Dulu,
bangunan ini bernama De Grootmoedigheid (= “Sombong”). Bangunan ini merupakan
bangunan peninggalan Belanda yang didirikan oleh Gubernur Jenderal Gustaf
Willem Van Imhoff pada tahun 1745 sebagai benteng pertahanan di wilayah Jawa
Tengah. Ketika masih bernama De Grootmoedigheid, bangunan benteng masih kecil. Pada
tahun 1775 benteng lama tersebut diganti dengan benteng baru yang lebih besar
yaitu “Vastenburg” (= “Benteng Kuat”).
Keadaan
benteng dahulu merupakan benteng, yang berkaitan dengan Kantor Gubernur Belanda
(sekarang Balaikota Surakarta), yang dimungkinkan bahwa daerah tersebut adalah
daerah pusat Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Kota Solo.
Kondisi benteng ini dikelilingi oleh dinding batu bata setinggi 6 meter, dan parit yang dalam serta lebar dengan penghubung berupa jembatan gantung untuk menuju ke pintu gerbang benteng, yang menghadap ke barat di mana sekarang sudah tidak ada lagi. Yang tinggal hanya parit yang sempit, dan dangkal.
Bentuk
bangunan tidak berbeda dengan benteng-benteng Belanda di tempat lain, seperti
Benteng Vredenburg di Yogyakarta, Benteng Ontmoeting di Ungaran, dan Benteng
Herstelling yang sudah hancur. Perbedaannya, biasanya hanya pada ukuran, luas
bangunan, dan tebal tipis serta tinggi dindingnya dengan benteng-benteng yang
ada di daerah lain.
Pagar atau
dinding yang mengelilingi berbentuk tepung gelang. Pintu masuk ada 2, yaitu
barat dan timur dengan jembatan jungkit (angkat) yang menghadap ke timur dan
barat. Sedangkan bangunan di dalam benteng dipetak-petak untuk
rumah tinggal para prajurit dengan keluarganya. Di beberapa titik sekelilingnya
ada pula bangunan rumah tinggal para perwira (sekitar 6 – 7 asrama).
Struktur
bangunan merupakan tembok masif (bearing
wall) dengan lubang-lubang jendela/pintu yang bagian atas berbentuk
lengkung. Sedangkan, konstruksi lantai pada bangunan tingkat disusun dari papan
kayu yang menumpang pada balok-balok kayu.
Dalam konteks morfologi perkotaan, benteng ini memiliki peranan penting di Kota Solo dalam periode abad 18 - 19. Kota Solo adalah pusat perdagangan dan ditandai dengan perkembangan kota kolonial. Dalam konteks era kolonial, artefak lain yang terkait dengan keberadaan Vastenburg ialah di antaranya Gereja Santo Antonius Purbayan, bekas gedung Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia), kantor pos, rumah Residen, jalan raya poros lurus Solo-Semarang, permukiman Eropa, dan Societet Harmoni. Semua artefak era kolonial ini berada beberapa ratus meter di hadapan Kraton Kasunanan.
Sekitar
tahun 1750-an ini merupakan tempat pasukan Belanda untuk “mengawasi” Kraton
Kasunanan Surakarta sejak pemerintahan Paku Buwono III. Tipologi kota kolonial
identik ditengarai adanya sebuah benteng. Belanda merias kota sejak era Kerajaan
Kartasura. Waktu itu, urusan di wilayah kekuasaan raja pribumi ikut menjadi
perhatian Belanda, misalnya keamanan, perniagaan, permukiman, tata kota dan
kebijakan.
Dalam
konteks sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa, di dalam benteng ini tercatat banyak
pejuang kita pernah dipenjara, disiksa, dan dibunuh di era kolonial Belanda.
Hal mana berlanjut di jaman Jepang ketika benteng ini dikuasai Bala Tentara Dai
Nipon.
Sebagai Cagar Budaya
Merunut
pada kajian historisnya, benteng yang memiliki luas 31.533 m² ini memang
tergolong sebagai salah satu cagar budaya (BCB) yang berada di Kota Solo. Ditetapkan sebagai BCB melalui Surat Keputusan (SK) Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor: 646/116/I/1997, dan tercatat sebagai BCB Kota Surakarta dengan nomor 14-26/C/Pk/2012.
Letaknya
yang sangat strategis ini sebenarnya bangungan ini bisa dijadikan ikon utama
kepariwisataan di Kota Solo dan sekitarnya.
Sayangnya,
kebesaran historisnya tidak diimbangi dalam hal riwayat kepemilikannya.
Semenjak Walikota Hartomo memegang kendali, benteng ini memang dijual (kalau
dengan bahasa yang halus adalah ditukargulingkan atau ruislag) ke perseorangan pada tahun 1991. Pemerintah Kota sekarang ketiban sampurnya dari permasalahan ruislag tadi.
Benteng
itu terus terbengkalai dan kian rusak di tengah tarik menarik kekuatan
modal, ahli sejarah, komunitas budaya dan Pemkot Surakarta. Kini situs
bersejarah yang hanya beberapa ratus meter dari Kraton Solo dan Balaikota
ini, seperti berusaha disembunyikan dari pandangan warga kota.
Bagaimana
kita menyikapinya? Alangkah baiknya, kita menyimak perkataan Eugene Ruskin: “Menghancurkan peninggalan kuno merupakan dosa
yang tak kecil.” ***
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar