Stasiun
Kereta Api Yogyakarta (YK) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun
Yogyakarta, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah
manajemen PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 6 Yogyakarta
yang berada pada ketinggian +113 m di atas permukaan laut, dan merupakan
stasiun besar.
Stasiun
ini terletak di Jalan Margo Utomo No. 1 Kelurahan Sosromenduran, Kecamatan
Gedongtengen, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Lokasi
stasiun ini terletak di sebelah ujung utara dari kawasan Malioboro yang secara
fisik berbatasan dengan Jalan Margo Utomo (dulu dikenal sebagai Jalan P.
Mangkubumi) di sebelah timur, Jalan Wongsodirjan dan Jalan Suryonegaran di
sebelah utara, Jalan Perintis Kemerdekaan di sebelah barat, dan Jalan Pasar
Kembang di sebelah selatan.
Stasiun
Yogyakarta ini dikenal juga oleh masyarakat Yogykarta dengan sebutan Stasiun
Tugu, karena bangunan stasiun tersebut tidaklah begitu jauh dari Tugu Pal Putih
yang sekarang menjadi landmark Kota
Yogyakarta. Sebelum stasiun tersebut dibangun, terlebih dahulu berdiri Tugu Pal Putih yang menjadi bagian dari poros magis antara Laut Selatan, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Gunung Merapi. Sehingga, ketika stasiun ini didirikan
di sebelah selatan Tugu Pal Putih, masyarakat sekitar menyebutnya sebagai
Stasiun Tugu. Hal ini lantaran pada waktu dibangunnya stasiun tersebut belumlah
banyak bangunan seperti sekarang ini. Bangunan monumental yang mendekati
stasiun ini kala itu adalah Tugu Pal Putih.
Awalnya, bangunan Stasiun Yogyakarta ini masih sederhana. Belum sebesar pada saat ini. Dibangun bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api Yogyakarta-Maos sepanjang 155 kilometer yang dikerjakan oleh Perusahaan Kereta Api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen, pada tahun 1887. Sementara itu, Stasiun Yogyakarta mulai beroperasi pada 2 Mei 1887, sekitar 15 tahun setelah Stasiun Lempuyangan terlebih dahulu dioperasikan.
Berbeda
dengan Stasiun Lempuyangan yang dibangun oleh Perusahaan Kereta Api milik
swasta Nederlandsch Indisch Spoorweg
Maatschappij (NISM), Stasiun Yogyakarta merupakan wujud turut campurnya dua
kekuasaan yang memiliki pengaruh besar bagi Yogyakarta, yaitu Staatsspoorwegen (SS) yang menjadi
perpanjangan tangan dari Pemerintah Hindia Belanda serta Kesultanan Yogyakarta.
Sehingga, setelah lima tahun beroperasi, fasad atau tampilan muka stasiun pun
diubah menjadi bergaya Indische Empire.
Bangunan didominasi warna putih dengan ditopang oleh empat pilar menjulang. Di
atas dua pilar utamanya terdapat tiang bendera yang simetris dengan puncak atap
emplasemen.
Semula
Stasiun Yogyakarta digunakan untuk mengangkut komoditas hasil bumi yang berasal
dari daerah Yogyakarta dan sekitarnya menuju Surakarta hingga Semarang, akan
tetapi sejak 1 Februari 1905 stasiun ini mulai digunakan untuk transit kereta
penumpang. Perubahan ini membawa konsekuensi semakin ramainya aktivitas dalam
menaikkan maupun menurunkan penumpang di stasiun ini. Seiring perkembangan
zaman di Eropa, berpengaruh pula terhadap arsitektur bangunan Stasiun
Yogyakarta pada tahun 1930-an. Fasad stasiun ini juga mengalami peralihan dari
gaya Empire Style ke Art Nouveau yang bercorak Art Deco, yang menjadi trend bangunan di Eropa pada waktu itu. Warisan gaya arsitektur
tersebut masih dipertahankan sampai saat ini.
Dulu, di Stasiun Yogyakarta terdapat percabangan jalur di sisi barat stasiun. Jalur yang mengarah ke utara menuju Magelang hingga Parakan dibangun dari oleh NISM dari tahun 1898 sampai tahun 1907. Sedangkan, jalur yang satunya lagi mengarah ke selatan menuju Palbapang, Brosot hingga ke Sewugalur dibangun dari tahun 1895 sampai 1916. Kedua jalur tersebut sayangnya sudah tak berfungsi lagi.
Selain
pesona arsitekturnya, stasiun ini juga menyimpan sejarah terhadap republik ini.
Stasiun ini menjadi tempat turunnya rombongan petinggi RI yang dipimpin
Soekarno di Yogyakarta ketika berhijrah dengan kereta api luar biasa dari
Jakarta. Rombongan tersebut tiba di stasiun ini pada 4 Januari 1946 pada pagi
hari. Usai upacara penyambutan di Stasiun Yogyakarta, rombongan menuju Pura
Pakualaman. Setelah beberapa saat, Soekarno dan keluarga menuju ke bekas
kediaman residen Belanda (Loji Kebon,
sekarang dikenal dengan Gedung Agung).
Stasiun
dengan luas bangunan 74.128 m²
di atas lahan seluas 96.112 m² ini, memiliki 6 jalur rel. Jalur 1
sampai 3 merupakan jalur peron selatan, dan jalur 4 sampai 6 merupakan jalur
peron utara. Penanda jalur peron selatan dan utara adalah letaknya dari
bangunan stasiun ini. Jalur peron selatan berada di selatan bangunan stasiun,
sedangkan jalur peron utara terletak di sebelah utara bangunan stasiun. Tak
hanya jalur peron yang banyak, tetapi stasiun ini juga memiliki fasilitas yang
lengkap dibandingkan stasiun kereta api yang ada di Indonesia. Fasilitas
tersebut meliputi hall, ATM Center, ruang tunggu atas, ruang VVIP, ruang kepala
stasiun, ruang tunggu selatan, ruang tunggu utara, Loko Cafe, Twin’s Resaturant,
ruang pengawas peron, Toegoe Resto, kantor, joglo, musholla, toilet, area
parkir luas, dan lain-lain.
Keberadaan
Stasiun Yogyakarta yang berpredikat sebagai stasiun besar, memiliki lokasi yang
strategis. Lokasi stasiun yang berada di pusat kota terhubung dengan kawasan
Malioboro sebagai pusat niaga komersial yang ada di Kota Yogyakarta. Maka wajar
bila frekuensi lalu lintas kereta api yang melintas stasiun ini lebih dari
sepuluh kereta api kelas bisnis maupun eksekutif, ditambah dengan hadirnya
komuter jarak pendek maupun jarak sedang. Menurut data statistik PT. Kereta Api
DAOP 6 Yogykarta, di Stasiun Yogyakarta ini terjadi peningkatan dari sisi
pelayanan setelah melalui pengembangan fasilitas stasiun. Meskipun berbagai
pengembangan dilakukan, namun bentuk awal stasiun ini masih tetap dipertahankan
sebagai heritage. *** [160815]
Sebetulnya harus di renovasi ulang untuk kereta tamasya di sekitar daerah tersebut supaya anak cucu kita bisa tahu dan mengingat tempo-tempo dulu waktu masih sulit bangsa indonesia tersebut.
BalasHapuswww.agenwallpaperindonesia.com