Pada
tanggal 12 dan 13 Agustus 2015 sebelum peringatan 70 tahun Indonesia Merdeka,
penulis berkesempatan mengikuti Pilot
Test yang diselenggarakan oleh Regional
Economic Development Institute (REDI) bekerjasama dengan EP-Performance Oversight and Monitoring
Jakarta dalam Field Survey EOPO 1 Endline
Evaluation.
Kesempatan
ini menyenangkan sekali bagi penulis karena selain melaksanakan tugas di tempat
yang begitu dingin udaranya, juga bisa menyalurkan naluri sosiologisnya untuk
mengenal lebih dekat dengan masyarakat setempat di sekitar lokasi pilot test tersebut maupun base camp. Base camp kebetulan berada tidak jauh dengan Kantor Kecamatan
maupun Polsek Sukapura, atau tepatnya adalah Hotel Sukapura Permai yang
terletak di Jalan Raya Bromo No. 135 Sukapura, Probolinggo. Hotel ini berjarak
18 kilometer ke Gunung Bromo namun memerlukan sedikitnya waktu 40 menit
mengingat jalannya terus menanjak dan berkelok-kelok.
Biasanya
penulis mengawali keingintahuan mengenal lebih dekat dengan masyarakat di sana,
bermula dari pertanyaan etimologi dan epistemologi yang menjadi predikat
masyarakat itu sendiri dan terus mengalir dengan sendirinya. Tentunya, proses
ini hanya bisa dijalankan ketika penulis telah melakukan tugas wajibnya. Pada
saat mencari makan siang atau malam, penulis bisa melempar pertanyaan di warung
makan, hotel tempat menginap maupun di tempat lain saat penulis bersantai. Dari
informasi yang didapat itulah, penulis bisa melakukan triangulasi dengan penelitian yang lain atau melalui kepustakaan
yang ada.
Letak Geografis Sukapura
Kecamatan
Sukapura merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Probolinggo yang
terletak sekitar 35 kilometer ke arah barat daya dari kantor pemerintahan
Kabupaten Probolinggo. Luas wilayah Sukapura mencapai 10.208,53 hektar atau
102,08 kilometer persegi. Di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Lumbang,
sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kuripan dan Kecamatan Sumber, sebelah
selatan berbatasan dengan Kabupaten Lumajang, dan sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Pasuruan.
Dilihat
dari topografinya, Kecamatan Sukapura berada di lereng Pegunungan Tengger yang
terkenal dengan Gunung Bromonya, dengan ketinggian 600-1.850 meter dari
permukaan air laut. Sehingga, semua desa di Kecamatan Sukapura berada pada desa
lereng/punggung bukit, dan suhu udara dingin. Tanahnya banyak mengandung
mineral yang berasal dari letusan gunung berapi yang berupa pasir batu, lumpur
bercampur tanah liat yang berwarna kelabu. Sifat tanah semacam ini memiliki
tingkat kesuburan yang baik sehingga sangat cocok untuk menanam sayur-sayuran,
seperti kentang, kol, wortel, sawi, tomat, dan sebagainya.
Dari
12 desa yang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Sukapura, penulis
berkesempatan berkeliling ke Desa Sukapura, Desa Sariwani, dan Desa Ngadisari,
yang cukup untuk mengenal masyararakat Tengger secara umum di Sukapura. Karena
Kecamatan Sukapura ini merupakan bagian dari wilayah adat suku Tengger bagian
timur (Sabrang Wetan), terutama
terasa kental di Desa Ngadisari yang berhadapan langsung dengan Gunung Bromo.
Sedangkan, wilayah Sabrang Kulon
diwakili oleh Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan.
Dalam
skala yang lebih luas, sesungguhnya daerah Tengger tidak hanya melingkupi
wilayah Sabrang Kulon dan Sabrang Wetan saja melainkan luas daerah
Tengger kurang lebih 40 kilometer dari utara ke selatan, 20-30 kilometer dari
timur ke barat, di atas ketinggian 1.000 – 3.675 meter. Luas tersebut meliputi
empat kabupaten, yaitu: Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang. Tiper
permukaan tanahnya bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera
Tengger, atau masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah Segoro Wedhi, adalah lautan pasir yang
sangat luas yang berada pada ketinggian 2.300 meter dengan panjang 5-10
kilometer. Kawah Gunung Bromo dengan ketinggian 2.392 meter, dan masih aktif.
Di sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3.676
meter.
Asal Mula Orang Tengger
Nama
Tengger, berdasarkan salah satu legenda masyarakat, berasal dari paduan suku
kata terakhir dari nama dua nenek moyang mereka, Rara Anteng dan Jaka Seger (teng dan ger). Rara Anteng dipercaya sebagai putri Raja Brawijaya V dari
Kerajaan Majapahit, sementara Jaka Seger diyakini sebagai putra seorang
brahmana yang bertapa di dataran tinggi Tengger (Legendanya bisa dibaca di sini).
Sehingga,
masyarakat Tengger pada umumnya meyakini nenek moyang orang Tengger adalah
keturunan Majapahit. Pada waktu itu, Kerajaan Majapahit mulai mengalami
kemunduran. Kemuduran ini disebabkan dari dalam kerajaan sendiri maupun dari
luar kerajaan. Bersamaan itu pula, penyebaran agama Islam di Jawa sedang
dilakukan oleh para sunan yang berafiliasi dengan Kerajaan Demak.
Kerajaan
Majapahit dengan Kerajaan Demak pada saat itu mengalami ketidakharmonisan.
Ketidakharmonisan tersebut menyebabkan penduduk Majapahit memilih untuk
melarikan diri ke daerah Bali dan ke pedalaman sekitar Gunung Bromo dan Gunung
Semeru. Yang melarikan diri ke Bali, akhirnya melahirkan kebudayaan Bali.
Begitu pula, yang memilih tinggal di pedalaman sekitar Gunung Bromo dan Gunung
Semeru pada akhirnya juga menurunkan orang-orang Tengger yang kita kenal, dan
sekaligus membentuk kebudayaannya sendiri yang seolah-olah memisahkan diri dari
kebudayaan Majapahit yang sangat India-sentris.
Mayoritas
masyarakat Tengger memeluk agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut berbeda
dengan Hindu Dharma di Bali maupun Hindu-Siwa di Majapahit. Hindu yang
berkembang di masyarakat Tengger lebih ke Hindu Mahayana yang telah bercampur
dengan adat istiadat setempat. Masyarakat Tengger tidak mengenal kasta, dan
masih roh leluhur yang bersemayam di Gunung Bromo sehingga mereka lebih suka
memuja Roh Gunung atau persembahan kepada Sang Hyang Gunung Brahma. Setahun
sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo.
Perayaan
Kasodo adalah hari raya kurban orang Tengger yang diselenggarakan pada tanggal
14,15, atau 16 bulan Kasodo, yakni pada saat bulan purnama sedang menampakkan
wajahnya di lazuardi biru. Hari raya kurban ini merupakan pelaksanaan pesan
leluhur orang Tengger yang bernama Raden Kusuma alias Kyai Kusuma alias Dewa
Kusuma, putra sulung Rara Anteng dan Jaka Seger, yang telah merelakan dirinya menjadi
kurban untuk melindungi orang Tengger dari bencana alam dahsyat.
Gunung
Bromo yang dianggap sebagai tempat suci orang Tengger digunakan sebagai
persembahan hewan ternak dan hasil bumi pada perayaan Kasodo. Upacara dimulai
di Pura Luhur Poten Gunung Bromo, sebuha pura yang berada di bawah kaki Gunung
Bromo, dan dilanjutkan ke puncak Gunung Bromo. Persembahan-persembahan tersebut
nantinya akan dilemparkan ke kawah Gunung Bromo.
Bentuk-bentuk
kerarifan lokal dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, etika, kepercayaan,
adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Pola kehidupan sosial
budaya masyarakat Tengger di Sukapura kental akan nilai budaya, religi dan
adat-istiadat setempat yang merupakan bentuk nilai-nilai kearifan lokal, di
antaranya adalah tata nilai yang dikembangkan oleh masyarakat Tengger dalam
mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta benar atau salah.
Masyarakat
Tengger di Sukapura memiliki ketentuan adat berupa aturan-aturan adat dan hukum
adat yang berfungsi sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat untuk
mencegah timbulnya ketegangan sosial yang terjadi dalam masyarakat, seperti
tidak boleh menyakiti atau membunuh binatang kecuali untuk korban atau dimakan,
tidak boleh mencuri, tidak boleh melakukan perbuatan jahat, tidak boleh
berdusta, dan tidak boleh minum-minuman yang memabukkan.
Sejak
zaman Majapahit, dataran tinggi Tengger dikenal sebagai daeraht titileman, yaitu suatu daerah terbebas
dari membayar pajak. Mereka telah lama mendiami kawasan Tengger dalam damai dan
bahagia. Thomas Stamford Raffles, yang menjadi Letnan Gubernur Jawa ketika
Kerajaan Inggris mengambil alih jajahan-jajahan Kerajaan Belanda, pada 11
September 1815 melaporkan perjalanannya ke beberapa distrik di Jawa bagian
timur lewat pidato di depan Masyarakat Seni dan Sains Batavia (Koninklijk Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen). Saat berkunjung ke kawasan Tengger, ia dapati
masyarakat Tengger hidup dalam damai, tertib, teratur, rajin bekerja, jujur,
dan selalu riang-gembira.
Selanjutnya,
dalam The History of Java ia menulis,
mereka tidak mengenal candu dan judi. Ketika ia tanyakan tentang pencurian,
perselingkuhan, perzinahan, atau berbagai kejahatan lainnya, mereka para orang
gunung itu menjawab, hal-hal buruk itu tidak ada di Tengger.
Ayu
Sutarto, seorang budayawan dan peneliti tradisi dari Universitas Jember yang
juga menjabat wakil ketua Masyarakat Peduli Bromo melalui makala yang
disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya 2006 yang diselenggarakan oleh
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal 7-10 Agustus
2006 silam menyatakan, kejujuran dan ketulusan orang Tengger masih dapat
dilihat sampai hari ini. Angka kejahatan di desa-desa Tengger pada umumnya
hampir selalu nol. Suasana damai, tenteram, aman, dan penuh toleransi yang
tercermin dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger dapat dijadikan acuan dalam
periode formatif Indonesia modern. Tengger adalah sebuah pusaka saujana (cultural landscape) yang apabila dibina
dan dikelola dengan benar, eksistensinya akan memberi sumbangan yang lebih
berarti bukan hanya bagi dirinya, melainkan juga bagi Indonesia. *** [130815]
Kepustakaan:
Ayu Sutarto, 2006. Sekilas
tentang Masyarakat Tengger, dalam Makalah yang disampaikan pada acara
pembekalan Jelajah Budaya 2006
__________ , 2013. Hikayat
Wong Tengger: Kisah Peminggiran dan Dominasi, Pentingnya Meningkatan
Keberdayaan Masyarakat Tengger untuk Melestarikan Kawasan Konservasi Balai
Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, __________
http://probolinggokab.bps.go.id/data/publikasi/publikasi_79/publikasi/files/search/searchtext.xml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar