Garis
Khatulistiwa membentang melingkari tengah-tengah dan membelah bumi menjadi dua
belahan yang sama, yaitu Belahan Utara dan Belahan Selatan. Garis Khatulistiwa
melewati beberapa kota di Indonesia, misalnya Provinsi Kalimantan Barat, seperti
Sekadau, Nanga Dedai, dan beberapa provinsi lainnya di Indonesia, di antaranya:
Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi
Kalimantan Timur, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Maluku dan Provinsi Papua.
Berdasarkan
catatan yang diperoleh pada tahun 1941 dari V. en V oleh Opsiter Wiese dikutip
dari Bijdragentot de Geographe dari Chep Van dan Topographeschen Dien in
Nederlandsch Indie: Den 31 Sten Maart 1928 telah datang di Pontianak, satu
Ekspedisi internasional yang dipimpin oleh seorang ahli Geografi berkebangsaan
Belanda untuk menentukan titik atau tonggak garis ekuator di Kota Pontianak.
Kala
itu, penentuan titik ekuator dilakukan secara astronomi, artinya bahwa
pengukuran yang mereka lakukan tanpa mempergunakan alat yang canggih seperti
satelit atau Global Positioning System (GPS). Mereka hanya berpatokan pada
garis yang tidak smooth (garis yang
tidak rata atau bergelombang) serta berpatokan pada benda-benda alam, seperti
rasi bintang (ilmu falaq).
Setelah itu, Tugu Khatulistiwa dibangun pada 31 Maret 1928. Tugu Khatulistiwa yang asli terbuat dari kayu belian (kayu besi atau kayu ulin) yang terdiri dari empat tonggak yang mana 2 buah tonggak bagian depan dengan tinggi 3,08 meter dari permukaan tanah, dan 2 buah tonggak bagian belakang dengan tinggi 4,40 meter dari permukaan tanah. Keterangan simbol berupa anak panah menunjukkan arah utara – selatan (lintang 0 derajat). Keterangan simbol berupa flat lingkaran yang bertuliskan EVENAAR, memiliki arti khatulistiwa dalam bahasa Belanda, menunjukkan belahan garis khatulistiwa atau batas utara dan selatan. Sedangkan flat di bawah arah panah ditulis 109°20’0”0LvGR, artinya garis khatulistiwa di Kota Pontianak bertepatan dengan 109° garis bujur timur 20 menit 00 detik GMT.
Awal
kontruksi pembangunan, tugu ini dibangun berupa tonggak dengan tanda panah.
Lalu pada tahun 1930, disempurnakan menjadi berbentuk tonggak dengan lingkaran
dan tanda panah. Tahun 1938, tugu asli dibangun kembali dengan penyempurnaan
oleh Opsiter/Architech Silaban pada bagian lingkarannya menjadi seperti
sekarang ini.
Tahun 1990, Tugu Khatulistiwa tersebut direnovasi dengan pembuatan kubah dan duplikat Tugu Khatulistiwa dengan ukuran lima kali lebih besar dari tugu aslinya. Peresmian kubah dan replika Tugu Khatulistiwa dilakukan pada 21 September 1991 oleh Gubernur Kalimantan Barat, Parjoko Suryo Kusumo.
Kemudian
pada Maret 2005, posisi Tugu Khatulistiwa dikoreksi kembali oleh Tim dari BPPT
yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Pontianak. Secara satelit, ternyata
terdapat perbedaan ± 117 meter dari posisi yang asli ke arah selatan
khatulistiwa. Perbedaan itu terjadi karena faktor akurasi alat dan cara yang
digunakan pada waktu dulu dan sekarang. Jadi perlu diketahui bahwa bumi yang
kita tempati ini adalah bergerak dengan dua gerakan sekaligus, yaitu berotasi
dan berevolusi, sehingga dapat menyebabkan pergeseran. Menurut ahli geologi,
bumi itu mengalami pergeseran scara alami sebanyak ± 1 mm, apalagi kalau
terjadi gempa akan semakin besar pergeserannya.
Jadi,
perbedaan antara pengukuran astronomi (ilmu falaq) dan satelit, tidaklah perlu
diperdebatkan terus menerus. Kita harus menghargai perbedaan dan jerih payah
orang-orang terdahulu sebelum pengukuran secara satelit diketemukan. Yang harus
kita lakukan sekarang adalah memelihara dan melestarikan aset yang sangat
berharga ini agar tidak hilang di makan zaman serta demi untuk generasi yang
akan datang. *** [141112]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar