Harian Joglosemar, Sabtu (15/09), memuat artikel Andri Saptono bertajuk Kronik Ciu Bekonang. Lewat artikel yang menantang itu, dia mengungkapkan kemasyuran ciu Bekonang, di Sukoharjo, Jawa Tengah. Menurutnya, umur ciu sudah setua daerah itu sendiri. Ciu jelas berbeda dengan arak, walaupun mempunyai cara fermentasi yang hampir sama. Ciu lebih berbahan dasar tetes tebu. Sedangkan arak bisa dari semua sari buah yang difermentasikan. Dan ciu Bekonang bukanlah sebuah jualan yang satu arah. Dari berbagai home industry yang ada di sana, beberapa memang menjualnya kepada industri, tapi ada juga yang menjualnya eceran kepada para pelanggan.
Sungguh sayang, aspek sejarah kurang diulas penulis, mungkin lantaran minimnya ketersediaan data historis. Padahal penting menggali akar sejarah munculnya ciu dan memahami budaya mabuk dalam kehidupan masyarakat Jawa. Industri ciu di Bekonang dan budaya masyarakat Surakarta bukan muncul “kemarin sore”, melainkan sudah ada sejak era kerajaan. Karena itulah, di sini saya akan memberikan ulasan sejarah tersebut agar problematika ciu dapat dipahami dalam perspektif yang lebih luas, tidak melulu dari sudut pandang sosial dan agama.
Aktivitas berpesta miras ternyata sudah lama berakar di kalangan masyarakat pribumi di Nusantara. Dalam naskah kuno Negarakertagama yang ditulis pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit, misalnya, diketahui bahwa minuman keras pada masa itu selalu menjadi bagian dari perjamuan agung di kraton. Wartawan yang juga budayawan, Marbangun Hardjowirogo dalam buku berjudul Manusia Jawa (1984) memberi keterangan singkat bahwa Solo di tahun 1920-an sudah bisa menghasilkan jenewer yang merupakan penjawaan daripada kata Belanda Jenever, di sebuah kawedanan seberang selatan Bengawan Solo, Bekonang. Ciu nama bikinan Bekonang sudah dikenal orang sejak zaman dahulu.
Namun, kapan mulai industri ciu ini hadir, tidak dijelaskan oleh Marbangun.
Dalam konteks ini, kita musti menggunakan logika sejarah untuk menafsirkan fenomena ciu. Kemunculan ciu Bekonang sangat berkaitan dengan berdirinya pabrik gula Tasikmadu di Karanganyar yang tempo itu merupakan aset penting Pura Mangkunegaran. Dari pemrosesan tetes tebu yang sedemikian rupa hingga terciptalah air yang bikin pusing made in Bekonang. Subaryono dkk (2001) mencatat, saat itu pembuatan ciu dikerjakan secara sembunyi-sembunyi walau kadar alkoholnya masih rendah. Awalnya, alkohol diproduksi untuk minuman keras (miras), dan mabuk. Ini akibat dari pengaruh hegemoni kraton yang mempunyai gelaran acara pesta panen raya maupun penyambutan tamu kerajaan mengadakan pesta dan tarian tradisional seperti tayub. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh faktor karakteristik negatif manusia Jawa (Solo) yang suka bermalas-malasan dan penikmatan hidup.
Menurut Marbangun, dalam diri manusia Jawa terdapat memang suatu kecenderungan pada penikmatan hidup sehingga ia bisa digolongkan makhluk hedonik yang memuja dalam segala hal. Soal penikmatan hidup, ia tak tergolong terbelakang, termasuk miras dan tayuban.
Pada dasarnya, tayub tak bisa dilepaskan dari kultur masyarakat petani yang kebetulan menjadi corak penduduk Surakarta kala itu. Ketidakpastian dalam masyarakat agraris menimbulkan kepercayaan untuk memuja dewi kesuburan. Kondisi tersebut lantas memunculkan “tari kesuburan” bernama tayub. Tayub berhubungan erat dengan seks dan miras. Menurut budayawan Ahmad Tohari, hal itu berkaitan dengan sekte Hindu di India Selatan ratusan tahun silam. Pergelaran upacara pemujaan dewi kesuburan acap dilakukan lewat tarian. Miras, dan wanita penjaja seks. Justru penampilan tayub yang beraroma alkohol dan seks itulah yang mengundang daya tarik terutama di kalangan priyayi.
Tuan rumah priyayi yang menyelenggarakan tayub merasa wajib menyediakan ciu, badeg, arak atau sejenisnya.
Diriwayatkan oleh Triknopranoto dalam buah karya, Sejarah Kutha Sala, bahwa tempo dulu setiap acara tayuban, kerap terjadi tawuran sebab mereka yang berjoget atau ngibing lepas kontrol kelebihan menenggak miras. Amatlah wajar apabila muncul konotasi buruk mengenai kehidupan kraton dan priyayi di mata Belanda. Bahkan Paku Buwono X sebagai raja terbesar, yang kini menyandang gelar pahlawan nasional itu, juga penggemar alkohol sampai tubuhnya tambun. Kecenderungan priyayi yang terus menuruti hawa nafsu duniawi mengakibatkan kehilangan identitas kepriyayiannya. Oleh karena itu, dalam diri priyayi terjadi – meminjam istilah Sartono Kartodirdjo – “abangisasi”. Selain banyak diminum orang pada waktu ada tayuban, banyak juga dipakai orang untuk melarutkan param guna menggosoki badan supaya bisa terasa hangat.
Kita perlu membuka arsip memori serah terima jabatan GF van Wijk tahun 1914. Di dalamnya diberitakan, patih Kraton Kasunanan membiarkan masyarakat mabuk dan makan daging babi. Menurut patih, tindakan ini lebih baik ketimbang mereka berubah menjadi gerakan radikal yang membahayakan keamanan. Tempat pelacuran selalu identik dengan miras. Artikel berjudul Roemah Perempoean Djalang yang termuat dalam Darmo Kondo, 9 Desember 1925 mengisahkan, di tengah Kampung Kratonan sebelah selatan berdiri sebuah rumah bordil yang mengumpulkan banyak perempuan hina terdiri dari nyonya-nyonya China maupun bumiputera. Rumah itu dikepalai seorang janda China yang biasa dipanggil dengan sebutan Njah Dengkel. Banyak orang China totok atau singkek yang datang di malam hari, dan jumlah kupu-kupu malam juga kian bertambah. Orang China sudah memperoleh lisensi dari pemerintah kolonial. Mereka akhirnya mengembangkan untuk menjual candu dan ciu. Kemudian, muncullah istilah “ciu wewe”. Artinya, ciu yen ora payu, diombe dewe (ciu kalau tidak laku dijual, diminum sendiri). Mereka kulakan ciu di Bekonang.
Apakah tempo dulu tidak pernah ada operasi miras? Distrik Bekonang sempat pula menjadi sasaran operasi Belanda. Razia yang digelar dalam lima tahunan (1920 – 1925) berlangsung seru lantaran melibatkan pamong setempat. Seperti lurah, camat, bahkan wedana dan telik sandi penduduk desa yang diberi iming-iming hadiah uang apabila berhasil memberikan informasi mengenai keberadaan pembuat arak kepada polisi. Saking semangatnya mengintai sasaran, para telik sandi kadang-kadang tidak akurat dengan melaporkan pembuat tape singkong sebagai “produsen arak gelap” (Kasijanto, 2006). Seiring bertambahnya waktu, ciu Bekonang kian moncer karena sudah mempunyai pasar serta pelanggan tetap.
Dari hasil riset Arif Widodo (2004) dikatakan, di tahun 1945, perajin industri rumah tangga ciu Bekonang hanya berkisar 20 orang dan hasil produksinya kurang lebih per hari hanya 10 liter saja. Antara tahun 1961 sampai tahun 1964, industri alkohol sudah mulai ada kemajuan, yaitu ada peningkatan kadar alkohol dari 27 persen menjadi 37 persen dengan peralatan yang juga masih sangat sederhana. Alkohol dipasarkan mencapai hampir ke seluruh wilayah Karesidenan Surakarta, Surabaya, Kediri, dan lain-lain. Dampaknya, taraf hidup masyarakat Bekonang meningkat karena dapat bermobilisasi horizontal dan vertikal (kaya dan bersekolah tinggi).
Dari dulu hingga sekarang, satu pernyataan J. Kats, seorang pejabat kolonial Belanda yang tertulis dalam bukunya Het alcoholkwaad yang terbit awal abad 20, masih sangat relevan. Yakni, meskipun alkohol memiliki manfaat tertentu (misalnya untuk pengobatan), cairan memabukkan itu lebih banyak mudharatnya bagi manusia. Tapi sekali lagi, semua ini tergantung penggunanya, bukan pembuatnya. Haruskah kita tega “membunuh” industri ciu yang puluhan tahun menjadi gantungan hidup banyak keluarga itu? *** [Heri Priyatmoko, Kolomnis Solo Tempo Doeloe]
Sumber:
- Harian JOGLOSEMAR edisi Kamis, 20 September 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar