The Story of Indonesian Heritage

GKJ Karangjoso Butuh

Pada waktu ditugaskan sebagai tracker dalam the Work and Iron Status Evaluation (WISE), saya berkesempatan mengenal wilayah di Kabupaten Purworejo. Menjadi tracker memang selangkah lebih maju dari sekadar menjadi enumerator, karena selain melakukan tugas yang dijalani oleh seorang enumerator, tracker juga harus punya sense untuk pelacakan responden. Pelacakan responden yang pindah itu merupakan kegiatan yang sangat penting untuk keberhasilan sebuah survey panel.
Oleh karena itu, seorang tracker umumnya memiliki nilai lebih ketimbang enumerator. Selain itu, ia juga memiliki pengalaman dalam mengenal wilayah jangkauan pelacakan pada umumnya. Hal ini tentunya memberikan keuntungan tersendiri bagi tracker yang memiliki jiwa backpacker seperti saya ini. Termasuk di antaranya saya bisa mengenal wilayah Kecamatan Butuh.



Di sela-sela melakukan tracking responden di sana, saya pun kebetulan bisa melihat sebuah bangunan gereja lawas yang ada di daerah situ. Gereja lawas itu dikenal dengan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Karangjoso. Gereja ini terletak di Dukuh Karangjoso RT. 01 RW. 02 Desa Langenrejo, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi gereja ini berjarak sekitar 1,5 kilometer sebelah utara dari Balai Desa Langenrejo.
Konon, gereja ini merupakan cikal bakal Gereja Kristen Jawa di Pulau Jawa yang dibangun oleh Kyai Sadrach, penyebar agama Kristen di Pulau Jawa, pada tahun 1871. Oleh karena itu, gereja ini acapkali disebut dengan Gereja Kyai Sadrach. Gelar Kyai yang disandang Sadrach yang mungkin menimbulkan kebingunan. Berasal dari pemahaman masyarakat zaman dahulu, bagi masyarakat Jawa, seorang Kyai adalah orang yang memiliki kedudukan, karena apa yang dia katakana akan didengar oleh banyak orang dan tentunya punya banyak pengikut.



Jemaat pertama yang dibangun Sadrach adalah Jemaat Karangjoso yang merupakan jemaat tertua kedua di Purworejo dengan nama awal Gereja Kristen Jawa Mardika. Agama Kristen yang pada awalnya dibawa oleh zending Belanda mempunyai ciri khas Belanda di dalamnya, namun Sadrach mencari bentuk dari kekristenan Jawa. Beliau menganggap bahwa orang Kristen Jawa tidak perlu menyesuaikan adat dan kebiasaan orang Kristen Belanda. Hal ini bukan disebabkan karena nasionalisme atau kebencian terhadap Belanda, namun lebih kepada kepeduliannya terhadap kebudayaan Jawa yang dimasukkannya dalam Kristen Jawa.
Melihat sepintas gaya arsitekturnya, mungkin orang banyak tak mengira kalau bangunan tersebut adalah sebuah gereja. Ornamen dan bentuk bangunan layaknya rumah joglo, bangunan khas masyarakat Jawa. Di atas mustaka bangunan atapnya pun tidak berbentuk lambang salib seperti bangunan gereja pada umumnya, akan tetapi di GKJ Karangjoso simbol salib diganti oleh persilangan senjata pusaka milik tokoh pewayangan Kresna dan Arjuna, yaitu senjata Cakra dan panah Pasopati.



Masuk ke dalam bangunan gereja, kesan budaya makin terasa dengan balutan tiang-tiang soko guru yang menopang bangunan utama gereja itu. Di situ juga akan ditemui berbagai kitab dan senandung lagu gereja yang telah diubah Kyai Sadrach dengan menggunakan bahasa Jawa untuk memperkenalkan agama Kristen kepada masyarakat Jawa kala itu.
Kyai Sadrach meninggal dunia pada 14 November 1924. Dengan istrinya yang bernama Nyai Roro Tompo, ia tak memiliki anak. Namun, ia sempat mengambil anak angkat yang bernama Yotam Martorejo. Selama hayatnya, Kyai Sadrach diyakini telah membaptis sekitar 20.000 orang. Sepeninggal Sadrach, para jemaat dipimpin oleh Yotam dan masalah kegerejaan akhirnya diserahkan kepada zending pada 1 Mei 1933.
Kini, bangunan gereja peninggalan Kyai Sadrach masih digunakan oleh jemaat GKJ Karangjoso. Sedangkan, bangunan lainnya yang terdapat di kompleks GKJ Karangjoso juga masih terpelihara dengan baik. Bekas rumah kediaman Kyai Sadrach digunakan oleh anak turun Yotam untuk mengurusi gereja tersebut, dan peninggalan milik Kyai Sadrach lainnya seperti keris, jubah, tempat tidur dan lain sebagainya tetap disimpan dalam sebagian bangunan yang ada di kompleks tersebut dan menjadi museum. *** [220618]

Fotografer: Rilya Bagus Ariesta Niko Prasetyo

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami