Sebelum
diakui UNESCO sebagai warisan kebudayaan
dunia, batik terkesan “kuno” sehingga jarang dipakai. Batik pun identik dengan
pakaian “orang tua”. Namun, setelah UNESCO menetapkan batik sebagai warisan
budaya dunia, semua kalangan lintas generasi berbondong-bondong dan bangga
menggunakan batik. Barangkali seperti batik, jamu juga akan bernasib sama
setelah dinobatkan UNESCO sebagai warisan dunia.
Jauh
sebelum ilmu farmasi muncul, manusia memanfaatkan ketersediaan alam sebagai
“media kesehatan” yang ampuh. Ketersediaan alam tersebut bisa berupa mineral,
tumbuhan dan hewan. Dari tumbuhan, manusia awal mengambil daun, akar, bunga,
buah, umbi, hingga batang. Sementara itu, hewan juga digunakan sebagai
pengobatan, misalnya empedu. Hingga sekarang, apa yang ditemukan dan
dimanfaatkan manusia zaman dulu sebagai media kesehatan tersebut dikenal dengan
“jamu”. Ilmu kesehatan modern mengenalnya sebagai herbal.
Di
kalangan seperti raja dan bangsawan, jamu menjadi rahasia pengobatan yang
mutakhir pada zamannya. Tradisi meracik jamu membudaya di setiap generasi
kerajaan Hindu-Jawa. Orang dahulu menyebut peracik jamu dengan nama “acaraki”.
Tak heran jika tradisi minum jamu masih terus dikembangkan di kalangan kraton
Yogya dan Surakarta.
Selain
itu, keampuhan jamu sebagai media kesehatan dan pengobatan masih diakui hingga
sekarang. Tak ayal, banyak manusia modern abad ini yang mulai beralih dari
pengobatan kimia ke jamu. Hal ini tidak lepas dari semangat untuk “back to nature” yang diserukan oelh
Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Mengingat
sejarah panjang akan manfaat jamu yang tak lekang oleh zaman, kini jamu
Indonesia diusulkan ke UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia (world heritage), menyusul batik, keris
dan gamelan. Meski dikenal tak hanya di Indonesia, jamu Indonesia memiliki
karakter dan keunikan yang berbeda dengan negara lain, seperti bahan,
komposisi, pembuatan, penyajian, sampai kegunaan.
Tak
hanya itu, mengembalikan tradisi jamu sebagai media kesehatan kini menjadi tren
yang kian menggejala. Di Desa Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah, misalnya, telah
diresmikan sebagai “kampung jamu” oleh Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Kamis (22/11). Tren “back to jamu” menjadi bukti bahwa jamu dari masa ke masa, selalu
mendapat ruang di hati manusia lintas zaman.
Para
usahawan pun tak ketinggalan berkontribusi untuk memajukan produk jamu. Untuk
menjawab tuntutan masyarakat yang menginginkan kualitas jamu alami dan sehat,
misalnya, PT Jamu Jago sebagai perusahaan jamu besar, sejak 1918 selalu menjaga
kualitas mutu berbahan alami rempah Indonesia (local content) dengan standar produksi yang tinggi. Selama 94 tahun
memimpin industri jamu, Jamu Jago tidak menggunakan bahan kimia, bahan
pengawet, atau bahan pemanis. [LIS]
Sumber:
- KOMPAS edisi Sabtu, 1 Desember 2012 hal. 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar