Ketika
diajak teman untuk melihat Kota Jin, sepintas terlintas bayangan yang seram,
menakutkan dan mencekam. Nama yang tidak lazim ini, ternyata memang benar-benar
ada di suatu daerah di Bumi Gorontalo.
Kota
Jin merupakan salah satu situs taman purbakala yang berada di Desa Kota Jin
Utara, Kecamatan Atinggola, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.
Lokasi ini berbatasan dengan Laut Sulawesi di bagian utara, berbatasan dengan
Desa Monggupo dan Pinotoyonga di bagian selatan, berbatasan dengan Sungai
Andagile di bagian timur, yang menjadi tapal batas dengan Kabupaten Bolaang
Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara atau sekitar 100 kilometer dari Kota
Gorontalo.
Kota
Jin merupakan tumpukan batu yang memiliki goa di dalamnya. , atau dalam bahasa
setempat disebut Ota lo jin. Ota berarti benteng atau istana,
sedangkan lo jin adalah miliknya para
jin, sehingga Ota lo jin berarti
benteng atau istananya para jin.
Farha
Daulima dan Hapri Harun dalam bukunya, Mengenal
Situs/Benda Cagar Budaya di Provinsi Gorontalo (2007), mengisahkan
bahwa perkampungan Kota Jin semula
berupa dataran yang menyatu dengan lembah sebuah pegunungan, dan sebagiannya
masih berupa lautan. Pada 1800, ketika lautan itu kering, maka hamparan yang
dulunya berupa lautan berubah menjadi rawa-rawa yang ditumbuhi semak belukar.
Tahun
1850, mulailah berdatangan orang-orang dari luar wilayah untuk membuka ladang
dan perkebunan. Kesuburan tanah membuatnya bertambahnya penduduk, sehingga
dataran tersebut berubah menjadi sebuah perkampungan.
Pada 1868, perkampungan tersebut menjadi satu desa di bawah pemerintahan raja Andagile, Raja Yahya van Gobel. Namun ketika itu namanya bukan Desa Kota Jin, melainkan negeri Kota Jin dengan pimpinannya bernama Wannopulu (Wala’opulu).
Menurut
cerita turun temurun dari masyarakat setempat, penduduk asli di daerah ini
berasal dari Ternate yang ikut dengan dua orang putera raja Ternate, Mosambe
dan Sanggi Bula yang pergi meninggalkan kerajaan lantaran kecewa karena tidak
terpilih menjadi raja. Malahan adiknya yang bungsu, Sanggi Bulawa, yang
terpilih dan dinobatkan menjadi raja Ternate. Hal ini tidak terlepas dari
intervensi Belanda kala itu. Ceritanya bermula dari kopiah yang dikirim oleh Belanda kepada raja Ternate
yang sudah tua sebagai penentu siapa di antara ketiga putera raja tersebut yang
bakal menjadi raja. Apakah Mosambe, Sanggi Bula ataukah Sanggi Bulawa. Siapa
yang tepat dengan ukuran kepalanya, dialah yang berhak menjadi raja,
menggantikan ayahandanya yang sudah tua.
Ternyata
kopiah itu tepat ukurannya dengan kepala Sanggi Bulawa, sehingga Sanggi Bulawa
dinobatkan menjadi raja Ternate.Kedua saudaranya, Mosambe dan Sanggi Bula
sangat kecewa. Lalu, mereka membawa sebagian penduduk kerajaan Ternate yang
setia kepada mereka menuju ke Pulau Batang Dua, sebagian lagi ke Pulau Lembe
(Bitung), lalu ke Manado, Bolaang Mangondow, Suwawa, Bulango hingga ke
Atinggola.
Di
Atinggola, mereka mulai membuka hutan untuk bercocok tanam, membaur dengan
penduduk asli, dan kemudian ada yang menikah dengan penduduk asli di daerah
tersebut sehingga kemudian mereka menetap di Kota Jin sampai beranak pinak.
Secara
geologis, bongkahan batu besar yang berada di tengah sawah milik penduduk yang
diyakini sebagai istana jin, terbentuk oleh alam secara alamiah. Batu karst (batu kapur) mengalami pelarutan
dengan terbentuknya goa-goa kecil paska muncul di daratan usai lautan kering.
Namun bagi mereka yang masih kental dengan kepercayaan animisme, mereka
mengandalkan tumpukan batu “yang dihuni oleh jin tersebut” dapat menyembuhkan
orang yang sakit, dan sekaligus melindungi mereka dari jin-jin pembawa
penyakit. Maka mereka tak segan-segan meletakkan sesaji (sajen) di depan goa sebelum beraktivitas.
Ota lo jin berada di pinggir jalan Trans
Sulawesi sekitar 500 meter, terlihat tumpukan batu yang berdiri kokoh di tengah
sawah, dan di tengahnya terdapat mulut goa sebagai pintu masuk. Di dalam
ruangan situs purbakala ota lo jin
ini terdapat Sembilan kamar yang terbuat dari batu alam dan sepasang meja-kursi
yang terbuat dari bebatuan yang bahannya berupa stalagtit dan stalagnit.
Melalui jalan masuk dalam goa tersebut terdapat hamparan bersih, yang konon merupakan tempat para jin tersebut berzikir. Ketika syiar Islam berkembang di daerah tersebut sekitar tahun 1880, goa ini pernah menjadi tempat berkhalwat bagi para penyebar agama Islam. Itulah sebabnya bagi yang memiliki indera keenam, dapat mendengar lantunan zikir.
Pernah
ada kunjungan dari sekolahan dalam rangka wisata, anggota rombongan siswa masuk
ke dalam goa ini. Ketika mereka keluar, salah seorang temannya tertinggal di
dalam. Ketika dicari di dalam goa tersebut, ternyata ia masih khusyu’ berzikir
di atas batu altar tersebut.
Menurut
siswa tersebut, ia tidak sendirian di dalam goa, namun banyak para Syech yang
bersorban putih dan hijau juga khusyu’ berzikir. Salah seorang dari mereka lalu
mengajak siswa tersebut duduk bersama mereka untuk melantunkan zikir.
Kota
Jin akan sangat meriah jika dikunjungi pada hari Rabu di akhir bulan Safar,
karena seluruh penduduk Desa Kota Jin dan masyarakat Atinggola pada umumnya
akan melakukan ritual Mandi Safar di Sungai Andagile yang menjadi batas antara
Provinsi Gorontalo dengan Provinsi Sulawesi Utara. Menurut kepercayaan
setempat, hari Rabu di akhir bulan Safar adalah hari naas yang harus
dibersihkan dengan cara mandi di sungai. ***
[221113]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar