Jika
pergi ke Yogyakarta, pasti Anda akan disarankan untuk berkunjung ke Malioboro.
Rasanya belum lengkap jika ke Yogyakarta tanpa melihat Malioboro. Bermula dari
nama Jalan Malioboro yang tidak begitu panjang, kawasan ini kemudian berkembang
menjadi sebuah kawasan yang sekarang dikenal dengan Kawasan Malioboro
Yogyakarta. Kawasan Malioboro yang berintikan Jalan Malioboro ini sesungguhnya
merupakan kawasan yang terbentuk di atas garis imajiner yang menghubungkan
Kraton Kesultanan Yogyakarta, Tugu Pal Putih dan puncak Gunung Merapi.
Kawasan
Malioboro ini membentang dari Stasiun Tugu di sebelah utara menuju ke selatan
hingga perempatan Pangurakan. Sedangkan, di sebelah timur membentang sampai
Sungai Code, dan di sebelah barat sampai Jalan Yogya-Magelang.
Pada
siang hari, ruas Jalan Malioboro dipadati oleh wisatawan Nusantara maupun
mancanegara. Banyak pelancong yang menghabiskan waktu di Yogyakarta untuk menyusuri
sebuah jalan legendaris yang menjadi ikon Kota Yogyakarta dengan kehidupan
kontras antara siang dan malamnya. Siang hari, di sekitar Jalan Malioboro
dijejali dengan lapak-lapak penjaja souvenir khas Yogyakarta yang berada di
depan deretan pertokoan.
Sebaliknya,
pada malam hari, Malioboro menjadi kawasan wisata kuliner yang dipenuhi aroma
berbagai sajian masakan yang menggugah selera yang terhampar di tikar-tikar
warung lesehan dengan menu khas Yogyakarta, seperti gudeg, bakmi Jawa, dan
lain-lain. Keriuhan suasana lesehan Malioboro akan disambut dengan alunan
sejumlah pengamen yang melantunkan tembang-tembang secara silih berganti.
Menurut
P.B.R. Carey, seorang sejarawan Inggris yang menggeluti sejarah Indonesia, kata
Malioboro berasal dari bahasa Sansekerta, Malyabhara,
yang bermakna karangan bunga. Menurut historisnya, kawasan Malioboro ini
dikembangkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana (HB) I pada tahun 1758 atau selang
dua tahun kratonnya dibangun. Semula kawasan Malioboro ini masih berujud hutan
yang banya ditumbuhi pepohonan beringin (Ficus
benjamina), lalu ditata sebagai sumbu imajiner utara-selatan yang
berkorelasi dengan Kraton Yogyakarta ke Gunung Merapi di seblah utara dan laut
Selatan sebagai simbol supranatural dalam konsep kota di Jawa. Konsep filosofis
ini kemudian diwujudkan dalam bentuk jalan yang membentang dan membelah kawasan
Malioboro tersebut. Seiring itu pula, Sultan HB I membangun sarana perdagangan
melalui pasar tradisional berupa deretan lapak-lapak saja, sehingga kawasan
tersebut akhirnya menjadi ramai. Konon, setiap Kraton Yogyakarta mempunyai
hajat dengan mengadakan acara besar, di sepanjang jalan yang sekarang menjadi
Jalan Malioboro tersebut akan dipenuhi bunga-bunga untuk memeriahkan atau
berpartisipasi kepada acara yang dihelat oleh Sultan. Dari daya tarik karangan
bunga tersebut, kawasan tersebut akhirnya dikenal dengan Malioboro.
Pada
waktu orang Belanda menguasai Yogyakarta di era kolonial (1756-1945), penguasa
Hindia Belanda melirik kawasan Malioboro untuk membangun sejumlah fasilitas di
kawasan tersebut guna menunjang keperluan pemerintah Hindia Belanda maupun
orang-orang Belanda yang bermukim di Yogyakarta. Pada waktu itu masih bermukim
di dalam Benteng Vredeburg (1756) bersamaan dengan berdirinya Kraton
Yogyakarta. Maka dibangunlah di seputar Benteng Vredeburg tersebut sejumlah
bangunan fasilitas publik untuk mendukung keberadaan permukiman Belanda
tersebut, seperti Resident Woning, Kerk
van Protestantse Gemeente, Post en Telegraafkantoor, De Javasche Bank, Stasion Toegoe, Nill Maatschappij, Pasar Beringharjo, Loge van Mataram, Grand Hotel
te Djokja, dan sejumlah pertokoan di kiri kanan Jalan Malioboro.
Kini,
kawasan Malioboro menjadi pusat kawasan wisatawan terbesar di Yogyakarta,
dengan sejarah arsitektur kolonial Belanda yang bercampur dengan kawasan
komersial Tionghoa dan kontemporer. Berkunjung ke Malioboro, sekaligus bisa
mengunjungi daerah wisata lainnya yang berdekatan, seperti Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pura Pakualaman. ***
[160815]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar