Setelah sempat tenggelam namanya, Pengging mulai dikenal kembali pada awal abad ke-18. Ketika itu, ibukota Mataram dipindahkan ke Kartasura. Sedangkan di Pengging pada abad itu, telah berdiri Pondok Pesantren yang diasuh oleh Kyai Kalifah Syarif dari Bagelen. Beliau mempunyai murid bernama Zainal Abidin. Berkat ketekunannya dalam beribadat, kesabarannya, serta kepandaian yang dimiliki Zainal Abidin, Kyai Syarif sangat tertarik terhadap terhadap kepribadiannya tersebut, dan akhirnya dinikahkan dengan puterinya yang bernama Siti Maryam.
Pada suatu ketika pemerintah Kraton Kartasura menerima pengaduan soal perdata, semua hakim kraton tidak dapat memberi keputusan. Terpaksa kraton mengadakan sayembara untuk mendapatkan hakim yang dapat menyelesaikan atau memberi keputusan soal perdata yang ada. Dari sekian banyak peserta yang mengikuti salah seorang adalah Zainal Abidin, dan ternyata dapat menyelesaikannya dengan baik. Sebagai hadiahnya, Zainal Abidin dijadikan pegawai Kraton Kartasura.
Lama kelamaan latar belakang Zainal Abidin diketahui oleh pihak kraton, bahwa sesungguhnya Kyai Zainal Abidin adalah Bupati Pekalongan bernama Tumenggung Padmonegoro yang telah lama hilang dalam peperangan. Oleh karena itu, Kyai Zainal Abidin diangkat menjadi Bupati Jaksa di Kartasura bernama Tumenggung Padmonegoro, yang berdarah keturunan Sultan Hadiwijaya, dan juga keturunan Susuhunan Amangkurat di Mataram yang dimakamkan di Tegal Arum.
Setelah meninggal, Tumenggung Padmonegoro dimakamkan di Desa Gedong, berdekatan dengan makam Kyai Kebokenongo (Ki Ageng Pengging). Almarhum Tumenggung Padmonegoro memiliki dua putera: Raden Ngabei Yosodipuro I dan Raden Ngabei Yosodipuro II. Pada saat wafat, Raden Ngabei Yosodipuro I dan II dimakamkan di Dukuh Ngaliyan, Desa Bendan, Kecamatan Bayudono, Kabupaten Boyolali. Tepatnya dibelakang Masjid Ciptomulyo. Menurut cerita, masjid ini dibangun oleh Tumenggung Padmonegoro.
Semula masjid yang dibangun Tumenggung Padmonegoro, kala itu masih bernama Kyai Zainal Abidin, oleh masyarakat sekitar sering disebut sebagai Masjid Karangduwet. Namun semenjak direnovasi oleh Sri Susuhunan Paku Buwono (PB) IX, dan selesai pada tahun 1908, masjid itu lalu dinamai sebagai Masjid Ciptomulyo.
Pada waktu peresmian dari pemugaran masjid tersebut, PB IX berkenan menghadiri dan mengikuti sholat Jumat tujuh kali berturut-turut. *** [120912]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar