minta diturunkan di masjid
tersebut. Sesuai dengan tulisan Arab yang berada pada gevel pintu masuk utama
masjid tersebut, diketahui bahwa masjid tersebut bernama Masjid Jami’ Ambon. Masjid
Jami’ ini terletak di Jalan Sultan Baabullah, Kelurahan Honipopu, Kecamatan
Sirimau, Kota Ambon, Provinsi Maluku. Lokasi masjid ini berdampingan dengan
Masjid Raya Al Fatah, dan berada di pinggir Sungai Wai Batu Gajah.
Abdul
Baqir Zein dalam bukunya, Masjid-Masjid
Bersejarah di Indonesia (Gema Insani Press, Jakarta, 1999) menulis, Masjid
Jami’ Ambon didirikan pada tahun 1860 di atas tanah wakaf yang diberikan oleh
seorang janda bernama Kharie. Pada awal didirikan, arsitektur bangunan masjid
ini masihlah sangat sederhana. Menggunakan konstruksi bertiang kayu dan
berdinding papan serta menggunakan rumbia sebagai atapnya. Ukurannya pun pada
waktu itu tidaklah sebesar ini. Atapnya masih berbentuk seperti piramida
teriris.
Kedudukan
Pulau Ambon yang menjadi persinggahan pertama bagi kapal-kapal dagang untuk
melanjutkan perjalanan ke Maluku Utara pada masa silam dari jalur selatan,
menyebabkan hilir mudik orang dari luar Ambon yang semakin banyak, termasuk di
daerah tempat lokasi Masjid ami’ Ambon yang tak begitu jauh dengan Pelabuhan
Ambon. Di antara mereka, kemudian banyak yang bermukim sementara di kala
transit maupun akhirnya menetap secara permanen di sekitar Pelabuhan Ambon.
Kondisi yang demikian, menyebabkan daya tampung masjid tersebut tidak mampu
lagi menampung jamaah karena agama Islam semakin bertambah di Ambon karena
banyak di antara pedagang yang singgah adalah seorang pedagang Islam. Tak
menutup kemungkinan para pedagang Islam tersebut selain melakukan kewajibannya
sebagai individu muslim.
Pada 1898 dibangunlah sebuah masjid baru di atas lokasi masjid lama. Bangunannya sudah semi permanen dan lebih luas dari bangunan sebelumnya. Atapnya berbentuk tumpang satu dengan atap seng. Masjid tersebut juga sudah memiliki serambi depan, dengan bentuk limasan yang menyatu dengan bangunan utama masjid tersebut.
Pada
1933, kota Ambon dilanda banjir akibat meluapnya Sungai Wai Batu Gajah.
Sedemikian dahsyatnya banjir tersebut sehingga menghayutkan rumah-rumah
penduduk di kiri dan kanan sungai
tersebut. Termasuk masjid yang berbentuk semi permanen ini, ikut hancur pula
diterjang banjir bandang.
Pada
1936, warga yang berdomisili di sekitar masjid tersebut melakukan musyawarah
untuk membangun masjid itu sebagai sarana ibadah yang sering digunakan
sebelumnya. Maka dilakukan renovasi dengan mendirikan bangunan yang lebih besar
dan permanen. Pendanaannya berasal dari
swadaya murni masyarakat muslim Ambon, dan baru dapat dirampungkan pada
1940.
Pada
1942, menjelang berakhirnya pemeritahan Kolonial Belanda di Maluku, serdadu
Kompeni bersiap menghadapi kedatangan tentara Jepang yang akan merebut posisi
mereka di Nusantara dengan cara membuka keran yang berada di sebelah hulu
Sungai Wai Batu Gajah sehingga permukaan sungai digenangi oleh minyak yang
terbakar.
Akibatnya,
masjid itu pun turut terbakar. Namun, umat Islam di Ambon segera membangun
kembali masjid yang terbakar itu, untuk menunjukkan pada Belanda ketegaran
tekad umat Islam dalam mempertahankan masjid tersebut.
Pada
1944, ketika tentara Sekutu memborbardir Kota Ambon untuk mengusir tentara
Jepang, mengakibatkan kota itu hancur. Namun Masjid Jami’ Ambon ini tetap utuh
dan selamat.
Pada
1950, ketika pecah pemberontakan kaum separatis RMS (Republik Maluku Selatan),
mereka berusaha memasuki masjid ini dan menangkap empat orang yang berada di
dalamnya, termasuk seorang khatib masjid.
Pada
1960, Penguasa Perang Daerah Maluku menghibahkan lahan tanah yang letaknya
bersebelahan dengan Masjid Jami’ Ambon. Hibah tanah ini untuk mengantisipasi
membludaknya jamaah yang melakukan shalat Jumat, Id, dan shalat Lima Waktu di
Masjid Jami’ Ambon. Karena memang pengurus masjid sudah berencana untuk
memperluas bangunan masjid.
Pada
2004, Masjid Jami Ambon direnovasi terutama penggantian lantai masjid, atap,
menara dan juga kubah masjid tanpa
merubah bentuk asli dalamnya. Kemudian pada tahun 2011, tanah hibah yang berada
di sebelahnya dibangun masjid baru yang besar dan luas untuk mengantisipasi
semakin banyaknya jamaah masjid terutama pada hari Jumat maupun hari besar
Islam lainnya. Masjid baru tersebut diberi nama Masjid Raya Al Fatah.
Oranga
dari luar Ambon yang menyaksikan dua masjid berkubah tersebut bersebelah tentu
akan bertanya-tanya kenapa hal ini bisa terjadi. Ada yang memperkirakan
terjadinya persaingan antara umat Islam di Ambon sehingga harus membuat dua
masjid “kembar”, namun bagi tahu, hal tersebut tidaklah menjadi masalah. Karena
demi menyelamatkan sejarah masjid yang melekat erat di sanubarai umat Islam
Ambon, dan untuk memenuhi sebuah bangunan masjid yang lebih besar dan luas guna
menampung jamaah Masjid Jami Ambon maka dibangunlah Masjid Raya Al Fatah.
Kendati demikian, meski sudah berdiri Masjid Raya Al Fatah, masjid yang lama
pun, yaitu Masjid Jami’ Ambon, masih tetap digunakan untuk melakukan shalat
lima waktu dalam kesehariannya. ***
[021015]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar