Tak ada peradaban
mengajarkan membuang atau memperlakukan raga mati seperti bangkai. Sikap etis
terhadap raga mati bahkan bisa tampak lebih agung, kolosal, dan sakral daripada
terhadap raga hidup, misalnya upacara penguburan jenazah yang dihadiri banyak
orang.
Raga manusia mati bukan
onggokan bangkai, melainkan “mayat” atau “jenazah”. Contoh-contoh penyebutan
khusus ini simbol pemuliaan terhadap jasad yang terjemput maut. Pemuliaan ini
muncul dari pandangan bahwa jasmani punya andil luhur dalam peradaban.
Kebe-raga-an,
keber-tubuh-an, membuat manusia eksis sebagai manusia dan memungkinkannya
berkiprah dalam peradaban. Penciptaan peradaban tak bisa lepas sama sekali dari
partisipasi raga, bahkan bisa menjadi faktor utamanya.
Kematian
raga batas akhir eksistensi manusia di dunia karena raga tak lagi berfungsi.
Berpikir pun satu daya dari raga. Gegar otak atau sakit saraf yang merusak daya
piker merupakan bukti bahwa berpikir merupakan bukti bahwa berpikir melibatkan
raga, yaitu organ otak.
Kuburan kultural
Beragam
pandangan terhadap raga. Masyarakat Yunani kuno yang paganis mengenal ungkapan
“raga adalah pusara jiwa”. Jiwa di sini dalam pengertian teologis, bukan
psikologis atau fisikal. Kendati nilai raga tak setara jiwa, masyarakat Yunani
memberikan ritus bagi jenazah berupa pengkremasian.
Masyarakat
yang memandang raga secara sakral atau profan, menilai raga seperti mesin atau
pun kuburan, tetap menghormati mayat. Masyarakat primitif, modern, religious,
dan sekuler tergetar naluri etiknya terhadap penistaan mayat.
Semua
peradaban besar memuliakan raga mati dan memberi tempat khusus, misalnya
kuburan dalam tradisi agama samawi atau upacara khusus seperti ngaben
(pembakaran mayat) dalam masyarakat Hindu di Bali.
Pun
ada masyarakat yang memumikan mayat di piramida pada masa Mesir kuno. Pada masa
modern, mayat pemimpin negeri komunis-sosialis diawetkan dan disemayamkan di
museum.
Ziarah kubur
Pada
tradisi agama samawi, mayat dikubur di tanah. Kuburan diyakini sebagai
perbatasan antara alam dunia dan akhirat.
Ziarah
kubur atau mengunjungi candi tempat abu jenazah disimpan menjadi ritus dari
zaman ke zaman yang cenderung lebih dianggap berdimensi spiritual atau
religious. Dimensi kultural dari kuburan dan ziarah kubur kurang mengemuka
meski makna dari dimensi ini lebih luas atau sekurangnya bisa juga “berguna”
bagi yang hidup.
Ziarah
kubur merupakan persapaan antara dunia ini dan yang setelah dunia ini. Kuburan
merupakan situs simbolis tempat rendezvous
(“perjumpaan”) yang hidup dan yang pernah hidup sehingga ziarah kubur melebur
yang logis dan yang mistis, yang material dan yang immaterial.
Taburan
bunga dalam ziarah kubur merupakan bahasa simbolis yang estetik. Bunga menjadi
“media penghubung” peziarah dan yang diziarahi, dan bunga merupakan lambang
cinta atau kasih sayang.
Kuburan
tak semata persemayaman raga mati. Tak pula gundukan tanah belaka, melainkan
artefak berdimensi spiritual dan kultural. Kuburan representasi kehadiran yang
mati. Maka, di nisan terpahat nama.
Sembulan
makna dari ziarah kubur adalah yang mati tak dilupakan yang hidup. Itu merawat
kesadaran, masa depan yang hidup adalah kematian.
Makna
yang historis dan yang “futuristik” ini juga menyiratkan pemahaman bahwa
kehidupan dan kematian tak sama sekali terpisah, tak memilah yang mistis dan
logis, yang rasional dan irasional. Pandangan ini berharga di tengah kecamuk
pertentangan rasionalitas-irasionalitas, pertikaian teologi-filsafat, atau
perseteruan akal-agama. [BINHAD NURROHMAT, penyair]
Sumber:
- KOMPAS edisi Sabtu, 22 September 2012 hal. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar