Prasasti Dinoyo bertarikh 682 Saka atau 760
Masehi, ditulis dengan aksara Jawa Kuno (Kawi) dan menggunakan bahasa
Sansekerta, dengan candrasengkala “Nayana
Vasu Rasa”. Prasasti ini ditemukan di dekat pasar Dinoyo lama (sekarang
menjadi pertokoan), dan sekarang menjadi koleksi Museun Nasional Jakarta dengan
nomor inventaris D.113. Meski sudah lama dijumpai penduduk sekitar, tetapi baru
tahun 1916 dipublikasikan oleh Dr. F.D.K. Bosch dengan judul “De Sanskrit-Inscriptie op den Steen van
Dinaya”.
Prasasti Dinoyo ini terpahatkan pada batu andesit dengan
tinggi 1,10 meter, yang pada waktu ditemukan dalam keadaan pecah menjadi tiga
bagian. Bagian terbesar berada di Dinoyo, sedangkan dua pecahan kecil lainnya
ditemukan di Merjosari.
Prasasti ini ditulis oleh salah seorang cucu Raja
Gajayana yang bernama Anana, dan isinya menurut Poerbatjaraka adalah sebagai
berikut:
1.
âsîn narapatir dhîmân devasimhah pratâpavân yena
guptâ purî bhâtî putikeçvara-pâvitâ
2.
lişvo’pi tanayas tasya gajayâna iti smŗtah rarakşa svar-gate tâte puram kâñjuruhan mahat
3.
lişvasya duhitâ jajñe pradaputrasya bhupateh uttejeneti mahişi jananîyasya dhîmatah
4.
anandanah kalaçaje baghavatyagastye bhakto dvijati-hita kŗtgajayâna---,
pauraih sanâyaka ganaih samakârayat tat ramyam maharşi-bhavanam valahâjiribhyah,
5.
pȗrvaih krtâm tu suradâru-mayim samîksya kîrtipriyah kalaçaya-pratimâm manasvî, âjñâpya çilpinam
aram sa ca dîrghadarçi kŗşnâdbhutopala-mayim
nŗpatiç cakâra
6.
râjñâgastyaç çakâbde
nayana-vasu-rase margaçirse ca mâse ardrarksye çukra-vâre pratipada-divase pakşa-sandhau dhruve ca, ŗtvigbhir vedavidbhir yativara-sahitais sthâpakâdyaih sapauraih karmajñaih kumbhalagne sudŗdha-matimatâ sthâpitah kumbhayonih,
7.
kşetram gâvah supuştâ mahişa-ganayutâ dâsa-dâsi purogâh, dattâ rajñâ maharşi-pravara-caru-havis-snâna-sammârjanâdi-vyâpârârtham
dvijânâm
bhavanam api mahad danturam câdbhutam ca viçrambhâyâtithinâm
yava-yavika-çayya-cchâdanaih suprayuktam
8.
ye bândhavâh nŗpasutâç ca samantrimukhyâh dattau
nŗpasya
yadi te pratikȗlacittâh, nâstikyah-dosa-kutilâ narake pateyuh, nâmutra neha ca gatim paranam labhante,
9.
vamçyâ nŗpasya
rucitâ yadi
datti-vŗddhau âstikya-çuddha-matayah
kŗta-vipra-pujâh dânâdya-punya-yajanâd dhyayanâdi-çîlâh rakşantu râjyam
atulam nŗpatir yatahivam
Alihbahasa ke dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
ada seorang
raja bijaksana dan sangat sakti, sang Dewasimha namanya. Ia menjaga kratonnya
yang berkilau-kilauan disucikan oleh api sang Putikecwara (yakni sang Siwa)
2.
ananda ialah
sang Liswa namanya, yang juga terkenal dengan nama sang Gajayana. Setelah
ramanda pulang kembali ke swarga, maka sang Liswa-lah yang menjaga kratonnya
yang besar, bernama Kanjuruhan
3.
sang Liswa
melahirkan seorang putri, yang oleh ramanda sang raja diberi nama sang
Uttejena, seorang putri kerajaan, yang hendak meneruskan keluarga ramanda yang
bijaksana itu
4.
sang raja
Gajayana, yang memberi ketentraman kepada sekalian para brahmana dan dicinta
oleh rakyatnya, ialah bakti kepada yang mulia sang Agastya. Dengan sekalian
pembesar negeri dan penduduknya ia membuat tempat (candi) sangat bagus bagi
sang maharesi (Agastya) untuk membinasakan penyakit yang menghilangkan kekuatan
(semangat)
5.
setelah ia
melihat arca sang Agastya yang dibuat dari kayu cendana oleh nenek moyangnya,
maka raja yang murah hati dan pencinta kemashuran ini memerintah kepada pelukis
yang pandai untuk membuat (arca sang Agastya) dari batu hitam yang elok, supaya
ia selalu dapat melihatnya
6.
atas perintah
sang raja yang sangat teguh budinya ini, maka (arca) sang Agastya yang juga
bernama Kumbayoni didirikan (dengan upacara dan selamatan besar) oleh para ahli
rigweda, para ahli weda lain-lainnya, para brahmana besar, para pandita yang
terkemuka dan para penduduk negeri yang ahli kepandaian lain-lainnya, pada
tahun nayana-vasu-rasa (682) saka, bula margacirsa, hari jumat tanggal satu
paro petang
7.
dihadiahkan
pula oleh sang raja sebagian tanah dengan sapi yang gemuk-gemuk serta sejumlah
kerbau, dengan beberapa orang budak lelaki dan perempuan, dan segala keperluan
hidup pada pandita yang terkemuka, seperti sabun, pemandian, bahan untuk
selamatan dan saji-sajian, juga sebuah rumah besar yang sangat penuh
(perabotan) untuk penginapan para brahmana dan tamu dengan disediakan pakaian,
tempat tidur, padi, jemawut, dan lain-lain
8.
manakala ada
keluarga (kerajaan) atau anak raja dan sekalian para pembesar negeri bermaksud
melanggar atau berbuat jahat, berdosa tidak mengindahkan (peraturan) hadiah
sang raja ini, moga-moga mereka jatuh ke dalam neraka, janganlah mereka
mendapat nasih yang mulia, baik dalam akhirat maupun dalam dunia ini
9.
(sebaliknya)
manakala keluarga sang raja yang girang akan terkembangnya hadiah itu,
mengindahkannya dengan pikiran yang suci, melakukan penghormatan kepada para brahmana,
dan bertabiat ibadah, maka karena berkat selamatan, kebaikan dan kemurahan itu
haraplah mereka menjaga kerajaan yang tak berbandingan ini, seperti sang raja
menjaganya.
Kepustakaan:
Rully Dwi Oktavianto dkk., Kajian Historis tentang Candi Badut di
Kabupaten Malang, dalam Jurnal Pancaran, Vol. 2, No. 4, November 2013:
196-208
Candi Badut Documentary Board
Tidak ada komentar:
Posting Komentar