Tidi dalam bahasa setempat memiliki arti
tari. Kata tidi hanya menguatkan
klasik tariannya. Dari busana, gerakan tari, formasi tari, dan alat tari,
semuanya bernilai moral sehingga tarian ini tidak dibenarkan direkayasa.
Mengubah busana, gerakan dan formasi berarti merubah makna.
Tidi
lahir sejak zaman pemerintahan Raja Eyato pada 1672, ketika syiar agama Islam
menguat di Kerajaan Gorontalo. Sesuai dengan falsafah adat bersendi syara’, dan
syara’ bersendikan Kitabullah (Al-Qur’an), maka makna busana, gerakan, formasi,
dan tetabuhan rebana, disesuaikan dengan nilai agama Islam (syari’at) dan nilai
moral serta nilai didik.
Sehingga
makna busana adat dan semua atribut serta aksesorisnya harus melambangkan lima
keterikatan, yaitu keterikatan dalam menjalankan syari’at Islam, keterikatan
sebagai ratu rumah tangga, keterikatan dalam menjalin kekerabatan antar
keluarga, tetangga dan masyarakat, keterikatan dalam pergaulan sehari-hari, dan
keterikatan dalam menjalankan hak dan kewajiban dalam struktur rumah tangga
sesuai adat dan syara’ menuju rumah tangga sakinah mawaddah warrahmah.
Menurut
Farha Daulima dan Reiners Bila dalam bukunya, Mengenal Tarian Daerah Tradisional dan Klasik Gorontalo, disebutkan
bahwa ada tujuah jenis tidi yang ada di Gorontalo yaitu:
Tidi
Da’a
Sejak
tahun 1960, Tidi Da’a dengan tidak merubah gerakan, busana dan nilai klasiknya,
oleh seniman tari Gorontalo, Chirna Monoarfa, diciptakanlah sebuah lagu untuk
member makna gerakan tersebut lewat syair lagu. Namun pemakaian lagu ini diserahkan
kepada si pelaksana adat. Yang masih menghendaki keasliannya tetap menggunakan
iringan musik kalsik tanpa lagu, sedangkan yang menginginkan memakai lagu akan
diiringi dengan syair lagu tersebut.
Dalam
Tidi Da’a ini, penarinya berasal dari puteri raja yang menjadi pengantin
perempuan dengan didampingi dari kerabat istana. Busana ada yang dikenakan
adalah bili’u lengkap terbuat dari emas, yang berasal dari warisan turun
temurun.
Tidi
Lo Polopalo
Tidi
Lo Polopalo versi tari keluarga Kaluku di Telaga, sejak tahun 1950 masih
diiringi lagu Bismila Dulanaru hingga
pengembangannya versi Bulango sejak tahun 1970, menggunakan lagu yang
diciptakan oleh keluarga Gobel, yaitu Popotolimowa
mayi polopalo.
Ketika
tahun 2002, Tidi Lo Popopalo dimainkan di Jakarta, keluarga Kaluku
mengembalikan pada aslinya memakai lagu Bismila
Dulanuru. Bagaimanapun kita mengembangkan tarian klasik ini, tidak mengubah
nilai klasiknya, tetapi bermaksud memperjelas makna gerakannya.
Dalam
Tidi Lo Polopalo ini, penarinya berasal dari puteri bangsawan, wali-wali mowali, yang saat ini mencakup
pejabat-pejabat negeri dengan didampingi dua orang. Busana adat yang digunakan
adalah bili’u dengan huwo’o (rambut) yang dilambangkan dengan kotak-kotak
terbuat dari perak bersepuh emas lima susun bagi pengantin puteri.
Tidi
Lo Tihu’o
Tihu’o artinya rantai yang terangkai
dari manik-manik dengan warna adat liango (tila
batayila), yaitu warna kuning, merah, hijau dan ungu. Tidi ini bermakna
menjalin persatuan atau “buhuta wawu
walama.”
Dalam
Tidi Lo Tihu’o ini, penarinya berasal dari puteri bangsawan, wali-wali mowali, yang saat ini mencakup
pejabat-pejabat negeri dengan didampingi oleh 2, 4 sampai dengan 6 orang.
Busana adat yang dikenakan adalah bili’u dengan huwo’o (rambut) yang
dilambangkan dengan kotak-kotak terbuat dari perak bersepuh emas yang terdiri
dari lima susun bagi pengantin puteri.
Tidi Lo O’ayabu
O’ayabu artinya kipas. Makna kipas
adalah ketegaran seorang ratu rumah tangga dalam melayani suami dan
anak-anaknya serta anggota keluarga lain. Kipas adalah penyejuk, pendingin
suasana. Hal ini yang dimaksudkan adalah kebijakan dan kebijaksanaan dalam
menghadapi setiap tantangan.
Lahirnya
tarian ini di kalangan istana, sebagai tarian penyambut tamu dari kerajaan
lain, dan acara syukuran keberhasilan kerajaan dalam kegiatan pembangunan atau
pemerintahan.
Dalam
Tidi Lo O’ayabu ini, penarinya berasal dari puteri bangsawan, wali-wali mowali, yang saat ini mencakup
pejabat-pejabat negeri atau para tokoh dengan jumlah penari sebanyak 5 orang.
Busana adat yang digunakan adalah madi
pungu dengan lima tangkai sunthi
di atas konde.
Tidi
Lo Tonggalo
Tonggalo artinya penyangga. Tidi ini
menggambarkan bagaimana peranan seorang calon ibu rumah tangga untuk saling
menopang suaminya dalam membantu lancarnya biduk rumah tangga. Menopang bukan
berarti meninggalkan hak dan kewajiban sebagai isteri, tetapi tetap dalam
koridor aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan syari’at.
Dalam
Tidi Lo Tonggalo ini, penarinya berasal dari puteri bangsawan, wali-wali mowali, yang saat ini mencakup
pejabat-pejabat negeri dan puteri para tokoh masyarakat dengan jumlah penari
sebanyak 5 orang. Busana adat yang dipakai adalah madi pungu, dengan lima tangkai sunthi
di atas konde.
Tidi
Lo Malu’o
Malu’o artinya ayam. Ada dua makna yang
terkandung di dalamnya. Pertama, bermakna bahwa puteri raja atau puteri
bangsawan dinikahi oleh putera raja atau bangsawan dari negeri seberang, maka
Tidi Lo Malu’o dilakukan pada acara resepsi pernikahan. Pada malam pertunangan
dapat dapat menyelenggarakan tarian Tidi Da’a yag diperuntukkan bagi puteri
raja, dan Tidi Lo Palopalo bagi puteri bangsawan dan wali-wali mowali.
Dulu,
apabila ada Tidi Lo Malu’o maka rakyat negeri atau tuwango lipu mengetahui bahwa pengantin putera berasal dari negeri
seberang.
Kedua,
bermakna bahwa dalam rumah tangga bersifatlah seperti ayam. Artinya, mengayomi
seluruh anggota keluarga sebagaimana ayam melindungi anaknya di bawah sayap.
Sedikit atau banyak yang didapat oleh seekor induk ayam, anak-anaknya yang
didahulukan.
Dalam
Tidi Lo Malu’o ini, penarinya berasal dari puteri bangsawan, wali-wali mowali, dan puteri tokoh
masyarakat dengan jumlah penari sebanyak
5 orang, termasuk pengantin puteri. Busana ada yang dikenakan adalah madi pangu, dengan lima tangkai sunthi di atas konde untuk pengantin bili’u.
Tidi
Lo Tabongo
Tabongo artinya ikhtiar, mewaspadai
sesuatu dalam rumah tangga maupun dalam negeri. Sebagai ratu, gambaran
kendala-kendala yang dihadapi dan bagaimana jalan keluarnya dilukiskan pada
formasi dan gerakan. Antara lain, mempertahankan kehormatan negeri, kehormatan
suami, kehormatan martabat keluarga dan kehormatan diri sendiri. Tidi ini
memiliki tujuh gerakan utama yang divariasikan dengan gerakan-gerakan lain.
Dalam
Tidi Lo Tabango ini, penarinya berasal dari puteri raja atau bangsawan,
wali-wali mowali dan puteri tokoh masyarakat dengan jumlah penari sebanyak
bilangan gasal dari 5 hingga 7 orang. Jika dilakukan oleh pengantin puteri
raja, maka jumlah penari cukup 3 orang saja. Busana adat yang digunakan adalah bili’u untuk pengantin puteri, madi pungu untuk penari lainnya dengan
lima tangkai sunthi di atas konde. Sunthi adalah bunga seruni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar