Pagi menjelang matahari memancarkan sinarnya (semburat), kami keluar dari Hotel Tampiarto Plasa untuk berkeliling sambil mengunjungi sebuah bangunan lawas yang digunakan untuk tempat peribadatan pemeluk Tri Dharma di Kota Probolinggo. Nama tempat peribadatan itu tertulis “Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD) Probolinggo.”
Tempat ibadat ini terletak di Jalan Wage Rudolf Supratman No. 127 Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi tempat ibadat ini diapit oleh dua gelanggang olahraga (GOR), yaitu GOR Tri Dharma di sisi kanan dan GOR PB Abadi di sisi kiri, atau sebagai ancer-ancernya adalah berada di sebelah barat daya Dinas Perikanan Probolinggo ± 200 meter.
Sebelum resmi dinamakan TITD Probolinggo, tempat ibadat ini aslinya bernama Klenteng Liong Tjwan Bio Probolinggo. Nama asli itu berasal dari dialek Hokkian yang terdiri atas gabungan tiga kata, yaitu Liong, Tjwan, dan Bio. Liong memiliki arti naga, tjwan bermakna sumber, dan bio artinya kuil atau klenteng (istilah khas di Indonesia). Jadi, setelah tiga kata itu digabung menjadi Liong Tjwan Bio, memiliki arti Klenteng Sumber Naga.
Klenteng Sumber Naga (Liong Tjwan Bio) merupakan tempat ibadah yang secara resmi didirikan pada Tongzhi 4 (1865). Klenteng ini didirikan oleh Oen Tik Goan, saudara Oen Tjoen Goan, serta beberapa anggota keluarga Han dan 172 pendonor terdaftar. Oen Tik Goan (atau Wen Baochang) adalah putra dari Oen King Ting, seorang kapitan China (Kapitein der Chinenezen) Besuki yang menjabat sejak 1832 sampai 1856. Setelah itu, jabatan Kapitan China dipegang oleh Wen Baochang dari tahun 1856 hingga 1859, lalu pindah ke Probolinggo dan menjadi kapitan di sana, dan penggantinya di Besuki adalah saudaranya, Oen Tjoen Goan (Wen Yuanchang). Keluarga Oen terjun dalam indsutri gula, tapi belakangan sejumlah anggota keluarga itu juga memegang pacht candu.
Posisi Klenteng Sumber Naga ini awalnya didesain di ujung utara kawasan Pecinan, namun saat ini telah dikelilingi oleh kompleks permukiman yang lain. Perluasan wilayah kota menyebabkan posisi klenteng seolah membelah jalan yang ada. Berada pada posisi frontal menghadap jalan utama dan membelakangi jalan yang lain, sehingga bangunan klenteng ini membentuk posisi tusuk sate. Posisi tusuk sate merupakan posisi yang kurang baik sehingga diperlukan unsur, baik bangunan maupun elemen yang digunakan untuk membersihkan energi negatif tersebut. Tapi tidak perlu khawatir, bangunan tusuk sate tidak akan dihuni roh jahat selama bangunan tersebut digunakan untuk tempat ibadat.
Klenteng Sumber Naga yang berdiri di atas lahan seluas ± 1500 m² ini, memiliki empat ruang utama dan beberapa ruang penunjang serta halaman depan yang lumayan luas. Ruang utama meliputi ruang suci utama (Ruang Kongco Tan Hu Cin Jin), Ruang Dewi Kwam Im, Ruang Tri Dharma dan Ruang Dewa Kwan Kong. Ruang penunjang meliputi kantor tata usaha, dapur, ruang sekretariat muda-mudi, gudang dan toko penjualan alat-alat sembahyang.
Tan Hu Cin Jin merupakan tuan rumah atau dewa utama Klenteng Sumber Naga Probolinggo. Tan Hu Cin Jin berarti manusia sejati yang berasal dari keluarga Tan. Tan Bun Ciong merupakan nama sebenarnya, seseorang yang sangat pandai dalam bidang pengobatan, feng shui, arsitek bangunan dan pertamanan. Berasal dari Provinsi Kwan Tung di daratan Tiongkok dan terdampar di pantai Banyuwangi, Jawa Timur. Tan Hu Cin Jin memberi pengaruh yang besar terhadap masyarakat Tionghoa di sekitar pesisir utara Jawa Timur (Besuki, Probolinggo, Banyuwangi) dan Bali. Hal ini dapat terlihat dari adanya beberapa klenteng dan vihara dengan pujaan utama yang sama, yaitu Kongco Tan Hu Cin Jin.
Di Klenteng Sumber Naga, masyarakat Tionghoa di sana tidak hanya menganggap klenteng itu sebagai tempat ibadat saja, melainkan juga sebagai sarana komunitas itu sendiri. Sehingga, kontinuitas klenteng tersebut berjalan dengan baik karena para penganut Tri Dharma (Tao, Confusius dan Budha) silih berganti melakukan pemujaan di klenteng ini setiap harinya. *** [310718]
Kepustakaan:
Mulyono, Grace. (2015). Yin Feng Shui Ditinjau Dari Aliran Angin Pada Klenteng Liong Tjwan Bio Probolinggo. LANTING Journal of Architecture, Volume 4 Nomor 1, Februari 2015, Hal: 21-28
Salmon, Claudine. (2010). Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tempat ibadat ini terletak di Jalan Wage Rudolf Supratman No. 127 Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi tempat ibadat ini diapit oleh dua gelanggang olahraga (GOR), yaitu GOR Tri Dharma di sisi kanan dan GOR PB Abadi di sisi kiri, atau sebagai ancer-ancernya adalah berada di sebelah barat daya Dinas Perikanan Probolinggo ± 200 meter.
Sebelum resmi dinamakan TITD Probolinggo, tempat ibadat ini aslinya bernama Klenteng Liong Tjwan Bio Probolinggo. Nama asli itu berasal dari dialek Hokkian yang terdiri atas gabungan tiga kata, yaitu Liong, Tjwan, dan Bio. Liong memiliki arti naga, tjwan bermakna sumber, dan bio artinya kuil atau klenteng (istilah khas di Indonesia). Jadi, setelah tiga kata itu digabung menjadi Liong Tjwan Bio, memiliki arti Klenteng Sumber Naga.
Klenteng Sumber Naga (Liong Tjwan Bio) merupakan tempat ibadah yang secara resmi didirikan pada Tongzhi 4 (1865). Klenteng ini didirikan oleh Oen Tik Goan, saudara Oen Tjoen Goan, serta beberapa anggota keluarga Han dan 172 pendonor terdaftar. Oen Tik Goan (atau Wen Baochang) adalah putra dari Oen King Ting, seorang kapitan China (Kapitein der Chinenezen) Besuki yang menjabat sejak 1832 sampai 1856. Setelah itu, jabatan Kapitan China dipegang oleh Wen Baochang dari tahun 1856 hingga 1859, lalu pindah ke Probolinggo dan menjadi kapitan di sana, dan penggantinya di Besuki adalah saudaranya, Oen Tjoen Goan (Wen Yuanchang). Keluarga Oen terjun dalam indsutri gula, tapi belakangan sejumlah anggota keluarga itu juga memegang pacht candu.
Posisi Klenteng Sumber Naga ini awalnya didesain di ujung utara kawasan Pecinan, namun saat ini telah dikelilingi oleh kompleks permukiman yang lain. Perluasan wilayah kota menyebabkan posisi klenteng seolah membelah jalan yang ada. Berada pada posisi frontal menghadap jalan utama dan membelakangi jalan yang lain, sehingga bangunan klenteng ini membentuk posisi tusuk sate. Posisi tusuk sate merupakan posisi yang kurang baik sehingga diperlukan unsur, baik bangunan maupun elemen yang digunakan untuk membersihkan energi negatif tersebut. Tapi tidak perlu khawatir, bangunan tusuk sate tidak akan dihuni roh jahat selama bangunan tersebut digunakan untuk tempat ibadat.
Klenteng Sumber Naga yang berdiri di atas lahan seluas ± 1500 m² ini, memiliki empat ruang utama dan beberapa ruang penunjang serta halaman depan yang lumayan luas. Ruang utama meliputi ruang suci utama (Ruang Kongco Tan Hu Cin Jin), Ruang Dewi Kwam Im, Ruang Tri Dharma dan Ruang Dewa Kwan Kong. Ruang penunjang meliputi kantor tata usaha, dapur, ruang sekretariat muda-mudi, gudang dan toko penjualan alat-alat sembahyang.
Tan Hu Cin Jin merupakan tuan rumah atau dewa utama Klenteng Sumber Naga Probolinggo. Tan Hu Cin Jin berarti manusia sejati yang berasal dari keluarga Tan. Tan Bun Ciong merupakan nama sebenarnya, seseorang yang sangat pandai dalam bidang pengobatan, feng shui, arsitek bangunan dan pertamanan. Berasal dari Provinsi Kwan Tung di daratan Tiongkok dan terdampar di pantai Banyuwangi, Jawa Timur. Tan Hu Cin Jin memberi pengaruh yang besar terhadap masyarakat Tionghoa di sekitar pesisir utara Jawa Timur (Besuki, Probolinggo, Banyuwangi) dan Bali. Hal ini dapat terlihat dari adanya beberapa klenteng dan vihara dengan pujaan utama yang sama, yaitu Kongco Tan Hu Cin Jin.
Di Klenteng Sumber Naga, masyarakat Tionghoa di sana tidak hanya menganggap klenteng itu sebagai tempat ibadat saja, melainkan juga sebagai sarana komunitas itu sendiri. Sehingga, kontinuitas klenteng tersebut berjalan dengan baik karena para penganut Tri Dharma (Tao, Confusius dan Budha) silih berganti melakukan pemujaan di klenteng ini setiap harinya. *** [310718]
Kepustakaan:
Mulyono, Grace. (2015). Yin Feng Shui Ditinjau Dari Aliran Angin Pada Klenteng Liong Tjwan Bio Probolinggo. LANTING Journal of Architecture, Volume 4 Nomor 1, Februari 2015, Hal: 21-28
Salmon, Claudine. (2010). Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar